Anda di halaman 1dari 10

Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Aksi Restorasi Gambut .......................................................................................

(Sampurno)

PEMANFAATAN INFORMASI GEOSPASIAL DALAM AKSI RESTORASI


GAMBUT
Studi Kasus di Pulau Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi
Riau
(Geospatial Information Utilization in Peat Restoration Action
Case Study: Tebing Tinggi Island, Kepulauan Meranti District, Riau Province)

Dheny Trie Wahyu Sampurno


Badan Informasi Geospasial
Jalan Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong Bogor, 16911
E-mail: denitws@gmail.com

ABSTRAK
Kebakaran hutan dan gambut di tahun 2014 menjadi bencana kebakaran terbesar kedua setelah 1997.
Pada ekosistem gambut dampak ekologi dan perekonomian tidak hanya terjadi pada saat terbakar, tetapi
pasca terbakar pun menjadi perhatian di tingkat nasional hingga level masyarakat. Pada tahun 2016,
Pemerintah Indonesia melalui Badan Restorasi Gambut melakukan restorasi dengan memperhatikan 3R,
Rewetting, Revegetasi, dan Revitalisasi perekonomian masyarakat local. Kondisi ekosistem gambut di Pulau
Tebing Tinggi yang mengalami degradasi hutan dan gambut semakin parah pasca kebakaran 2014.
Sehingga menjadi perhatian kepada pemerintah, organisasi nasional maupun internasional, dan elemen
masyarakat peduli gambut untuk memperbaiki dan menata ulang ekologis gambut dan perekonomian yang
didominasi oleh hutan sagu. Bagaimana langkah penataan ekosistem gambut menggunakan informasi
geospasial? Penjelasan secara deskriptif kualitatif terkait dengan pemanfaatan data dan informasi
geospasial menjadi pendekatan dalam penelitian sederhana ini. Dengan kemampuan temporal dari citra
satelit yang dapat merekam perubahan landscape serta informasi geospasial yang mampu memberikan
informasi ekosistem gambut secara keseluruhan menjadi modal utama dalam perencanaan dan evaluasi aksi
restorasi gambut yang sudah berjalan selama 4 tahun. Peranan informasi geospasial ini tidak hanya menjadi
bahan bagi pemangku kebijakan tetapi juga dipergunakan oleh masyarakat peduli gambut untuk menata
dan memperbaiki ekosistem gambut untuk pembangunan yang berkelanjutan. Citra resolusi tinggi dan
perekaman menggunakan foto udara menjadi gambaran detil, akurat, dan mudah dimengerti oleh
masyarakat. Kepedulian masyarakat dan informasi geospasial yang akurat dan mudah diakses menjadi
faktor utama keberhasilan aksi restorasi gambut.

Kata kunci: informasi geospasial, ekosistem gambut, restorasi gambut, pemberdayaan masyarakat

ABSTRACT
Forest and peat fires in 2014 became the second largest fire disaster after 1997. On the peat ecosystem, ecological
and economic impacts did not only occur when they burned, soon after the disaster the degradation continued and
became concerns for government at the national level down to the community level. In 2016, the Government of
Indonesia through the Peatland Restoration Agency carried out restoration action by considering the 3Rs, Rewetting,
Revegetation, and Revitalization of the local livelihood. The condition of the peat ecosystem on Tebing Tinggi Island,
which is experiencing forest and peat degradation, has worsened after the 2014 fires. This has brought attention to the
government, national and international organizations, and community elements concerned with peat to improve and
restructure the ecology of peat and the economy dominated by sago forests. How does the utilization of geospatial data
and information able to support the rehabilitation of peat ecosystem? This simple research uses qualitative descriptive
approach to explain the process of identification of problems and support the rehabilitation on peat ecosystem. With the
temporal resolution of satellite imagery that able to record the landscape changes, and other geospatial information that
is able to provide information on the peat ecosystem as a holistic information. This information is necessity in planning
and evaluating peat restoration actions that have been running for 4 years. The role of this geospatial information is not
only used as material for policy makers but is also used by peat community to organize and improve the peat ecosystem
for sustainable development. High-resolution imagery and aerial photographs provide a detailed, accurate, and
interpretable for the public user. People empowerment and accurate - accessible geospatial information are the main
factors to succeed peat restoration actions.

Keywords: geospatial information, peat ecosystem, peat restoration, people empowerment

105
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki habitat lahan basah
tropis terluas. Hal ini dikarenakan kondisi tropis yang menyebabkan pelapukan dan penumpukan
bahan organik pada ekosistem lahan basah terjadi selama ratusan tahun. Lahan gambut tropik di
Indonesia sendiri termasuk terbesar di dunia (Page et al., 2009). Walaupun demikian ekosistem
lahan basah tropis ini bukan ekosistem yang masih virgin tetapi sudah termodifikasi dengan
adanya aktifitas manusia.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2014 dan 2015 merupakan tragedi kedua
terbesar setelah kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997. Pada tahun 2015 tercatat sekitar
lebih dari 2 juta hektar lahan terbakar, dan sekitar 618 ribu adalah lahan gambut. Kejadian ini
menyebabkan kerusakan ekologi yang sangat besar, tidak hanya dari jutaan ton karbon teremisi
tetapi juga dampak terhadap eksistensi gambut juga menjadi bencana yang sulit untuk dipulihkan.
Selain dari bencana kebakaran, dampak dari deforestasi cukup besar sampai dekade tahun
2010. Indonesia merupakan negara ke-tiga dengan hutan tropis terbesar di dunia, dan pada tahun
1997 sampai 2000 tercatat adanya deforestasi sebesar 2,8 juta hektar pertahun (WWF, 2009).
Kemudian pada tahun 2000-2012, 15,79 juta hektar hutan terdeforestasi dan 2,6 juta hektar
berada di lahan basah (Margono et al., 2014). Hal ini juga mengindikasikan bahwa lahan gambut
termasuk dalam lahan basah sehingga juga terdampak dalam deforestasi di lahan gambut.
Adanya bencana ekologis di lahan gambut ini juga terekam dengan citra satelit yang
kemudian menjadi bahan dalam mengambil kebijakan untuk mengelola dan
merehabilitasi/restorasi lahan basah, terutama lahan gambut. Indonesia merupakan salahsatu
negara yang mengalami bencana ekologis tersebut, sehingga pemerintah juga memperhatikan
kondisi alam termasuk lahan gambut yang masih ada. Pada tahun 2011, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang pada saat itu masih terpisah dengan Kementerian Lingkungan
Hidup berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional (BPN),
Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negri, Badan REDD+, dan Badan Informasi Geospasial
(BIG) untuk menyusun program Satu Peta dibawah Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011.
Instruksi Presiden ini menekankan untuk menunda persetujuan ijin baru untuk memperbaiki
pengelolaan hutan dan lahan gambut.
Sedangkan dengan lahirnya regulasi pengelolaan lahan gambut yang lebih intensif adalah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 (RI, 2014) yang kemudian diperbaharui
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 (RI, 2016). Program perlindungan dan
pengelolaan lahan gambut ini yang melahirkan sistematika pengelolaan lahan gambut berdasarkan
dari kondisi hidrologisnya, yaitu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Di Indonesia terdapat sekitar
865 KHG dengan total luasan 24,667,804 hektar di empat pulau, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua (KLHK, 2015). Dengan tersusunnya sistematika pengelolaan lahan gambut melalui
KHG ini dan kejadian terbakar pada tahun 2014-2015, maka Pemerintah Indonesia mendirikan
Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2016 (RI,
2016). BRG dan KLHK dalam aksi restorasi gambut ini memerlukan Data Geospasial (DG),
Informasi Geospasial (IG) atau peta yang tepat dan terbaharui untuk sebagai landasan
perencanaan maupun pengelolaan lahan gambut.
Artikel ini akan mengulas arti pentingnya IG serta pemanfaatannya dalam restorasi dan
pengelolaan lahan gambut. Sedangkan studi kasus yang diambil adalah pada Pulau Tebing Tinggi,
Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Provinsi Riau memiliki lahan gambut yang tersebar
dalam 59 KHG dengan total luasan sekitar 5.35 juta hektar dan termasuk terbesar di Pulau
Sumatera (KLHK, 2015). Beberapa merupakan lahan gambut pulau-pulau yang terdapat di
Kepulauan Meranti, terletak pada 0°42'30"-1°28'0" Lintang Utara, and 102°12'0"-103°10'0" Bujur
Timur. Tebing Tinggi merupakan lahan gambut pulau yang cukup besar dengan 138 ribu hektar.
IG terkait dengan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi ini sangat erat kaitannya
dengan tingkat akurasi dan keberagaman IG sesuai dengan kebutuhan pada skala pengelolaannya.
Hal ini akan membantu dalam efisiensi untuk menyusun rencana restorasi/rehabilitasi lahan
gambut. Sesuai dengan pertanyaan utama dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana langkah
penataan ekosistem gambut menggunakan informasi geospasial?”, maka sebagai argumentasi
utama adalah “Dengan pemanfaatan data dan informasi geospasial maka identifikasi

106
Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Aksi Restorasi Gambut ....................................................................................... (Sampurno)

permasalahan dan dukungan terhadap rehabilitasi dan restorasi ekosistem gambut dapat dilakukan
secara efisien, menyeluruh, akurat, dan applicable.”
Dalam mendukung argumentasi utama di atas maka ada dua topik yang perlu dibahas yaitu:
(1) penjelasan indikasi lahan gambut terdegradasi sebagai salah satu permasalahan ekologis di
ekosistem gambut, dan (2) pemanfaatan DG dan IG untuk perencanaan restorasi gambut.
Dengan kedua topik bahasan tersebut diharapkan penelitian dengan pendekatan deskriptif
kualitatif ini dapat memberikan arti pentingnya pemanfaatan DG dan IG yang tepat untuk
mendukung aksi rehabilitasi dan restorasi lahan gambut.

Informasi Geospasial pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG)


IG sangat erat kaitannya dengan representasi secara spasial permukaan bumi, peta biasanya
lebih dikenal daripada IG. IG ini bersumber dari hasil perekaman berbagai wahana, citra satelit,
foto udara, radar, LiDAR, dan bahkan data terestrial. Untuk merekam suatu fenomena pada suatu
lanskap diperlukan informasi spasial dan teknologi pemrosesan. Setiap teknologi yang berkenaan
dengan ilmu geografi dan yang terkait dengan ilmu sosial atau ilmiah murni untuk pengelolaan
lingkungan dapat dirunut dari tahun 1960-an (Hoalst-Pullen & Patterson, 2010). Akselerasi
teknologi geospasial berlangsung sangat cepat. Akuisisi, mengolah, mengelola, dan menyesuaikan
perkembangan teknologi geospasial memudahkan dalam produksi informasi geospasial.
Pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan dapat dianalisis dengan keunggulan teknologi
geospasial melalui peralatan, data, dan metodologi yang tepat. Untuk menganalisis degradasi
bentang alam gambut di KHG Tebing Tinggi diperlukan beberapa data dengan ketelitian dan
bentuk yang beragam. Metodologi analisis geospasial menggunakan pendekatan hierarki dari
akurasi tingkat indikasi hingga akurasi detil dengan akurasi 1 m. Pendekatan hierarkis ini jarang
dalam satu proses analisis, yang biasanya terfragmentasi dalam satuan skala yang berbeda. KLHK
telah melakukan analisis geospasial dari skala 1:250.000 sampai 1:50.000 untuk menentukan
delineasi KHG. Untuk memperoleh IG KHG di tingkat Nasional digunakan data dan representasi 1:
250.000. Selanjutnya untuk setiap tindakan operasional di tingkat kabupaten dibuat peta skala 1:
50.000 dengan mengacu pada data 1:250.000.

Degradasi Hutan di lahan Gambut


Pemanfaatan DG dan IG tidak hanya dalam membuat peta pengelolaan KHG saja, tetapi juga
untuk melihat kondisi dari landskap ekosistem gambut di atas dan bahan organik yang terkandung
didalamnya. Degradasi hutan dan gambut terkait dapat terindikasi dari IG. Pada studi kasus di
KHG Tebing Tinggi, setiap catatan terkait degradasi hutan dan gambut dapat ditunjukkan dari
perubahan luasan hutan yang disebabkan oleh kebakaran (data titik kebakaran - hotspot) dan
pembukaan hutan karena pemanfaatan manusia (aktifitas budidaya). Orang lokal memanfaatkan
hasil hutan kayu dan non-kayu di KHG ini sejak tahun 1970-an. Menurut pemuka adat di Desa
Kepau Baru, Kota Tebing Tinggi Timur, pendatang mulai tiba di Pulau Tebing Tinggi dari pulau lain
di Indonesia untuk memanen kayu dari hutan alam dan lambat laun mulai memanfaatkan lahan
bukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman. Dari argumentasi ini, bisa diklarifikasi dengan
DG yang memiliki rentang perekaman yang panjang seperti dalam Citra Landsat. Margono et al.
(2014) menggunakan Citra Landsat untuk menganalisis degradasi hutan di Indonesia termasuk
pada kawasan lowland terutama untuk wetland ecosystem. Pada tahun 1972, NASA mulai
mencitrakan permukaan bumi dengan Earth Resources Technology Satellite (ERTS-1), yang
kemudian diubah namanya menjadi Landsat 1. Tingkat kestabilan perekaman dan resolusi
temporal yang baik maka Citra Landsat masih menjadi salah satu pilihan dalam dukungan data
inderaja yang digunakan oleh para peneliti.
Dalam analisa hasil perubahan landskap ekosistem gambut pada dua dekade terakhir, citra
Landsat 5, 7 ETM+ dan 8 digunakan sebagai sumber utama data dan juga perekaman terkait titik
kebakaran dari Citra Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), NASA. Dalam
artikel ini menggunakan analisis pada tiga data Landsat series, 1991, 2005, dan 2016. Alasan
diambil data time series tersebut merupakan tahun dimana sebagian besar perubahan pada
kawasan hutan terjadi. Pada tahun 1991, banyak terjadi transmigrasi non-legal dan spontan

107
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

datang untuk memanen kayu dari hutan alam. Data ini diperkuat dengan informasi lokal tentang
periode menetap mereka seperti penjelasan di atas. Sedangkan pada tahun 2005 dan 2016, Hutan
mengalami perubahan akibat kebakaran besar pada tahun 2005 dan 2014-2015. Dari hasil
perubahan landskap hutan bisa diverifikasi dengan adanya data titik kebakaran. Pada tahun 2005,
terdapat 218 titik kebakaran yang terindikasi dengan tingkat kepercayaan (confidence level) lebih
dari 80 persen. Jika dilihat pada Gambar 1, terdapat dua puncak tahun 2005 dan 2014 yang
menunjukkan 636 indikasi kebakaran di KHG Tebing Tinggi ini.
Untuk memvisualisasi data titik kebakaran ini dalam bentuk peta maka diperlukan titik
koordinat. Berdasarkan distribusi spasial hotspot tahun 2005 dan 2014 serta 2015, terdapat 2 titik
kebakaran yang berada dalam jarak 100 m dan 16 titik api dalam jarak 200 m. Ini menyimpulkan
bahwa kebakaran terjadi pada periode 2005 dan 2014/2015, dan terjadi di perkebunan rakyat
(lihat Gambar 2).

Confidence Level (%)

Gambar 1. Data hotspot.

Gambar 2. Persebaran Titik Kebakaran Tahun 2014.

Dalam memvisualisasi perubahan lahan, berawal dari citra tahun 1991, pada pesisir Pulau
Tebing Tinggi sudah menjadi permukiman bagi pendatang dan penduduk lokal, sedangkan
kawasan vegetasi rapat masih mendominasi bagian tengah pulau. Pada tahun citra Landsat 2005,

108
Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Aksi Restorasi Gambut ....................................................................................... (Sampurno)

sebagian besar areal yang terbakar yang tercatat menjadi lahan terbuka/kosong (lihat Gambar
3). Kelemahan dalam menggunakan citra tatelit Landsat 7 ETM + adalah karena ada kerusakan
alat perekam pada wahan. Meskipun demikian, citra bergaris (stripe) yang disebabkan oleh
masalah SLC off, citra tersebut masih dapat menangkap tidak hanya dampak kebakaran tetapi
juga perubahan hutan di beberapa bagian.

(a) (b)

(c) (d)
(Sumber: Hasil klasifikasi digital Landsat 5, 7, 8 Imageries).

Gambar 3. (a) Penutup Lahan 1991, (b) Penutup Lahan 2005, (c) Penutup Lahan 2016, (d) Legenda
penutup lahan.

Pada citra Landsat 8 OLI 2016, terlihat hutan atau vegetasi pohon yang tersisa sekitar 40,8
ribu ha. Dengan menggunakan metode klasifikasi digital, informasi ini dikategorikan sebagai level
indikasi dengan tingkat akurasi 86%. Citra tahun 2016 yang dipilih sebagai sumber informasi
perubahan bentang alam adalah data tahun 2014 dan 2015. Selain untuk melihat hasil perubahan
lahan karena kebakaran hutan, pada tahun 2014 dan 2015 citra Landsat tidak dapat memberikan
data yang jelas karena efek dari dari asap dan awan. Ini juga bisa menunjukkan kondisi PHU
Tebing Tinggi saat ini.

Tabel 1. Distribusi penutup lahan.


Area (Ha)
Land Cover
1991 2005 2016
Forest/Tree Vegetation 92.089,84 53.362,66 40.847,12
Secondary Forest/Plantation/Agriculture 23.923,13 10.041,34 38.793,91
Shrubs 11.412,10 39.832,78 49.298,85
Non-Dominant Vegetation 8.738,85 10.748,80 7.085,70
Water Body 1.858,90 1.544,90 1.997,23
Clouds/Stripes - 22.492,34 -
Total Area 138.022,81 138.022,81 138.022,81
Sumber: Klasifikasi penutup lahan Pulau Tebing Tinggi, 2017.

109
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Perubahan tutupan hutan berkurang hampir 52 persen dan digantikan oleh tanaman semak
belukar, terlihat pada Tabel 1. Semak banyak ditemukan di daerah yang sangat luas, alasannya
karena lahan yang terkena kebakaran dan ditinggal oleh pemilik lahan. Mereka tidak menanami
kembali karena tidak memiliki dana yang cukup untuk perkebunan. Hal ini juga disampaikan oleh
informan lokal yang tinggal di bagian barat Pulau Tebing Tinggi.

Informasi Geospasial untuk Aksi Restorasi Gambut


Lahan gambut tropis yang terdegradasi membutuhkan restorasi ekologis untuk
mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem pada kondisi alami. Istilah “restorasi gambut” dan
“rehabilitasi gambut” sering ditemukan dalam literatur isu degradasi gambut. “Restorasi” diartikan
sebagai kembali ke keadaan semula, sedangkan “rehabilitasi” adalah proses kembali ke keadaan
semula, atau kondisi alternatif yang menguntungkan (Wosten, 2008). Walaupun beberapa usaha
hingga rekayasa teknik dilakukan pada restorasi gambut tropis terdegradasi, namun hampir tidak
mungkin merestorasi lahan gambut yang terdegradasi ke kondisi semula, bahkan jika lahan
gambut tidak terusik untuk waktu yang lama. Dalam hal kepemilikan lahan, moratorium izin baru
konsesi lahan gambut dapat mengurangi degradasi gambut, tetapi dalam kasus kepemilikan lahan
plasma, proses restorasi mungkin menghadapi situasi yang lebih rumit dengan adanya ekspansi
pertanian sporadis.
Di KHG Tebing Tinggi, beberapa kanal dibangun mulai dari kubah gambut hingga ke kawasan
pantai. Menurut para pemuka adat dan beberapa penduduk lokal, kanal dahulu dibuat dengan
lebar sekitar 50 cm berguna menampung air bersih untuk keperluan rumah tangga dan
smallholding agriculture, atau untuk mengurangi daerah banjir di lahan pertanian mereka.
Sebaliknya, perusahaan akasia dan perkebunan lainnya membuka kanal besar-besaran untuk
mengeringkan tanah gambut setelah membuka hutan.
BRG sebagai lembaga pemerintah ad-hoc perlu melakukan terobosan untuk mengatasi
degradasi gambut. BRG memiliki tiga pendekatan untuk restorasi gambut: 1)
rewetting/pembasahan, 2) revegetation/penanaman kembali, dan 3) revitalisasi mata pencaharian
(Gambar 4).

Gambar 4. Pendekatan 3R oleh BRG.

Setiap pendekatan restorasi membutuhkan target yang jelas dengan rencana strategis untuk
mempercepat implementasi. BRG ditugaskan untuk percepatan restorasi gambut di wilayah yang
luas dan berbagai situasi pelik. Namun, BRG tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk
menangani pemilik konsesi besar di lahan gambut; Oleh karena itu, target telah dialihkan ke lahan

110
Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Aksi Restorasi Gambut ....................................................................................... (Sampurno)

gambut non-konsesi. Untuk kawasan non-konsesi, BRG perlu menyempurnakan rencana strategis
pendekatan restorasi 3 (R) dengan analisis spasial yang rinci. Analisis ini akan memberikan
informasi holistik yang lebih baik tentang pengelolaan lahan non-konsesi yang ada. BRG
menggunakan karakteristik gambut, sistem hidrologi, dan parameter historis kebakaran gambut
dari 2014-2015 untuk membuat peta restorasi prioritas gambut yang mendukung rencana strategis
tersebut. Salah satu KHG prioritas di wilayah Sumatera adalah Pulau Tebing Tinggi.
Pada tahun 2016, BRG, KLHK, Kementerian Pertanian, dan BIG mengembangkan pemanfaatan
IG untuk mendukung rencana aksi restorasi yang akurat untuk tingkat teknik level 2 (USDA,
2015). LiDAR (Light Detection and Ranging) digunakan untuk membuat hidro-topografi.
Hidrotopografi diperlukan untuk melihat kondisi topografi (Gambar 5). Untuk mengevaluasi
kembali bentang alam untuk restorasi gambut, kondisi topografi, lereng, pola drainase, kondisi
kanal (dimensi dan arah aliran) perlu dianalisis dan dievaluasi. Tujuan utama evaluasi ulang
saluran adalah untuk menahan air yang dikeringkan dari gambut pada musim kemarau sebagai
salah satu sistem KHG. Untuk mendukung IG untuk teknik level 2 maka harus memiliki akurasi
vertikal 10 cm pada area terbuka. LiDAR diperoleh bersamaan dengan foto udara (Gambar 6)
dengan kontrol IMU (Inertial Measurement Unit) dan Penerima GPS di darat. Data Penutupan /
Penggunaan Lahan skala 1: 2.500 diambil dari foto udara dengan resolusi 10 cm. Dapat
mengidentifikasi vegetasi dan kanal dengan akurasi horizontal kurang dari 10 cm. Klasifikasi
tutupan / penggunaan lahan mengacu pada standar nasional tahun 2016.
Data DTM (Gambar 7) dan kondisi tutupan lahan dari foto udara (Gambar 6) merupakan
data yang diperlukan untuk dianalisis untuk mendeteksi pola aliran, gradient, dan arah aliran
sebagai informasi hidrotopografi, yang kemudian diusulkan menjadi bahan rencana restorasi
hidrologi. Restorasi hidrologi yang dimaksud adalah dengan indikasi penempatan tabat kanal
(canal blocking) dengan pendekatan spasial yaitu gradient aliran, pola aliran, jenis aliran, kondisi
di sekitar aliran, dan parameter terkait ekosistem gambut.

Sumber: BRG, 2017.

Gambar 5. Digital Terrain Modelling (DTM).

111
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: BRG, 2017.

Gambar 6. Foto Udara Lanskap Gambut

Sumber: BRG, 2017.

Gambar 7. Data Geospasial Hidrotopografi (Source: BRG,2017)

Selain menggunakan DG dan IG serta penyusunan rencana aksi restorasi gambut, maka juga
diperlukan peranan masyarakat lokal sebagai aktor. Hal ini juga menekankan bahwa peranan
masyarakat untuk berpartisipasi aktif juga menjadi salah satu faktor dalam menjalankan restorasi
dilapangan sehingga lebih tepat sasaran. Sehubungan dari itu BRG sudah melakukan kajian
terkait revitalisasi livelihood masyarakat dengan Menyusun program Desa Peduli Gambut (DPG)
pada kawasan ekosistem gambut terdegradasi. Sehingga kembali peranan IG juga menjadi vital
untuk menyediakan peta desa yang akurat sehingga nantinya dapat mencapai target yang tepat
dan mengurangi konflik lahan maupun kepentingan di masa mendatang.

112
Pemanfaatan Informasi Geospasial dalam Aksi Restorasi Gambut ....................................................................................... (Sampurno)

PEMBAHASAN
Dalam penelitian sederhana ini, lokasi studi pada KHG Pulau Tebing Tinggi merupakan salah
satu kasus yang cukup kompleks dari segi permasalahan yaitu degradasi hutan lahan gambut
karena adanya korporasi pemanfaatan hutan, ekspansi lahan perkebunan, kondisi gambut dalam,
dan pengaruh pasang surut. Selain itu masalah dengan aksesibilitas pada daerah kepulauan
menjadi salah satu penyebab tingginya cost untuk perkebunan masyarakat (smallholders). Dari
penjelasan di atas tentang pengaruh besar dari degradasi lahan gambut adanya salah satu kasus
dari pemilik konsesi perkebunan besar. Hasil dari identifikasi citra penginderaan jauh, sebagian
besar kanal lebar ditemukan di Perkebunan Nasional Sago Prima (NSP) yang terletak pada dome
gambut. Kanal-kanal ini disalurkan ke pesisir melalui beberapa desa, Kepau Baru salah satu Desa
yang terdekat dan terdampak. Pada tahun 2014 dan 2015 terjadi kebakaran hebat di NSP dan
lahan gambut di sekitar Desa Kepau Baru. Menurut warga sekitar, kekurangan air di kanal
menyebabkan tanah gambut menjadi kering dan juga memicu kebakaran besar. Kebakaran
kadang terjadi ketika pekerja yang ceroboh melemparkan puntung rokok ke daun kering sagu atau
karet pada saat tanah gambut dalam keadaan kering dan menimbulkan reaksi berantai ke lokasi
lain. Api besar yang membakar perkebunan sagu dan karet menyisakan masalah bagi petani kecil.
Kurangnya dana untuk menanami kembali lahan menyisakan masalah berikutnya yaitu lahan
terlantar dengan kondisi semak belukar yang berpotensi terjadi kebakaran yang tinggi. Narasi dari
kasus ini menyatakan bahwa dampak ekologis maupun ekonomi dari degradasi gambut ini tidak
hanya dapat dideteksi dari hasil survei sosial ekonomi tetapi dari analisis data dan informasi spasial
baik secara historical maupun dari hierarchi data.
Oleh karena itu rehabilitasi dan restorasi lahan gambut terlantar merupakan program prioritas
pemerintah pusat melalui KLHK dan BRG bekerjasama dengan pihak swasta serta LSM. Kebutuhan
akan IG untuk pengembangan dasar rencana aksi restorasi sangat dibutuhkan di kawasan KHG
Tebing Tinggi sebagai satu sistem hidrologi yang luas. Pemanfaatan DG dan IG ini meliputi
monitoring ekosistem lahan gambut dengan data citra satelit pada skala kecil dan menengah,
sedangkan rencana restorasi detil dapat dilakukan dengan DG dan IG resolusi tinggi yang dapat
mengukur parameter terkait. Pemanfaatan DG dan IG ini memegang peranan utama dalam
perencanaan dan pengelolaan ekosistem lahan gambut, baik pada level nasional, daerah, hingga
kelompok masyarakat. Oleh karena itu IG tidak hanya sekedar menunjukkan wajah bentang alam
gambut tetapi juga masalah nyata dan rencana pendukung bagaimana mengatasinya.

KESIMPULAN
Keberadaan IG yang diproduksi dari beberapa DG yaitu citra satelit, foto udara, dan LiDAR
sudah banyak digunakan untuk memberikan informasi tentang permukaan bumi. Pada lahan
gambut IG ini juga sangat vital dalam mendeteksi permasalahan yang ada pada ekosistem
gambut, dan mendukung penyusunan rencana aksi restorasi gambut serta monitoring dan
evaluasinya. Pemanfaatan IG ini diharapkan dapat memberikan informasi secara komprehensif
dampak ekologis dan ekonomi dari adanya degradasi ekosistem gambut. BIG, KLHK, dan BRG
dalam hal ini merupakan instansi pusat yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung aksi
restorasi gambut, sedangkan berdasarkan teknologi yang sudah maju pesat saat ini, instansi
pusat ini juga mampu menganalisa DG dan IG untuk menjadi bahan untuk memperbaiki
pengelolaan gambut yang berkelanjutan.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam pemanfaatan IG untuk restorasi ekosistem gambut
adalah peranan masyarakat sebagai aktor restorasi gambut. Dengan penggunaan IG yang
berhierarki dari nasional hingga skala tapak, maka setiap aktor dalam restorasi gambut ini juga
berbeda. Pada level nasional, instansi pusat, LSM internasional, dan pakar mempunyai kewajiban
untuk terjun dalam aksi restorasi. Di level skala menengah, pemerintah daerah, LSM, Swasta, dan
pakar memiliki tugas yang hampir sama dengan skala yang berbeda. Yang terakhir pada skala
tapak (detil), masyarakat menjadi aktor utama dalam restorasi gambut bekerjasama dengan
pemerintah daerah, pemerintah desa, LSM lokal, dan swasta untuk bekerja langsung di lapangan
serta memberikan laporan terkait monitoring pasca implementasi program restorasi gambut.

113
Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis dalam penulisan artikel ini mengucapkan terima kasih kepada BRG, KLHK, dan BIG
selaku pemberi data sekaligus sebagai narasumber. Selain itu ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Prof. Kosuke Mizuno, Prof. Masaaki Okamoto, dan Prof. Osamu Kozan dalam
membimbing penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
BRG (Badan Restorasi Gambut). (2017). Laporan Akhir Akuisisi Data dan Pemetaan Tematik KHG Tebing
Tinggi Timur Kab. Kepulauan Meranti Provinsi Riau 2016. Badan Restorasi Gambut. Jakarta.
Hoalst-Pullen, N., & Patterson, M.W. (Eds.). (2010). Geospatial Technologies in Environmental Management .
Springer Science & Business Media. 214pp. https://doi.org/10.1007/978-90-481-9525-1
KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dah Kehutanan). (2015). Laporan Inventarisasi Karakteristik
Ekosistem Gambut di KHG Pulau Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Margono, B.A., Potapov, P.V., Turubanova, S., Stolle, F., & Hansen, M.C. (2014). Primary Forest Cover loss
in Indonesia over 2000-2012. Nature Climate Change, 4(8), 730–735.
https://doi.org/10.1038/nclimate2277.
Page, S., Hosciło, A., Wösten, H., Jauhiainen, J., Silvius, M., Rieley, J., … Limin, S. (2009). Restoration
ecology of lowland tropical peatlands in southeast asia: current knowledge and future research
directions. Ecosystems, 12(6), 888–905. https://doi.org/10.1007/s10021-008-9216-2.
RI (Republik Indonesia). (2016). Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pembentukan Badan
Restorasi Gambut. Sekretarian Negara. Jakarta.
RI (Republik Indonesia). (2014). Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Gambut. Sekretariat Negara. Jakarta.
RI (Republik Indonesia). (2016). Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan PP No.
71/2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut. Sekretariat Negara. Jakarta.
Wosten, H., Rieley, J., & Page, S. (2008). Restoration of Tropical Peatlands. (H. Wosten, J. Rieley, & S. Page,
Eds.). ALTERRA.
WWF (World Wildlife Fund). (2009). Hutan Indonesia: Penyerap atau Pelepas Emisi Gas Rumah Kaca?
Diunduh dari https://www.wwf.or.id/?10741/Deforestasi. [1 Juli 2018].

114

Anda mungkin juga menyukai