Dalam Kamus Hukum (Sudarsono, 1992: 36), istilah ‘argumen’ diberikan arti sebagai alasan
yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan.
Berargumen, berarti berdebat dengan saling mempertahankan atau menolak alasan masing-masing.
Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu
pendapat, pendirian atau gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Istilah ‘hukum’ dalam makalah ini dimaksudkan sebagai norma, yang lazimnya diartikan sebagai
aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bagaimana seyogianya berbuat atau tidak
berbuat agar kepentingan masing-masing terlindungi. Norma merupakan pandangan objektif
masyarakat tentang apa yang seyogyanya diperbuat atau tidak diperbuat. Pengertian norma hukum
meliputi asas hukum, norma hukum dalam arti sempit atau nilai(value norm) dan peraturan hukum
konkret. Norma hukum dalam arti yang luas, berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sistem,
yaitu sistem hukum. Di samping norma dan sistem hukum sebagai sasaran studi ilmu hukum, karena
hukumnya tidak lengkap, sehingga perlu dicari dan diketemukan. Oleh karena itu harus dipelajari pula
caranya mencari atau menemukan hukum.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ‘argumentasi hukum’ dalam makalah ini, yaitu
“alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara
logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas
hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.
Hukum itu sendiri bagi sebagian besar sarjana hukum didefinisikan sebagai himpunan peraturan-
peraturan hukum yang mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.
Dikatakan bagi sebagian besar sarjana hukum karena bagi sebagian sarjana hukum yang lain hukum
tidak dilihat sebagai himpunan peraturan. Sebagian besar sarjana hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara
dan sebagainya) pada umumnya dihadapkan pada peristiwa konkret yang memerlukan pemecahan,
suatu konflik. Untuk memecahkan peristiwa konkret atau konflik itu dicarikan norma atau hukumnya
dan hukumnya terdapat dalam himpunan peraturan-peraturan hukum.
Dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada pemecahan masalah hukum atau konflik,
bagaimana memecahkan suatu konflik, apa hukum atau hukumannya, siapa yang berhak? Oleh karena
itulah Noll, (Van der Velden, 1988: 21-22) mengatakan bahwa ilmu hukum itu merupakan ilmu
peradilan (rechtspraakwetenschap). Yang dimaksudkan bahwa studi hukum itu dilihat dari kaca mata
hakim yang mengandung sekurang-kurangnya tiga ciri, yaitu:berkaitan dengan peristiwa
individual; diterapkannya suatu norma atau kaidah (peraturan hukum); diselesaikannya suatu konflik.
1) Perlindungan Konstitusional;
6) Pendidikan kewarganegaraan.
Dari syarat-syarat tersebut jelas bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah
satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa berbicara lagi
tentang Negara Hukum.
Negara Hukum
b) Terpenuhinya kebutuhan materiil minimun bagi kehidupan manusia yang menjamin keberadaan
manusia yang bermartabat manusiawi.
Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman,
yaitu‘rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan
atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ‘The Rule of Law’.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’itu
mencakup empat elemen penting, yaitu :
Pembagian kekuasaan;
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah ‘The Rule of Law’, yaitu :
Equality before the law, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil ini berlaku baik
untuk orang biasa maupun pejabat;
Due process of law, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan-
keputusan pengadilan.
Friedman (Sunarjati,1976: 28), bahwa kata rule of law dapat dipakai dalam arti formal (in the
formal sense) dan dalam arti material (ideological sense). Dalam arti formal maka rule of law itu tidak
lain artinya sebagai “organized public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam
pengertian ini setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang dinamakan negara) mempunyai rule
of law, sehingga kita dapat berbicara tentang rule of lawdari RRC, Perancis, Jerman, Cekoslovakia,
dan sebagainya. Sudah barang tentu bukan dalam arti formal ini kita pakai rule of law itu, tetapi dalam
arti material. Artinya, dalam arti yang materiel inilah yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum
yang baik dan hukum yang buruk. Dalam arti ini, kita dapat berbicara tentang just atau unjust law.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa konsep rule of law melahirkan konsep
negara kesejahteraan (Welfare State) yang menggambarkan, bahwa hak-hak kebebasan politik,
haruslah disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Ia tidak
menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat.
Praktek hukum di Indonesia memperlihatkan situasi yang sangat dipengaruhi oleh positivisme
hukum, bahkan positivisme undang-undang (legisme). Para praktisi hukumnya dipengaruhi
positivisme hukum, sehingga cenderung berpikir positivistik atau legistik dalam menjalanhan
profesinya masing-masing. Dalam pandangan yang positivistik itu, maka hukum hanyalah apa yang
secara eksplisit tercantum dalam aturan hukum yang sah (perundang-undangan). Akibatnya
penggunaan atau perujukan pada asas hukum dalam memberikan argumentasi suatu pendapat hukum
atau dalam menetapkan putusan hukum kurang mendapat perhatian. Antara lain disebabkan oleh
diabaikannya perujukan pada asas hukum dalam argumentasi yuridis dalam upaya menerapkan
berbagai aturan perundang-undangan yang saling berkaitan. Maka implementasi konsepsi negara
hukum dalam praktek menjadi jauh dari yang diidealkan (misalnya kasus Tempo pada masa Orde
Baru).
Yang terwujud dalam praktek adalah Negara Hukum formal saja, yang menjauhkan hukum dari
keadilan. Memang dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang mendasar seperti di
Indonesia, maka semua nilai-nilai dan asas hukum yang sangat fundamental untuk mewujudkan
keadilan justru dapat menjauhkan ‘hukum’ dari keadilan atau kebutuhan hukum riil dari masyarakat
yang sesungguhnya (W. Friedmann).
Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu
keputusan. Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Berkaitan dengan jenis-jenis
argumentasi, hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan keputusan, serta ketepatan alasan
atau pertimbangan yang mendukung keputusan. (Golding, 1984: 1)
Menyelesaikan masalah hukum secara yuridis dalam intinya berarti menerapkan aturan hukum
positif terhadap masalah (kasus) tersebut. Menerapkan aturan hukum positif hanya dapat dilakuhan
secara kontekstual menginterpretasikan aturan hukum tersebut untuk menemukan kaidah hukum yang
tercantum di dalamnya, dalam kerangka tujuan kemasyarakatan dari pembentukan aturan hukum
(teleologikal) yang dikaitkan pada asas hukum yang melandasinya dengan melibatkan juga berbagai
metode interpretasi lainnya (gramatikal, historikal, sistematikal, sosiologikal). Banyak contoh kasus
hukum yang menggambarkan bahwa cara penalaran hukum yang melibatkan asas hukum dan tujuan
kemasyarakatan aturan hukum terkait sering diabaikan.
Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial. Dari sekian banyak masalah-masalah
sosial itu kita harus mampu menemukan atau menyeleksi masalah hukumnya, untuk kemudian
dirumuskan dan dipecahkan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyeleksi masalah hukum dari
masalah-masalah sosial, yang sering tumpang tindih dengan masalah hukum dan sulit untuk dicari
batasnya, seperti misalnya masalah politik, masalah kesusilaan, masalah agama dan sebagainya. Di
sinilah pentingnya kemampuan untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan masalah hukum (legal
problem identification).
Sebagai contoh konkret dapat dikemukakan kegiatan Hakim dalam memeriksa perkara. Setelah
peristiwa konkretnya diseleksi melalui proses tanya-jawab dengan argumentasi masing-masing pihak,
maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk dikonstatasi dan sekaligus dirumuskan dan
diidentifikasi bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa hukum.
Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, masih perlu diketahui masalah
hukum itu masalah hukum bidang apa, hukum perdata, hukum dagang, hukum agraria, hukum pidana
dan sabagainya. Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum pidana sering tidak tajam
batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana, antara penggelapan
dan pencurian.
Setelah diketemukan masalah hukumnya dengan menggunakan penemuan hukum, maka harus
dicari pemecahannya (legal problem solving). Kalau misalnya sudah diketahui bahwa masalah itu
merupakan utang-piutang, harus dipecahkan siapakah yang bersalah atau bertanggungjawab dan dicari
hukumnya untuk diterapkan. Kalau terjadi pembunuhan harus dicari siapa pelakunya dan hukumnya
untuk diterapkan. Sehingga dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada peristiwa konkret, kasus atau
konflik yang memerlukan pemecahan dengan mencari hukumnya. Bekal untuk memecahkan konfik
itu adalah pengetahuan tentang norma hukum, sistem hukum dan penemuan hukum. Setelah
pemecahan masalah hukum perlu diberi hukumnya, haknya atau hukumannya. Dengan kata lain, harus
diambil keputusan (decision making).
Penting mendapatkan perhatian dan mutlak untuk dikuasai, ialah ‘the power of solving legal
problems’, karena di bidang profesi hukum manapun seorang sarjana hukum bekerja selalu akan di-
hadapkan pada masalah hukum yang harus dipecahkannya. Maka dengan demikian, norma hukum,
sistem hukum dan penemuan hukum, adalah merupakan bekal yang digunakan dalam memecahkan
masalah hukum.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, seorang sarjana hukum yang bekerja sesuai
dengan profesinya, terutama dalam penegakan hukum, harus mempunyai sikap ilmiah, yaitu antara
lain jujur, berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta berani mengakui kesalahan dan
memperbaikinya, terbuka untuk pendapat atau kritik orang lain dan tidak merasa dirinyalah yang
selalu benar, objektif tidak memihak, tidak bersikap emosional dan a priori terhadap pendapat orang
lain, kritis dan kreatif yang konstruktif.
Kata ’logika’ sebagai istilah, berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti
ketepatan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas
mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk pemikiran yang lain,
mulai yang paling sederhana ialah pengertian atau konsep (concept), proposisi atau pernya-
taan (proposition, statement) dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian
(konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk rnemahami penalaran, maka ketiga bentuk
pemikiran harus dipahami bersama-sama. (Soekadijo, 1985: 3)
Satu dalil yang kuat, satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata
lain adalah suatu "conditio sine qua non" agar suatu keputusan dapat diterima, adalah apabila
didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak
dalam berargumentasi. (Brouwer, 1982: 32)
Argumentasi hukum merupakan satu model argumentasi khusus. Terdapat dua hal yang menjadi
dasar kekhususan argumentasi hukum :
1) Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa.
Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu
keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang berlanjut.
Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru. Orang
dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam hukum positif untuk
mengambil keputusan-keputusan baru.
2) Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum, berkaitan dengan
kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional (drie niveaous van
rationele juridische argumentatie) dan diskusi rasional.
Pengumpulan Fakta
Fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah perbuatan
hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum, di bawah umur adalah suatu keadaan. Pengumpulan fakta
hukum didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti.
Hakekat permasalahan hukum dalam sistem peradilan, berkaitan dengan lingkungan peradilan
yang dalam penanganan perkaranya berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan.
Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan tentang
fakta pada akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang sebenarnya yang didukung oleh alat-alat
bukti. Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali dengan statute approach, yang kemudian
diikuti dengan conseptual approach. Dengan demikian identifikasi isu hukum berkaitan dengan
konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah elemen-elemen pokok.
Dalam menganalisa masalah tersebut, pertama-tama harus dirumuskan isu hukum yang berkaitan
dengan konsep wanprestasi. Analisis pada dasarnya mengandung makna pemilahan dalam unsur-unsur
yang lebih kecil. Dengan konsep demikian, analisis atas isu wanprestasi dilakukan dengan memilah-
milah unsur-unsur mutlak wanprestasi, yaitu :
Selanjutnya masing-masing isu tersebut dibahas dengan mendasarkan pada fakta (hubungan
dokter-pasien) dikaitkan dengan hukum dan teori serta asas hukum yang berlaku. Terhadap setiap isu
yang diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat. Pada akhirnya ditarik simpulan (opini)
terhadap setiap isu. Berdasarkan simpulan (opini) atas setiap isu, ditarik simpulan atas pokok masalah,
yaitu ada tidaknya wanprestasi dan/atau perbuatan melanggar hukum dalam hubungan dokter-pasien.
Dalam pola civil law system, hukum utamanya adalah legislasi. Oleh karena itu langkah dasar
pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2, bahwa
“peraturan perundang-undang adalah produk hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang, yang isinya mengikat umum”.
Langkah ini merupakan langkah pertama yang dikenal sebagai statute approach. Langkah
berikutnya (langkah kedua) adalah mengidentifikasi norma. Rumusan norma merupakan suatu
proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakekat proposisi, norma terdiri atas rangkaian konsep.
Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami konsep. Inilah langkah ketiga yang dikenal
dengan conceptual approach.
Misalnya norma Pasal 1365 BW, “setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan
kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian”. Dalam
norma tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan, adalah :
Konsep perbuatan
Kalau konsep ini tidak dijelaskan akan menimbulkan kesulitan, misalnya apakah kerugian yang
ditimbulkan oleh gempa bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW.
Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan.
Pertanyaan menyusul adalah hal itu perbuatan siapa, dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa yang
bertanggungjawab.
Harus dimaknai secara jelas unsur-unsur melanggar hukum. Dalam bidang hukum perdata orang
berpaling kepada yurisprudensi. Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal :
. melanggar kepatutan;
. melanggar kesusilaan.
Konsep kerugian
Dengan contoh di atas, bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis
langsung diterapkan pada fakta hukum. Rumusan norma bersifat abstrak dan konsep pendukungnya
dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dengan kondisi yang demikian,
langkah ketiga seperti dijelaskan di muka, adalah merupakan langkah penemuan hukum.
Penerapan Hukum
Setelah rnenemukan norma konkret, langkah berikutnya adalah penerapan pada fakta hukum.
Seperti contoh di atas setelah menemukan norma konkret dari perbuatan dalam konteks Pasal 1365
BW dapat dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan hukum, “apakah gempa bumi merupakan
perbuatan?”
Contoh lain, berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Unsur
pertama adalah penyalahgunaan wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang,
dengan sendirinya sulit dijadikan parameter untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan
merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang. Salah konsep mengakibatkan kesalahan mengambil
kesimpulan.
Dalam logika dikenal rumus "Ex Falso Quo Libet". Artinya, dari yang palsu (salah), bisa benar
bisa salah. Faktor kebetulan berperan dalam hukum, bisa terjadi kesewenang-wenangan dan bahkan
muncul penyalahgunaan wewenang baru, misal oleh Jaksa atau, Hakim atau pun Pengacara.
Secara teknis kebebasan hakim dibatasi oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan,
Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim, terutama dalam perkara
perdata, terikat pada apa yang dikemukakan oleh para pihak. Pada dasarnya tidak dapat memutuskan
lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. Putusannya tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila, UUD, undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan. Secara politis dibatasi oleh
sistem pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dalam menemukan hukum, ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,
bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersem-
bunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada, tetapi masih harus
digali, dicari dan diketemukan, kemudian diciptakan. Dikatakan oleh Scholten, bahwa di dalam
perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat
berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari
atau menemukannya.
Bagaimana Hakim memutus perkara menjadi sangat penting; karena melalui putusan Hakim
para pihak yang berperkara bisa memperoleh hak yang diperjuangkan dan atau sebaliknya bisa
kehilangan haknya. Jika putusan Hakim tidak adil, maka putusan itu akan mengakibatkan kerugian
moral bagi pihak yang dirugikan, karena putusan itu telah memberikan stigma kepada orang yang
bersangkutan sebagai “pelanggar hukum”. Ada tiga persoalan yang selalu muncul dalam setiap
perkara, yaitu:
c) jika hukum menolak memberi kompensasi, apakah hal demikian tidak adil dan jika dianggap tidak
adil, haruskah Hakim mengabaikan hukum demikian dan mengabulkan permohonan ganti rugi
tersebut (hubungan antara modal politik dan ketaatan hukum)?
Antara penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Pengacara) kadangkala berselisih paham tentang
patokan apa yang harus dipergunakan untuk menentukan ‘hukum apa yang relevan bagi suatu kasus’.
Mereka kadangkala tidak sepakat tentang apakah dasar hukum dalam suatu kasus tertentu telah
terpenuhi atau tidak. Perselisihan ini disebut ketidaksepakatan teoritis tentang hukum dan perbedaan
pendapat tentang apa yang sesungguhnya menjadi konsep hukum berkenaan dengan kompensasi itu,
karena mereka tidak sepakat apakah undang-undang atau putusan Hakim telah secara tuntas menelaah
dasar hukum yang relevan. Perselisihan ini disebut perselisihan empiris tentang hukum, yaitu
perbedaan pendapat tentang kata-kata apa yang sebenarnya tercantum dalam undang-undang dengan
cara sama mereka tidak sepakat tentang jumlah fakta lain.
Mentakjubkan bahwa ilmu hukum tidak memiliki teori yang masuk akal berkenaan dengan
sengketa teoritis tentang konsep negara hukum. Ahli filsafat hukum tentunya sadar bahwa sengketa
teoritis ini bersifat problematis. Sengketa teoritis tentang hukum tidak lebih dari sekedar ilusi bahwa
sebenarnya baik Polisi/Jaksa/Pengacara maupun Hakim sepakat tentang dasar hukum suatu pandangan
diterima sebagai konsep hukum. Apa yang menjadi hukum hanyalah soal apa yang telah diputuskan
oleh institusi-institusi hukum. Mengapa Hakirn dan Jaksa/Pengacara kadangkala masih juga tidak
sepakat secara teoritis tentang konsep hukum? karena ketika mereka tampaknya secara teoritis
bersengketa tentang apa sebenarnya hukum itu seharusnya. Persoalan sebenarnya tidak lebih tentang
soal moralitas dan pentaatan cermat, bukan tentang konsep hukum itu sendiri.
Opini populer dalam masyarakat bahwa Hakim-Hakim dalam mengambil keputusan harus
mengikuti hukum ketimbang mencoba mengembangkan hukum yang sudah ada. Sayangnya ada
beberapa Hakim tidak menerima batasan yang bijak ini dan secara sembunyi-sembunyi atau justru
terang-terangan mereka membengkokkan hukum demi tujuan-tujuan penguasa atau kepentingan
mereka sendiri.
Dari pandangan di atas dapat diambil simpulan bahwa putusan-putusan institusional tidak hanya
sekali-kali, tetapi setiap kali, tidak jelas atau ambigu atau tidak lengkap, bahkan kadang putusan-
putusan demikian kerap inkonsisten ataupun sekaligus inkoheren, (dalam kenyataan tidak pernah ada
hukum tentang segala apapun, namun hanya Hakim-Hakim yang membungkus putusan-putusan
mereka dengan retorika yang faktual dipengaruhi oleh preferensi kelas atau ideologis), walaupun di
sisi lain dipahami bahwa pandangan ini akan ditolak dalam pemikiran yang diberikan kepada kerja
para Hakim dan Pengacara dalam praktek mereka sehari-hari.
Simpulan
Argumentasi hukum, adalah “alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas,
berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat,
pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret,
serta sistem hukum dan penemuan hukum”.
Suatu argumentasi bermakna, hanya dibangun atas dasar logika, adalah suatu ”conditio sine qua
non” agar suatu keputusan dapat diterima, yakni apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan
sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.
Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa.
Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu
keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang berlanjut. Dari
suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma baru. Orang dapat
bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil
keputusan-keputusan baru.
*) Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. adalah Dosen Fakultas Hukum Univ.
Wisnuwardhana Malang.
Referensi :
Benditt, Theodore M., 1978, Law as Rule and Principle (Problems of Legal Philosophy),California:
Stanford University.
Garner, Bryan A., 1999, Blak’s Law Dictionary, Sevent Editions, St. Paul Min.: West Group.
Golding, Martin P., 1984, Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc.
Soekadijo, RG., 1985, Logika Dasar, Tradisional; Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia.
Velden, WG. Van der, 1988, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Lelystad: Koninklijke
Vermande.
Wojowasito, S., 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.