Kelompok 5 :
Nurfauziah Maulidah (451809
Resky Putri Pamawang (4518091125)
Judith Cahyani Blake (4518091048)
A. Yopita Pakiling (4516091029)
Muhammad Risal (451809
Kata pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat dan karuniaNya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Skala Intelegensi” dengan baik, penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Psikodiagnostik 1.
Pada kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Syahrul Alim, S.Psi., M.A selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikodiagnostik
serta teman-teman yang turut membantu dan memberikan masukan dalam penyelesaian makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.
Demikian pula penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangat kami perlukan demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian intelegensi
2. Untuk memahami faktor-faktor mempengaruhi intelegensi
3. Untuk memahami jenis-jenis resensi intelegensi
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Intelegensi
Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan pengertian Intelegensi ini :
1. Francis Galton, Galton tidak menemukan secara jelas mengenai definisi intelegensi. Namun, ia
percaya bahwa orang yang memiliki intelegensi tinggi adalah orang yang memiliki kemampuan
untuk bekerja dan peka terhadap stimulus fisik. Paham Galton ini merupkan pendekatan yang
berciri psikofisik.
2. Alfred Binet dan Theodore Simon, menurut keduanya, intelegensi terdiri dari tiga komponen,
yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan mengubah arah
tindakan bila telah dilaksanakan dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri (autocriticism).
3. Lewis Madison Terman, mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk
berpikir secara abstrak.
5. V.A.C Henmon, menyatakan bahwa intelegensi terdiri dari dua faktor, yaitu kemampuan
memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh.
Dari berbagai uraian di atas secara garis besar dapat ditarik kesimpulan mengenai
pengertian intelegensi, yaitu suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional, sehingga intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan
dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional tersebut.
Dari berbagai perbedaan sudut pandang mengenai definisi intelegensi tersebut, terdapat dua tema
yang selalu muncul dalam definisi tersebut, para ahli sepakat menyatakan bahwa intelegensi
merupakan kapasitas untuk belajar dari pengalaman dan kapasitas seseorang untuk beradaptasi
dengan lingkungan.
Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat antara para ahli. Variasi
dalam pendapat nampak bila pandangan ahli yang satu dibanding dengan pendapat ahli yang
lain. Pendapat-pendapat itu antara lain :
Penelitian L.L. Thurstone & T.G. Thurstone selanjutnya menunjukkan bahwa keenam
faktor tersebut tidaklah terpisah secara eksklusif dan tidak pula independen satu sama lain. Oleh
karena itu, kesimpulan mereka, terdapat suatu faktor umum lain yang lebih rendah tingkatannya
berupa suatu faktor-g tingkat dua. Faktor-g tingkat dua inilah yang menjadi dasar bagi semua
faktor-faktor lain.
f. C. Halstead
Teori inteligensi Halstead (1961) merupakan teori yang menggunakan pendekatan
neurobiologis. Menurut Halstead, terdapat sejumlah fungsi otak yang berkaitan dengan
inteligensi dan relatif bebas dari aspek-aspek kebudayaan. Fungsi otak ini memiliki dasar
biologis dan berlaku bagi fungsi setiap otak individu. Selanjutnya, Halstead mengemukakan
adanya empat faktor inteligensi yang diringkas sebagai berikut:
a. Faktor Central Integrative (C). Faktor ini berupa kemampuan untuk mengorganisasikan
pengalaman. Fungsi faktor ini adalah penyesuaian, di mana latar belakang pengalaman seseorang
dan hasil belajarnya akan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang baru.
b. Faktor Abstraction (A). Merupakan kemampuan mengelompokkan sesuatu dengan cara-cara
yang berbeda, dan kemampuan untuk melihat kesamaan dan perbedaan yang terdapat di antara
benda-benda, konsep-konsep, dan peristiwa-peristiwa.
c. Faktor Power (P). Merupakan kekuatan otak (power) dalam arti tenaga otak yang utuh.
Termasuk dalam faktor ini adalah kemampuan untuk mengekang afeksi sehingga kemampuan-
kemampuan rasional dan intelektual dapat tumbuh dan berkembang
d. Faktor Directional (D). Merupakan kemampuan yang memberikan arah dan sasaran bagi
kemampuan-kemampuan individu. Kemampuan ini menunjukkan dengan spesifik cara
mengekspresikan intelek dan perilaku.
Keempat faktor tersebut merupakan dasar dari apa yang oleh Halstead disebut sebagai
inteligensi biologis.
g. Howard Gardner
Pendapat Gardner mengenai keberadaan Inteligensi Ganda (multiple intelligence)
didorong oleh pendapatnya bahwa pandangan dari sisi psikometri dan kognitif saja terlalu sempit
untuk menggambarkan konsep inteligensi. Pendekatan teori Gardner sangat berorientasi pada
struktur inteligensi. Teori ini juga merupakan sanggahan terhadap pendapat yang mengatakan
bahwa hanya ada kemampuan umum sebagai konsep tunggal inteligensi.
Dalam usahanya melakukan identifikasi terhadap inteligensi, Gardner menggunakan
beberapa macam kriteria, yaitu: (a) pengetahuan mengenai perkembangan individu yang normal
dan yang superior, (b) informasi mengenai kerusakan otak, (c) studi mengenai orang-orang
eksepsional seperti individu yang luar biasa pintar, juga individu idiot savant, dan orang-orang
autistik, (d) data psikometrik, dan (e) studi pelatihan psikologis. Gardner mengatakan bahwa
berbagai inteligensi yang telah diidentifikasikannya bersifat universal sekalipun secara budaya
tampak berbeda. Sebagai contoh, inteligensi linguistik tidak selalu dinyatakan dalam bentuk
tulisan, bergantung pada budaya mana yang diperhatikan. Inteligensi sangat beragam dan
kebanyakan bersifat kognitif.
Tujuh macam inteligensi yang telah berhasil diidentifikasi oleh Gardner adalah
Inteligensi Linguistik, Inteligensi Matematik-logis, Inteligensi Spasial, Inteligensi Musik,
Inteligensi Kelincahan Tubuh, Inteligensi Interpersonal, dan Inteligensi Interpersonal.
Inteligensi linguistik banyak terlibat dalam kegiatan membaca, menulis, berbicara dan
mendengar. Menurut Gardner, aktivitas linguistik terletak pada bagian tertentu dalam otak.
Sebagai contoh, daerah Broca adalah lokasi terjadinya kalimat-kalimat yang sesuai dengan
struktur bahasa sehingga seseorang yang mengalami kerusakan pada daerah tersebut, sekalipun
dapat memahami kata dan kalimat, akan tetapi sulit menerangkannya menjadi kalimat yang
benar.
Inteligensi matematik-logis adalah inteligensi yang digunakan untuk memecahkan
problem berbentuk logika simbolis dan matematika abstrak.
Inteligensi spasial digunakan dalam mencari cara untuk berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, untuk mengatur isi koper agar memuat barang-barang dengan efisien,
membayangkan langkah-langkah lanjutan dalam permainan catur, dan sejenisnya. Belahan otak
sebelah kanan merupakan sumber inteligensi ini. Sehingga jika terjadi kerusakan pada bagian
tersebut, maka proses spasial akan terganggu.
Inteligensi musik berfungsi dalam menyusun lagu, menyanyi, memainkan alat musik,
ataupun sekedar mendengarkan musik. Sekalipun belahan otak sebelah kanan banyak
mengandung inteligensi musik, menurut Gardner, inteligensi musik tidak terlalu pasti letaknya.
Inteligensi kelincahan tubuh diperlukan dalam aktivitas-aktivitas atletik, menari, berjalan,
dan semacamnya. Kendali gerak tubuh terletak pada bagian korteks gerak di otak yang sisi-
sisinya mengendalikan gerakan pada bagian tubuh di sisi yang berlawanan.
Inteligensi interpersonal digunakan dalam berkomunikasi, saling memahami, dan
berinteraksi dengan orang lain. Orang yang inteligensi interpersonalnya tinggi adalah mereka
yang memperhatikan perbedaan di antara orang lain, dan dengan cermat dapat mengamati
temperamen, suasana hati, motif, dan niat mereka. Inteligensi ini sangat penting pada pekerjaan-
pekerjaan yang melibatkan orang lain, seperti psikoterapis, konselor, guru, polisi, dan sejenisnya.
Inteligensi intrapersonal sangat diperlukan dalam memahami diri sendiri. Merupakan
kepekaan seseorang akan suasana hati dan kecakapannya send
E. JENIS-JENIS ASESMEN INTELIGENSI
Tes Wechsler dilancarkan oleh tester terlatih dan memerlukan waktu sekitar satu jam.
Subtes Verbal dan Performansi biasanya diberikan secara berseling. Tester memulai dengan item
yang paling mudah –misalnya menyusun balok- atau item yang menengah namun diperkirakan
cukup mudah untuk testi. Tester kemudian melanjutkan pada tes subtes berikutnya jika testi telah
selesai dengan satu tes sebaik yang ia bisa.
f. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests)
Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests) terdiri dari tiga
level dan diperuntukkan bagi siswa kelas III hingga kelas XII. Dua di antaranya (X dan Y) dapat
digunakan untuk semua tingkatan. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi berisi tes lisan
mengenai analogi verbal dan tes kuantitatif mengenai perbandingan numerik. Tes ini akan
menghasilkan tiga skor: verbal, kuantitatif, dan skor total. Skor standar, stanin, dan persentil juga
tersedia untuk setiap tingkatan level. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi diberi norma
secara konkuren dengan the Sequential Tests of Educational Progress (STEP). Karena Tes
Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi dikembangkan oleh Educational Testing Service yang
juga mengembangkan the College Entrance Examination Board’s Scholastic Aptitude Test
(SAT), skor verbal dan kuantitatif dalam Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi dapat
digunakan untuk memprediksi skor verbal dan kuantitatif SAT.
Istilah usia mental dikemukakan untuk pertama kalinya bersamaan dengan perumusan
perhitungan IQ di atas. Pada masa tersebut, rumus IQ digunakan untuk menentukan tingkat
inteligensi seseorang berdasarkan hasil tes inteligensi Binet. Sebenarnya usia mental merupakan
suatu norma pembanding, yaitu norma performansi pada kelompok usia tertentu. Misalkan anak
yang berusia delapan tahun sebagian besar di antara mereka mampu menjawab dengan benar
sebanyak 24 soal dalam tes, mak skor 24 tersebut dijadikan norma untuk kelompok anak-anak
usia delapan tahun, dan disebut usia mental delapan tahun. Bila seorang anak, dalam
mengerjakan tes yang sama, mampu menjawab 24 soal dengan benar, maka ia dikatakan sebagai
mempunyai usia mental delapan tahun, sekalipun usia kronologisnya baru tujuh tahun. Adapun
usia kronologis adalah usia anak sejak dilahirkan yang dinyatakan dalam satuan tahun atau
dalam satuan bulan.
2. Batasan Rasio MA/CA
Gagasan pokok dalam perumusan rasio MA/CA adalah perbandingan relatif antara usia
kronologis dengan usia mental yang telah ditentukan berdasar rata-rata skor pada kelompok usia
tersebut. Seorang yang berinteligensi normal, diharapkan pada usia lima tahun akan mencapai
usia mental lima tahun, pada usia tujuh tahun akan mencapai usia mental tujuh tahun, dan
seterusnya.
Ternyata, hubungan seperti disebutkan di atas tidaklah selalu ditemui dalam
kenyataannya. Setelah memasuki usia remaja akhir, usia mental seseorang rupanya tidak lagi
banyak berubah, bahkan cenderung menurun. Rata-rata skor tes yang diperoleh individu berusia
40 tahun relatif sama dengan rata-rata skor sewaktu ia masih berusia 15 tahun, dan karenanya
tidaklah layak untuk mengatakannya mencapai usia mental 40 tahun. Di sisi lain, usia kronologis
seseorang terus saja bertambah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, apabila tes dilakukan
dengan membandingkan MA dan CA, maka angka IQ yang diperoleh akan semakin mengecil
sejalan dengan bertambahnya usia kronologis. Hal itu memberikan kesan bahwa semakin tua
seseorang akan, maka IQ-nya akan semakin menurun. Padahal hal tersebut tidaklah logis dan
tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, perhitungan IQ dengan menggunakan perbandingan
MA dan CA tidak dapat dilanjutkan lagi.
Sebagai catatan, mean IQ selama ini ditetapkan sebesar 100. Hal ini merupakan kebiasaan
tradisional para ahli tes inteligensi selama berpuluh-puluh tahun dalam menafsirkan IQ sebesar
100 sebagai tanda tingkat inteligensi normal. Wechsler sendiri menggunakan mean sebesar 100
dan deviasi standar sebesar 15 untuk menghitung IQ yang diperoleh dari tes WAIS dan WISC,
sedangkan tes Stanford-Binet, sejak edisi revisi tahun 1960, menggunakan mean sebesar 100 dan
deviasi standar sebesar 16.
IQ PERSENTASE KLASIFIKASI
160 – 169 0,03
150 – 159 0,20 Sangat Superior
140 – 149 1,10
130 – 139 3,10
Superior
120 – 129 8,20
110 – 119 18,10 Rata-rata Tinggi
100 – 109 23,50
Rata-rata Normal
90 – 99 23,00
80 – 89 14,50 Rata-rata Rendah
70 – 79 5,60 Batas Lemah
60 – 69 2,00
50 – 59 0,40
Lemah Mental
40 – 49 0,20
30 – 39 0,03
Normalitas distribusi skor tes inteligensi juga diperlihatkan oleh hasil pelancaran skala WAIS-R,
pada tahun 1981, sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini. Dalam tabel tersebut dapat
dibandingkan distribusi persentase teoretis bagi masing-masing kelompok IQ dengan distribusi
persentase yang diperoleh dari sampel nyata.
IQ PERSENTASE KLASIFIKASI
Teoretis Sampel Nyata
≥ 130 2,2 2,6 Sangat Superior
120 – 129 6,7 6,9 Superior
110 – 119 16,1 16,6 Di Atas Rata-rata
90 – 109 50,0 49,1 Rata-rata
80 – 89 16,1 16,1 Di Bawah Rata-
rata
70 – 79 6,7 6,4 Batas Lemah
≤ 69 2,2 2,3 Lemah Mental
Gambaran distribusi IQ demikian diharapkan juga dapat berlaku pada populasi subyek yang lain
di mana saja, asalkan bukan merupakan kelompok khusus atau kelompok pilihan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa intelegensi, yang seringkali
diartikan dengan kecerdasan, adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu
dalam merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kecakapan tersebut meliputi
aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Realitanya, intelegensi itu memiliki banyak jenis dan beranekaragam. Hal inilah yang
kemudian mendorong lahirnya pandangan, bahwa intelegensi itu mencakup 10 dimensi seperti
yang dipaparkan oleh Gardner.
Kenyataannya, teori Gardner, yang terkenal dengan istilah teori multiple
intelegensi tersebut dipandang sebagai teori yang relatif lebih kompleks dalam menjelaskan
intelegensi. Pandangan Gardner dilatar belakangi oleh pemahamannya bahwa sejatinya setiap
manusia berhak menjadi orang cerdas. Gardner melihat setiap orang memiliki potensi bawaan
yang diperoleh dari keturunannya (genetik), dan pengalaman-pengalaman berikutnya akan
mengembangkan potensi tersebut, meskipun dia mengakui, bahwa potensi yang dimiliki setiap
orang tidaklah sama.
Dengan menggunakan pendekatan multiple intelegensi, maka pendidikan yang didesain
akan selaras dengan segala potensi yang dimiliki oleh seluruh peserta didik. Karena teori ini
tidak membatasi pengembangan dalam dimensi tertentu semata, di samping juga teori ini
mendorong pentingnya pengembangan secara serentak terhadap ketiga aspek, yakni aspek
kognitif, psikomotorik, dan afektif.
B. Saran
Berdasarkan simpulan diatas, penulis memberikan saran kepada para pembaca bahwa
kita perlu memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun kita perlu memperhatikan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual kita. Kecerdasan spiritual menjadi
landasan dalam mejalankan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Dengan
memiliki kecerdasan spiritual yang baik, maka sebagai seorang pelajar akan dapat
mengembangkan kecerdasan lainya sesuai dengan sila yang baik.
Rekan-rekan pembaca yang baik, selain dari saran tersebut penulis menyadari dalam
penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat
penulis harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi
lebih baik.