Anda di halaman 1dari 17

A.

Pengertian

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkulosis yang berarti tonjolan
kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi
bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara. Mayoritas kuman TB
menyerang paru, akan tetapi kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh yang lainnya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis) (Werdhani, 2011).

B. Anatomi Dan Fisiologi

1. Anatomi

Secara anatomi sistem pernafasan dibagi dalam 3 bagian besar, menurut Rosa M.
Sacharin ( 1999 ) yang meliputi :

a. Traktus Respiratorius Bagian Atas Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari
banyak bagian dan fungsinya yaitu :

Gambar 1.1 Traktus Respiratorius


1) Hidung

Bagian anterior dari hidung dari bagi dalam paruhan kiri dan kanan oleh septum nasi.
Setiap paruhan dibagi secara tidak lengkap menadi empat daerah yang mengandung saluran
nasal yang berjalan kebelakang mengarah pada nasofaring. Area tepat dalam lubang hidung
dilapisi oleh kulit yang mengandung rambut yang kasar. Sisa dari interior dilapisi oleh
membrana mukosa. Fungsi dari hidung adalah membawa udara dari dan ke paruparu dan
menghangatkan udara saat diinspirasi. Bulu di dalam lubang hidung dan silia yang melapisi
membrana mukosa bertindak untuk mengangkat debu dan benda asing lain dari udara. Jika
terjadi infeksi, efek lokal utama adalah iritasi dari sel mulkus yang menyebabkan produksi
mukus yang berlebihan, pembengkakan dari membrana mukosa akibat edema lokal dan
kongesti dari pembuluh darah. Saluran hidung cenderung menjadi terblokir oleh
pembengkakan mukosa dan sekresi virus, sekret jernih, tetapi jika terdapat invasi sekunder
bakteri, sekret menjadi kekuning-kuningan atau kehijauan akibat adanya pus ( neutrofil mati
dan granulose ).

2) Sinus

Sinus paranasal melengkapi suatu sistem ruang udara yang terletak dalam berbagai
tulang pada muka. Sinus dilapisi dengan mukosa sekretoris dan memperoleh suplai darah dan
saraf dari hidung. Infeksi dari hidung mengarah pada penuhnya pembuluh darah, peningkatan
sekresi mukus dan edema.

3) Laring

Laring terletak di depan faring dan diatas permulaan trakhea. Terutama terdiri dari
tulang rawan tiroid dan tricoid dan tujuh tulang rawan lain yang dihubungkan secara bersama
oleh membrana. Suatu struktur tulang rawan tergantung diatas tempat masuk ke laring ini
merupakan epiglotis yang mengawal glotis selama menelan, mencegah makanan masuk
laring dan trakhea. Inflamasi dari epiglotis dapat menimbulkan obstruksi terhadap saluran
pernafasan. Bagian interior laring mengandung dua lipatan membrana mukosa yang
terlentang melintasi ringga dari laring dari bagian tengah tulang rawan tiroid ke tulang rawan
arytenoid. Ini merupakan pita atau lipatan suara. Selama pernafasan biasa pita suara terletak
dalam jarak tertentu dari garis tengah dan udara respirasi melintas secara bebas diantaranya
tanpa menimbulkan keadaan vibrasi. Selama insiprasi dalam yang dipaksaan mereka berada
dalam keadaan lebih abduksi, sementara selama berbicara atau menyanyi mereka dalam
keadaan adduksi. Perubahan ini dipengaruhi oleh otototot kecil. Pada anak-anak, pita suara
lebih pendek dibandingkan dengan orang dewasa. Laring berfungsi sebagai alat respirasi dan
fonasi tetapi pada saat yang sama ambil bagian dalam deglutisi, selama waktu mana laring
akan menutup dalam usaha mencegah makanan memasuki traktus respiratorius makanan
bagian bawah. Laring juga tertutup selama regurgitasi makanan sehingga mencegah
terjadinya aspirasi makanan. Refleks penutupan ini tergantung pada koordinasi neurimuskuler
yang kemungkinan tidak bekerja secara penuh pada bayi, sehingga mengarah pada spasme.

b. Traktur respiratorius bagian bawah Struktur yang membentuk bagian dari traktur
respiratorius ini adalah trakea, bronki dan bronkiolus serta paru-paru.

Tiga yang pertama adalah, trakea, bronki dan kronkiolus, merupakan tuba yang mengalirkan
udara kedalam dan keluar dari paru-paru. Trakea dimulai pada batas bagian bawah dari laring
dan melintas dibelakang sternum kedalam toraks. Trakea merupakan tuba membranosa
fleksibel, kaku karena adanya cincin tidak lengkap yang berspasi secara teratur. Tuba dilaisi
oleh membana mukosa, epitelium permukaan adalah kolumner bersilia. Segera setelah
memasuki toraks trakea membagi diri menjadi beberapa cabang yang masuk kedalam suatu
substansi paru-paru. Didalam substansi dari paru-paru bronki membagi diri menjadi cabang
yang tidak terhitung dengan ukuran yang secara progresif berkurang hingga cabang yang
mempunyai penampang yang sangat sempit, di mana mereka di sebut sebagai bronkiolus.
Tuba ini dilapisi oleh membrana mukosa ditutupi oleh epitelium kolumner bersilia, berlanjut

dengan lapisan dari trakea. Otot polos ditemukan secara longitudinal dalam bronki yang lebih
besar dan trakea. Dalam bronki yang lebih kecil dan bronkioles hal ini dibatasi oleh dinding
posterios. Seluruh panjang dari percabangan bronkial disuplai dengan serat elastik yang kaya,
bersama dengan semua jaringan lain yang disebutkan, dapat diubah oleh karena penyakit,
sehingga mempengaruhi fungsi normal
1) Paru – paru
Secara anatomi, unit dasar dari struktur paru-paru dipertimbangkan adalah
lobulus sekunder. Beratus-ratus dari lobulus ini membentuk masing-masing paru.
Setiap lobulus merupakan miniatur dari paru-paru dengan percabangan bronkial dan
suatu sirkulasi sendiri. Setiap bronkiolus respiratorius berterminasi kedalam suatu
alveolus. Alveolus terdiri dari sel epitel tipis datar dan disinilah terjadi pertukaran gas
antara udara dan darah.

Apeks dari paru-paru mencapai daerah tepat diatas clavicula dan dasarnya
bertumpu pada diaphragma. Kedua paru-paru dibagi kedalam lobus, yang kanan
dibagi tiga, yang kiri dibagi dua. Nutrisi dibawa pada jaringan paru-paru oleh darah
melalui arteri bronkial; darah kembali dari jaringan paru-paru melalui vena bronkial.
Paru-paru juga mempunyai suatu sirkulasi paru-paru yang berkaitan dengan
mengangkut darah deoksigenasi dan oksigenasi. Paru-paru disuplai dengan darah
deoksigenasi oleh arteri pulmonalis yang datang dari ventrikel kanan. Arteri membagi
diri dan membagi diri kembali dalam cabang yang secara progresif menjadi lebih
kecil, berpenetrasi pada setiap bagian dari paru-paru hingga akhirnya mereka
membentuk anyaman kapiler yang mengelilingi dan terletak pada dinding dari alveoli.
Dinding dari alveoli maupun kapiler sangat tipis dan disinilah terjadi pertukaran gas
pernapasan. Darah yang dioksigenasi kembali kedalam atrium dengan empat vena
pulmonalis.
2. Fisiologi
Fisiologi Pernafasan Menurut Aziz Alimul Hidayat ( 2006 ) meliputi tiga
tahapan yaitu:
a. Ventilasi
Proses ini merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke
dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Dalam proses ventilasi ini terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi, di antaranya adalah perbedaan tekanan antara
atmosfer dengan paru. Semakin tinggi tempat maka tekanan udara semakin
rendah. Demikian sebaliknya, semakin rendah tempat tekanan udara semakin
tinggi. Hal lain yang mempengaruhi proses ventilasi kemampuan thoraks dn paru
pada alveoli dalm melaksanakan ekspansi atau kembang kempisnya, adanya jalan
napas yang dimulai dari hidung hingga alveoli yang terdiri atas berbagai otot
polos yang kerjanya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom, terjadinya
rangsangan simpatis dapat menyebabkan relaksasi sehingga dapat terjadi
vasodilatasi, kemudian kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan konstriksi
sehingga dapat menyebabkan vasokonstriksi atau proses penyempitan, dan adanya
refleks batuk dan muntah juga dapat mempengaruhi adanya proses ventilasi,
adanya peran mukus siliaris yang sebagai penangkal benda asing yang
mengandung interveron dapat mengikat virus.
Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah komplians (complience) dan
recoil yaitu kemampuan paru untuk berkembang yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya surfaktan yang terdapat pada lapisan alveoli yang
berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan dan masih ada sisa udara
sehingga tidak terjadi kolaps dan gangguan thoraks atau keadaan paru itu sendiri.
Surfaktan diproduksi saat terjadi peregangan sel alveoli. Surfaktan disekresi saat
klien menerik napas; sedangkan recoil adalah kemampuan untuk mengeluarkan
CO2 atau kontraksi atau menyempitnya paru. Apabila complience baik akan tetapi
recoil terganggu maka dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan.
b. Difusi
Gas Merupakan pertukaran antara oksigen alveoli dengan kapiler paru dan
CO2 kapiler dengan alveoli. Dalam proses pertukaran ini terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhinya, diantaranya, pertama, luasnya permukaan paru.
Kedua, tebal membran respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan
intertisial keduanya. Ini dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses
penebalan. Ketiga, perbedaan tekanan dan konsentrasi O2. Hal ini dapat terjadi
seperti O2 dari alveoli masuk ke dalam darah oleh karena tekanan O2 dalam
rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam 16 darah vena pulmonalis
( masuk dalam darah secara berdifusi ) dan pCO2 dalam arteri pulmunalis juga
akan berdifusi ke dalam alveoli. Keempat, afinitas gas yaitu kemampuan untuk
menembus dan saling mengikat Hb.
c. Transportasi Gas
Merupakan transportasi antara O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan
tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi, O2 akan berikatan dengan Hb
membentuk Oksihemoglobin ( 97% ) dan larut dalam plasma ( 3% ). Kemudian
pada transportasi CO2 akan berkaitan dengan Hb membentuk
karbominohemoglobin ( 30% ), dan larut dalm plasma ( 5% ), kemudian sebagian
menjadi HCO3 berada pada darah ( 65% ). Pada transportasi gas terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya curah jantung ( cardiac output )
yang dapat dinilai melalui isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung. Isi sekuncup
ditentukan oleh kemampuan otot jantung untuk berkontraksi dan volume cairan.
Frekuensi denyut jantung dapat ditentukan oleh keadaan seperti over load atau
beban yang dimiliki pada akhir diastol. Pre load atau jumlah cairan pda akhir
diastol, natrium yang paling beperan dalam menentukan besarnya potensial aksi,
kalsium berperan dalma kekuatan kontraksi dan relaksasi. Faktor lain dalam
menentukan proses transportsi adalah kondisi pembuluh darah, latihan/olahraga
( exercise ), hematokrit ( perbandingan antara sel darah dengan darah secara
keseluruhan atau HCT/PCV ), Eritrosit, dan Hb.
Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya
infeksi saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah
bakteri agar tidak masuk ke dalam paru. Mekanisme pembersihan tersebut adalah :
1) Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi:
a) Repitelisasi saluran nafas
b) Aliran lendir pada permukaan epitel
c) Bakteri alamiah atau “epithelial cell binding site analog”
d) Faktor humoral lokal ( IgG dan IgA )
e) Kompetisi mikroba setempat
f) Sistem transpor mukosilier
g) Refleks bersin dan batuk
Saluran nafas atas ( nasofaring dan orofaring ) merupakan mekanisme
pertahanan melalui barier anatomi dan mekanis terhadap masuknya
mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong mikroorganisme
keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan.
Bila terjadi disfungsi silia seperti pada sindrom kartagener’s, pemakaian pipa
nasogastrik dan pipa nasotrakeal 18 yang lama dapat menganggu aliran sekret
yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen. Dalam keadaan ini dapat
terjadi infeksi nosokomial atau “Hospital Acquired Pneumonia”.
2) Mekanisme pembersihan di “Respiratory exchange airway”, meliputi:
a) Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan.
b) Sistem kekebalan humoral lokal ( IgG )
c) Makrofag alveolar dan mediator inflamasi
d) Penarikan netrofil
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru
( saluran napas atas ). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung ( 10%
dari total protein sekret hidung ). Penderita defisiensi IgA memiliki risiko untuk
terjadi infeksi saluran napas atas yang berulang. Bakteri yang sering mengadakan
kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan
merusak IgA. Bakteri gram negatif ( P aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus
spp dan K pneumonia ) mempunyai kemampuan untuk merusak IgA.
Defisiensi dan kerusakan setiap komponen pertahanan saluran napas atas
menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai faliti terjadinya infeksi saluran
napas bawah.

3)Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotis

Mekanisme pertahanan saluran nafas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik,


humoral danm komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari glotis
merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofarinmg.
Bila terjadi gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas
bagian bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa
nasogastrik, alat trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen secara langsung
ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat memudahkan masuknya
bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.
influenze dan virus dapat merusak gerakan silia.
4) Mekanisme pembersihan di respiratory gas exchange airway” Bronkiolus dan
alveoli mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut:
a) Cairan yang melapisi alveoli
1) Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-A,
SP-B. SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing terhadap
bakteri oleh makrolog. 20

2) Aktiviti anti bakteri ( non spesifik ) : FFA, lisozim, iron binding protein.

b) IgG ( IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin)


c) Makrofag alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan pertama.
d) Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus ( ada infeksi GNB,
P.aeruginosa)
e) Mediator biologi Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a,
produksi dari makrofag alveolar, sitokin, leukotrien.

C. Patofisiologi

Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien TB paru ketika pasien batuk,
bersin, tertawa. droplet nuclei ini mengandung basil TB dan ukurannya kurang dari 5 mikron
dan akan melayang-layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung hasil TB. Saat
Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada
pemeriksaan foto rontgen.

Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil
dan makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tubercolosis melisis (menghancurkan)
basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam
alveoli, menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah
pemajanan. Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil yang
masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan jaringan fibrosa, bagian sentral dari
massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menajdi nekrotik membentuk massa seperti keju.
Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi
dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif. Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu
dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon
system imun.
Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti keju dalam bronki. Bakteri
kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh.
Tuberkel yang menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi
menjadi lebih membengkak, menyebabkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut.

D. Etiologi

Penyebab utama penyakit TB adalah Mycobcterium tuberculosis complex . Kuman


atau bakteri ini menyebar di udara melalui percikan ludah penderita, misalnya saat
berbicara, batuk, atau bersin.
 Orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh.
 Petugas medis yang sering berhubungan dengan penderita TBC.
 Lansia dan anak-anak.
 Pengguna NAPZA.
 Orang yang kecanduan alkohol.
 Perokok.
 Penderita penyakit ginjal stadium lanjut.
 Orang dengan kekebalan tubuh yang lemah, misalnya penderita AIDS, diabetes,
kanker, serta orang yang kekurangan gizi.

E. Klasifikasi

Pada umumnya penderita TB pada diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi penyakit dan
hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu meliputi sebagai berikut:

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


Pada umumnya kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. Maka dari itu, TB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB
Ekstra Paru (WHO, 2014). TB Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan)
paru, tidak termasuk pleura. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI,
2014). TB Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra
paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru
ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi TB kelenjar
limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal, sedangkan TB
ekstra paru berat yaitu meliputi meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin
(Werdhani, 2008).
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, TB Paru dibagi menjadi TB Paru


BTA positif, dengan kriteria minimal 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif, sedangkan TB Paru BTA negatif yaitu dengan kriteria semua hasil dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif (Kemenkes RI, 2014)

B. Klasifikasi Tuberkulosis

Menurut Sudoyo (2007), klasifikasi tuberkulosis yang banyak di pakai di Indonesia adalah
berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis, meliputi :

1. Tuberkulosis paru

2. Bekas tuberkulosis paru

3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :

a. Tuberkulosisi paru tersangka yang diobati.

Disini sputum BTA negatif tetapi tana-tanda lain positif.

b. Tuberkulosisi paru yang tidak terobati. Disini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain
juga meragukan

TB tersangka dalam 2-3 bulan sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau
bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan status bakteriologi, mikroskopik
sputum BTA (langsung),biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan yang relevan
untuktuberkulosis paru, status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis.

F. Penatalaksanaan

Menurut Muttaqin (2008) pentalaksanaan tuberkulosis paru menjadi tiga bagian, yaitu
pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
1. Pencegahan Tuberkulosis Paru

a. Pemeriksaan kontrak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita tuberkulosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif. Pemeriksaan meliputi tes
tuberkulin, klinis, dan radiologi. Bila tes tuberkulin postif, maka pemeriksaan radiologis foto
toraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan Bacillus
Calmette dan Guerin (BCG) vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes
tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksi.

b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi


tertentu c. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette dan Guerin)

d. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH (Isoniazid) 5 % mg/kgBB selama 6-12 bulan


dengan tujuan menghancurkan ataumengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi
kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi menyusui pada ibu dengan BTA positif ,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder di perlukan bagi kelompok berikut:

1) Bayi di bawah 5 tahun dengan basil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB
milier dan meningitis TB.

2) Anak remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tuberkulin positif yang bergaul erat dengan
penderita TB yang menular

3) Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif

4) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang

5) Penderita diabetes melitus.

e. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang tuberculosis kepada masyarakat di


tingkat puskesmas maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI)

2. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Program nasional pemberatasan tuberkulosis paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai
dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan, sehingga
penderita dibagi dalam empat kategori antara lain, sebagai berikut :
a. Kategori I

Kategori I untuk kasus dengan sputum positif dan penderita dengan sputum negatif. Dimulai
dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Bila setelah 2 bulan
sputum menjadi negatif dilanjutkan dengan fase lanjutan, bila setelah 2 bulan masih tetap
positif maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu, kemudian dilanjutkan tanpa melihat
sputum positif atau negtaif. Fase lanjutannya adalah 4HRatau 4H3R3 diberikan selama 6-7
bulan sehingga total penyembuhan 8-9 bulan.

b. Kategori II

Kategori II untuk kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. Fase intensif dalam
bentuk 2HRZES-1HRZE, bila setelah fase itensif sputum negatif dilanjutkan fase lanjutan.
Bila dalam 3 bulan sputum masih positif maka fase intensif diperpanjang 1 bulan dengan
HRZE (Obat sisipan). Setelah 4bulan sputum masih positif maka pengobtan dihentikan 2-3
hari. Kemudian periksa biakan dan uji resisten lalu diteruskan pengobatan fase lanjutan.

c. Kategori III

Kategori III untuk kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus
tuberkulosis luar paru selain yang disebut dalam kategori I, pengobatan yang diberikan
adalah 2HRZ/6 HE, 2HRZ/4 HR, 2HRZ/4 H3R

d. Kategori IV

Kategori ini untuk tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
pengobatan kecil sekali. Negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat dapat di
berikan H saja seumur hidup, sedangkan negara maju pengobatan secara individu dapat
dicoba pemberian obat lapis 2 seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin,
Kanamisin, dan sebagainya.

G. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik
tetapi progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala
yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah :
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.

b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan
produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent (menghasilkan sputum)

c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru

d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat di waktu di malam hari.

H. Pengobatan

a. Pengobatan TBC Paru

Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:

1) Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB per hari dengan
tujuan mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakteri sidal), menghilangkan
keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya resistensi obat

2) Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per hari
atau secara intermitten dengan tujuan menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi),
mencegah kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33
kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.

Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan, nafsu makan
meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan
konversi sputum menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada
akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa
pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir
pengobatan. Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam
evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir pengobatan
sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nantsi timbul kasus kambuh.

b. Perawatan bagi penderita tuberkulosis Perawatan yang harus dilakukan pada penderita
tuberculosis adalah : 1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah
orang terdekat yaitu keluarga. 2) Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk
bila diperlukan

3) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita

4) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari

5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua, kelima dan enam

6) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik

I. Pencegahan

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :

1) Menutup mulut bila batuk

2) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada wadah tertutup yang
di beri lisol

3) Makan makanan bergizi

4) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita

5) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik

6) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI, 2010)

J. Dampak Tuberkulosis Paru

Penyakit Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit yang sangat mempengaruhi
kehidupan individu. Dampak Tuberkulosis paru antara lain:

a. Terhadap individu

1) Biologis Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus, sesak
napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam
hari dan kadang-kadang panas yang tinggi

2) Psikologis Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena batuk
yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan.

3) Sosial Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan penyakitnya
sehingga klien selalu mengisolasi dirinya.
4) Spiritual Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan Tuhan karena penyakitnya yang
tidak sembuh-sembuh juga menganggap penyakitnya yang manakutkan.

5) Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.

b. Terhadap keluarga

1) Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang pengetahuan
dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan
pengobatan dan upaya pencegahan penularan penyakit.

2) Produktifitas menurun. Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan


sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat biaya hidup sehari-hari
terutama untuk biaya pengobatan.

3) Psikologis Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain

4) Sosial Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar masyarakat
belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru .

c. Terhadap masyarakat

1) Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan Penderita
TB Paru positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada
masyarakat luas akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit TB Paru.

2) Lima langkah strategi DOTS adalah dukungan dari semua kalangan, semua orang
yang batuk dalam 3 minggu harus diperiksa dahaknya, harus ada obat yang disiapkan
oleh pemerintah, pengobatan harus dipantau selama 6 bulan oleh Pengawas Minum Obat
(PMO) dan ada sistem pencatatan / pelaporan.

K. Penularan

Perjalanan bakteri Mycobacterium banyak mengalami hambatan antara lain pada hidung
karena keberadaan bulu hidung dan lapisan lendir yang melapisi seluruh saluran pernafasan
dari atas sampai ke kantong alveoli. Bila penderita baru pertama kali ketularan bakteri
tuberkulosis ini, terjadilah suatu proses dalam tubuhnya (paru) yang disebut Primary
Complex of Tuberculosis (PCT) yang terdiri dari focus di paru dimana terjadi eksudasi dari
sel karena proses dimakannya bakteri tuberkulosis oleh sel macrophage.
Lesi tersebut dapat terjadi pada kelenjar getah bening, yang disebabkan oleh karena lepasnya
bakteri pada saluran limfa. Proses pemusnahan bakteri tuberkulosis paru oleh macrophag ini
akhirnya akan menimbulkan kekebalan spesifik terhadap bakteri tuberkulosis paru. Primary
Complex of Tuberculosis (PCT) dapat terjadi pada semua umur. Di negara dimana prevalensi
tuberkulosis paru tinggi kebanyakan anak-anak sudah terinfeksi oleh tuberkulosis paru pada
tahun-tahun pertama dari kehidupannya, walaupun kemudian menjadi penyakit tuberkulosis
paru hanya sedikit.

Terdapat dua kemungkinan pasca pembentukan Primary Complex of Tuberculosis (PCT),


yaitu:

1. Dapat sembuh dengan sendirinya karena adanya proses penutupan fokus primer
oleh kapsul membran yang akhirnya akan terjadi perkapuran.
2. Beberapa bakteri akan ikut terlepas ke dalam pembuluh darah dan dapat
menginfeksi organ-organ yang terkena. Infeksi yang demikian ini di sebut Post
Primary Tuberculosis (PPT) berupa infeksi pada paru, laring dan telinga tengah,
kelenjar getah bening di leher, saluran pencernaan dan lubang dubur, saluran
kemih, tulang dan sendi (Misnadiarly, 2006).
Menurut Handoko (2010), perkembangan infeksi tuberkulosis paru menjadi penyakit
tuberkulosis paru dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keadaan sosial ekonomi
masyarakat (seperti kemiskinan, kekurangan gizi, rendahnya latar belakang pendidikan
(kurang pengetahuan) dan kepadatan penduduk. Sebagian besar orang (80-90%) yang
terinfeksi belum tentu menjadi sakit tuberkulosis paru. Untuk sementara waktu bakteri yang
ada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur) dan keberadaan bakteri
dormant ini dapat diketahui hanya dengan tes tuberkulin dan apabila telah menjadi sakit
disebut dengan penderita tuberkulosis paru, biasanya dalam waktu paling cepat sekitar 3-6
bulan setelah terinfeksi dan bagi yang tidak menjadi sakit tetap berisiko untuk menderita
tuberkulosis paru sepanjang sisa hidupnya.

Penularan terjadi karena bakteri dikeluarkan dengan cara batuk atau bersin oleh penderita
menjadi droplet nuclei (percikan dahak) dan terhirup masuk ke pernapasan. Daya penularan
ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
positif (gradasi BTA), makin menular penderita tersebut. Secara epidemiologis, seorang
penderita tuberkulosis paru positif dapat menularkan pada 10-15 orang setiap tahunnya.
Seseorang yang tertular bakteri tuberkulosis disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
karenadaya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk dan infeksi HIV/AIDS. Bakteri tuberkulosis
paru hanyalah necessary cause, bersama dengan nutrisi buruk, keadaan lingkungan tidak
sehat, umur dan faktor genetik sehingga terjadinya tuberkulosis paru. Orang yang telah
tertular tidak akan lagi menimbulkan gejala-gejala klinis yang khas. Gejala-gejala klinis baru
timbul bila daya tahan tubuh penderita semakin melemah atau mengalami gangguan.

Anda mungkin juga menyukai