Anda di halaman 1dari 7

1.

Bila merujuk pada konsep Pengembangan masyarakat, setidaknya ada beberapa


syarat terbentuknya masyarakat madani diantaranya sebagai berikut: 1.
Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal
sosial (social capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan
melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi
sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang
pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan
sosial. 4. Adanya hak kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan
lembaga-lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu
kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. 6. Terselenggaranya
sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum,
dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. 7. Adanya jaminan,
kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara
teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat
madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus
SDGDPDV\DUDNDW ³sipilisme¥ \DQJ VHPSLW \DQJ tidak ubahnya dengan
faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia.
Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam
proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-
rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi
sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
Jurnal RISALAH, Vol. 26, No. 1, Maret 2015: 23-32 28
MINIATUR MASYARAKAT MADANI
(PERSPEKTIF PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM)
Muhammad Soim1).

2. HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia,


bukan karena diberi oleh masyarakat, atau berdasarkan hukum positif,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.10 Dalam
arti ini, meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, tetap mempunyai
hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari HAM. Hak-hak tersebut tidak dapat
dicabut (inalienable). Artinya, seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh
seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, tidak akan berhenti
menjadi manusia dan tetap memiliki hak-hak tersebut.( Jack Donnely, Universal
Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and
London, 2003, hlm. 7-21).
Pancasila sebagai Nilai Fundamental Bangsa Masa kolonial mengharuskan
pemberlakuan peraturan-peraturan kolonial melalui konkordansi maupun
unifikasi hukum, namun sejak kemerdekaan, Indonesia harus membangun
sistem hukumnya sendiri.(29).
Pancasila sebagai nilai fundamental, berkedudukan juga sebagai cita hukum
(rechtsidee) bangsa Indonesia. Arief Sidharta menyatakan bahwa : tata hukum
yang bereaksi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat ke dalam berbagai
aturan hukum positif, lembaga hukum, dan proses perilaku Cita hukum ini,
belum cukup konkrit untuk dapat digunakan langsung sebagai sumber hukum
formal, karena berada dalam tataran nilai. Untuk itu, perlu konkritisasi ke dalam
norma-norma positif. (Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Buku
1 Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta,
2013, hlm. 403.)
Konkrititasi nilai-nilai Pancasila dirumuskan dalam UUD NRI 1945 yang
dituangkan dalam Pembukaan dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah.
(Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, menegaskan bahwa tata urutan perundang-
undangan RI adalah: 1) UUD NRI 1945, 2) Ketetapan MPR, 3) Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 4) Peraturan Pemerintah, 5)
Peraturan Presiden, 6) Peraturan Daerah Provinsi, 7) Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.
Pembangunan hukum HAM di Indonesia akan efektif bila ditunjang hukum
dan aparat yang memiliki landasan nilai serta norma yang bersumber dari
nilainilai dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila.(Kaelan, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2001, hlm. 252).
Implementasi nilai-nilai HAM global ke dalam sistem hukum Indonesia melalui
penormaan nilai-nilai HAM ke dalam perundang-undangan RI haruslah
merupakan turunan dari nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum bangsa
Indonesia. Perumusan dan institusionalisasi HAM tak dapat dilepaskan dari
lingkungan sosial, yakni masyarakat dimana HAM itu dikembangkan. Dapat juga
dikatakan, bahwa HAM memiliki watak dan struktur sosial tersendiri.
Seyogyanyalah pembangunan hukum HAM di Indonesia memperhatikan nilai-
nilai serta cita hukum masyarakat Indonesia yakni Pancasila yang merupakan
kumpulan nilainilai filsafati bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu sinkronisasi dan
interpretasi dokumen HAM universal dan nasional terhadap nilai-nilai Pancasila
sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya.

Indonesia beriktikad filsafat demokrasi Pancasila dimana segala pandangan


hidup-pandangan hidup dan etik mulai sejak depan kepribadian dan pilar raga
kaum Indonesia sebagai yang tersebut bagian dalam Undang-Undang Dasar dan
Pancasila. HAM dan Pancasila memegang relasi yang sangat erat. Pelaksanaan
HAM orang kira tersebut bagian dalam poin-poin Pancasila. Sehingga seperti
anggota Negara kita diharapkan memanifestasikan acara satu bahasa pakai etik-
etik yang terdapat bagian dalam Pancasila agar tidak kelahirannya serbuan-
serbuan HAM di Indonesia yang bisa memayahkan jasmani orang maupun kaum
lain. Implementasi HAM bagian dalam poin-poin Pancasila sebagai
mengikhlaskan keistimewaan menjelang khalayak menjelang mematuhi
kepercayaan aliran satu bahasa pakai keyakinan masing-masing, adanya
asistensi kebiasaan dan kesesuaian didepan kebiasaan, wawancara menjelang
mencengkam mufakat, dan saling bantu-membantu bagian dalam acara sehari-
hari.

Indonesia berkeyakinan ajaran demokrasi Pancasila dimana segala ideal-ideal


dan etik mulai sejak ambang kepribadian dan rukun nyawa ibnu Indonesia
seumpama yang tercatat bagian dalam Undang-Undang Dasar dan Pancasila.
HAM dan Pancasila menyimpan relasi yang sangat erat. Pelaksanaan HAM
batang tubuh duga tercatat bagian dalam ayat-ayat Pancasila. Sehingga
seumpama anggota Negara kita diharapkan menjelmakan aksi sepaham tambah
etik-etik yang terdapat bagian dalam Pancasila agar tidak kelahirannya
penyerangan-penyerangan HAM di Indonesia yang bisa merunyamkan selira
batang tubuh maupun marga lain. Implementasi HAM bagian dalam ayat-ayat
Pancasila seumpama mengikhlaskan kedaulatan menjelang sipil menjelang
memercayai ajaran sepaham tambah anutan masing-masing, adanya naungan
peraturan dan kesesuaian didepan peraturan, konferensi menjelang merengkuh
mufakat, dan saling tolong-menolong bagian dalam aksi sehari-hari.
Pemahaman dan pelaknsanaan HAM di Indonesia tidak arah-arah tambah
penerapan HAM di zona lain. Seperti pemahman dan penerapan HAM di Negara
yang berkeyakinan ajaran liberalisme. Liberalisme diartikan seumpama
kedaulatan menjelang bertindak, berpendirian, kedaulatan menjelang
memercayai ajaran dan berbagai gatra kedaulatan yang bertalian tambah
terpenuhinya laporan HAM.Paham liberalisme mencerap orang seumpama
basyar yang mengaso, dimana orang mengaso menjelang mengerjakan apa saja
yang diinginkan. Paham liberalisme mengikhlaskan definisi hoki Negara bagian
dalam agenda ekonomi, kebudayaan, ajaran dll. Selain itu liberalisme juga
berpendirian bahwa hormat menjelang kekuatan tertinggi sangat berlawanan
tambah kedaulatan hoki asasi orang. Sehingga liberalisme mengikhlaskan
kedaulatan menjelang masyarakatnya menjelang mengerjakan barang apa
tambah sebebas-bebasnya. Jadi disini sumbangan supremasi sangat cebol
bagian dalam mengemasi aksi masyarakatnya. Hal ini mengeluarkan resultan
negative seumpama pernikahan mengaso, sabungan yang mengaso diantara
sipil esa tambah sipil lainnya, dan kedaulatan kira putri menjelang mematok
kehidupannya batang tubuh, sehingga tidak seorang pun yang boleh menyelak
ataupun menjaga menjelang mengerjakan jasad sehingga lahirlah kedaulatan
yang sebebas-bebasnya kira bani putri bagian dalam kehidupannya.

3. Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat


kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Berarti, yang
dikedapankan prinsip bermusyawarah untuk mufakat melalui wakilwakilnya dan
badan-badan perwakilan dalam memperjuangkan mandat rakyat. Bila dicermati,
arti dan makna Sila ke-4 sebagai berikut: a. Hakikat sila ini adalah demokrasi,
yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. b.
Pemusyawaratan, yaitu membuat putusan secara bulat, dengan dilakukan
secara bersama melalui jalan kebikjasanaan. c. Melaksanakan keputusan
berdasarkan kejujuran. Keputusan secara bulat sehingga membawa konsekuensi
kejujuran bersama. Nilai identitas adalah permusyawaratan. d. Terkandung asas
kerakyatan, yaitu rasa kecintaan terhadap rakyat, memperjuangkan cita-cita
rakyat, dan memiliki jiwa kerakyatan. Asas musyawarah untuk mufakat, yaitu
yang memperhatikan dan menghargai aspirasi seluruh rakyat melalui forum
permusyawaratan, menghargai perbedaan, mengedepankan kepentingan
rakyat, bangsa dan negara. Pernyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
adalah pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani,
arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya. Jadi, pemimpin yang hikmat-
kebijaksanaan itu mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat) melalui
tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila keempat
merupakan sistem demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang-orang yang
profesionalberintergritas melalui sistem musyawarah (government by
discussion).) Maka dapat pahami, dasar pelaksanaannya demokrasi Pancasila
adalah: a. Pada Ketuhanan Yang Maha Esa; b. Menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia; c. Berkedaulatan rakyat; d. Didukung oleh kecerdasan warga negara; e.
Sistem pemisahan dan pembagian kekuasaan negara; f. Menjamin otonomi
daerah; g. Demokrasi yang menerapkan prinsip rule of law; h. Sistem peradilan
yang merdeka, bebas dan tidak memihak; Makna Filosofis Nilai-Nilai Sila ke-4
Pancasila dalam Sistem Demokrasi.
Mengusahakan kesejahteraan rakyat; dan j. Berkeadilan sosial. Sedangkan fungsi
demokrasi Pancasila adalah: a. Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam
kehidupan bernegara seperti: ikut mensukseskan Pemilu, ikut mensukseskan
Pembangunan; ikut duduk dalam penyelenggaraan negara. b. Menjamin tetap
tegaknya negara RI, c. Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan yang
mempergunakan sistem konstitusional, d. Menjamin tetap tegaknya hukum
yang bersumber pada Pancasila, e. Menjamin adanya hubungan yang selaras,
serasi dan seimbang antara lembaga negara, f. Menjamin adanya pemerintahan
yang bertanggung jawab. (volume 10 Issue 2, April-June 2016: pp. 221-412.
MAKNA FILOSOFIS NILAI-NILAI SILA KE-EMPAT PANCASILA DALAM SISTEM
DEMOKRASI DI INDONESIA Philosophical Meaning Values Principles Fourth of
Pancasila in the Democracy System of Indonesia Yusdiyanto).

4. Pengertian pimpinan daerah bertumpu pada pengertian yang diberikan secara


yuridis dalam hubungannya dengan Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa gubernur, bupati, walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis.
Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung Pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
menyatakan gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung melalui
pemilihan. Dalam Pembukaan Alinea Keempat UUD NR! Tahun 1945 sebagai
salah satu acuan berdemokrasi di Indonesia menyatakan bahwa 'kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD 1945 yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa pertimbangan yang melandasi pilkada langsung adalah pertama,
Sistem pemerintahan sesuai UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah
untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Kedua, dalam menyelenggarakan
otonomi daerah perlu ditekankan prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, dalam
rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,
kesejahteraan rakyat, hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
daerah serta antar daerah unuk menjaga keutuhan NKRI, Kedudukan kepala
daerah mempunyai peran yang sangat strategis. Pilkada langsung merupakan
perubahan penting dalam proses konsolidasi demokrasi, pilkada langsung
dipandang memiliki jumlah keunggulan dibanding dengan sistem recruitment
politik melalui institusi DPRD. Ada beberapa kondisi yang mendorong pilkada
dilakukan secara langsung, pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan
sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi
lokal. Pilkada langsung adalah suatu mekanisme yang sangat demokratis
berbeda dengan sebelumnya. Pemilihan kepala daerah pada saat berlakuanya
UU No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 rakyat tidak
terlibat langsung dalam menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
sehingga terkadang yang menjadi kepala daerah hanya merupakan representasi
dari partai politik, elit politik lokal dan pemerintah pusat. Dengan sistem
keterwakilan atau pemilahan kepala daerah tidak langsung yang men-jadi kepala
daerah terkadang perilakunya tidak berpihak pada rakyat dan lebih berpihak
pada partai atau kualisi partai, elit yang mengusungnya.Dengan adanya Pilkada
secara langsung membuka peluang rakyat untuk menyeleksi sendiri terhadap
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dikehendaki rakyat.

Pada dasarnya, pilkada dengan sistem pemilihan tidak langsung, tidak


bertentangan dengan Dasar Negara dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Inti dari demokrasi pancasila adalah pemerintahan yang dilaksanakan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dengan berlandaskan nilai-nilai
Pancasila, sehingga dapat disimpulkan, meskipun pemilihan dilakukan secara
tidak langsung melalui anggota DPRD, namun anggota DPRD juga merupakan
simbol keterwakilan masyarakat sebagai pemilih. Artinya, sama-sama dipilih
oleh rakyat. b. Mekanisme pemilukada dengan menggunakan sistem secara
langsung dan secara tidak langsung, jika dibandingkan, cenderung lebih meng-
untungkan dengan menggunakan sistem pemilihan secara tidak langsung.
Berbagai sisi positif tersebut yaitu, menghemat biaya APBD dan APBN hingga
triliunan rupiah, Menjalankan amanah Konstitusi. Dasar Negara kita, tepatnya
Sila keempat Pancasila secara terang benderang mengatakan bahwa
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. (TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN SISTEM PILKADA LANGSUNG
DAN TIDAK LANGSUNG BERDASARKAN DEMOKRASI PANCASILA Drs.Wawan
S.,MM, Yudhitiya D.S.,SH,MH, Gaya Caecia,SH,MH. ISSN 1410-9859).

5. Wawasan Nusantara adalah cara pandang, cara memahami, cara menghayati,


cara bersikap, cara berfikir, cara bertindak, cara bertingkah laku, bangsa
Indonesia sebagai interaksi prosees psikologis, sosiokultural, dengan aspek
ASTAGATRA (Kondisi geografis, kekayaan alam dan kemampuan penduduk serta
IPOLEKSOSBUD Hankam).
Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan Pembangunan Nasional Secara
konstitusional, Wawasan Nusantara dikukuhkan dengan Kepres MPR No.
IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E, Pokok-pokok
Wawasan Nusantara dinyatakan sebagai Wawasan dalam mencapai tujuan
Pembangunan Nasional adalah Wawasan Nusantara mencakup: 1. Perwujudan
Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Politik dalam arti: a. Bahwa
kebutuhan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu
kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup dan kesatuan matra seluruh bangsa,
serta menjadi modal dan menjadi modal dan milik bersama bangsa. b. Bahwa
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai
bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang
bulat dalam arti seluas-luasnya. c. Bahwa secara psikologis, bahwa bangsa
Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah
air, serta mempunyai satu tekad di dalam mencapai cita-cita bangsa. d. Bahwa
Pancasila adalah adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan Negara,
yang melandasi, membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. e.
Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hokum dalam
arti bahwa hanya ada satu hokum yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
2. Perwujudan Kepulaun Nusantara sebagai Kesatuanj Sosial dan Budaya dalam
arti: a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus
merupakan kaehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan
masyarakat yang sama, merata dan seimbang serta adanya keselarasan
kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa.. b. Bahwa budaya Indonesia
pada hakekatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada
menggambarkan kekayaan budaya yang menjadi modal dan landasan
pengembangan budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati
oleh seluruh bangsa Indonesia. 3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai
satu kesatuan Ekonomi dalam arti : a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik
potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa
keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.
b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah,
tanpa meninggalkan cirri khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam
mengembangkan ekonominya. 4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai
satu Kesatuan Pertahanan dan Keamanan dalam arti: a. Bahwa ancaman
terhadap satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman bagi seluruh
bangsa dan negara. b. Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama di dalam pembelaan Negara (Lemhanas, 1989: 7). Dengan
ditetapkannya rumusan Wawasan Nusantara sebagai ketetapan MPR, maka
Wawasan Nusantara memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua
penyelenggara Negara, semua lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, serta
semua warga negara Indonesia . Hal ini berarti bahwa setiap rumusan
kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan nasional harus mencerminkan
hakekat rumusan Wawasasn Nusantara. (PENTINGNYA WAWASAN
NUSANTARA DAN INTEGRASI NASIONAL Oleh: Sigit Dwi Kusrahmadi).

Anda mungkin juga menyukai