Anda di halaman 1dari 16

MAQAMAT DAN AHWAL (HAL)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Pada Mata Kuliah Sejarah Tasawuf dan
Tarekat
Dosen Pengampu: Dr. Asep Achmad Hidayat, M. Ag
Dr. Ajid Hakim, M. Ag

Disusun oleh:

Hesti Zahrotunnisa (1155010049)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Sejarah Tasawuf dan Tarekat
dengan judul ”Maqamat dan Ahwal (Hal)”.

Adapun makalah Sejarah Tasawuf dan Tarekat ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar
proses pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Didalamnya kami uraikan mengenai pengertian maqamat dan ahwal, macam-macam


tangga maqamat, dan pengertian ahwal atau hal.

Penyusun mengharapkan semoga dari makalah Sejarah Tasawuf dan Tarekat yang
berjudul “Maqamat dan Ahwal (Hal)” ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat
memberikan pengetahuan yang lebih, dijadikan uswah dan juga memberikan inspirasi
terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari para pembaca kami tunggu untuk
perbaikan makalah ini nantinya.

Bandung, 17 Desember 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3

2.1 Maqamat.....................................................................................................................3
2.2 Ahwal.........................................................................................................................8

BAB III PENUTUP............................................................................................................12

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................12
3.2 Saran.........................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan manusia hidup di muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada
Allah SWT. Dalam jiwa manusia terdapat fitrah yang akan mengarahkan manusia kepada hal-
hal yang positif.

Dalam diri setiap manusia terkandung dua dimensi yang berbeda, yaitu jasmani yang lahir
dalam keadaan fitrah. Fitrah disini bukan sekedar bersih dari noda, namun lengkap dengan
potensi kodrati yang bersifat spiritual. Dengan potensi inilah manusia diberi kepercayaan
untuk menjadi kholifah fil ardhi serta memerankan fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi.

Jika manusia didalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan, keluhuran ataupun
kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu bagaimana potensi tersebut dapat
dikembangkan dan diaktualisasikan ? banyak teori yang berbicara mengenai hal ini yang salah
satunya adalah tasawuf.

Sebagaimana yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang menjalani
hidupnya penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa maqam dan dikaruniai
berbagai hal sehingga menjadikan hidupnya penuh dengan kebahagiaan baik didunia maupun
di akhirat. Mereka merasa sangat dekat dengan tuhan-Nya.

Oleh karena itu, perlu kiranya bagi kita untuk mempelajari tasawuf beserta maqamat
dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mencapai kedudukan yang
sangat mulia dimata tuhan-Nya.

1.2 Rumusan Masalah


- Apa yang dimaksud dengan Maqamat dan macam-macam maqamat?
- Apa yang dimaksud dengan ahwal (hal)?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian maqamat dan macam-macam maqamat.
- Untuk mnegetahui pengertian ahwal (hal)

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Maqamat

Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti tempat atau kedudukan.
Istilah ini sering digunakan oleh para sufi. Dalam Sufi terminology : The Mystical Language
Of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual 1. Menurut al -Qusyairi yang
dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi
pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari
segala kewajiban.2 Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian, bahwa maqamat adalah
Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah,
kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan -latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh
jiwa dan raga semata -mata untuk berbakti kepada-Nya.

Mengenai berapa jumlah tangga atau maqamat, para ulama sufi memilki perbedaan
pendapat. M enurut al-Qusyairi, ada 7 (tujuh) maqam, yang jenjangnya adalah: Taubat,
Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar, dan terakhir Ridha. 3 Sementara Muhammad Al-Kalazaby
mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu taubat, zuhud, sabar, fakir,
tawadlu, taqwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan makrifat.4 Al-Thusi memiliki format lain,
yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Shabar, Tawakkal dan Ridha. Sedangkan al-Ghazali
memiliki urutan berikut: Taubat, Shabar, Syukur, Raja’, Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq,
Unas, Ridha.5

Namun dari perbedaan pendapat diatas ada maqamat yang mereka sepakati yaitu
taubat, Zuhud, wara, fakir, sabar, tawakal, dan ridha. Sedangkan tawadlu, mahabbah, dan
makrifat oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.

1
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet.
Pertama hal. 25
2
M. Jamil. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Cairo: Dar
al-Khair, t.t.), 35.
3
Al-Qusyairi. Risalah Al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, hal 49
4
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000) hal 194
5
Ibid, hal 194
3
1) Taubat

Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh seorang Sufi ialah maqam
taubah yang berasal dari bahasa Arab yaitu taba – yatubu – taubatan yang artinya kembali.
Sedang taubat yang dimaksud oleh kalangan Sufi adalah memohon ampun atas segala dosa
dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut yang
disertai melakukan amal kebajikan. Harun Nasution mengatakan, taubat yang dimaksud sufi
ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak membawa kepada dosa lagi. Tabuat yang
sebenarnya dalam paham sufisme adalah melupakan segala hal kecuali Tuhan. Orang yang
taubat adalah orang yang cinta kepada Allah dan senantiasa mengadakan kontemplasi tentang
Allah.6

Mustafa Zahri menyebutkan taubat bersamaan dengan istighfar (memohon ampun).


Bagi orang yang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa atubu ilaihi
sebagnyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang yang khawas bertaubat dengan
melakukan riadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir)
yang membatasi diri dengan Tuhan.7

Dalam Al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia


untuk bertaubat. Diantaranya:

٣١ َ‫ َوتُوب ُٓو ْا إِلَى ٱهَّلل ِ َج ِميعًا أَيُّهَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِحُون‬....

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu
beruntung (Q. S An-Nur (24): 31)

َ ُ‫ذن‬mُّ m‫ ُر ٱل‬mِ‫ ُذنُوبِ ِهمۡ َو َمن يَ ۡغف‬mِ‫ُوا ل‬


‫وب إِاَّل‬ ْ ‫ت َۡغفَر‬m‫ٱس‬ ْ ‫وا ٰفَ ِح َشةً أَ ۡو ظَلَ ُم ٓو ْا أَنفُ َسهُمۡ َذ َكر‬
ۡ َ‫ُوا ٱهَّلل َ ف‬ ْ ُ‫َوٱلَّ ِذينَ إِ َذا فَ َعل‬
١٣٥ َ‫وا َوهُمۡ يَ ۡعلَ ُمون‬ ْ ُ‫وا َعلَ ٰى َما فَ َعل‬ْ ُّ‫ُصر‬ ِ ‫ٱهَّلل ُ َولَمۡ ي‬

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Q. S
Ali-Imran:135)

2) Wara

6
Ibid, hal 197-198
7
Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) hal 105-106
4
Secara harfiah wara artinya sholeh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Secara
harfiyah Al-Wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam tradisi Sufi yang
dimaksud dengan wara' adalah meninggalkan sesuatu yang belum jelas hukumnya (subahat),
hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas manusia baik yang berupa benda maupun
perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri,
bersantai, bekerja dan lain-lain.8

Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya
yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakainya.
Maka mereka sangat hati-hati akan hal ini sebab para sufi senantiasa mengharapkan nur ilahi
yang dipancarkan lewat hati yang bersih.

3) Zuhud

Secara harfiah zuhud berarti tidak menginginkan hal yang bersifat keduniaan.
Menurut Harun Nasution zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Dalam pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya adalah sumber segala kemaksiatan dan
kemungkaran yang dapat menjauhkan diri dari tuhan. Karena hasrat, keinginan dan nafsu
seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai
tujuan hidupnya, sehingga memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh
Hasyim Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan dan
kosongnya hati dari pencarian.

Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat
yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sementara. Allah
berfirman:

٣٨ ‫ فَ َما َم ٰتَ ُع ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا فِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة إِاَّل قَلِي ٌل‬.....

Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah
sedikit (Q.S Al-Taubah: 38)

ۡ ُ‫َوٱأۡل ٓ ِخ َرة‬
١٧ ‫ر َوأَ ۡبقَ ٰ ٓى‬ٞ ‫خَي‬

Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (Q.S Al-A’la:17)

8
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet.
Pertama hal. 31
5
Orang memiliki pandangan yang demikian tidak akan mengorbankan kebahagiaan
hidupnya di akhirat hanya untuk mengejar duniawi saja. Sikap zuhud adalah sikap yang harus
ditempuh oleh seorang sufi.

4) Fakir

Secara harfiah fakir diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Sedang menurut pandangan Sufi faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada
diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban –
kewajiban. Tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak
meminta tetapi tidak menolak.9

Sikap fakir ini penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah SWT karena
kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat kepada kejahatan dan
sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.10

5) Sabar

Sabar berarti tabah hati. sabar jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu
dan amarah, dinamakan Aal-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).11

Dalam tradisi sufi, sabar merupakan salah satu maqam yang harus ditempuh dalam
perjalanan menuju Allah SWT, yang sering diterjemahkan sebagai ketabahan dan ketekunan.
Kesabaran adalah pembuka jalan keluar dari suatu masalah. Bersabar diri merupakan sifat dari
orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi dan kecerdasan emosional yang
bening. 12

٢٠٠ َ‫وا ٱهَّلل َ لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِحُون‬


ْ ُ‫وا َوٱتَّق‬
ْ ُ‫ُوا َو َرابِط‬
ْ ‫صابِر‬ ْ ‫ٱصبِر‬
َ ‫ُوا َو‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ۡ ‫وا‬

Wahai orang-orang yang beriman, berlaku sabarlah dan perkuat kesabaran diantara sesama
kalian, dan bersiapsiagalah kalian serta bertaqwalah kepada Allah supaya kalian
memperoleh keberuntungan (Q.S Ali-Imran: 200)

9
Ibid, hal 200
10
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 200
11
Ibid, hal 201
12
Asep Achmad Hidayat. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman an kemuliaan hidup
(Bandung: Penerbit MARJA, 2009) hal 138-144
6
6) Tawakal

Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya


kepada Allah SWT. Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri.13

Inti dari tawakal adalah sikap mempercayakan diri dan seluruh jalannya, serta semua
aktivitasnya hanya kepada Allah SWT, dalam kepercayaan jiwa yang sempurna dan tanpa
syarat. Kedudukan tawakal dalam dunia tasawuf adalah menampakan dirinya sebagai
berkaitan erat dengan Al-Ahwal (keadaan) yang merupakan perwujudan dari karunia Allah
SWT.14

Al-Qusyairi mengatakn bahwa tawakal tempat-tempatnya didalam hati, dan


timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadi setelah hamba-Nya meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mererka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu
sebenarnya takdir Allah.15

Allah SWT berfirman:

ٓ ُ‫ َو َمن يَت ََو َّك ۡل َعلَى ٱهَّلل ِ فَهُ َو َح ۡسبُه‬.....


٣ .....

Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluannya) (Q.S Ath-Thalaq: 3)

Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa intisari atau
sumsum dari orang yang bertauhid adalah orang yang dekat kepada Allah dengan suatu
pancaran batin dari cahaya Tuhan., bahwa semua benda, bagaimanapun banyak dan jenisnya,
berasal dari satu sumber. Dengan demikian, orang yang bertawakal adalah orang yang selalu
mengaitkan dan menggantungkan hatinya kepada Allah untuk setiap usaha dan pekerjaannya.
Abu Ali ar-Rudzbari berpendapat, ada tiga tanda yang bertawakal kepada Allah SWT, yaitu
tidak meminta, tidak menolak sesuatu (pemberian), dan tidak pula menahan sesuatu (yang
akan diberikan)

7) Ridha

13
Abuddin Nata. Op Cit, hal 174
14
Op. Cit, hal 147
15
Op. Cit,hal 202
7
Ridha berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah
SWT. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan
qadar Allah malah menerima dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati
sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal
didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat.16

Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan
Allah SWT dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Menurut Abdul Halim
Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah
SWT dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apapun yang disukai Allah SWT. 17

2.2 Ahwal (Hal)

Ahwal adalah jama' dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara
terminologi ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati
sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa
usaha ataupun perjalanan tertentu. Karena hal datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak
disengaja, maka Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat adalah upaya
(makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib) yang diberikan Allah sehingga hal datang
tidak ditentukan oleh waktu tertentu. 18

Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan diatas,


seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental
tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur yang
sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang terdapat dalam maqam), mujahadah
(berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau
bersemedi), uzlah (mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada
Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan dzikir).

16
Abuddin Nata. Op. Cit, hal 203
17
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 201
18
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet.
Pertama hal. 27
8
Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas
diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut
(khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thumaninah), penyaksian
(musyahadah), dan yakin.

1) Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)

Waspada dan mawas diri merupakan hal yang saling berkaitan erat, keduanya
merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaaan jasmani yang
berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.

Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala pikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan
rtunduk kepada Allah SWT. Adapun mawas diri adalah meneliti dengn cermat apakah segala
perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.19

2) Cinta (Hubb)

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, uhibbu, mahabatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Selain itu al-
mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spritual. Kata mahabbah
selanjutnya digunakan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini
mahabbah objeknya lebih ditujukan kepada Tuhan. 20

Dalam pandangan tasawuf, mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan


hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah
pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi
menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk
memerhatikan keindahan atau kecantikan.21

3) Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)

Raja’ berarti berharap atau optimisme, adalah perasaan hati yang senang karena
menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja tela ditegaskan dalam Al-Quran:

19
Op. Cit, hal 203
20
Abuddin. Nata. Op. Cit, hal 208
21
Op. Cit, hal 203
9
ٓ
َ mِ‫بِي ِل ٱهَّلل ِ أُوْ ٰلَئ‬m‫وا فِي َس‬
ٞ ُ‫ونَ َر ۡح َمتَ ٱهَّلل ۚ ِ َوٱهَّلل ُ َغف‬mُ‫ك يَ ۡرج‬
‫ور‬m ْ ‫ ُد‬mَ‫ُوا َو ٰ َجه‬
ْ ‫وا َوٱلَّ ِذينَ هَا َجر‬
ْ ُ‫إِ َّن ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
٢١٨ ‫يم‬ٞ ‫َّح‬
ِ ‫ر‬

sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha
Pengampun Maha Penyayang (Q.S Al-Baqarah: 218)

Raja menuntut tiga perkara:

a. Cinta pada apa yang diharapkannya.


b. Takut harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.

Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap
untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Khauf adalah kesakitan
hati karena membayabgkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri pada masa yang
akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk
senantiasa berada dalam ketaatan.22

4) Rindu (Syauq)

Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yang rindu ingin segera bertemu
dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhsn, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan.,
sebab hidup emrintangi pertemuan ‘abid dengan ma’bud-nya.23

5) Intim (Uns)

Dalam pandangan kaum sufi, sifat Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak
pernah merasa sepi. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.24

22
Ibid, hal 204
23
Ibid, hal 205
24
Ibid, hal 206
10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
- Maqamat adalah jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah SWT. Maqamat berupa tangga yang harus ditempuh.
- Para sufi berbeda pendapat mengenai jumlah maqamat. Namun yang disepakati ada
tujuh, yaitu Taubat, Wara, Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal, dan Ridha.

11
- Sedangkan Ahwal adalah karunia yang diberikan Allah kepada kita.
- Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas
diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb),
takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thumaninah),
penyaksian (musyahadah), dan yakin.

3.2 Saran

Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-kadang


manusia berbuat yang tidak masuk akal. Oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu mengenai
dirinya sendiri.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih
banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja
maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan berbagai
kekurangan yang ada ini tidak mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari mempelajari Sejarah
Tasawuf dan Tarekat “Maqamat dan Ahwal (Hal)”.

12
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (cet. Pertama).
Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Nata, Abuddin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mustafa Zahri. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu

Jamil, Muhammad. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-


Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Cairo: Dar al-Khair, t.t.)

Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia

Asep Achmad Hidayat. 2009. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk
Kretentraman an kemuliaan hidup. Bandung: Penerbit MARJA

13

Anda mungkin juga menyukai