a. Karl Marx : Ia menganggap bahwa agama bukanlah petunjuk bagi umat manusia, tapi ia adalah kerangkeng atau jeratan. Marx mengatakan, “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness conditions. It is the opium of the people”. Kutipan terkenal ini merepresentasikan posisi Marx ketika berhadapan dengan agama. Agama hanyalah keluh kesah dari mahluk tertindas, kemudian ia hanyalah opium. Agama bukan petunjuk, tapi ia tak lebih dari masalah dari manusia itu sendiri. Alih-alih memberikan petunjuk untuk melepaskan diri dari sebuah masalah, ia malah menjadi opium atau penenang. Opium di sini bermakna sebagai sebuah obat yang dapat meringankan atau melupakan rasa sakit yang riil. Penenang di sini bermakna ilusi belaka, yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah sebenarnya yang ada di masyarakat. Singkatnya agama merupakan sebuah kepalsuan. b. Edward Burnett Tylor : Ia mendefinisikan agama sebagai kepercayaan makhluk gaib dan menyatakan bahwa keyakinan ini berasal sebagai penjelasan kepada dunia. Kepercayaan pada makhluk gaib tumbuh dari upaya untuk menjelaskan kehidupan dan kematian. Orang-orang primitif yang menggunakan mimpi manusia di mana roh-roh tampaknya muncul sebagai indikasi bahwa pikiran manusia bisa ada independen dari tubuh. Mereka menggunakan ini dengan ekstensi untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, dan kepercayaan kehidupan setelah kematian. Mitos dan dewa-dewa untuk menjelaskan fenomena alam berasal dari analogi dan perpanjangan penjelasan ini. Teorinya diasumsikan bahwa jiwa semua orang sepanjang masa kurang lebih sama dan bahwa penjelasan dalam budaya dan agama cenderung tumbuh lebih canggih melalui agama-agama monoteis, seperti Kristen dan akhirnya untuk ilmu pengetahuan. Tylor melihat praktik-praktik dan kepercayaan membuat mundur dalam masyarakat modern sebagai kelangsungan hidup, tapi ia tidak menjelaskan mengapa mereka bertahap. Teori tersebut sebagai salah satu sisi untuk berfokus hanya pada aspek intelektual agama belaka, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial agama. c. Sigmund Freud : Ia melihat agama sebagai ilusi. Dengan ilusi Freud mengartikan keyakinan bahwa orang sangat ingin untuk menjadi kenyataan. Tidak seperti Tylor dan Frazer, Freud mencoba menjelaskan mengapa agama tetap terlepas dari kurangnya bukti untuk prinsip-prinsip tersebut. Freud menegaskan bahwa agama merupakan respon sebagian besar tidak sadar neurotik untuk represi. Dengan represi Freud mengartikan bahwa masyarakat beradab menuntut bahwa kita tidak dapat memenuhi semua keinginan kami segera, tetapi mereka harus ditekan. Argumen rasional untuk orang yang memegang keyakinan agama tidak akan mengubah respon neurotik seseorang. Hal ini berbeda dengan Tylor dan Frazer yang melihat agama sebagai rasional dan sadar, meskipun bentuk primitif dan keliru dalam upaya untuk menjelaskan alam. Terlepas dari teori, teori-teori Freud dikembangkan dengan mempelajari pasien yang dibiarkan bebas untuk berbicara sambil berbaring di sofa. Meskipun upaya Freud untuk asal usul sejarah agama-agama belum diterima, pandangannya umum bahwa semua agama berasal dari kebutuhan psikologis terpenuhi masih dipandang sebagai teori yang menawarkan penjelasan yang kredibel dalam beberapa kasus. 2. Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaranajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram. Karena inti pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan, sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka agama-agama yang dianut manusia di dunia ini pun bermacam-macam pula. Tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal batini dan subyektif, juga sangat individualistik. Alasan kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama, maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu. Alasan ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu. 3.