B. Anatomi Fisiologi
Rata-rata otak manusia dewasa terdiri dari 2% berat badan tubuh,
dengan kisaran 1,2-1,4 kg. Otak merupakan organ yang sangat vital, dan
sangat penting untuk kehidupan dan fungsi tubuh kita. Oleh karena itu, otak
mengkonsumsi jumlah besar dari volume darah yang beredar. Seperenam
dari semua keluaran jantung melewati otak dalam satu waktu, dan sekitar
seperlima dari seluruh oksigen tubuh digunakan oleh otak ketika sedang
beristirahat.
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria
dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis
dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri.
Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah
lebih kecil yang disebut lobus [ CITATION Moo07 \l 1033 ].
Gambar 2.1 Bagian-Bagian Otak Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2004. Dalam Yuvinitasari, 2016)
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
C. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale
( GCS ) nya, yaitu :
1. Ringan
a. GCS = 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS = 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS = 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
[ CITATION Nua15 \l 1033 ].
Menurut, [ CITATION Bru01 \l 1033 ] cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga
dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan
otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak.
Menurut [ CITATION Nua15 \l 1033 ] ada beberapa kondisi cedera kepala yang
dapat terjadi yaitu :
1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi haya kehilangan fungsi otak
(pingsan < 10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit)
atau terdapat lesi neurologic yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi dilobus frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat juga terjadi pada sebagian dari otak. Kontusio serebri dalam waktu
beberapa jam atau hari , dapat berubah menjadi perdarahan intraserebral
yag membutuhkan tindakan operasi.
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka
pada cranium.
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya
adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunana
kesadaran dengan ketidaksamman neutrologis sisi kri dan kanan
(Hemiparese/plegi, pupil anishokor, reflex patologis satu sisi). Gambaran
CT Scan area hiperdens dengan bentuk biokonvek atau lentikuler diantara
2 sutura. Jika perdarahan > 20 cc atau < 1 cm midline shift > 5 mm
dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.
5. Subdural Hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter denga sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging Vein , a/v cortical, sinus venous. Subdural hematom
adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat
terjadi akut atau kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam-2
hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala,
bingung, mengatuk, berfikir lambat, kejang dan udem pupil, dan secara
klinis ditandai dengan penuruna kesadaran, disertai adanya laserasi yang
paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan
didapatkan gambar hiperdens yang berupa bulan sabit (Cresent). Indikasi
operasi jika perdaraha tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah
> 5 mm.
6. Subarachnoid Hematom (SAH)
Merupakan perdarahan fokal di dareah subarachnoid gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi
hiperdens yang mengikuti area gyrus-gyrus serebri didaerah yang
berdekatan dengan hematom. Haya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif.
7. Intracerebral Hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadai pada jaringan
otak biasaya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan ota.
Pada pemeriksaan CT Scan didapatka lesi perdarahan diantara neuron
otak yang relative normal. Indikasi dilakukan operasi adanya daerah
hiperdens, diameter > 3cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah.
8. Fraktur basii crania
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid, ethmoid. Terbagi menjadi basis cranii anterior dan
posterior. Pada fraktur anterior melibatakan tulang ethmoid dan sphenoid,
sedangkan pada fraktur posterior melibatka tulang temporal, oksipital,
dan beberapa bagian tulang sphenoid, tanda terdapat fraktur basis crania
antara lain :
a. Ekimosisi periorbital (Rocoon’s eyes)
b. Ekimosis mastoid (Battle’Sign)
c. Keluar darah beserta cairan cerebrospinal dari hidung atau telinga
(Rinore atau Otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial.
[ CITATION Nua15 \l 1033 ]
D. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau
tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan
trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari
proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik sebagai a`kibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005).
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Cat :
untuk me ngetahui adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24-72
jam setelah injury.
2. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang.
6. BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan TIK
10. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan TIK
11. Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan
dengan cara :
a. Obliteri sisterna : Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher,
lakukan foto tulang belakang servikal kolar servikal baru dilepas
setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal c1-c7 normal.
b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan
prosedur berikut : pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl
0,9 %)/ larutan ringer rl dan larutan ini tidak menambah edema
cerebri.
c. Lakukan CT Scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan
berat harus dievaluasi adanya:Hematoma epidural, Darah dalam
subraknoid dan infra ventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan
otak, Edema serebri,
d. Elevasi kepala 30o
e. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik
intermitten dengan kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal
10-12 ml/kg
f. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
g. Pasang kateter foley
h. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi
H. Komplikasi
[ CITATION Ros07 \l 1033 ] mengatakan kemunduran pada kondisi klien
diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif
dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga.
5. Infeksi
II.Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi
menjadi 2 yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi
yaitu identitas yang melekat pada pribadi pasien ( termasuk ciri-
cirinya) misalnya Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat,
Status Perkawinan dan lain-lain termasuk.Sedangkan identitas sosial
meliputi identitas yang menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan
budaya pasien misalnya, agama, pendidikan,pekerjaan,identitas orang
tua,identitas penanggung jawab pembayaran dan lain-lain.
2. Pengkajian Primer (Primary Survey)
a. Airway (Jalan napas) dengan control cervical
- Kaji ada tidaknya sumbatan jalan napas
Sumbatan jalan napas total :
Pasien sadar : memegang leher, gelisah, sianosis
Pasien tidak sadar : tidak terdengar suara napas,
mendengkur
Sumbatan jalan napas parsial :
Tampak kesulitan bernapas
Retraksi supra sterna
Masih terdengar suara sursling, snoring, atau stridor
- Distress pernapasan
- Kemungkinan fraktur cervical
b. Breathing ( Pernapasan)
- Kaji frekuensi napas
- Suara napas
- Adanya udara keluar dari jalan napas
Cara pengkajian : look (lihat pergerakan dada, kedalaman,
simetris atau tidak), listen (suara napas dengan atau tanpa
stetoskop), feel (rasakan hembusan napas, atau dengan perkusi
dan palpasi)
c. Circulation (Sirkulasi)
- ada tidaknya denyut nadi karotis
- Ada tidaknya tanda-tanda syok
- Ada tidaknya perdarahan eksternal
d. Disability (Tingkat Kesadaran)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya.
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya).
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS
(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Tabel 2.1 Tingkat Kesadaran Glasglow Coma Scale
C. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi
Fisiologi :
Asma
Disfungsi
neuromuscular
Infeksi
Jalan napas alergik
D. Implementasi Keperawatan
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu
klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang
lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon,
1994, dalam Potter & Perry, 1997).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
1. Masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan
dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2. Masalah sebagian teratasi;jika klien menunjukkan perubahan sebahagian
dari kriteria hasil yang telah ditetapkan.
3. Masalah tidak teratasi; jika klien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang
telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/ diagnosa keperawatan
baru.
Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi
adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria
hasil yang telah ditetapkan.
S : Subjective adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien
setelah tindakan diberikan.
O : Objective adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan
dilakukan.
A : Analisis adalah membandingkan antara informasi subjective dan
objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan
bahwa masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak teratasi.
P : Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa.