Anda di halaman 1dari 29

Konsep Hegemoni dalam Kebudayaan Modern Pengertian Hegemoni Dalam percaturan

global, persoalan hegemoni nampaknya menjadi salah satu teori sosial yang paling relevan untuk
mengetahui proses perang ideologi atau oleh Huntington (1996) disebut dengan perang
antarperadaban. Dengan adanya kemajuan tekonologi informasi dan transformasi, sekat-sekat
negara akibat jarak dan batas waktu nampaknya sudah tidak menjadi kendala lagi. Akibatnya
arus pertukan informasi dari berbagai belahan dunia mengalir deras ke seluruh sudut di dunia ini.
Kondisi ini memungkinkan perebutan pengaruh antara satu negera terhadap negara lain. Itu
sebabnya negara-negara yang memegang kendali di dalam penguasaan media teknologi
informasi adalah penguasa ideologis-politis di belahan dunia ini. Amerika adalah satu-satunya
negara super power yang sudah membuktikan kemenangannya di dalam percaturan ini. Produk
budaya negara adi daya ini sudah merambah dan menjadi kiblat di hampir semua negara. Teori
Hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil
merumuskan teori politik yang memadai (Hoare, 2000:vi; Sugiono, 1999: 20).
Oleh karena itu, untuk memahami secara menyeluruh menganai konsep hegemoni perlu
dipahami juga teori Marxisme dalam kaitannya dengan lahirnya konsep Hegemoni. Pemahaman
ini akan mempermudah pemahaman tentang konsep hegemoni itu sendiri. Marx membagi
lingkup kehidupan manusia menjadi dua yaitu infrastruktur (basis/dasar) dan
superstruktur/bangunan atas (Barry, 1995:158). Infrastruktur adalah bidang produksi kehidupan
material, sedangkan superstruktur terdiri atas dua unsur, yaitu tatanan institusional dan tatanan
kesadaran kolektif. Tatanan institusonal merupakan lembaga yang mengatur kehidupan
masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum dan negara. Di sisi lain, tatanan
kesadaran mencakup segala sistem kepercayaan, norma, dan nilai yang memberi kerangka
pengertian makna dan orientasi spiritual (pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai
budaya, seni, dan sebagainya). Superstruktur ditentukan oleh infrastruktur, dan infrastruktur
dibentuk oleh dua faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produktif
(Magnis-Suseno, 1999:135-148).
Dalam teori kelas Marx terdapat tiga usur penting. Pertama, besarnya peran struktural
dibandingkan dengan segi kesadaran dan moralitas. Kedua, perbedaan kepentingan antara kelas
atas dan kelas bawah yang menyebabkan perbedaan sikap terhadap perubahan sosial. Kelas atas
(dominan) cenderung bersikap konservatif, sedangkan kelas bawah (subaltern) bersikap
progresif dan revolusiner. Kelas atas berkepentingan mempertahankan status quo, menentang
segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Sebaliknya, kelas bawah berkepentingan terhadap
perubahan. Ketiga, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melaui
revolusi (Magnis-Suseno, 1999: 117-119).
Simon (2001:19-20) menyatakan bahwa titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni
berkaitan denganadanya suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-
kelas yang ada di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan
dominasi menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan
mempertimbangkan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi
konsensus. Dalam beberapa paragraf dari karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan
kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan hegemonia (hegemoni)
dan berlawanan dengan dominazione (dominasi). Teori hegemoni dibangun atas premis yang
menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik
(Sugiono, 1999:31-34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang
dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu, mereka harus memberi
persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksudkan Gramsci dengan “hegemoni”
atau dengan kata lain, hegemoni dapat diartikan menguasai dengan “kepemimpinan moral dan
intelektual”.
Di pihak lain, penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam
bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok yang
dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa. Menurut Faruk (1999:63) secara literal,
hegemoni berarti “kepemimpinan”, yaitu suatu kondisi dimana suatu kelompok mendominasi
kelompok lain. Istilah ini lebih sering digunakan oleh para komentator politik untuk menunjukan
dominasi. Konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep
itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kutural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat;
suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinanya sebagai suatu yang berbeda dari
bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa. Dalam pemikiran Hegemoni Gramsci, ada
istilah Fungsionaris Hegemoni yang dapat diartikan sebagai media untuk menanamkan
pemahaman sehingga dapat dijadikan legitimasi dominasi. Pendidikan, intelektualitas, dan
berbagai macam bentuk kebudayaan tinggi dan popular (termasuk ideologi, kepercayaan, dan
common sense) merupakan perangkat hegemonik (Faruk, 1999: 63). Hal ini membedakan
pemikiran Gramsci dengan aliran Marxis Ortodoks. Marxis Ortodoks menekankan pentingnya
peranan represif dari negara dan masyarakat kelas, Gramsci memperkenalkandimensi
“masyarakat sipil” untuk melokasikan cara-cara kompleks yang di dalamnya “kesetujuan” pada
bentuk-bentuk dominasi yang diproduksi. Menurut Faruk (1999:65), setidaknya ada enam
konsep kunci dalam pemikiran Gramsci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan
populer, kaum intelektual, dan negara. Keenam kata kunci ini menunjukan bahwa yang
menjadi inti pemikiran Gramsci dalam menentukan kepemimpianan adalah moral dan
intelektual. Hal ini berbeda dengan yang terdapat dalam bentuk-bentuk analisis Marxis yang
lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan
sudah dibangun secara historis. (Faruk, 1999: 63). Superstruktur bukanlah semata-mata sebagai
sebuah epifenomena atau refleksi (Sugiono, 1999:34). Dari elemen infrastruktur seperti yang
dikemukankan oleh Karl Marx, Gramsci justru mengkarakterisasi superstruktur sebagai sesuatu
yang penting dengan sendirinya. Sedangkan Lenin menganggap hegemoni sebagai strategi yang
harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari
mayoritas (Patria, dkk., 2003). Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah hegemoni
memperluas pengertiannya sehingga hegemoni mencakup peran kelas kapitalis beserta
anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan
yang telah diperoleh (Simon, 2001: 21).
Gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana dikemukakan Lenin)
menjadi sebuah konsep (seperti halnya konsep Marxisme tentang kekuatan dan hubungan
produksi, kelas, dan negara) yang menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan
untuk mengubahnya (Sugiono, 1999). Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan
pelaksanaanya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan. Hegemoni merupakan hubungan
antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik,
adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara
menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi
(Semon, 2001: 22).
Menurut Gramsci, revolusi fisik yang terjadi di Perancis tidak akan terjadi kalau
sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis (via Patria, 2003). Revolusi ideologis merupakan
pencerahan yang membangkitkan gerakan perubahan dalam suatu masyarakat. Pencerahan, bagi
Gramsci, merupakan revolusi yang luar biasa dalam dirinya sendiri. Filsafat tersebut
memberikan suatu semangat borjuis internasional dalam bentuk kesadaran terpadu, suatu
kesadaran yang sensitif terhadap seluruh nasib masyarakat umum pada seluruh Eropa. Pendek
kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis. Revolusi
kebudayaan tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan melibatkan berbagai faktor
kultural tertentu yang memungkinkan revolusi tersebut terjadi (Faruk, 1994: 66-67).
Oleh karena itu dalam mendapatkan kekuasaan dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Penanaman ideologi melalui gagasan membutuhkan waktu yang cukup lama karena melalui
proses yang cukup panjang. Namun demikian, perubahan yang diakibatkan dari sebuah
kesadaran ideologis lebih penting dan lebih bermakna dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Gramsci, ada suatu keterkaitan yang penting antara kebudayaan dengan politik, meskipun
pertalian itu lebih jauh daripada pertalian yang sederhana dan mekanis (Gramsci, 1987).
Kebudayaan dibagi menjadi bermacam-macam bentuknya, misalnya kebudayaan “tinggi” dan
“rendah”, kebudayaan elit atau popular, filsafat atau common sense; dan dianalisis dalam batas-
batas efektivitasnya dalam merekatkan bentuk-bentuk kepemimpinan yang kompleks. Gramsci
menolak konsepsi Marxis yang lebih dasar dan lebih ortodoks mengenai “dominasi kelas” dan
menyukai satu pasangan konsep yang lebih tinggi dan bernuansa, yaitu “kesetujuan”. Gramsci
fokus pada cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, dan
ideologis yang bekerja untuk merekatkan masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif,
meskipun tidak pernah lengkap. Gramsci membuat hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak
pernah diperhatikan. Dia mempersoalkan wilayah common sense yang dianggap lugu dan
spontan, menginterogasi jajaran luas bentuk-bentuk kultural dari yang “tertinggi” sampai yang
“terendah” dan menerangkan situs-situs historis dan politis dari interaksi dan formasinya.
Gramsci memilah superstruktur menjadi dua level struktur utama, yang pertama
masyarakat sipil dan yang kedua masyarakat politik atau negara. Masyarakat sipil mencakup
seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut swasta, seperti universitas, sekolah, media massa,
gereja dan lain sebagainya. Sebaliknya, masyarakat politik adalah semua institusi publik yang
memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah” secara yuridis, seperti tentara, politisi,
pengadilan, birokrasi, dan pemerintahan. Kedua level superstruktur ini merepresentasikan dua
ranah yang berbeda, yaitu ranah persekutuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam
masyarakat politik (Suginono, 1999: 35). Negara bagi Gramsci sama dengan masyarakat politik
ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni yang dilindungi baju besi koersi; kombinasi kompleks
antara hegemoni dan kediktatoran. Dengan kata lain, hal itu merupakan gabungan antara aparatus
koersif pemerintah dengan aparatus hegemonik instansi swasta. Hubungan hegemonik ditegakan
jika legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai-nilai,
norma-norma dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri kelompok
subordinat (subaltern) sehingga lahirlah konsensus. Dengan begitu, penggunaan kekuasaan
koersif oleh negara tidak penting lagi (Sugiono, 1999: 36-37).
Menciptakan hegemoni baru hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola
berfikir dan pemahaman masyarakat, “konsepsi mereka tentang dunia”, serta norma perilaku
moral masyarakat. Kelas hegemonik diyakini bertindak bagi kemaslahatan masyarakat secara
keseluruhan. Konsep hegemoni dengan demikian pengaplikasiannya melibatkan konstelasi
kekuatan sosial politik yang disebutnya dengan blok historis, merupakan hubungan resiprokal
antara wilayah aktivitas politik, etik, ataupun ideologis dengan wilayah ekonomi. Tanggung
jawab untuk membangun blok historis ada dipundak “intelektual organik”.Setiap intelektual
kehadirannya terakit dengan struktur produktif dan politik masyarakat, dengan kelompok atau
kelas yang mereka wakili. Intelektual organik adalah fungsionaris atau deputi kelompok
penguasa (Sugiono, 1999: 42). Untuk meraih kekuasaan, Gramsci membedakan dua strategi,
yaitu perang gerakan atau perang manuver dan perang posisi. Perang gerakan atau perang
manuver mengacu pada strategi revolusioner Marxisme-Leninis. Perang posisi berupa sentralitas
konsensus. Perjuangan merebut kekuasaaan dalam perang posisi lebih diarahkan pada upaya
untuk mengenyahkan ideologi, norma, mitos politik, dan kebutaan keompok berkuasa. Perang
posisi adalah sebuah proses transformasi kultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan
menggantikannya dengan hegemoni lain (Sugiono, 1999: 45-46). Bagi Gramsci, bentuk-bentuk
kultural atau kebudayaan merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret, terutama
dalam hubungannya dengan kemungkinan dioperasikanya dalam kehidupan praksis.
Studi mengenai kebudayaan juga meliputi berbagai aktivitas kultural lainnya seperti
seni dan kesusastraan (Faruk, 1994: 67). Kenyataan inilah yang memperkuat asumsi bahwa ada
keterkaitan yang sangat erat antara kesusastraan dengan ideologi pengarangnya. Ada empat hal
yang perlu dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci
berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak
hanya terjadi antar kelas, tetapi dapat terjadi konflik antara kelompok-kelompok dengan
kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan
politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari
keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa
untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum. Kelompok
dominan harus berkoordinasi, memperluas dan mengembangkan interesnya dengan kepentingan-
kepentingan umum kelompok subaltern. Kata kunci dalam pemahaman teori Hegemoni Gramsci
adalah negosiasi untuk mencapai konsensus semua kolompok. Keempat, Gramsci berpandangan
bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan
hegemoni dan budaya. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin
kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemony (hegemoni
tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa
kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam.
Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan
tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk
mengidentifikasi ideologi tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan
pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada
saat yang bersangkutan (Harjito, 2002: 23-24). Teori Hegemoni Gramsci di atas membuka
dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang
semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai
infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri
sendiri, mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup
banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra
Raymond Williams (Faruk, 1994:78).
Dalam bukunya yang berjudul Culture and Suciety (1967), Williams menolak teori
Marxis ortodoks yang cenderung menempatkan kebudayaan sebagai superstruktur yang
ditentukan, dan dengan demikian terpisah dari masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya.
Menurut Williams, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan
satu sama lain. Di dalam totalitas, itu tidak ada perbedaan tingkat atau derajat antara elemen-
elemen pembentuknya, baik yang berupa infrastruktur maupun superstrukturnya. Setiap usaha
untuk mengambil salah satu elemen dalam totalitas pasti akan mebuahkan penemuan mengenai
elemen yang lain yang tercermin di dalamnya. Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu
totalitas, di dalamnya tidak ditemukan hubungan determinasi antara elemen yang satu dengan
elemen yang lain, yang ada hanya hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk
mengatasi persoalan determinasi tersebut, Wiliams menggunakan konsep Hegemoni Gramscian.
Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa
manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Bagi Gramsci
hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat
saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi
merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk
dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk,
1999: 62). Persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di
dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu
saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, iradiasi, penyebaran dan persuasi.
Kemampuan gagasan atau opini dalam menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan
puncaknya. Puncak tersebut oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (Faruk, 1999: 62).
Sebagaimana sudah disebutkan, pemikiran Gramsci terdiri dari enam kata kunci, yaitu
kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual dan negara (Faruk,
1999:65). Agar lebih jelas mengenai masing-masing kata kunci tersebut, berikut ini penjelasan
masing-masing kata kunci tersebut. Hubungan Ideologi dan Hegemoni Gagasan tentang
hegemoni pertama kali diperkenalkan pada tahun 1885 oleh Marxis Rusia, terutama oleh
Plekhanove yaitu pada tahun 1883-1984. Gagasan ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi
menggulingkan rezim Tsarisme. Istilah Hegemony menunjukan kepemimpinan yang harus
dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakil politiknya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-
kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha
mengakhiri negara polisi Tsaris. Dengan istilah lain, hegemoni dapat juga diartikan
sebagaikontrol dan kepemimpinan, khususnya oleh suatu negara terhadap suatu kelompok
masyarakat dalam hal kebudayaan, politik dan militer, control and leadership, especially by one
country over others within a group, cultulural, economic militery hegemony (Oxford English
Dictionary[1]).
Berdasar dari pemahaman kita akan pengertian hegemoni di atas, dapat disimpulkan
bahwa di dalam hegemoni, hal yang memiliki peranan besar dalam perubahan sosial adalah
ideologi. Ideologi yang lahir dari kesadaran akan eksistensi seseorang atau sekelompok orang
akan menggerakan orang tersebut melakukan suatu perubahan.Oleh karena itu, di dalam
hegemoni kaum intelektual memiliki peran sentral sebagaimana yang diungkapkan Lenin, yang
dikutip dalam buku Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni karya Robert Bocock;
“Betapapun kita mencoba untuk “mencoba meminjamkan kepada perjuangan ekonomi itu sendiri
suatu karakter politik” kita tidak akan mampu mengembangkan kesadaran politik para
pekerja....dengan tetap berada dalam kerangka perjuangan ekonomi, karena kerangka tersbut
terlalu sempit. Untuk membawa pengetahuan politik ke para pekerja, sosial demokrat harus
membaur ke segala kelas penduduk, (dan ini merupakan) kaum intelektual, selaku pelaku
propaganda, adikator dan organiser”. Di sini dapat kita pahami bahwa pemikiran Lenin
mengindikasikan teori memiliki peranan sentral dalam membangun opini masyarakat. Gagasan
atau ide-ide dalam hegemoni sangat dipengaruhi oleh kesadaran ideologi, dan kepemimpinan
teoritis sangat penting dalam persoalan ini. Lebih lanjut Lenin menyatakan; ...peran pejuang
barisan depan hanya dapat dipenuhi oleh suatu partai yang dibimbing oleh teori yang paling
maju. Menurut Marx, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama
mengenai struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal
jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi
kepada kepentingan kelas atas. Kritik ideologimerupakan sumbangan terpenting teori Marx
terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat. Pemahaman mengenai ideologi akan
memperjelas perbedaan antara konsep Marx dan konsep Hegemoni Gramsci. Jika di dalam
Marxisme, dominasi ditentukan oleh kekuatan ekonomi, maka dalam hegemoni Gramsci
dominasi lebih ditentukan oleh intelektualitas atau ide-ide, paham dan pengetahuan. Reena
Mistry menyebutkan bahwa unlike Marxist theories of domination, Gramsci relegates economic
determinants to the background and brings to the fore the role of intellectuals in the process
(1999)[2]. Dengan kata lain, teori hegemoni Antonio Gramsci lebih menekankan pada tataran
budaya dan ideologi, sedangkan Marxisme lebih pada wilayah kekuatan ekonomi. Gramsci
menyebutkan bahwa perubahan ideologi harus diutamakan dalam pembangunan masyarakat.
“Antonio Gramsci's theory of hegemony is of particular salience to the exploration of
racial representations in the media because of its focus on culture and ideology.” Dalam sebuah
negara, tuntutan para penguasa terhadap kepatuhan hukum yang dibuat pemerintah adalah
sebuah keputusan ideologis. Hukum yang dibuat oleh para penguasa berdasarkan pada
kepentingan-kepentingan kelas yang berkuasa, meskipun terkadang dibuat atas nama
kepentingan masyarakat yang diperintah. Ironisnya semua itu hanya pengelabuhan/pembohongan
yang dilakukanpara penguasa untuk mendapat hati dari masyarakat.
Kedudukan ideologi dalam sistem kapitalisme sama dengan konsep di dalam negara.
Dalam kapitalisme, pemilik modal memiliki kedudukan sama dengan para penguasa. Pemilik
modal dapat mengendalikan dan membuat aturan yang menguntungkan pemilik modal.
Meskipun kaum buruh dapat menolak hal itu, tetapi jika pemilik modal bersikukuh dengan
kententuannya, maka para buruh tidak akan dapat hidup. Bagaimanapun kehidupan kaum buruh
sangat tergantung dari pekerjaan yang diberikan oleh para pemilik modal.Marx menyebutkan,
meskipun kaum buruh memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak pekerjaan yang
ditawarkan pemilik modal, tetapi karena mereka hanya dapat hidup apabila bekerja, dan dengan
demikianterpaksa para buruh menerima pekerjaan tersebut. Hegemoni suatu kelas terhadap kelas
yang ada di bawahnya merupakan hasil dari bangunan konsensus. Konsensus merupakan suatu
dominasi yang dilakukan bukan dengan suatu paksaan tetapi melalui persetujuan dan
pemahaman. Dalam Kamus Ilmiah Populer (Hantanto:1994), konsensus diartikan sebagai suatu
persetujuan, kesepakatan bersama atau kata sepakat. Oleh karena itu, pada dasarnya konsensus
berkaitan dengan persoalan psikologis. Dengan kata lain, konsensus merupakan kepatuhan atau
ketertundukan seseorang atau sekelompok orang karena adanya suatu kesadaran. Pada dasarnya
ketertundukan pada aturan dan perangkat hukum penguasa dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu
karena takut, terbiasa, dan karena kesadaran/persetujuan. Dari ketiga hal tersebut, pandangan
yang terakhir merupakan ciri dalam konsep hegemoni. Dengan demikian hegemoni bersifat
menyeluruh karena bersifat psikologis (Patria dkk., 2003:125).
Menurut Gramsci, hegemoni berdasar pada konsensus yang muncul melalui komitmen
aktif atas klas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Gramsci mengatakan
(secara tidak langsung) bahwa konsensus adalah komitmen aktif yang didasarkan pada adanya
pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah. Konsensus ini secara historis lahir karena
prestasi yang berkembang dalam dunia produksi (Patria dkk., 2003:126). Sebuah konsensus yang
diterima oleh kelas pekerja, bagi Gramsci, pada dasarnya bersifat pasif. Kemunculan konsensus
bukan karena kelas yang terhegemoni dan menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai
keinginan mereka. Sebaliknya, hal tersebut terjadi karena mereka kekurangan basis konseptual
yang membentuk kesadaran yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara
efektif. Femia (Patria dkk., 2003:124) menyatakan bahwa setidaknya ada empat model
konsensus, yaitu konsensus pada masa Romawi Kuno, pra-moderen, masa masyarakat
kapitalis, dan masa pemikiran kontemporer. Keempat masa ini memiliki pemikiran-
pemikiran khas. Untuk lebih jelasnya berikut ini ditampilkan kutipan pendapat Femia mengenai
konsensus hegemoni (Hendarto (1993: 79, Nezar dkk., 2003:124-125). Pertama, dalam sejarah
Romawi Kuno, pusat kekuasaan berada dalam tangan seorang Kaisar. yang berperan sebagai
hakim agung, sumber otoritas politik. “Konsensus” berada di tangan Kaisar seorang, segala
sesuatu mutlak di tangan kaisar. Kedua, dalam sejarah pra-moderen, pandangan tentang
konsensus tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat organik dengan paham bahwa setiap orang
mempunyai status dan fungsi yang ditentukan dalam hierarki alamiah (kodrat). Bahwa etika
politik bukanlah pertama-tama bertalian dengan masalah hukum, melainkan lebih merupakan
kewajiban manusia terhadap masyarakatnya. Di dalam konsensus dipahami bahwa subjek-subjek
yang memegang otoritas memahami dan mengikutinya. Dalam pengertian ini tidak dipakai
penerimaan indiviual karena tujuannya pada keteraturan universal. Ketiga, dalam masyarakat
kapitalis lanjut secara filosofis dan politik tampil teori-teori hukum alam dan kontrak sosial.
Konsensus dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya dilakukan
dengan sukarela secara individual, tidak ada sesuatu pun yang dapat memaksa manusia.
Konsensus memasuki hidup bersama dengan perjanjian positif. Dengan kata lain, kebebasan
individu mendapat tempat utama dalam masyarakat. Keempat, dalam pemikiran politik dewasa
ini, ada perubahan pengertian konsensus dari pengertian liberal mengungkapkan tuntutan yang
baru. Warga negara secara individual menuntut keterlibatan secara langsung ataupun tidak
langsung dalam masyarakat politik yang diorganisasi dan ditentukan. Dapat dikatakan bahwa
konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran mengenai kontrak sosial.
Konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang
familliar.
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukanakn Gramsci dalam konsepnya mengenai
hegemoni, yaitu pertama hegemoni total (integral), hegemoni merosot (decadent), dan
hegemoni minimum. Pertama, hegemoni integral adalah hegemoni yang ditandai dengan
afiliasi massa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukan kesatuan moral dan intelektual
yang kokoh. Kondisi tersebut tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang
diperintah. Kedua, hegemoni merosot adalah suatu kondisi hegemoni yang mengandung
kontradiksi. Kontradiksi itu mengakibatkan adanya pertentangan-pertentangan antara penguasa
dengan yang dikuasai. Dalam hegemoni ini rawan terjadi disintegrasi. Ketiga adalah minimal
hegemoni. Hegemoni ini merupakan hegemoni paling rendah. Hegemoni bersandar pada satuan
ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang diturunkan bersamaan dengan
keengganan setiap campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian,
kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi
mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.
Kata Ideologi memiliki pengertian yang cukup luas, oleh karena itu perlu diperhatikan
makna dari ideologi. Pertama, ideologi adalah semua sistem besar yang memberikan
orientasi kepada manusia. Ideologi memberikan ajaran kepada manusia tentang suatu keadaan,
terutama mengenai struktur kekuasaan yang dianggap sah. Ideologi merupakan ilusi atau
kesadaran palsu yang tidak menggambarkan situasi nyata manusia sebagaimana adanya. Ideologi
menggambarkan realitas dengan penafsiran terbalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar
dinyatakan sedemikian rupa sehingga nampak baik dan wajar. Hal itu terjadi karena ideologi
melayani kepentingan kelas yang berkuasa sebagai alat legitimasi (Magnis-Suseno, 1999:122-
123). Kedua, ideologi adalah sistem berpikir, kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang
berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Ideoloogi adalah sistem gagasan yang
mempelajari keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial. Ideologi dalam
hal ini disebut neutral conception (Thompson, 2003:17). Ketiga, ideologi merupakan
kepercayaan kepada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan
oleh kelompok masyarakat tertentu. Hal ini biasanya terwujud dalam suatu perkumpulan yang
berjuang merealisasikan gagasan atau kepentingan kelompok tersebut, seperti perkumpulan
anggota partai politik, serikat buruh, dan organisasi sosial lain yang bertujuan merealisasikan
kepentingan mereka. Ideologi ini seringnya disebut dengan ideologi yang diselewengkan, karena
ideologi yang dianut merupakan idealisme pemimpin mereka. Keempat, pengertian ideologi
sama dengan kesadaran palsu, yaitu praktik-praktik gerakan ideologis untuk
menggerakan suatu kelompok demi suatu kepentingan. Distorsi tersebut sengaja disebut
untuk melanggengkan kepentingan kelompok berkuasa dan mengendalikan sepenuhnya pihak
yang lemah (Storey, 2003:5). Kelima, ideologi dapat juga digunakan sebagai alat
menyembunyikan realitas sebenarnya, yakni realitas dominasi para panguasa. Hal ini
umumnya terdapat dalam ideologi kapitalis. Pada umumnya ideologi ini mengaburkan agar
orang-orang yang dieksploitasi tidak merasa ditindas meskipun sesungguhnya mereka sedang
diperas. Keenam, ideologi bukan hanya pelembagaan ide-ide, tetapi sebagai praktik
material yang dapat dijumpai dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ideologi seperti ini
terdapat dalam cara-cara dan tempat ritual, kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menghasilkan
akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang pada tatanan sosial. Persoalan sesungguhnya
adalah kenapa ideologi tersebut lebih banyak menguntungkan orang-orang berkuasa. Ada
beberapa alasan yang menjadikan ideologi para penguasa beredar di masyarakat. Pertama,
pikiran yang berkuasa setiap zaman adalah pemikiran kelas berkuasa. Kedua, kelas yang
menguasai sarana produksi material adalah kelas yang menguasai sarana produksi spiritual.
Ketiga, hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pemikiran serta gagasan
mereka. Akhirnya, nilai-nilai resmi masyarakat adalah nilai-nilai kelas atas (Magnis-Suseno,
1999: 124). Penguasaan ideologi kelas atas ini terjadi bukan hanya di dalam sistem masyarakat
feodal, tetapi juga di dalam masyarakat kapitalis. Di zaman feodal, raja dianggap sebagai
titisan Tuhan. Raja adalah orang suci yang sudah dipilih Tuhan untuk memerintah masyarakat.
Oleh karena itu, tidak ada yang berani membantah atau melanggar ketentuan dari seorang raja.
Perbedaannya dengan sistem masyarakat kapitalis adalah kekuatan pemimpin itu sudah agak
berkurang, meskipun kekuatan itu masih tetap ada dan masyarakat masih tunduk kepada
ketentuan mereka yang kuat, baik kuat secara ekonomi, keturunan, maupun intelektual. Dari
seluruh pengertian ideologi yang sudah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan ideologi dapat disamakan dengan kebudayaan, filsafat, pandangan
dunia, atau reformasi moral dan intelektual (Simon, 2001: 85). Berdasarkan pengertian
tersebut, ideologi memiliki aspek psikologis karena berkaitan dengan kesadaran dan
ketidaksadaran seseorang. Ideologi dalam hal ini berkaitan dengan segala aspek kehidupan
manusia. Dengan demikian, ideologi bukan fantasi seseorang karena ia terjelma dalam cara
hidup kolektif masyarakat.
Hubungan Hegemoni dengan Kebudayaan, Kepercayaan Populer, dan Common Sense
Gramsci menyadari bahwa kebudayaan merupakan kekuatan material yang mempunyai dampak
praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat (via Faruk, 1999: 65). Oleh karena itu, kebudayaan
bukan sekedar pengetahuan tanpa makna, tetapi kebudayaan dapat berarti kekuatan politik.
Gramsci menganggap kebudayaan sebagai organisasi, disiplin diri batiniah seseorang,
merupakan suatu pencapaian suatu kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya
seseorang berhasil dalam memahami nilai historis diri dan fungsinya di dalam kehidupan, hak-
hak dan kewajibannya (via Faruk, 1999: 66). Dengan demikian, kebudayaan tidak bisa
disepelekan hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diperhatikan dan dipahami sebagai
sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kebudayaanlah sebuah negara
atau suatu komunitas dapat mengangkat derajat dan martabatnya di mata komunitas atau negara
lain. Pentingnya peranan kebudayaan didasarkan pada pemahaman bahwa manusia
adalah produk sejarah. Mengingat yang paling penting dari manusia adalah pikirannya, dengan
demikian kesadaran akan posisi seseorang akan menggugah adanya kesadaran diri untuk
mengubah nasib diri yang sedang tereksploitasi, ia akan melakukan perlawanan atau
pemberontakan setelah menyadari bahwa dirinya diperalat atau diperas oleh golongan atau
kelompok lain.
Kebudayaan memiliki peran penting karena dapat memberikan kesadaran kepada
kelompok-kelompok yang menjadi korban eksploitasi kelas penguasa. Itulah sebabnya Gramsci
beranggapan bahwa sebuah revolusi sosial hanya akan terjadi jika didahului oleh adanya revolusi
kebudayaan. Revolusi sosial tidak terjadi secaraspontan, alamiah, tatapi melibatkan berbagai
faktor kutural tertentu yang memungkinkan terjadinya revolusi sosial (via Faruk, 1999: 66).
Gagasan-gagasan dan kepercayaan populer merupakan aspek yang sangat penting dalam
perubahan sosial. Menurut Gramsci gagasan-gagasan dapat juga dikatakan sebagai kekuatan
material. Aspek ini akan mempengaruhi cara pandang seseorang mengenai dunia. Dengan
demikian dinamika sosial sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang terhadap kehidupan.
Dalam kaitannya dengan penyebaran gagasan-gagasan tersebut, folklor, common sense, dan
opini-opini memiliki peran penting dalam penyebaran gagasan atau ideologi. Faruk menyebutkan
ada tiga cara penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu, yaitu melalui bahasa, common
sense, dan folklor (Faruk, 1999: 71).
Folklor meliputi sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul-tahayul, opini-opini, cara-cara
melihat tindakan dan segala sesuatu. Jika folklor dapat disamakan dengan karya sastra, maka
karya sastra (sebagaimana disebutkan oleh Lotman) merupakan media yang tidak tergantikan
oleh media lain dalam peranannya terhadap penyebaran gagasan. “Literature is accordingly
defined as secondary modeling system (...) Literature possesses an exclusive, inherent system of
signs (...) which serve to transmit special messages, not transmittable by other means” (via Noth,
1995351). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa karya sastra merupakan media paling
efektif dalam menyebarkan gagasan-gagasan. Dengan demikian, karya sastra menjadi sangat
penting dipelajari dan dianalisis karena di dalamnya terdapat gagasan ideologis yang dapat
mengubah kondisi sosial masyarakat. Selain folklor dan common sense, bahasa juga memiliki
peran sentral dalam penyebaran gagasan. Bahasa marupakan media utama komunikasi antara
manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, melalui bahasa dapat diketahui sejauh mana
pemikiran seseorang. Menurut Faruk (1999:71) dari bahasa seseorang dapat ditafsirkan
kompleksitas yang lebih besar atau lebih kurang dari konsepsinya mengenai dunia. Di dalam
bahasa terkandung elemen-elemen suatu konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan. Gramsci
menyatakan bahwa common sense merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasif
meskipun tidak sistematik. Common sense berbeda dengan filsafat karena ia mempunyai dasar
dalam pengalaman popular dan tidak merepressentasikan suatu konsepsi yang terpadu menganai
dunia. Dengan demikian, filsafat merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh
agama dan common sense (via Faruk, 1999: 71). Stratum sosial memiliki common sense sendiri-
sendiri. Setiap arus filosofis manusia meninggalkan endapan pada common sense. Hal itu
merupakan dokumen dari efektivitas historisnya. Common sense sendiri bukan merupakan
sesuatu yang kaku dan immobil, melainkan selalu mentransformasikan dirinya, memperkaya
dirinya dengan gagasan ilmiah dan opini-opini filosofis yang memasuki kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana disebutkan oleh Faruk, common sense menciptakan folklor masa depan, yaitu
sebagai satu fase yang relatif kukuh dari pengetahuan popular pada suatu ruang dan waktu
tertentu (via Faruk, 1999: 71).
Menurut Gramsci, kesadaran untuk menjadi bagian dari kekuatan hegemonik yang
khusus adalah tahap pertama ke arah kesadaran diri yang progresif yang di dalamnya teori dan
praktek menjadi satu (via Faruk, 1999: 73). Hal ini dimaksudkan bahwa pemahaman teori harus
diaplikasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Setiap teori akan disempurnakan dalam
praktek, dengan demikian teori akan mempermudah praktek dalam kehidupan sehari-hari. Teori
akan menginspirasi adanya perubahan sosial masyarakat, teori merupakan panduan kehidupan
atau praktek sosial. Dengan demikian, pengertian mengenai filsafat atau konsepsi mengenai
dunia bagi Gramsci bukan sekedar persoalan akademik, melainkan merupakan persoalan politik.
Filsafat merupakan gerakan kebudayaan, suatu ideologi dalam pengertian luas, yaitu sebagai
suatu konsepsi mengeani dunia yang secara implistik memanifestasikan dirinya dalam seni,
hukum, aktivitas ekonomi, dan dalam kehidupan individual maupun kolektif (via Faruk,
1999:74). Dengan demikian, ideologi filsafat berfungsi mempersatukan kekuatan-kekuatan sosial
yang sesungguhnya bertentangan. Hal ini tercermin dari pada fungsi agama yang mempersatukan
berbagai kekuatan sosial dalam satu jalur agama tersebut. Kaum Intelektual (Agen ideologisasi)
Kaum intelektual merupakan agent of change yang memiliki fungsi menyebarkan ideologi
perubahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, ideologi tidak akan pernah efektif atau
bermanfaat selama tidak ada yang menyebarkan ideologi tersebut. Para intelektual adalah
pelaku atau pendorong adanya perubahan. Dengan kata lain, merekalah kunci utama adanya
dinamika sosial. Peranan kaum intelektual di dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai
ideologis kepada masyarakat menjadi dominan. Penanaman nilai-nilai ideologis dilakukan
melalui lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga sekolah atau lembaga pengajaran dan lembaga
keagamaan. Melalui lembaga-lembaga inilah ideologi disebarkan dan menjadi sebuah komando
perubahan sosial. Dengan demikian, kaum intelektual disebut sebagai fungsionaris hegemoni
(Faruk, 1999:75). Menurut Faruk (1999:75) kata intelektual bukan dipahami dalam pengertian
yang sederhana, tetapi suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan fungsi
organisasinonal dalam pengertian yang luas, baik dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun
dalam administrasi politik. Di dalam Prison Notebooks disebutkan bahwa sebenarnya semua
orang berpotensi menjadi seorang intelektual. Namun ke-intelektual-an tersebut sangat
ditentukan oleh fungsi mereka dalam masyarakat (via Hoare, 1983: 3). “All man are potentially
intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social
function.” Pernyataan tersebut menunjukan bahwa fungsi atau peran seseorang atau kaum
intelektual lebih ditentukan oleh fungsinya dalam mempengaruhi dinamika sosial. Lebih lanjut
Gramsci membedakan kaum intelektual menjadi dua, yaitu intelektual tradisional dan
intelektual organik. Intelektual tradisional adalah para intelektual yang memiliki profesi khusus
(seperti para ahli di bidang ilmu pengetahuan, bidang sastra dan lain sebagainya), sedangkan
yang kedua adalah intelektual organik, yaitu mereka yang mengorganisasi dan memikirkan
organisasi sosial tententu. Dalam konteks ini mereka tidak memiliki profesi tententu, tetapi peran
mereka menginspirasi dan mendorong dinamika sosial (via Hoare, 1983: 3). Pengertian kedua ini
menunjukan bahwa kaum intelektual memiliki peran paling besar di dalam menyebarkan
ideologi-ideologi perubahan sosial.
Simpulan dari paparan di atas adalah Gramsci menyatakan bahwa kaum intelektual
merupakan ‘deputi’ dari kelompok dominan yang menjalankan fungsi khusus dari hegemoni
sosial dan pemerintahan sosial,yang meliputi: 1).Persetujuan ‘spontan’ yang diberikan oleh
populasi massa yang besar kepada kepemimpinan umum yang dilakukan kelompok dominan atas
kehidupan sosial; persetujuan ini bersifat ‘historis’ disebabkan oleh prestise (dan kepercayaan
diri yang konsekuen) dimana kelompok dominan menikmatinya karena posisi dan fungsi mereka
dalam dunia produksi. 2).Aparat kekuasaan secara ‘legal’ memaksakan disiplin pada kelompok-
kelompok ini pada siapa yang tidak ‘setuju’ baik secara aktif maupun pasif. Aparatus ini,
bagaimanapun juga, digunakan untuk seluruh masyarakat sebagai antisipasi dalam momen krisis
dari kepemimpinan atau manakala persetujuan spontan telah melemah (Patria, 2003:158). Negara
(Perangkat Hegemoni) Sebelum membicarakan makna sesungguhnya dari apa yang dinamakan
negara, perlu kiranya dipahami bahwa pandangan Gramsci akan negara selalu bertolak dari
pandangan Marxisme.
Lahirnya konsep negara dan hegemoni Gramsci sebenarnya berasal dari ketimpangan
yang ada dalam aliran pemikiran tersebut. Pertama, terjadinya kesenjangan teori Marxis antara
teori dan praktek kelas proletariat. Kedua, upaya menemukan sarana dan strategi partai
revolusionerdalam menumbuhkan dukungan dan mencapai kekuatan penuh dalam masyarakat
kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci ingin menyelesaikan kegagalan strategi dan taktik kelas
proletariat dalam menumbangkan kelas borjuis di Italia. Bagi Gramsci, partai adalah alat
sesungguhnya bagi kelas pekerja untuk menyatukan teori dan praktik. Teori muncul dari partai
dan dalam rangka merespon problem yang dihadapi oleh masa yang terorganisir. Oleh karena itu,
konsep tentang negara dan hegemoni sesungguhnya merupakan bagian dari praktek revolusioner
yang dilakukannya. Dari praktik ini pula, Gramsci mencoba menyusun konsep baru tentang
peranan partai dalam rangka menjalankan tugas revolusi(Patria, dkk., 2003: 113). Negara atau
state dalam Bahasa Inggris berarti suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di
wilayah tersebut. Dengan pengertian lain, negara adalah pengorganisasian masyarakat dalam
suatu wilayah dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi. Syarat lain
keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu sebagai tempat negara itu berada
(http://id.wikipedia.org/wiki/Negara). Negara merupakan institusi resmi yang mengatur
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, melalui negara produk-produk hukum dan aturan dibuat
guna mengendalikan kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Negara dalam pandangan
Marxisme berkaitan dengan kelas-kelas sosial. Dengan demikian, negara dalam Marxisme adalah
negara kelas. Dalam konsep Marxisme, negara tidak lepas dari model dalam kaitannya dengan
ekonomi. Menurut Marx, para penguasa merupakan bagian dari orang-orang yang memiliki
modal, hanya orang kaya yang dapat masuk di lembaga pemerintahan. Dengan kata lain, struktur
kekuasaan dalam bidang ekonomi tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori
Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai
secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-
Suseno, 2000: 121). Marx berpandangan bahwa negara bukanlah lembaga di atas masyarakat
yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan apa yang diusahakan oleh para pemegang
kekuasaan tersebut sebagai usaha mengelabuhi masyarakatnya dengan tindakan-tindakan yang
seolah-olah untuk kepentingan rakyat. Frederick Enggel menyatakan bahwa negara bertujuan
untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas
yang dikuasai secara paksa (Magnis-Suseno, 2000:120). Jika demikian adanya, maka negara
merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan bagi kelas-kelas atas atau kelas pemilik modal.
Negara mengawasi setiap gerak dan pemikiran masyarakat sipil yang berada di bawah
naungannya. Untuk itu Karl Marx (1869) menyebutkan bahwa negara berperan sebagai berikut.
Negara terlibat, mengontrol, mengawasi, dan mengelola masyarakat sipil dari perbagai
ekspresinya yang mencakup semua hal sampai gerakan-gerakannya yang paling tidak signifikan,
dan dari bentuk-bentuk eksistensinya yang paling umum sampai kehidupan pribadi individu-
individu[3]. Dengan demikian, di dalam konsep Marxisme, negara merupakan negara kelas yang
mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara dalam hal ini bukan kawan melainkan
lawan bagi masyarakat kecil. Orang kecil diharapkan tidak menuntut keadilan atau bantuan yang
sesungguh-sungguh dari negara, karena negara justru merupakan wakil kelas-kelas yang
menghisap tenaga kerja orang kecil (Magnis-Suseno, 2000:121). Berkenaan dengan hal tersebut
di atas Plato menyatakan; “Dan bentuk pemerintahan yang berbeda membuat hukum menjadi
demokratis, tiranis, dan aristokratis, sesuai dengan kepentingan mereka; dan hukum ini, yang
mereka ciptakan untuk kepentingan para penguasa sendiri, merupakan keadilan yang mereka
terapkan pada rakyat mereka, dan seseorang yang melanggar hukum itu mereka hukum sebagai
pelanggar hukum dan penjahat. ... satu-satunya kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa
dimana-mana hanya ada satu prinsip tentang keadilan yang merupakan kepentingan dari yang
lebih kuat.” (Plato, 1992: 22) Setelah memahami konsep negara di dalam Marxisme, kita perlu
mengetahui konsep negara menurut Gramsci. Gramsci membedakan dua wilayah dalam negara;
yaitu dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik. Wilayah pertama penting bagi konsep
hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan” dan“kehendak bebas”. Wilayah kedua
merupakan dunia kekerasan, pemaksaan dan intervensi (Faruk, 1999:77). Negara tidak hanya
menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat hegemonik atau masyarakat
sipil. Jika Marx memandang negara hanya sebatas fisik, Gramsci lebih dalam dari itu. Negara
adalah kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoritis dan praktis yang dengannya kelas
penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga
berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Pemahaman tersebut
merupakan perluasan dari makna negara yang sesungguhnya. Gramsci memandang bahwa
negara secara fisik dan ideologis, karena itu ada negara “etis” atau negara “kebudayaan”. Suatu
negara disebut etis sepanjang salah satu fungsi terpentingnya adalah untuk membangkitkan
massa penduduk yang besar pada level moral dan kultural; suatu level yang berhubungan dengan
kebutuhan akan kekuatan-kekuatan produktif, dengan interes-interes kelas penguasa. Dengan
demikian, negara dapat berfungsi sebagai edukator sejauh ia cenderung menciptakan suatu tipe
atau level kebudayaan baru (Faruk, 1999:77). [1] Oxford Advance Learner’s Dictionary of
English oleh AS Hornby diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1995 edisi ke-5 [2] This
essay was written in November 1999, when Reena Mistry was a Level Three student on the
module Communications Theory at the Institute of Communications Studies, University of
Leeds, UK. [3] Sebagaimana dikutip dalam buku Robert Bocock yang diterjemahkan oleh
Ikramullah Mahyudin, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, diterbitkan oleh
Jalasutra, Yogyakarta halaman 21.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wajiran/konsep-hegemoni-dalam-kebudayaan-
modern
Antonio Gramscy Organic Intellectual Hegemoni budaya adalah konsep filosofis dan sosiologis,
berasal oleh filsuf Marxis Antonio Gramsci, bahwa masyarakat budaya-beragam dapat dikuasai
atau didominasi oleh satu kelas sosial. Ini adalah dominasi dari satu kelompok sosial atas yang
lain, misalnya kelas penguasa atas semua kelas-kelas lain. Teori mengklaim bahwa ide-ide kelas
penguasa mulai dilihat sebagai norma, mereka dipandang sebagai ideologi universal, dianggap
menguntungkan sementara semua orang benar-benar menguntungkan hanya kelas penguasa.
Bagi Karl Marx, resesi ekonomi masyarakat kapitalis dan kontradiksi praktis akan
memprovokasi kelas pekerja untuk revolusi di deposing kapitalisme - dan kemudian
restrukturisasi institusi yang ada (ekonomi, politik, sosial) per-rasional, model sosialis, dengan
demikian, awal transisi menuju komunis masyarakat. Dalam istilah Marxis, ekonomi masyarakat
dialektis berubah menentukan budaya dan politik superstruktur, yaitu kelas sosial dan ekonomi.
Meskipun Marx dan Friedrich Engels memiliki skenario ini diperkirakan pada tahun 1848,
dekade kemudian, para pekerja - inti ekonomi masyarakat industri - belum efeknya. Untuk
memahami hal ini, Gramsci berpendapat perbedaan strategis, antara Perang Posisi dan Perang
manuver. Perang posisi adalah intelektual, perang budaya di mana para pendidik anti-kapitalis,
agitator dan penyelenggara berusaha untuk memiliki suara dominan di media massa, organisasi
massa lain, dan sekolah-sekolah (dan aktif melakukan subversi ideologi). Setelah tercapai, posisi
ini akan digunakan untuk meningkatkan kesadaran kelas, mengajar teori revolusioner dan
analisa, dan untuk mengilhami organisasi revolusioner. Pada perang intelektual memenangkan
posisi, pemimpin sosialis kemudian akan memiliki kekuatan politik yang perlu dan dukungan
rakyat untuk memulai perang manuver - pemberontakan bersenjata terhadap
kapitalisme.----------------------------------------WWW.NEWSPRABUWANAYASA.CO.CC
Ungkapan "perjalanan panjang melalui lembaga" digunakan dalam pidato Marxis untuk
menyebut perang posisi, menyinggung Long March Tentara Merah Cina pada 1930-an.
Ungkapan tidak berasal dengan Gramsci, meskipun secara luas dikaitkan dengannya Sebaliknya,.
itu diciptakan oleh mahasiswa gerakan pemimpin Jerman Rudi Dutschke pada tahun 1967
sebagai "durch lange Der Marsch mati Institutionen", sebagai reformulasi tentang ide-ide
Gramsci, menggunakan bahasa dipengaruhi oleh kepentingan yang pada saat di Maoisme.
Meskipun dominasi budaya pertama kali dianalisa secara kelas ekonomi, secara luas berlaku
untuk kelas sosial. Gramsci menyatakan bahwa norma-norma budaya yang berlaku tidak boleh
dianggap sebagai "alam" dan "tak terelakkan", tapi, yang mengatakan bahwa norma-norma
budaya (institusi, praktik, kepercayaan) harus diselidiki untuk akar mereka di dominasi sosial
dan implikasi mereka untuk pembebasan masyarakat.----WWW.PRABUWANAYASA.CO.CC
Hegemoni budaya bukan monolitik maupun terpadu, melainkan adalah kompleks dari struktur
sosial yang berlapis (kelas). Masing-masing memiliki sebuah "misi" (tujuan) dan logika internal,
yang memungkinkan para anggotanya untuk berperilaku dengan cara tertentu yang berbeda dari
anggota kelas sosial lainnya, sementara juga hidup berdampingan dengan kelas-kelas lain.
Karena misi yang berbeda sosial, kelas-kelas akan dapat menyatu ke dalam keseluruhan yang
lebih besar, masyarakat, dengan misi sosial yang lebih besar. Misi ini, lebih besar sosial berbeda
dari misi khusus dari kelas-kelas individu, karena mengasumsikan dan termasuk mereka untuk
sendiri, keseluruhan. WWW.NEWSPRABUWANAYASA.BLOGSPOT.COM Demikian juga,
melakukan kerja hegemoni budaya, walaupun setiap orang dalam suatu masyarakat bermakna
hidup hidup dalam kelas sosialnya, kelas diskrit masyarakat mungkin muncul untuk memiliki
sedikit kesamaan dengan kehidupan seorang individu. Namun, dianggap sebagai keseluruhan,
kehidupan setiap orang memberikan kontribusi untuk hegemoni masyarakat yang lebih besar itu.
Keanekaragaman, variasi, dan kebebasan tampaknya akan ada, karena sebagian besar orang
"melihat" banyak keadaan hidup yang berbeda, tetapi mereka tidak mampu mempersepsi pola
hegemoni yang lebih besar dibuat ketika kehidupan mereka sendiri menyatu saksi menjadi
sebuah "masyarakat". Melalui keberadaan kecil, keadaan yang berbeda, suatu hegemoni, lebih
besar berlapis dipertahankan, tidak sepenuhnya diakui oleh sebagian besar orang hidup di
dalamnya. WWW.NEWSPRABUWANAYASA.BLOGSPOT.COM Dalam hegemoni budaya
berlapis, pribadi "akal sehat" mempertahankan peran struktural ganda. Individu menggunakan ini
"akal sehat" untuk menghadapi kehidupan sehari-hari dan menjelaskan kepada diri mereka
segmen kecil dari tatanan sosial mereka datang untuk menyaksikan dalam perjalanan hidup ini.
Namun, karena oleh alam terbatas dalam fokus, akal sehat juga menghambat kemampuan untuk
memahami sifat, besar sistemik eksploitasi sosial-ekonomi yang memungkinkan hegemoni
budaya. Orang-orang memusatkan perhatian mereka pada keprihatinan langsung mereka dan
masalah dalam kehidupan pribadi mereka, bukan pada sumber fundamental dari penindasan
sosial dan ekonomi. Walaupun konsep hegemoni budaya terutama yang telah digunakan oleh
kaum kiri, yang diselenggarakan organisasi sosial konservatif (gerakan) juga telah
menggunakannya dalam politik mereka. Sebuah contoh, di AS tahun 1990-an, di mana upaya
organisasi Kristen evangelis untuk memenangkan pemilihan ke dewan sekolah setempat untuk
memiliki kekuatan untuk mendikte kurikulum sesuai dengan penafsiran agama mereka tentang
apa yang merupakan pendidikan umum yang layak. Yakni, pada tahun 1992, di Konvensi Partai
Republik, politisi sayap kanan Patrick Buchanan membahas conventioneers menggunakan
Perang Budaya panjang dalam menggambarkan persepsi tentang politik AS, sebagai perjuangan
sosial-politik antara konservatisme AS dan liberalisme AS.
WWW.PRABUWANAYASA.CO.CC Alain De Benoist dan lain-lain dari gerakan Kanan Eropa
Baru juga telah dikenal untuk mengikuti dan menghargai pengertian Gramscian dan ide. Sebagai
sebuah teori, hegemoni budaya telah sangat dipengaruhi Eurocommunism, ilmu-ilmu sosial, dan
politik aktivis. Dalam ilmu sosial, aplikasi teoritis dalam memeriksa wacana utama (misalnya
yang diasumsikan oleh Michel Foucault) merupakan aspek penting dari antropologi, ilmu politik,
sosiologi, dan studi budaya, apalagi, dalam pendidikan konsep hegemoni budaya menyebabkan
perkembangan pedagogi kritis dan teknik subversi ideologi komunis demokrasi Barat. SEKILAS
TENTANG ANTONIO GRAMSCY Antonio Gramsci (lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 –
meninggal 27 April 1937 pada umur 46 tahun) adalah filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik.
Anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani
pemenjaraan pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan-tulisannya
menitikberatkan pada analisa budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu
pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep
hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat
kapitalisme. Kehidupan Gramsci lahir di Ales, Italia, di pulau Sardinia. Ia merupakan anak
keempat dari tujuh anak lelaki Francesco Gramsci, seorang perwira tingkat rendah. Gramsci
merupakan keturunan Albania, keluarga ayahnya merupakan Arbëreshë dan nama keluarganya
memiliki hubungan dengan Gramsh, sebuah kota di Albania. Kesulitan ekonomi Francesco dan
masalahnya dengan polisi memaksa keluarganya untuk pindah beberapa kali melewati beberapa
desa di Sardinia hingga mereka akhirnya menetap di Ghilarza. Saat ia tinggal di Rusia, ia
bertemu seorang violin wanita bernama Julia Schucht yang kelak menjadi istrinya kemudian
memiliki dua orang anak lelaki. Kemudian ia kembali berkiprah di dunia politik Itali hingga pada
rezim Mussolini ia ditangkap dan penjara tahun 1926. Hingga tahun 1934 Gramsci dibebaskan
karena kemunduran kondisi kesehatannya. Namun sayang, di usia 46 tahun ia meninggal tidak
lama setelah bebas dan dimakamkan. Pemikiran Gramsci dipandang banyak pihak sebagai
pemikir Marxis paling penting di abad ke-20, khususnya sebagai pemikir kunci dalam
perkembangan Marxisme Barat. Ia menulis lebih dari 30 buku catatan dan 3000 halaman sejarah
dan analisa selama di penjara. Tulisan-tulisan ini, yang kemudian dikenal luas sebagai Buku
Catatan Penjara (Prison Notebooks), berisi penelusuran Gramsci terhadap sejarah dan
nasionalisme Italia, selain pemikiran mengenai teori Marxis, teori kritis dan teori pendidikan
yang berkaitan dengan dirinya, seperti: Hegemoni Budaya sebagai cara untuk menjaga
keberlangsungan negara kapitalis Pentingnya pendidikan buruh populer untuk mendorong
perkembangan intelektual dari kelas pekerja Pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara,
sistem legal, dan sebagainya) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan masyarakat
sipil (keluarga, sistem pendidikan, serikat perdagangan, dan sebagainya) di mana kepemimpinan
dikonstitusionalisasi melalui ideologi 'Historisisme Absolut' Kritik determinisme ekonomi‘Kritik
materialisme filosofis dan sebagainya

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef


MEMAHAMI KONSEP HEGEMONI

Kelompok VIII
Memahami konsep hegemoni
A.    Pengertian Hegemoni
Kata hegeisthai (Yunani) merupakan akar kata dari hegemoni, yang mempunyai pengertian
memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasan yang lain. Istilah hegemoni
berasal dari bahasa Yunani Kuno, ‘eugemonia’. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh
sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan
oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa
negara (pemerintah) saja. Hegemoni dapat didefinisikan sebagai dominasi oleh satu
kelompok terhadap kelompok lainnya, tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang
didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi dapat diterima
sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
Konsep hegemoni dipopulerkan oleh ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci.
Dia membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok dominan
berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindak kekerasan. Media dapat menjadi
sarana dimana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.
Proses marjnalisasi wacana ini berlangsung secara wajar, khalayak tidak merasa
dimanipulasi oleh media.

B.     Bentuk Hegemoni


Menurut Rene Descartes ada dua bentuk hegemoni, antaralain.
1.      Modernitas
Modernitas memang ditakdirkan lahir sebagai penakluk. Semangat kelahirannya adalah
semangat pemberontakan, pemberontakan terhadap kekuasaan alam dan hegemoni agama.
Dengan teknologi sebagai tulang punggung modernitas, alam pun meleleh dari keagungan
misteriusnya selama berabad-abad. Alam bisa ‘ditelanjangi’ penemuan demi penemuan
ilmiah yang secara gencar terus dilakukan. Manusia Eropa pun mulai menancapkan
pengaruhnya ke seluruh dunia. Modernitas bukan hanya alat-alat teknis, tetapi juga nilai-
nilai. Pada level subyek, ia menawarkan otonomi personal.
Contoh hegemoni modernitas yaitu ketika seorang anak dengan usia 7-8 tahun main internet
atau pergi ke warnet pada masa sekarang dianggap wajar dan dibiarkan sesukanya untuk
mengakses internet. Alasan yang diketahui kebanyakan orangtua adalah bahwa anak mereka
menggunakan media internet sebagai sumber belajar yang baru. Padahal di internet banyak
hal yang seharusnya tidak anak usia 7-8 tahun ketahui. Memang anak-anak tersebut tidak
sengaja mencari hal-hal yang diluar pengetahuan mereka, akan tetapi hal-hal tersebutlah
yang menampakkan diri mereka di internet. Sehingga menarik perhatian anak-anak ini untuk
membuka dan mengetahui apa sesungguhnya hal tersebut. Nah, pada contoh ini orangtua
telah terhegemoni terhadap teknologi baru yang canggih. Tanpa mereka sadari bahwa ada
hal-hal lain yang dapat diakibatkan oleh bebasnya anak-anak mereka mengakses internet.
Mereka hanya mengetahui bahwa internet bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.

2.      Tradisi
Tradisi sebagai penjaga gawang nilai dan gaya hidup komunitas target tidak terima dengan
gaya sapu bersih ini. Dengan segala kekuatan, tradisi bangkit melancarkan perlawanan.
Benturanpun tak terelakkan. Pertarungan terjadi di setiap jengkal kehidupan. Tradisi tidak
rela alam yang memabukkan dengan indah panorama pegunungan, desir angin yang musikal,
deburan ombak yang penuh inspirasi, hendak dirubah modernitas menjadi kalkulasi berapa
kekayaan tambang yang bisa dikeruk, berapa energi listrik yang bisa diolah, berapa ton ikan
yang bisa ditangkap. Tradisi tidak mau, agama digantikan oleh musik atau sepakbola.
Contoh hegemoni tradisi yaitu adanya pihak-pihak yang menentang akan bebasnya
menggunakan pakaian yang hanya menutupi bagian dada sampai perut. Pihak-pihak yang
memiliki hegemoni tradisi, mereka akan menyampaikan bahwa berpakaian yang hanya
menutupi bagian dada sampai perut itu tidak sopan, menentang syariat ajaran agama, mudah
sakit karena masuk angin, dan merendahkan diri sendiri. Mereka akan mengatakan apalah
artinya mengikuti trend kalau nyatanya kita harus meninggalkan ajaran syariat agama kita.
Jadi, hegemoni tradisi akan mempertahankan budaya dan nilai-nilai yang mereka percayai
tanpa harus mengikuti kemajuan jaman yang jauh dari budaya dan nilai-nilai yang telah
mereka anut.

C.    Fungsi Hegemoni


1.      Menggerakkan negara-negara lain yang power-nya lebih kecil untuk dijadikan alat dalam
mencapai kepentingaan negara-negara yang lebih kuat.
2.      Mendominasikan suatu ideologi tanpa ada perlawanan dan tanpa disadari.

D.    Keterkaitan Hegemoni dan Bahasa


“Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan
disebarluaskandalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita
rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya
dalam makna intelektual dan moral.”

Berdasarkan pemikiran Gramsci ini dapat dijelaakan bahwa hegemoni merupakan suatu
kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok
masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya
dimana kelompok yang didominasi oleh kelompok penguasa tidak merasa ditindas dan
merasa itu sebagai hal yang wajar. Bahasa sebagai alat komunikasi, sering digunakan
sebagai alat untuk melakukan penghegemonian bukan dengan tindak kekerasan. Melalui
suatu wacana, bahasa diolah untuk menekankan kesadaran moral, dimana seseorang
disadarkan lebih dulu akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak akan
merasa dihegemoni lagi melainkan dengan sadar melakukan hal tersebut dengan suka rela.
Bahasa juga menjadi unsur dramatisasi dalam pemberitaan, agar pihak dominan atau ideologi
yang disampaikan dapat diterima tanpa disadari. Menutut John Piske, kerja ideologi selalu
mendukung kelompok yang mempunyai kekuatan lebih besar menyebarkan gagasan dan
pesannya.
Berikut penggambaran proses hegemoni bekerja menggunakan bahasa dalam sebuah wacana.
Pihak yang dominan (penguasa) membuat suatu wacana yang menganggap bahwa pihak
yang dominan ini benar sementara wacana lain dianggap salah. Di sini media secara tidak
sengaja dapat menjadi alat bagaimana suatu wacana yang dominan itu disebarkan dan
meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi kesepakatan bersama. Sementara wacana
lain dipandang sebagai menyimpang. Misalnya pemberitaan mengenai demonstrasi buruh,
wacana yang dikembangkan seringkali perlunya pihak buruh musyawarah dan bekerja sama
dengan pihak perusahaan tanpa perlu melakukan aksi anarkis yang mengakibatkan
kerusakan. Dominasi wacana seperti ini menyebabkan masyarakat berpikiran bahwa pihak
buruh selalu dipandang tidak benar. Padahal sebenarnya para buruh melakukan aksi
demonstrasi sekedar untuk menagih hak-hak mereka saja. Namun karena adanya hegemoni
maka pihak penguasa (perusahaan) yang lebih dominan dan seakan-akan benar.
Dalam bahasa Sruart Hall, proses hegemoni itu sendiri bahkan menjadi ritual yang sering
kali tidak disadari oleh wartawan sendiri. Sebut misalnya kecenderungan media untuk lebih
mewawancarai pengusaha daripada buruh. Suara pengusaha atau pejabat lebih mempunyai
nilai berita atau name make news sehingga ketika wartawan lebih mewawancarai pengusaha
tidak ada yang aneh, bahkan itu suatu kewajara, hal yang benar. Bahkan sesuai dengan nilai-
nilai jurnalistik yang diajarkan kepada wartawan. Para buruh atau pelaku demonstrasi tidak
perlu diwawancarai, karena mereka dianggap tidak layak berita.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru, media massa mendapat kontrol yang begitu ketat
dari penguasa dan menjadi corong untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melakukan
Hegemoni. Seperti pemutaran secara berkala Film peristiwa G 30 S/PKI yang penuh
rekayasa dan pembelokan sejarah dan sampai saat ini masih menyisakan pengaruh bagi
sebagian masyarakat di Indonesia sehingga sampai sekarang kita mengenal ada organisasi
yang menamakan dirinya front anti komunis yang dibentuk secara sukarela oleh masyarakat
itu sendiri.
Ketika memasuki Era reformasi di mana media massa menikmati kebebasannya dan tidak
lagi menjadi corong bagi penguasa, akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa,
terutama Televisi, bebas dari kontrol pihak tertentu ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke
mulut singa begitulah kira-kira penggambaran dari kondisi media massa saat ini. Meski tidak
lagi menjadi corong penguasa akan tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi
sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang notaben memiliki beragam
kepentingan taruhlah seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
Contoh hegemoni dibidang ekonomi, pesatnya pertumbuhan mall di tiap kota-kota besar,
adanya tempat makan fastfood/waralaba, dan maraknya supermaket. Masyarakat sudah
terbiasa dengan tiga hal yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan alasan modernisasi dan
gaya hidup praktis mereka memilih berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket .
Dibandingkan berbelanja dipasar atau warung-warung makan biasa. Tanpa mereka sadari
berbelanja di mall, fastfood/waralaba, dan supermaket sangatlah tidak menguntungkan yang
pertama dari segi biaya lebih mahal karena pihak mall atau fastfood atau supermaket
memerluka biaya lebih besar, yaitu biaya pajak, gajih karyawan yang banyak, dan sewa
tempat yang mahal. Memang benar berbelanja di tiga tempat itu praktis dan simpel, namun
khususnya fastfood dari segi kesehatan tidak sehat. Namun, karena kita sudah terhegemoni
kita tidak merasakan hal-hal tersebut. Bukankah kita tidak pernah menawar pada harga label
yang diterakan oleh pihak mall, fasfood, atau waralaba?. Sedangkan ketika sesekali kita ke
pasar, kita menawar semurah-murahnya harga yang para pedagang tawarkan. Kita sudah
kehilangan nilai-nilai mencintai produk dalam negeri, kita lebih menyukai produk luar,
Disinilah hegemoni bekerja merubah pola pikir kita tanpa kita sadari.
Contoh hegemoni di bidang politik, dapat kita lihat dari media televisi. Hegemoni melalui
media televisi di Indonesia pernah dipraktikan semasa pemerintahan orde baru. Oleh
pemerintah, media massa dijadikan sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah.
Sebelum tahun 1990-an, televisi di Indonesia hanya ada satu, yaitu Televisi Republik
Indonesia (TVRI) yang dikelola oleh pemerintah. Seluruh pemberitaan yang ada diawasi oleh
pemerintah. Tak ada kritik atau pemberitaan yang menyudutkan pemerintah saat itu. Semua
dianggap baik-baik saja demi itikat untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional.
Sebaliknya, untuk media swasta, seperti koran dan majalah, memerlukan izin yang amat
ketat untuk dapat terbit di Indonesia. Tiap ada media yang isi pemberitaannya dianggap
membahayakan posisi pemerintah, segera media itu akan dibredel, dan pemimpin atau
pengurusnya terancam dijebloskan ke penjara. Oleh karena itu, meski media swasta, saat itu
mayoritas media massa hanya memberitakan hal-hal yang disetujui saja oleh pemerintah.
Dari sini, terlihat bagaimana media massa benar-benar dimanfaatkan sebagai alat hegemoni
politik yang sedang berkuasa. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat, masyarakat dibuat
percaya bahwa keadaan di Indonesia adalah benar-benar stabil. Tak ada korupsi,
penyelewengan, atau hal-hal yang mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah, khususnya
eksekutif, benar-benar memiliki posisi yang kuat. Sehingga di era reformasi ini, masih kerap
ditemui ada masyarakat yang selalu beranggapan bahwa masa orde baru itu lebih baik dari
era reformasi. Harga-harga murah, keamanan terjamin, dan sebagainya. Tak lain, konsepsi
yang tertanam di mayoritas masyarakat ini adalah hasil dari hegemoni media televisi yang
berhasil dilancarkan eksekutif orde baru.
Contoh hegemoni ideologi, sebenarnya dapat kita lihat pada pembahasan sebelumnya tentang
ideologi. Namun kami akan memberikan dua contoh ideologi lagi, yang pertama ideologi
liberalisme. Pada acara Selebrita In Action di Trans 7. Para pekerja acara Selebrita membuat
sebuah video, yang berisikan penghegemonian ideologi liberalisme. Mereka menuliskan
Cacian dan makian dari anda pesohor publik sambil menayangkan video beberapa artis
yang menolak untuk diwawancara dengan atau tanpa kontak fisik. Menampakkan video
betapa besar pejuangan mereka untuk mencari berita dari pagi hingga pagi lagi. Lalu diakhir
rekaman mereka menuliskan Kami pembawa fakta bukan pembawa petaka. Nah, disini pihak
wartawan atau penyampai berita mendominasi dengan membawa ideologi libaralisme atau
kebebasan untuk mencari sebuah fakta. Sedangkan para artis yang menolak wawancara
termarjinalkan. Pada rekaman ini pihak selebrita menyatakan bahwa apa yang mereka
lakukan benar, untuk mencari fakta (walaupun kenyataannya tidak selalu fakta yang mereka
sampaikan), ini adalah kebebasan mereka untuk mencari berita. Tanpa menjelaskan apa yang
menyebabkan para artis menolak wawancara, mungkin mereka lagi lelah habis syuting
sampai pagi, mungkin mereka ingin privasi mereka tidak diumbar, atau mungkin mereka
sedang pusing atas masalah mereka.
Kedua ideologi feminisme, dapat kita lihat pada kasus perceraian Kiki Amalia dan Markus
Horison. Pada pemberitaan perceraian ini lebih banyak Kiki Amalia yang bicara, dia
menyatakan bahwa dia memang seorang istri yang seharusnya mengikuti dimana suami
berada. Akan tetapi dia harus berjauhan karena keadaan sudah sangat mendesak, sudah enam
bulan tidak ada pemasukkan ekonomi (Markus tidak digajih selama enam bulan), sehinga dia
harus kembali ke entertainment dan menetap berjauhan dari suami di Jakarta. Bukannya Kiki
membangkang pada suami tetapi keadaan yang mendesak, Kiki bekerja malahan untuk
mempertahankan keutuhan keluarganya, untuk makan, dan biaya hidup keluarga kecilnya ini.
Perceraian terjadi bukan karena mereka tinggal terpisah, tapi karena Markus sudah seringkali
selingkiuh semenjak pernikahan umur dua bulan. Pada berita diatas Kiki Amalia
mendominasi pemberitaan menggunakan ideologi feminisme yang membenarkan sewajarnya
istri bekerja dan tinggal terpisah dari suami, karena alasan yang mendesak dan untuk
mempertahankan kehidupan. Sedangka Markus Horison termarjinalkan dan dikatakan
selingkuh dan asal mula terjadi perselingkuhan tidak dijelaskan. Padahal hubungan
rumahtangga yang tidak satu atap, sangat mudah untuk dimasukki pihak-pihak lain. Namun,
masyarakat menerimanya Markus yang salah, telah selingkuh, dan wajar Kiki menggugat
cerai.

Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang .

http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/04/17/hegemoni-2/,

http://www.dimasmuharam.com/perang-kepentingan-metro-tv-tv-one-96

Anda mungkin juga menyukai