Nama Kelompok:
Ester Jesika Manihuruk { 190203001}
Lastri Novalina Pardede { 190203015}
Agil Krisman Putra .H { 190203003}
3. Distrubusi difteri
a. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 5 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
b. Place (Tempat)
Penyakit ini sering ditemukan di daerah tropis dan daerah dengan kondisi
lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih pada permukimann padat penduduk.
Pada musim dingin di negara-negara sub tropis, penyakit difteri banyak menyerang
anak-anak yang berusia 5 tahun.
c. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai
system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan
berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
- Tahunn 2010 sebanyak 36 kasus difteri dan 8 diantaranya meninggal
- Tahun 2011 sebanyak 816 kasus
- Tahun 2012 sebanyak 1.192 kasus
- Tahun 2013 sebanyak 775 kasus.
- Tahun 2015 terdapat 590 kasus dengan kasus kematian sebanyak 6 %
- Tahun 2016 terdapat 581 kasus, dengan jumlah kematian 24 (CFR 3,13%)
- Tahun 2017 penyebaran wabah KLB difteri terjadi di 146 kabupaten/ Kota dan si 28
provinsi jumlah kasus tahun 2017 sebanyak 954 fdengan kasus kematian sebanyak
orang (CFR 4,6%) usia kasus bergeser dari usia balita ke usia 12 tahun ke atas.
(Pracoyo, 2020).
Daftar Pustaka :
1) Pracoyo, N. E. (2020). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB) DIFTERI PADA ANAK DI INDONESIA. JURNAL
EKOLOGI KESEHATAN, 19(3), 184-195.
4. Pencegahan Difteri:
- Imunisasi Primer.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis,
dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar. Pemberian vaksin DPT dengan cara intra muskuler 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis selanjutnya dengan interval minimal 4-8
minggu, interval terbaik 8 minggu.(Wigunantiningsih, 2010). Seorang anak dengan
status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap mempunyai risiko menderita difteri
46,403 kali dibandingkan seorang anak dengan status imunisasi DPT dan DT lengkap.
(Basuki Kartono1, Rachmadhi Purwana2, 2008).
- Imunisasi Tambahan
Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang
telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit
PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah.
Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu
dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
a. BLF : upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 – 3
tahun. Kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah
dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin,
membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode
tertentu.
b. ORI : imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada
daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri.
Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di
wilayah sekitar KLB, sesaat setelah KLB terjadi. (Gasc et al., 2018).
- Meningkatkan Status Gizi
Penyakit difteri juga dapat berkembang pada penderita yang mengalami gizi
kurang. Sedangkan penderita yang memiliki gizi baik memiliki prognosis lebih baik
daripada penderita gizi kurang. Kekurangan gizi atau gizi buruk mengakibatkan
seseorang rentan terhadap penyakit infeksi. Kerentanan tersebut disebabkan oleh zat
antitoksin yang tidak terbentuk secara cukup di dalam tubuh (Hidayati, 2017).
- Pencarian dan pengobatan pasien.
Dilakukan dengan uji schick. . Tes dilakukan dengan menyuntikan toksin
difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila hasil negatif, dilakukan apusan
tenggorokan. Jika ditemukan bakteri Cornyebacterium Diphteriae maka harus diobati.
(Saputra, 2018).
- Hidup Bersih dan Menjaga Kebersihan Lingkungan
Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri,
kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. (Basuki Kartono1, Rachmadhi
Purwana2, 2008).
Daftar Pustaka :
1) Wigunantiningsih, A. (2015). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Status
Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Usia 0-11 Bulan Di Desa Suruhkalang
Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Maternal, 2(02).
2) Kartono, B., Purwana, R., & Djaja, I. M. (2008). Hubungan Lingkungan Rumah
dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-
2006) dan Garut Januari 2007, Jawa Barat. Metode, 51, 6.
3) Soekarno, J. D. I. GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN STATUS
IMUNISASI PENDERITA DIFTERI DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN
2018.
4) Hidayati, R. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian penyakit
difteri di Kota Padang. UNES Journal Of Social and Economics research, 2(2),
180-187.
5) SAPUTRA, M. A. S. DIFTERI DALAM LINGKUP ASUHAN
KEPERAWATAN.