Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum Pengadilan Masyarakat Di Indonesia
Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum Pengadilan Masyarakat Di Indonesia
PROBLEMATIKA HAKIM
STUDI SOSIO-LEGAL
soal tarik-menarik antara kekuatan politik dengan kekuasaan
kehakiman, yang berakibat pada minimnya kemandirian hakim,
yang padahal sangat dibutuhkan dalam tugasnya mengupayakan
keadilan kepada masyarakat.
Penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan, karena adanya tiga alasan. Pertama, masih
banyak keluhan dari pencari keadilan dan masyarakat luas tentang kualitas putusan hakim
yang memprihatinkan, sehingga penting untuk diketahui penjelasannya. Kedua, sebaliknya
ada keluhan dari hakim tentang posisinya dalam struktur lembaga pengadilan yang berimplikasi
pada minimnya kemandirian hakim, yang padahal sangat dibutuhkan dalam kinerjanya mengadili
dan memutus perkara. Ketiga, dalam rangka pembelajaran akademik bagi para mahasiswa
hukum, mengingat kurangnya perkembangan yang mengesankan dari putusan pengadilan atau
yurisprudensi dalam tahun-tahun terakhir, maka perlu diketahui penjelasannya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosio-legal, yang mengkombinasikan studi
teks hukum dengan pengalaman empirik bagaimana hakim menginterpretasi, memaknai hukum
melalui pertimbangan dan putusannya. Penelitian dilakukan di berbagai pengadilan negeri di
delapan wilayah di Indonesia.
Diterbitkan Oleh :
Pusat Analisis dan Layanan Informasi © 2017
PENELITI:
Sulistyowati Irianto
Fajri Nursyamsi
Ikhsan Azhar
Munafrizal Manan
Nurkholis Hidayat
Elza Faiz
Hendro Sukmono
Muhamad Ilham
KATA SAMBUTAN ix
D. Fokus Kajian 11
E. Legitimasi Konseptual 14
E. Catatan - Catatan 55
B. Mempertanggungjawabkan Ilmu 61
A. Kesejahteraan 78
D. Integritas 136
D. Kualitas Putusan:
Miskin Terobosan Hukum 187
S
ecara formal, hakim memegang posisi yang sentral
dalam dunia peradilan. Di tangannya nasib baik atau
buruk mereka yang didakwa ditentukan. Hakim
merupakan satu-satunya profesi di dunia yang mendapat sebutan:
‘Wakil Tuhan’ atau ’Yang Mulia’. Dalam bahasa akademik sering
disebut sebagai officium nobile (profesi luhur).
H
akim pada dasarnya memiliki peran dan posisi
yang sangat sentral dalam penegakan hukum dan
keadilan. Begitu sentralnya peran hakim, oleh
Sydney Smith digambarkan dengan Nation Fall When Judges Are
Unjust. Sementara itu, B. M. Taverne, seorang pakar hukum negeri
Belanda selalu menggambarkan hakim dengan pernyataan, berikan
aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik maka aku akan berantas
kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun.
Danang Wijayanto
B
uku ini bertujuan untuk menjelaskan permasalahan
yang dihadapi oleh hakim terkait dengan
keberadaannya dalam ranah hukum negara dan
organisasi pengadilan, yang menempatkan hakim dalam struktur
dan jenjang kepangkatan beserta konsekuensi administratifnya.
Dalam hal ini hendak dijelaskan bagaimana kekuasaan kehakiman,
yang oleh peraturan perundang-undangan, lebih mengedepankan
kemandirian pada institusi dibanding personal hakim. Padahal
kemandirian hakim sebagai personal sangat dibutuhkan untuk
dapat menjalankan kewajibannya secara bebas, tanpa intervensi,
dan bertanggungjawab.
1 Aharon Barak, The Judge in a Democracy, (Princeton: Princeton University Press, 2006),
hlm. xi.
Pada era Orde Baru, berlaku sistem dua atap. Hakim dalam
aspek teknis peradilan berada di bawah MA. Akan tetapi, dalam
urusan organisasi, administrasi, dan keuangan, hakim berada di
bawah birokrasi pemerintah (Departemen Kehakiman). Begitu
kuatnya kekuasaan eksekutif sampai sukar membedakan hakim
sedang mengabdi kepada pemerintah atau partai politik yang
sedang berkuasa. Dalam praktiknya, hakim lebih tunduk kepada
eksekutif yang lebih menentukan kesejahteraan dan karier mereka.
Bahkan, eksekutif dapat menggunakan kekuasaan politiknya untuk
mendapatkan loyalitas hakim. Pada masa itu juga, hakim diberi
status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang monoloyalitasnya
ditujukan kepada pemerintah.
5 Di dalam UU No. 35 Tahun 1999, pengaturan soal sistem satu atap memang menjadi
aturan formil yang pertama. Tapi dalam UU tersebut pengaturan sistem satu atap
hanya pada pengalihan fungsi dari eksekutif ke yudikatif, belum pada pengakuan
terhadap kemerdekaan institusi yudikatif, dalam hal ini MA. Barulan ditahun 2001,
pengakuan yang formil itu diwujudkan. Perwujudan itu diatur dalam dasar hukum
tertinggi negara, yaitu UUD 1945. Dengan adanya ini, maka dalam konteks aturan
seharusnya kekuasaan kekuasaan yang merdeka sudah lengkap.
6 Lihat, The Bangalore Principles Of Judicial Conduct tahun 2002, diakses dari http://
www.unodc.org/pdf/crime/corruption/judicial_group/Bangalore_principles.
pdf, pada tanggal 21 Mei 2012.
D. Fokus Kajian
Problem yang dihadapi hakim di Indonesia dapat
dikategorikan dalam dua hal yang saling berkaitan. Pertama
adalah problem yang bersumber pada peraturan perundang-
undangan yang menyangkut struktur kekuasaan kehakiman
dan implikasinya terhadap kemandirian hakim. Masalah
hukum lain yang dikaji adalah soal pengaturan rekrutmen,
promosi, dan mutasi yang tidak transparan. Hakim menjadi
“objek” (bukan subjek) dari kebijakan yang ditentukan secara
adminsitratif dengan berbagai implikasinya pada nasib hakim.
8 Aharon Barak, op.cit., hlm. 103—104.
9 Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2003), hlm. 224.
E. Legitimasi Konseptual
Sebagai pisau analisis, buku ini menggunakan teori untuk
membantu menjelaskan problematika hakim dalam menjalankan
profesinya.
19 Glendon Schubert, Behavioral Jurisprudence, Law & Society Review, Vol. 2, No. 3, 1996,
hlm. 410.
20 Ibid.
21 Ibid.
B
ab ini menggambarkan potret kekuasaan kehakiman
dalam sistem peradilan di Indonesia, khususnya
terkait independensi kekuasaan kehakiman. Fokus
pembahasan dibatasi pada periode sebelum dilakukan perubahan/
amandemen1 UUD 1945 dan periode setelah dilakukan perubahan
ketiga UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman.
1 Istilah resmi yang digunakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah “perubahan”,
tetapi sering pula disebut “amandemen” oleh banyak kalangan. Di sini, penggunaan
kedua istilah itu dipakai secara bergantian.
2 Setelah dilakukan Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali secara berturut-turut
mulai dari 1999 hingga 2002, nama resmi yang dipakai adalah UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Di sini, penggunaan nama UUD 1945 untuk mengacu konstitusi
sebelum perubahan. Sementara itu, UUD NRI Tahun 1945 digunakan untuk merujuk
pada masa setelah perubahan.
5 Daniel Lev, Kata Pengantar dalam Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah
Agung, terjemahan Noor Cholis (Jakarta: LeIP, 2012), hlm. 11.
6 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 252.
7 Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, terjemahan Noor Cholis
(Jakarta: LeIP, 2012), hlm. 666.
35 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.cit., khususnya Bab III dan Bab IV, hlm.
25—281.
Tampak jelas dari visi dan misi kedua Cetak Biru di atas
bahwa MA tidak memberi perhatian terhadap makna independensi
kekuasaan kehakiman yang berbasis pada independensi
personal hakim. Namun, Cetak Biru itu lebih memberi makna
D
alam persidangan, hakim memegang peran penting.
Wibawanya begitu terjaga hingga dianggap sebagai
orang yang mulia. Bahkan untuk perannya, ia
menyandang sebutan “Yang Mulia”. Walaupun begitu, kesan
sebagai profesi yang berwibawa tidak lantas menjadi satu-satunya
motivasi seseorang untuk menjadi seorang hakim. Dorongan
menjadi hakim beragam, mulai dari dukungan keluarga sampai
kepada cita-cita luhur keinginan menegakan hukum terlukis dalam
cerita-cerita hakim yang berhasil diwawancara.
P
ada masa manajemen “dua atap”, rekrutmen hakim
cenderung tertutup dan tidak bebas dari unsur korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Bahkan, unsur politis tak jarang
menyertai mutasi dan promosi hakim. Para hakim yang berani, jujur
dan tidak memihak kekuasaan dimutasikan ke pengadilan yang
sebetulnya lebih merupakan demosi dibanding promosi.
A. Kesejahteraan
1. Gaji dan Biaya Hidup
76 Lihat, SK KMA No. 139/2013 tentang Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim Karier
dan Pola Pembinaan Hakim Ad Hoc pada Peradilan-Peradilan Khusus di Lingkungan
Peradilan Umum.
77 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Op.
Cit., hal 65-66.
103 Survei dilakukan sepanjang tahun 2012.
104 Wawancara 22 Mei 2012.
105 Pengamatan di sejumlah pengadilan pada tahun 2016.
D. Integritas
Bicara tentang integritas tentu saja tak terlepas dari penilaian
akan benar dan salah. Dalam penelitian ini, ditemukan kerancuan
dan disorientasi antara mana yang benar dan yang salah. Dalam
satu kesempatan, beberapa hakim menyebut hakim-hakim di
pengadilan tempat bertugasnya menerima tanda “terima kasih”
dari pihak yang berperkara.
126 Wawancara pada 8 Mei 2012.
127 Wawancara pada 27 Juli 2012.
2. Tipe hakim yang kedua adalah hakim yang tidak meminta jatah
kepada pihak yang berperkara, tetapi—karena terdesak secara
ekonomi—menerima “hadiah” dari para pihak. Namun, tipe
hakim itu tidak sembarang “membantu” para pihak yang
berperkara. Hakim tipe kedua berpikir secara hukum bahwa
ia hanya bersedia “membantu” pihak berperkara yang
menurut hukum memang harus dimenangkan.
2. Pengawasan Eksternal
S
alah satu isu yang menjadi perhatian utama dalam buku
ini adalah kinerja hakim, khususnya dalam memutus
perkara. Untuk mengetahui dan menilai, seberapa baik
atau buruk kinerja hakim, peneliti menggunakan lima indikator yang
ditanyakan secara langsung kepada para hakim. Pertanyaannya,
yaitu 1) produktivitas dalam memutus; 2) kemampuan (kualitas)
dalam menyelesaikan perkara; 3) kemampuan membuat putusan
yang baik dan melakukan terobosan hukum; 4) kendala (internal
dan eksternal) dihadapi yang mempengaruhi pengambilan putusan;
dan 5) apresiasi atas putusan.
Khusus untuk hakim II dan hakim III, saat itu keduanya juga
ditugaskan menjadi hakim ad hoc tipikor. Selama menjadi hakim
ad hoc tipikor, mereka sama-sama baru bisa memutus 7 perkara.
Jumlah itu sama dengan jumlah putusan yang telah diputus oleh
hakim tipikor lain. Meskipun jumlah putusan yang telah diputus
oleh setiap hakim itu berbeda-beda, waktu yang mereka butuhkan
untuk menyelesaikan sebuah perkara sebenarnya relatif sama.
Untuk perkara pidana ringan, para hakim itu hanya butuhkan
waktu kurang lebih 1 bulan. Namun, untuk perkara perdata, hakim-
12 Wawancara pada 18 September 2012.
13 Data Perkara PN Mataram 2012.
21 Jerome Frank, Are Judges Human?, University of Pennsylvania Law Review, 1931, hlm.
242 dikutip oleh Brian Leitter, American Legal Realism, Op.Cit. hlm. .54.
3. Kesulitan Komunikasi
2 Istilah resmi yang digunakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah “perubahan”,
namun sering pula disebut dengan istilah “amandemen” oleh banyak kalangan. Di sini
penggunaan kedua istilah tersebut dipakai secara bergantian.
f. dorongan keluarga;
4. Kinerja Hakim
Kesimpulan:
Rekomendasi:
JURNAL
Hutchinson & Monahan (1984). Law, Politics, and the Critical Legal
Scholars: The Unfolding Drama of American Legal Thought.
Stanford Law Review, 153.