Anda di halaman 1dari 7

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Nama Kelompok:
Ester Jesika Manihuruk { 190203001}
Lastri Novalina Pardede { 190203015}
Agil Krisman Putra .H { 190203003}

Dosen Pengampu : Vierto Irennius Girsang, SKM, M.Epid

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
31 MEI 2021
1. Pengertian Difteri
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu
kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring
(bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan), laring, kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita. (Pracoyo, 2020).
a) Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung
dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-
4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang local, gangguan saluran
pernapasan, demam, disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala.
b) Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering
pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan
membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada
pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.
c) Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih
kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral
atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle,
orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya
dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya
gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat,
dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum
molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,
koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang
penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis
atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan
biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
d) Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan
difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya
serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain,
seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa
terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia.
e) Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial,
ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat
dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya
bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka
bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena
dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal
atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan
komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
f) Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-
tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan
ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis,
ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan
difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. (Hartoyo, 2018).
Daftar Pustaka :
1) Pracoyo, N. E. (2020). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB) DIFTERI PADA ANAK DI INDONESIA. JURNAL
EKOLOGI KESEHATAN, 19(3), 184-195.
2) Hartoyo, E. (2018). Difteri pada anak. Sari Pediatri, 19(5), 300-306.
2. Penyebab Difteri
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, tidak bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya
tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri
ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type
variants dari Corynebacterium diphtheria  ini yaitu : type mitis (yang memiliki waktu
180 menit untuk membelah diri), typeintermedius (memiliki waktu 100 menit untuk
membelah diri) dan type gravis (yang memiliki waktu 60 menit untuk membelah diri).
Bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang
terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam
tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri.
Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring,
amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
(Pracoyo, 2020).
Daftar Pustaka :
1) Pracoyo, N. E. (2020). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB) DIFTERI PADA ANAK DI INDONESIA. JURNAL
EKOLOGI KESEHATAN, 19(3), 184-195.

3. Distrubusi difteri

a. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 5 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.

b. Place (Tempat)
Penyakit ini sering ditemukan di daerah tropis dan daerah dengan kondisi
lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih pada permukimann padat penduduk.
Pada musim dingin di negara-negara sub tropis, penyakit difteri banyak menyerang
anak-anak yang berusia 5 tahun.

c. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai
system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan
berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
- Tahunn 2010 sebanyak 36 kasus difteri dan 8 diantaranya meninggal
- Tahun 2011 sebanyak 816 kasus
- Tahun 2012 sebanyak 1.192 kasus
- Tahun 2013 sebanyak 775 kasus.
- Tahun 2015 terdapat 590 kasus dengan kasus kematian sebanyak 6 %
- Tahun 2016 terdapat 581 kasus, dengan jumlah kematian 24 (CFR 3,13%)
- Tahun 2017 penyebaran wabah KLB difteri terjadi di 146 kabupaten/ Kota dan si 28
provinsi jumlah kasus tahun 2017 sebanyak 954 fdengan kasus kematian sebanyak
orang (CFR 4,6%) usia kasus bergeser dari usia balita ke usia 12 tahun ke atas.
(Pracoyo, 2020).
Daftar Pustaka :
1) Pracoyo, N. E. (2020). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB) DIFTERI PADA ANAK DI INDONESIA. JURNAL
EKOLOGI KESEHATAN, 19(3), 184-195.
4. Pencegahan Difteri:
- Imunisasi Primer.
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis,
dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar. Pemberian vaksin DPT dengan cara intra muskuler 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis selanjutnya dengan interval minimal 4-8
minggu, interval terbaik 8 minggu.(Wigunantiningsih, 2010). Seorang anak dengan
status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap mempunyai risiko menderita difteri
46,403 kali dibandingkan seorang anak dengan status imunisasi DPT dan DT lengkap.
(Basuki Kartono1, Rachmadhi Purwana2, 2008).
- Imunisasi Tambahan
Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang
telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit
PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah.
Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu
dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
a. BLF : upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 – 3
tahun. Kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah
dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin,
membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode
tertentu.
b. ORI : imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada
daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri.
Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di
wilayah sekitar KLB, sesaat setelah KLB terjadi. (Gasc et al., 2018).
- Meningkatkan Status Gizi
Penyakit difteri juga dapat berkembang pada penderita yang mengalami gizi
kurang. Sedangkan penderita yang memiliki gizi baik memiliki prognosis lebih baik
daripada penderita gizi kurang. Kekurangan gizi atau gizi buruk mengakibatkan
seseorang rentan terhadap penyakit infeksi. Kerentanan tersebut disebabkan oleh zat
antitoksin yang tidak terbentuk secara cukup di dalam tubuh (Hidayati, 2017).
- Pencarian dan pengobatan pasien.
Dilakukan dengan uji schick. . Tes dilakukan dengan menyuntikan toksin
difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila hasil negatif, dilakukan apusan
tenggorokan. Jika ditemukan bakteri Cornyebacterium Diphteriae maka harus diobati.
(Saputra, 2018).
- Hidup Bersih dan Menjaga Kebersihan Lingkungan
Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri,
kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. (Basuki Kartono1, Rachmadhi
Purwana2, 2008).
Daftar Pustaka :
1) Wigunantiningsih, A. (2015). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Status
Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Usia 0-11 Bulan Di Desa Suruhkalang
Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Maternal, 2(02).
2) Kartono, B., Purwana, R., & Djaja, I. M. (2008). Hubungan Lingkungan Rumah
dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-
2006) dan Garut Januari 2007, Jawa Barat. Metode, 51, 6.
3) Soekarno, J. D. I. GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN STATUS
IMUNISASI PENDERITA DIFTERI DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN
2018.
4) Hidayati, R. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian penyakit
difteri di Kota Padang. UNES Journal Of Social and Economics research, 2(2),
180-187.
5) SAPUTRA, M. A. S. DIFTERI DALAM LINGKUP ASUHAN
KEPERAWATAN.

Anda mungkin juga menyukai