Anda di halaman 1dari 7

penodaan agama diatur dalam Undang- Undang-undang Nomor 1 PNPS

Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, yang

mengatur tentang yang mengatur tentang hukum administrasi dan sanksi administrasi dan

sanksi pidana administrasi yang memuat amandemen KUHP, yaitu Pasal 156a KUH,

pasal-pasal lain di dalam KUHP, peraturan internasional lainnya.

Meskipun peraturan perundang-undangan telah banyak yang mengatur tentang

perlindungan hukum terdapa warganegara untuk memeluk agamanya dan peraturan

perundang-undanagan tentang penodaan agama namun didalam praktik, masih banyak

para aparat penegak hukum belum memahami mengetahui letak dimana aturan tersebut

diatur?.

Mengapa undang-undang memberi wewenang kepada negara untuk melindungi

warganegaranya memeluk agamanya?. Karena isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam

undang-undang dasar tersebut sudah secara jelas dan tegas tmenyatakan. penodaaan agama

bukan kasus yang datang dan tenggelam. Peristiwa ini ada, hanya saja dia muncul

dipermukaan ketika telah menjadi kekerasan atau bahkan menelan korban. Oleh karena itu,

penulis menggunakan kata “kehati-hatian” hukum, karena peristiwa ini harus dimaknai serius

oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk dapat bergerak lebih cepat sebelum

adanya konflik yang berkepanjangan. Selain itu pula, kehati-hatian hokum tersebut

mengingat banyak pihak yang pro dan kontra sejak dari awal pembentukan Undang Undang

PNPS No 1 Tahun 1965 ini hingga sekarang.

Dalam beberapa pasal dalam UU PNPS No.1 tahun 1965, disebutkan aturan tentang

penodaan agama dan aliran sesat. Di antaranya disebutkan dalam pasal 1, pasal 2 dan pasal 3

untuk hukumannya4, sebagaimana terlihat dalam petikan pasal berikut: Pasal 1:


‚Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau

mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang

dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-

kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-

pokok ajaran agama itu‛. Pasal 2:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan

keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri

Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran

kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan

menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain

setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan

Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3:

‚Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa

Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan

dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus

melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota

Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya lima tahun‛.5

Dalam konteks penodaan agama dan aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang di atas, MUI juga telah menetapkan 10 kriteria aliran sesat: 1) mengingkari salah satu

rukum iman dan rukun Islam; 2) meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan

dalil shar’i (al-Qurân dan al-Sunnah); 3) meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qurân; 4)
mengingkari autentisitas dan kebenaran al-Qurân; 5) menafsirkan al-Qurân yang tidak

berdasar kaidah tafsir; 6) mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber tasyri’ Islam; 7)

menghina, melecehkan, dan/atau merendahkan nabi dan rasul, mengingkari Nabi Muhammad

SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambah dan mengurangui pokok-pokok

ibadah yang telah ditetapkan sharî‘at; dan 10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil

shar’i.6 10 kriteria tersebut ditetapkan melalui rapat kerja Nasional (rakernas) MUI 6

Nopember 2007 di Hotel Sari Pan Pasific. Menurut Ichwan Syam, Sekretaris Umum MUI,

sejak tahun 1980-an, MUI telah mengeluarkan fatwa 10 aliran sesat, yakni: Inkar al-Sunnah,

Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Shalat dua bahasa, komunitas Lia Eden, Salamullah dan al-

Qiyadah al-Islamiyah. Aliran yang kini juga dalam proses penelitian MUI adalah Wahidiyah

-- baik penyiaran maupun perjuangan -- yang berpusat di Jombang dan Kediri, Jawa Timur

Pada penjelasan Undang Undang No1 tahun 1965 menjelaskan bahwa, hadirnya undang-

undang ini atas kegelisahan bermunculannya aliran-aliran kepercayaan yang menganggu

agama lain, oleh karenanya pemerintah merasa perlu dalam menjaga kemurnian dan

kebebasan beragama yang kemudian pembatasannya di atur dalam Undang Undang. Jika

dilihat dari politik hukum Undang Undang tersebut, maka jelas bahwa pemerintah menaruh

perhatian yang sangat baik atas perlindungan agama., agar tidak disimpangi oleh ajaran-

ajaran lain yang keluar dari ajaran pokok suatu agama tertentu.

KUHP telah mengatur secara lengkap mengenai tindak pidana terhadap agama,

dan dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memuat ketentuan hukum administrasi

dan sekaligus hukum pidana dan amandemen terhadap KUHP yaitu memasukkan Pasal

156a KUHP sehingga delik terhadap agama dalam KUHP menjadi lebih lengkap.

Keberadaan norma hukum yang mengatur tindakan administrasi dalam rangka untuk
mencegah terjadinya penodaan terhadap agama dan apabila dipandang tidak efektif

dipergunakanlah sanksi pidana sebagai alternatif sanksi (ultimum remedium), namun

demikian keberadaan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tersebut dipersoalkan karena tindakan

pencegahan tersebut dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam

Kontitusi Republik Indonesia. Melalui proses uji materiil Mahkamah Konstitusi telah

menerbitkan putusannya Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 yang

menyatakan bahwa undang-undang dimaksud adalah konstitusional. Namun demikian,

putusan tersebut masih menyisakan perdebatan, karena adanya tuntutan agar undangundang

tersebut diperbaiki dan disempurnakan, yakni bagaimana bentuk penyempurnaaan

dan perbaikannya. Di samping itu, kovenan tentang Pencegahan Penghinaan Terhadap

Agama telah memberikan pedoman bagaimana mengatur pencegahan penghinaan

terhadap agama dan bagaimana Negara berperan dalam mengambil kebijakan

perlindungan terhadap agama.

Praktek penegakan hukum pidana seringkali dihadapkan kepada persoalan

interpretasi khususnya terkait dengan penghinaan atau penodaan terhadap ajaran agama

yaitu perbuatan mana yang dinilai telah menghina atau menodai agama. Hal ini disebabkan

karena firman Tuhan yang ditulis dalam kitab suci memerlukan kegiatan interpretasi dan

interpretasi yang bagaimanakah yang dikatakan sebagai interpretasi yang benar dan sah

dalam memahami firman Tuhan yang ditulis dalam kitab suci agama dan interpretasi yang

salah dan sesat, sehingga menjadi perbuatan penodaan terhadap agama. Persoalan

kompetensi untuk melakukan interpretasi ini dipandang membelenggu kebebasan

seseorang dalam beragama dan kekebasan orang dalam berpikir atau mengemukakan

pendapat yang disinyalir oleh pihak yang kontra sebagai bentuk penegakan hukum pidana

yang melanggar hak asasi manusia.


Sekalipun Indonesia menganut system politik yang demokratis, namun tidak menjadikan

nilai-nilai demokrasi itu berjalan tanpa payung hukum yang kuat. Konflik agama yang sering

terjadi dan berkembang ini tentunya membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dan

juga tentunya masyarakat sebagai salah satu pelaku dalam bernegara. Kejadian aliran

kepercayaan yang terus-menerus dan memakan korban yang tidak sedikit tentunya bukan hal

yang patut dibiarkan berlarut-larut. Apalagi dari kejadian ini justru menjadikan masyarakat

bermain hakim sendiri, seperti pada pembakaran rumah masyarakat, tempat ibadah, bahkan

pembunuhan, keadaan main hakim sendiri tersebut, memaknai bahwa fungsi negara sudah

mulai menghilang. Penyimpangan agama yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan aliran

sesat ini, semakin tahun justru berkembang semakin banyak. Fakta ini bisa dilihat dari
bermunculnya aliran sesat di masyarakat. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran

sesat yang berkembang di Indonesia. 50 Di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.1

Hal ini merupakan bagian paling hitam dari perkembangan agama. Penulis menggunakan

kata bagian “paling hitam”, karena penyebaran agama yang jauh dari pada pokok dasarnya ini

menimbulkan banyak goncangan di masyarakat. Misalnya pada masyarakat luas, mereka

telah mempercayai salah satu agama tertentu, tiba-tiba didatangi oleh orang atau sekelompok

orang yang mengaku se-agama, namun dengan pemahaman dan pelaksanaan yang jauh

berbeda dari pokok ajaran tersebut. Tentunya itu menjadi goncangan yang dapat berakibat

luas pada keharomonisan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karenanya selain dari pada

Undang Undang tentang aliran sesat, kiranya penting pemerintah untuk mengatur mengenai

tata cara dan akibat-akibat hukum jika suatu ajaran mempunyai definisi atau cara beragama

yang berbeda dari yang di akui pada kebanyakan masyarakat lainnya.

Sekitar akhir tahun 2009 lalu, beberapa kalangan mengajukan gugatan atau permohonan

judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke

Mahkamah Konstitusi. Para pemohon tersebut antara lain: LSM Imparsial, Elsam, PBHI,

Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan Pemohon perorangan, diantaranya: Abdurahman

Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, namun kemudian dalam

putusannya, permohonan tersebut di tolak secara keseluruhan oleh Majelis Hakim Konstitusi.

Penolakan tersebut tentunya menjadi sejarah tersendiri bagi ketatanegaraan Indonesia,

khususnya dalam bidang keagamaan, hal ini karena Undang Undang yang sudah cukup lama

itu, justru masih berlaku dan mendapatkan perhatian yang baik dalam pernafsirannya oleh

1
[1]Maraknya Aliran Sesat Mirip Prolog G30S PKI Tahun 1965  Http://Hariansib.Com
/2007/11/01/ Maraknya -Aliran-Sesat-Mirip-Prolog-G30s-Pki-Tahun-1965/
majelis hakim kosntitusi, sehingga majelis menilai bahwa, undang undang tersebut masih

berlaku dan konstitusional artinya tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai