Kelas :A
Semester : III
2018-2019
2025, Pemerintah Targetkan Seluruh Bidang Tanah Terdaftar
DANI PRABOWO Kompas.com - 24/09/2018, 22:00 WIB Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A
Djalil(Kementerian ATR/BPN) JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana merampungkan
seluruh proses pendataan lahan milik masyarakat dalam kurun waktu tujuh tahun mendatang. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisasi persoalan dan sengketa lahan yang sering kali dihadapi masyarakat
dengan pihak-pihak tertentu. "Kami harapkan seluruh bidang tanah di Indonesia bisa terdaftar semua pada
tahun 2025," kata Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil saat upacara Peringatan Hari Agraria dan
Tata Ruang Nasional Tahun 2018, Senin (24/9/2018). Sofyan menuturkan, selama ini pemerintah telah
melaksanakan program reforma agraria demi mengurangi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
hingga pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan aset tanah. Jakarta Dukung Kementerian
ATR/BPN Reforma agraria juga dilakukan dalam rangka penguatan hak masyarakat atas tanah atau hutan
adat. Melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), diharapkan persoalan yang kerap
timbul dalam proses reforma agraria dapat diminimalisir. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas rencana
tata ruang dan penataan kembali struktur penguasaan tanah yang berkeadilan, pemerintah juga telah
meluncurkan Sistem Informasi Geografis Tata Ruang (GISTARU). Sistem ini memungkinkan setiap
orang untuk dapat mengakses rencana tata ruang yang berlaku secara nasional maupun yang berlaku di
setiap daerah. "Dengan terbukanya akses terhadap dokumen rencana tata ruang, diharapkan kesadaran
masyarakat akan meningkat dan selanjutnya masyarakat berperan aktif dalam proses penyusunan rencana
tata ruang dan pengawasan implementasinya," papar Sofyan. Ia menambahkan, penerapan layanan
terintegrasi ke dalam Online Single Submission (OSS) juga sudah dimulai untuk layanan izin lokasi,
pertimbangan teknis pertanahan, informasi rencana detail tata ruang dan pengaturan zonasi. Sofyan
berharap, layanan ini bisa dijalankan secara elektronik.
Harga Tanah Tinggi, Indikasi Perbaikan Kondisi Ekonomi
DANI PRABOWO Kompas.com - 15/03/2018, 15:49 WIB Direktur Jenderal Pengadaan Tanah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional (BPN) Arie Yuriwin.
(Kompas.com / Dani Prabowo) JAKARTA, KOMPAS.com – Proses pembebasan lahan proyek kereta
cepat Jakarta-Bandung berjalan lambat. Ada sejumlah persoalan yang dihadapi dalam proses pembebasan
lahan itu. Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Arie Yuriwin mengungkapkan ada kesalahan pada saat proses pembebasan
lahan itu berlangsung. "Dia sudah membeli B to B dulu sebelum ada kesesuaian tata ruang dan sebelum
adanya penetapan lokasi," kata Arie saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan dan Regulasi
Pembebasan Lahan Proyek Properti di Kantor PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Kamis (15/3/2018). Saat itu
harga tanah yang dibeli sebesar Rp 100.000 per meter persegi. Proses pembelian tersebut dilakukan
sebuah perusahaan yang berada di bawah PT Arjuna. Setelah itu, lahan yang sudah dibeli kembali dijual
kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dengan nilai Rp 300.000 per meter persegi. "Jadi, kan
sudah ada keuntungannya di situ," terangnya. Rupanya, proses pembelian lahan itu tidak bisa dilanjutkan
dan berhenti hanya sampai kawasan industri. Hal tersebut disebabkan belum adanya izin lokasi serta
belum adanya penetapan lokasi pembangunan kereta cepat saat itu. "Sehingga, begitu dikeluarkan
penetapan lokasi, apa yang sudah dibeli kereta cepat itu, rekomendasi dari LO kejaksaan,
maladministrasi," lanjut dia. Di samping itu, ia menambahkan, lahan yang sudah dibeli rupanya di luar
trase yang ditentukan. “Ini jangan sampai terjadi. Itu maladministrasi. Itu ada 1.838 bidang yang
maladministrasi,” kata dia. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya
mengatakan, proses pembebasan lahan sepanjang 142,3 kilometer baru rampung sekitar 54 persen pada
awal Februari 2018 lalu. Konstruksi kereta ini diharapkan dapat dimulai Mei 2018. Seperti diketahui,
pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini merupakan hasil konsorsium BUMN Indonesia
dan konsorsium perusahaan China. Sebenarnya, pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini
telah berlangsung sejak tahun 2015. Namun, pembangunannya terganjal permasalahan lahan yang
memakan waktu hingga 2 tahun. Hal tersebut yang membuat pengoperasian kereta cepat tersebut mundur
dari 2019 menjadi 2020. Adapun nilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mencapai 5,9 miliar dollar
AS atau Rp 79,6 triliun (kurs 1 dollar AS = Rp 13.500).
DANI PRABOWO Kompas.com - 03/08/2018, 23:00 WIB Ilustrasi Reforma Agraria(Toto S/KOMPAS)
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah terus berupaya agar masyarakat dapat memiliki aspek legalitas
atas lahan yang dimiliki. Salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan perhutanan sosial. Direktur
Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian LHK Bambang Supriyanto
mengatakan, pemerintah telah memiliki instrumen hukum untuk mewujudkan hal tersebut melalui
Peraturan Menteri LHK Nomo P-39/2017. "Keinginan kita 1-2 hektar akses itu diberikan bagi masyarakat
di Jawa. Sementara di luar Jawa keinginan kita 4-5 hektar," kata Bambang dalam sebuah diskusi di
Jakarta, Jumat (3/8/2018). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan Juli 2018,
jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang 633.000 orang dibandingkan September 2017. Saat ini,
jumlah penduduk miskin berada pada angka 25,95 juta jiwa atau sekitar 9,82 persen. Meski berkurang,
Bambang mengatakan, indeks gini ratio di pedesaan masih berada di level 0,52. Itu artinya, ketimpangan
masih cukup terlihat jelas. "Kita tahu di Jawa itu (kepemilikan lahan itu) masih 0,1 hingga 0,2 (hektar).
Itu tidak cukup. Seharusnya itu satu bahu itu (sekitar) 0,7 (hektar). Baru mumpuni untuk usaha," cetus
Bambang. Sementara itu, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengatakan, berbagai
upaya dilakukan pemerintah untuk mewujudkan reforma agraria. Mulai dari pemberian sertifikat lahan
hingga memanfaatkan perhutanan sosial. Sejauh ini sudah lebih dari 6,4 juta sertifikat lahan yang
diberikan kepada masyarakat. Sementara, luas area lahan perhutanan sosial yang telah dimanfaatkan
mencapai 1,7 juta hektar. "Tetapi saya ingin bicara lebih dari sekadar angkanya. Di belakang angka itu
ada manusianya, ada orang yang kehidupannya berubah setelah mendapatkan akses terhadap lahan," ucap
Yanuar. "Kalau saya tidak salah lihat, misalnya dari 1,7 juta hektar kehutanan sosial, itu lebih dari
250.000 KK yang nasibnya berubah," tutup Yanuar.
Bandung Tuan Rumah Pertemuan Reforma Agraria Internasional
DANI PRABOWO Kompas.com - 03/08/2018, 22:30 WIB Ilustrasi reforma agraria(Kompas.com / Dani
Prabowo) JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia terpilih sebagai tuan rumah pertama di Asean dalam
penyelenggara Global Land Forum (GLF) 2018 yang diselenggarakan International Land Coalition (ILC)
dan organisasi masyarakat sipil. Rencananya, pertemuan tersebut diselenggarakan di Gedung Merdeka,
Bandung, Jawa Barat pada 22-27 September mendatang. Pertemuan ini merupakan yang kedelapan sejak
penyelenggaraannya pertama kali di Roma, Italia pada 2003 lalu. Setelah itu, pertemuan dilanjutkan di
Santa Cruz, Bolivia (2005), Entebbe, Uganda (2007), Kathmandu, Nepal (2009), Tirana, Albania (2011),
Antigua, Guatemala (2013), dan terakhir di Dakkar, Senegal (2015). Terpilihnya Indonesia sebagai tuan
rumah oleh Dewan Global ILC lantaran dinilai memiliki perkembangan yang cukup signifikan dalam hal
reforma agraria. Sejak 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperlihatkan sejumlah komitmen untuk
membangun desa dan pertanian dengan cara memperluas akses kepemilikan dan pengelolaan warga
negara kepada tanah dan hutan. Salah satunya yakni tertuang di dalam RPJMN, pemerintah menargetkan
redistribusi tanah seluas 9 juta hektar melalui agenda reforma agraria bagi petani. "Harapan kami, dari
masyarakat sipil dan pemerintah, GLF 2018 yang merupakan forum terbesar di dunia terkait pembicaraan
pertanahan terbaru, juga tentu saja tukar menukar gagasan paling akbar bisa menginspirasi adanya spirit
baru," tutur Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin di Jakarta, Jumat
(3/8/2018). Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho menambahkan, dipilihnya Bandung
sebagai lokasi penyelenggaraan tidak terlepas dari spirit kemerdekaan pada masa-masa awal kebebasan
dahulu. "Kali ini kami berharap Indonesia bisa menjadi inspirasi penataan kembali hak atas tanah," kata
dia. Yanuar menegaskan, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam melaksanakan program reforma
agraria. Dibutuhkan peran serta organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkannya. "Karena masalah
yang kita hadapi kompleksitasnya tinggi, sehingga tidak bisa diselesaikan pemerintah sendiri," imbuh dia.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, GLF dapat menjadi ajang positif
untuk saling bertukar pikiran antara organisasi masyarakat Tanah Air dengan organisasi masyarakat
internasional. Selama ini, masyarakat sipil selalu berupaya memperjuangkan hak asasi manusia kelompok
masyarakat kecil, seperti petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota, yang terkendala atas
persoalan tanah. "Kita tahu dalam reforma agraria persoalannya sangat kompleks, tapi kita percaya
dengan proses bersama, menyelenggarakan GLF, persahabatan, dialog bisa ditingkatkan, sehingga pasca
GLF ada kodnisi lebih baik bagi petani, nelayan, masyarakat adat yang hidupnya bergantung atas tanah,"
paparnya. GLF 2018 mengusung tema 'United for Land Rights, Peace and Justice' dengan tujuan
mempromosikan tata kelola pertanahan untuk mengatasi ketimpangan, kemiskinan, permasalahan konflik,
HAM dan pembangunan pedesaan.
Dengan Sertifikat Tanah, Masyarakat Tak Perlu Berutang ke
Rentenir
ERWIN HUTAPEA Kompas.com - 17/12/2018, 17:54 WIB Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil
saat memberi kuliah umum di kampus Universitas Indonesia, Depok, Senin (17/12/2018).
(KOMPAS.com/ERWIN HUTAPEA) JAKARTA, KOMPAS.com - Kesadaran dan peran aktif
masyarakat untuk mendaftarkan dan mengurus sertifikat tanah, sangat diharapkan karena berbagai
manfaat yang bisa didapatkan. Salah satunya yaitu mendorong inklusi keuangan. Maksudnya, apabila
tanah milik anggota masyarakat sudah bersertifikat, akan lebih mudah bagi dia untuk mengurus perihal
keuangan di bank atau lembaga keuangan lain. Sebagai contoh, menjadikan tanahnya sebagai jaminan
untuk mendapatkan pinjaman uang dari perbankan, bukan lagi dari rentenir dengan bunga yang tinggi.
Pinjaman itu biasanya digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya modal usaha, membangun atau
merenovasi rumah, dan biaya sekolah anak. "Banyak orang tidak punya akses ke perbankan karena aset
tanah mereka tidak bersertifikat atau idle. PTSL membuat akses ke lembaga formal seperti perbankan
akan lebih mudah. Orang tidak perlu pinjam ke rentenir," ucap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
BPN Sofyan A Djalil dalam kuliah umum bertajuk "Program Strategis Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat" di Balai Sidang Universitas
Indonesia, Depok, Senin (17/12/2018). Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN terus menyosialisasikan
dan menggiatkan program PTSL dengan target semua bidang tanah di seluruh Indonesia bisa terdaftar
maksimal tahun 2025. Manfaat lain dari program ini yaitu masyarakat akan memperoleh kepastian hukum
atas tanah miliknya yang sudah disertifikatkan. Selain itu, PTSL juga bisa menyelesaikan konflik
pertanahan. Sebab, jika tanah itu tidak jelas kepemilikan dan sertifikatnya, akan menimbulkan konflik
antar-sesama warga yang mengklaim tanah tersebut. "Hampir semua tanah berpotensi dikuasai orang lain
kalau tidak disertifikatkan," ujar Sofyan. Kemudian, manfaat berikutnya yakni sebagai bentuk tertib
administrasi. Sebab, pemerintah ingin agar setiap jengkal tanah di seluruh Indonesia jelas status
kepemilikannya. Menurut data Kementerian ATR/BPN, dari tahun 2015 sampai akhir November 2018,
ada 13.928.327 bidang tanah yang sudah terdaftar. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan untuk
mendaftarkan 7 juta bidang tanah. Selanjutnya, sebanyak 9 juta bidang tanah ditargetkan terdaftar pada
2019.
Ombudsman: Sengketa Tanah Aduan Paling Tinggi dalam Bidang
Pertanahan
DYLAN APRIALDO RACHMAN Kompas.com - 08/03/2018, 12:48 WIB Anggota Ombudsman Bidang
Agraria dan Pertanian Alamsyah Saragih (tengah) dan Direktur Jenderal Penyelesaian Masalah Agraria
Agus Wijayanto (kanan)(DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com) JAKARTA, KOMPAS.com
- Anggota Ombudsman Bidang Agraria dan Pertanian, Alamsyah Saragih menyebutkan, Iaporan
masyarakat terkait pertanahan masuk dalam kategori lima Iaporan masyarakat tertinggi. Aduan terkait
pertanahan mencapai 14 persen dari keseIuruhan Iaporan masyarakat yang diterima oIeh Ombudsman.
Adapun, 23 persen dari laporan pertanahan itu merupakan konflik atau sengketa tanah. "Laporan
pertanahan macam-macam tapi yang paling tinggi 23 persen itu kebanyakan adalah berkaitan dengan
sengketa atau konflik tanah," ujar Alamsyah usai melakukan penandatanganan kerjasama dengan Badan
Pertanahan Nasional di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (8/3/2018). Menurut dia, persoalan sengketa tanah
cukup rumit, dan tidak bisa diselesaikan secara sederhana. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan aduan
dan mekanisme penyelesaian sengketa yang terkoordinasi dengan baik di Badan Pertanahan Nasional dan
seluruh cabang kantor pertanahan dari pusat hingga daerah. Alamsyah menjelaskan bahwa salah satu poin
penting yang akan dilakukan dengan BPN adalah mengajukan kajian tentang aset negara. Ombudsman
melihat masih banyak sekali konflik tanah yang ada di Indonesia. "Ini karena belum jelasnya pendaftaran
proses tanah. Ada yang sudah dinyatakan aset TNI, ada juga yang perkebunan ada warga di dalamnya.
Nanti setelah ini akan masuk soal aset," kata dia. Sementara itu, Direktur Jenderal Penyelesaian Masalah
Agraria BPN Agus Wijayanto mengakui bahwa pengaduan masyarakat dalam pelayanan pertanahan
kerapkali dianggap kurang memuaskan. Menurut Agus, ada berbagai macam persoalan yang cukup
kompleks untuk diselesaikan. "Itu bisa masalah teknis, bisa masalah juga masalah yuridis. Masalah
yuridis kadang-kadang sudah jadi sengketa tadi, jadi yang paling tinggi itu," ujar dia. Selain itu, kata dia,
penyelesaian konflik tanah kerapkali tak bisa diselesaikan sendiri oleh BPN, karena kerasnya
pertentangan antar pihak yang berkonflik. Agus menilai keberadaan Ombudsman diharapkan bisa
melancarkan proses penyelesaian konflik tanah dengan baik. "Ombudsman itu pihak netral. Lewat
Ombudsman ini kita bisa lebih smooth dalam menyelesaikannya di luar proses pengadilan. Ini akhirnya
mungkin ada kesepatan penyelesaian," kata Agus.
Kompas.com - 23/11/2017, 07:27 WIB Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil (Arimbi Ramadhiani) JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus menggenjot target sertifikasi
lahan. Salah satu program reforma agraria ini diharapkan bisa tercapai mendekati target sertifikasi 5 juta
bidang lahan. Menteri ATR, Sofyan Djalil menyatakan hingga saat ini pihaknya telah merealisasikan
penerbitan sertifikat sejumlah 2,6 juta bidang lahan. Namun pihaknya mengklaim hampir mengukur 5 juta
bidang lahan. "Akhir tahun Insya Allah 4 juta sertifikat bisa dicapai. Kalau bisa sampai sejumlah itu
merupakan pencapaian luar biasa,"ujar Sofyan Djalil, Rabu (22/11). Tapi untuk tahun 2018, ia optimis
bisa menerbitkan sertifikasi sesuai target 7 juta bidang lahan. Untuk mencapai hal itu, pihaknya tengah
memperbaiki kinerja agar lebih transparan dan responsif. "Secara over all banyak yang kami selesaikan,
tapi pasti banyak lagi yang harus diselesaikan," kata dia. Berita ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan
judul BPN telah terbitkan sertifikasi 2,6 juta lahan
Daripada Telantar, Tanah 400.000 Hektar Bisa Dibangun Rumah
Rakyat
DANI PRABOWO Kompas.com - 14/11/2017, 16:30 WIB Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)
Sofyan Djalil ditemui di sela-sela Penyerahan Sertifikat Hak Atas Tanah di Jakarta, Minggu (20/8/2017).
(KOMPAS.com / Estu) JAKARTA, KompasProperti - Luas tanah telantar di Indonesia cukup besar.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat tak
kurang dari 400.000 hektar tanah yang dibirakan terbengkalai. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil
mengatakan, tanah itu ada yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangungan (HGB), Hak
Pakai dan Hak Pengelolaan (HP) yang telah habis masa berlakunya maupun yang tidak dimanfaatkan
sesuai peruntukkannya. Padahal, menurut dia, bila tanah itu dikembalikan fungsinya, maka dapat
dimanfaatkan untuk bermacam hal. Misalnya, dapat digunakan bagi pemerintah pusat atau pemerintah
daerah untuk membangun gedung perkantoran maupun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos).
"Sehingga bila ada instansi pemerintah yang membutuhkan, kalau tanah belum ada ya kita berikan dulu
kepada mereka," kata Sofyan di kantornya, Selasa (14/11/2017). Peruntukkan lainnya, sebut dia, untuk
membangun perumahan rakyat sekaligus mengurangi angka kebutuhan rumah. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) pada 2015 lalu, angka backlog masih mencapai 11,4 juta unit. Selain itu, tanah
telantar juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung sektor industri atau menunjang sejumlah Proyek
Strategis Nasional (PSN) yang kini tengah digagas pemerintah pusat. Pemerintah, kata Sofyan, berencana
mengembalikan fungsi tanah telantar itu untuk kepentingan masyarakat sebagai Tanah Cadangan Umum
Negara (TCUN). "Tanah terlantar itu begini, ada yang punya HGU misalnya, HGU enggak dimanfaatkan
dan terlantar atau sebagian dipakai oleh masyarakat karena tidak dimanfaatkan. Jadi itu kita cabut HGU
nya, yang dikuasai masyarakat kita bagikan ke masyarakat secara baik. Ditata ulang, dibikin jalannya dan
lain-lain, diberikan ke masyarakat," tutur dia. Dari jumlah tanah yang tak dimanfaatkan itu, 23.795,45
hektar di antaranya telah diterbitkan sertifikat TCUN untuk dimanfaatkan kemudian. Misalnya, 1.422,24
hektar digunakan untuk mendukung agenda Reforma Agraria, 732,03 hektar digunakan untuk mendukung
Program Strategis Nasiona (PSN) dan 212,13 hektar digunakan untuk cadangan negara lain. Sementara
itu, sebesar 21.429,05 hektar sisanya akan digunakan untuk mendukung program bank tanah.
NURSITA SARI Kompas.com - 10/11/2017, 15:32 WIB Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno
seusai memimpin upacara peringatan Hari Pahlawan di Lapangan IRTI, Monas, Jakarta Pusat, Jumat
(10/11/2017).(KOMPAS.com/NURSITA SARI) JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Gubernur DKI
Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, sebanyak 300.000 bidang tanah akan disertifikasi pada 2018 dan
2019. Sertifikasi tanah merupakan program Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan
Pertanahan Nasional (BPN). "(Sebanyak) 300.000 sertifikat yang akan dibagikan dan kami diminta untuk
menganggarkan. Jadi mulai 2018 itu sudah masuk, 2019 insya Allah selesai," kata Sandi di Balai Kota
DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (10/11/2017). Sandi menjelaskan, pemberian sertifikat
akan dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama pada 2018, sisanya pada 2019. Dengan demikian, semua
bidang lahan di Jakarta diharapkan sudah bersertifikat pada 2019. "Saya diminta Pak Sofyan Djalil
(Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN) menganggarkan. Tahun
depan 150.000 dan tahun depannya 150.000 (bidang lahan)," kata Sandi. Sofyan Djalil sebelumnya
mengatakan, pemerintah menargetkan seluruh tanah di DKI Jakarta bersertifikat pada 2018. Sertifikat
diperlukan untuk menghindari adanya konflik pertanahan. Menurut Sofyan, tanah di Jakarta yang
bersertifikat sudah mencapai 81 persen. "(Sisa 19 persen) kami rencanakan tahun depan. Kalaupun tidak
100 persen, mungkin 95 persen tahun depan beres. Saya yakin 2018-2019 semua bidang tanah di Jakarta
sudah bersertifikat," kata Sofyan 20 Agustus lalu.
ARIMBI RAMADHIANI Kompas.com - 05/01/2017, 14:54 WIB Sekjen KPA Dewi Kartika(Arimbi
Ramadhiani) JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2016, konflik agraria masih banyak ditemukan di
sejumlah daerah di Indonesia. Baik dari segi jumlah, luas maupun korban konflik agraria masih tinggi,
yaitu sebanyak 450 kasus. Konflik agraria yang terjadi di sebuah wilayah bisa saja tidak muncul menjadi
sebuah peristiwa konflik, namun secara laten masih ada dan statusnya belum diselesaikan. "Pada tahun
2015 ada 252 konflik agraria yang meningkat drastis 2 kali lipat menjadi 450 pada 2016. Artinya rata-rata
satu hari terjadi satu konflik," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Dewi Kartika saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (5/1/2017). Dalam catatan KPA, konflik ini berada di
luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.7 45 kepala keluarga (KK) yang tersebar di seluruh
provinsi di Indonesia. Peningkatan ini dapat diibaratkan masyarakat telah kehilangan sekitar sembilan
belas kali luas provinsi DKI Jakarta. "Penanganan konflik agraria di era Jokowi belum berubah dan masih
menggunakan cara represif," kata Dewi. Ia menambahkan, kalaupun ada upaya penanganan konflik,
biasanya hanya diarahkan ke kasus pidana. Contohnya pada kasus Salim Kancil. Menurut Dewi, kasusnya
tidak diselesaikan, karena pihak berwajib hanya menangkap pelaku konflik saja. Seharusnya, pihak
berwajib juga mengusut konflik tersebut dan menyelesaikannya. Sementara itu, perkebunan masih
menjadi sektor penyebab tertinggi konflik agraria dengan angka 163 konflik atau 36,22 persen. Disusul
sektor properti dengan jumlah 117 konflik atau 26 persen dan sektor infrastruktur dengan jumlah 100
konflik (22,22 persen). Kemudian, di sektor kehutanan sebanyak 25 konflik 5,56 persen, sektor tambang
21 konflik atau 4,67 persen, sektor pesisir dan kelautan dengan 10 konflik atau 2,22 persen, dan sektor
migas dan pertanian yang masing-masing menyumbang sebanyak 7 konflik atau 1,56 persen.
Urus Sertifikat Tanah Hanya Dua Bulan
ARIMBI RAMADHIANI Kompas.com - 13/04/2016, 12:59 WIB Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ferry Mursyidan Baldan menyerahkan sertifikat
hak milik ke warga Badega, Garut, Jawa Barat, Rabu (13/4/2016).(Arimbi Ramadhiani) JAKARTA,
KOMPAS.com - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
menyerahkan sertifikat hak milik (SHM) atas lahan seluas 383 hektar kepada petani Badega, Garut, Jawa
Barat, melalui program Reforma Agraria. Menurut Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan,
mengurus sertifikat ini sampai ke tangan petani, tidak lama. "Urus sertifikat tanah dalam Program
Reforma Agraria harus dalam dua bulan saja. Kalau lebih dari dua bulan, itu bukan Reforma Agraria,
karena tanah ini milik masyarakat," ujar Ferry saat memberi sambutan di acara Penyerahan Sertifikat Hak
Milik untuk Petani Badega, Garut, Jawa Barat, Rabu (13/4/2016). Ia mengatakan, program ini akan
bergulir terus antara lain hingga ke Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur,
Kepulauan Riau, dan Nusa tenggara Barat. Reforma agraria adalah kebijakan yang harus dilakukan
negara. Hal ini merupakan visi Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang menegaskan kemanfaatan tanah untuk
kemakmuran dan ketentraman masyarakat. Ferry menegaskan, masyarakat Jawa Barat tidak boleh dibuat
murung hanya karena pengurusan sertifikat lahan tiak sesuai dengan Program Agraria. Sebaliknya,
masyarakat harus dibuat tersenyum karena Tuhan saja menciptakan Tanah Pasundan seraya tersenyum.
"Jawa Barat, kalau dikatakan Tanah Pasundan yang diciptakan ketika Tuhan tersenyum, maka tidak boleh
masyarakatnya murung karena kehilangan hak atas tanahnya," jelas Ferry menirukan ujaran MAW
Brouwer. Dalam kesempatan tersebut, Ferry juga meminta maaf kepada warga yang sempat merasakan
hal-hal kurang berkenan saat memperjuangkan tanahnya. Tanah di Badega, sebenarnya sudah lama
digarap oleh para petani bahkan lebih dari 30 tahun. Hal ini, menurut Ferry, tidak boleh terulang kembali
di masa yang akan datang, saat masyarakat harus bersusah payah mendapatkan hak tanahnya. "Pemegang
Hak Guna Usaha (HGU) itu menyewa tanah. Dia tidak bisa mengatur negara. Bukan tidak boleh untung,
tapi tidak boleh berlebihan yang mnimbulkan kerugian masyarakat," tandas Ferry.
Sertifikat Tanah yang Tidak Sesuai Peruntukan Bisa Dibatalkan
HILDA B ALEXANDER Kompas.com - 06/12/2014, 11:26 WIB Sengketa Tanah, Warga Rawamangun
Protes di depan Mapolres Jakarta Timur (13/9/2014). JAKARTA, KOMPAS.com - Penguasaan lahan dan
ruang ribuan hektar oleh hanya segelintir pemilik modal, berpotensi menimbulkan konflik baru. Di sisi
lain, sejak 2010, terdapat 25 kasus skala besar antarsektor yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan
ruang, belum diselesaikan. Di antara 25 kasus konflik besar tersebut, adalah reklamasi Teluk Benoa, Bali,
rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Palangkaraya karena berada di kawasan hutan lindung, rencana
reklamasi waterfront city di Banten, pengembangan pabrik tekstil dan konflik kehutanan yang melibatkan
perusahaan minyak dan gas di provinsi Riau. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah harus segera
mengadendakan reformasi pertanahan (land reform). Reformasi pertanahan ini menyangkut pendataan
dan manajemen tanah menuju rejim statutory system yang mumpuni. Reformasi pertanahan juga harus
disertai dengan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan sebagai panglima pemanfaatannya. Ketua
Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, mengemukakan pendapatnya
terkait penguasaan lahan oleh para investor dan pemilik modal dalam hubungannya dengan potensi
konflik tanah dan ruang kepada Kompas.com, Jumat (5/12/2014). "Reformasi pertanahan harus segera
dilakukan. Dengan demikian redistribusi ruang dan tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara
demi pemerataan kemakmuran," ujar Bernardus. Dia menuturkan, bukan sembarang reformasi
pernatahan, melainkan Pemerintah juga harus menargetkan bahwa reformasi pertanahan akan menjamin
ketersediaan lahan yang cukup untuk kemandirian ekonomi, ketahanan pangan dan keamanan negara.
Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah dalam penyusunan target serta struktur organisasi
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN). Menteri harus dilengkapi
struktur kedirjenan yang mengekspresikan kebutuhan tersebut. "Bidang yang harus dipimpin Eselon 1
antara lain Perencanaan Tata Ruang dan Tanah, Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang, Reformasi dan
Pendataan Tanah, Penguasaan dan Penanganan Konflik Ruang, serta Manajemen Ruang Strategis dan
Perkotaan," ujar Bernardus. Selain itu, bidang Tata Ruang dan Pertanahan harus didukung oleh
lingkungan profesi yang kuat di bidang Perencanaan Ruang dan bidang Penilaian Tanah. "Untuk itu
Kementerian ATR-BPN harus memandatkan semua profesi (perencana dan penilai) memiliki sertifikat
profesi dari masing-masing asosiasi seperti Ikatan Ali Perencana Indonesia (IAP) dan Masyarakat Profesi
Penilai Indonesia (Mappi)," tandas Bernardus. Dengan demikian, tambah dia, proses reformasi agraria
dapat terkawal dengan baik melalui profesi yang membawahinya.
ARIMBI RAMADHIANI Kompas.com - 20/11/2014, 07:00 WIB Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry
Mursyidan Baldan, didampingi Ketua DPP REI, Eddy Hussy, pada Rakernas REI di Hotel Borobudur,
Jakarta, Rabu (19/11/2014). Ferry menekankan, pihak asing tak boleh memiliki lahan di Indonesia. Orang
asing juga tak boleh memiliki lahan atau pulau di perbatasan.(Arimbi Ramadhiani/KOMPAS.com)
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, menekankan
bahwa pihak asing tak boleh memiliki lahan di Indonesia. Orang asing juga tak boleh memiliki lahan atau
pulau di perbatasan. "Saya akan meninjau dan memastikan penguatan hak atas tanahnya," ujar Ferry pada
Rakernas REI di Jakarta, Rabu (19/11/2014). Ferry mengatakan, pemerintah akan bekerja sama dengan
badan geospasial. Upaya tersebut dilakukan untuk memetakan pulau-pulau yang menjadi batas teritorial
Indonesia. Setelah jelas, pulau-pulau tersebut akan disertifikasi agar tidak serta-merta diklaim oleh negara
tetangga. "Target sertifikasi tidak akan lebih dari setahun. Perlu duduk bersama dengan pihak terkait. Kita
sedang pelajari," jelas Ferry. Namun, lanjut Ferry, meski tidak boleh memiliki lahan, pihak asing
dipersilakan untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Para pemilik usaha yang berasal dari asing itu
nantinya hanya berstatus pengelola lahan, bukan sebagai pemilik. Selain itu, Ferry juga memastikan
keamanan mereka tidak akan terganggu selama menjalankan usaha di Indonesia. "Kalau ada kemudahan
dan fasilitas bagi kelompok usaha asing, itu wajib. Hanya saja, tanah harus dimiliki WNI," kata Ferry.
Rencananya, dua wilayah pertama akan ditinjau adalah Bali dan Lombok. Kedua wilayah tersebut
merupakan wilayah paling banyak terdapat resto dan properti tetap. "Kita akan pastikan kalau hak
tanahnya milik WNI. Asas kewarganegaraan adalah kesetiaan terhadap teritori. Itu aspek yang penting
untuk konstitusi," jelas Ferry.
ARIMBI RAMADHIANI Kompas.com - 17/09/2014, 13:12 WIB Alat berat meratakan areal persawahan
di Tangerang, Banten, Jumat (22/2/2013). Pengembangan kawasan industri dan perumahan berpengaruh
terhadap pengurangan lahan pangan dan kondisi masyarakat.(KOMPAS/AGUS SUSANTO ) JAKARTA,
KOMPAS.com - Tanah merupakan inti utama dalam setiap urusan pertanian. Betapa pentingnya tanah
terlihat dari maraknya ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan atas tanah. Oleh karena itu,
anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan, menganggap bahwa pengadaan
Kementerian Koordinator Agraria penting untuk dipertimbangkan. "Siapa Menko Agraria itu? Bicara
konsep agraria, tanah adalah pondasinya, dasarnya," ujar Usep dalam "Workshop Wartawan di Bidang
Pertanahan BPN RI", di Hotel Amoz Cozy, Jakarta Selatan, (16/9/2014). Menurut dia, filosofi tanah
menjadi perekat NKRI dan dicerminkan dalam kelembagaan yang vertikal seperti Badan Pertanahan
Nasional RI. Karena itulah, BPN RI menjadi tiang atau pilar utamanya, yang kemudian bisa
dipertimbangkan menjadi Kemenko Agraria. Kemenko ini akan membawahi sektor lainnya terkait dengan
tanah, antara lain pertanian dan kehutanan. "Ini opsi. Di rumah transisi yang saya ikuti, presiden terpilih
dan wakil presiden terpilih (Joko Widodo-Jusuf Kalla) diberi opsi, kalau mau (membentuk) Menko
Agraria, ini konsepnya, ini prasyaratnya, ini konsekuensinya. Begitu pula jika jadi Kementerian Agraria,"
papar Usep. Dia menuturkan, untuk saat ini pembahasan tersebut masih digodok. Sebelumnya, menurut
Usep, Jokowi menyebutkan akan membentuk 3 kementerian baru, termasuk Kementerian Agraria.
Hasilnya, baru akan diketahui pada tanggal 20 oktober. Namun demikian, apa pun yang diputuskan oleh
Jokowi-JK, Usep berharap komitmen sebagai presiden dan wakil presiden baru harus tercermin dalam
penguatan kelembagaan BPN ini. "Tanpa itu, kita akan berputar pada masalah yang sama. Terbatasnya
kewenangan, tidak adanya lembaga yang punya tugas khusus untuk menjalankan reforma agraria, tarik
menarik antar kementerian. Itu membuat program tidak bisa berjalan," kata Usep. Dia juga
mengharapkan, pemerintahan mendatang akan dilandasi oleh kerja sama tim yang baik, misalnya antara
menteri agraria dan menteri kehutanan. Kedua kementerian ini harus tahu betul apa itu reforma agraria
dan punya kemampuan menjalankan tugas bersama. Selain itu, diperlukan juga kemauan anggota kabinet
untuk terbiasa turun ke masyarakat melihat kenyataan sosial di lapangan dan dekat dengan media, untuk
memastikan program pemerintah bisa berjalan.
KESIMPULAN