Anda di halaman 1dari 22

Mata Kuliah : Etika Kristen

Dosen : Riany Sitanggang, M. Th

Oleh/NIM : Juanna Ria Sitorus/1810030, Mardiana Siahaan/1810035, Saida


Simbolon/1810042

Menikah dan Tidak Menikah


Kajian Etis Kristen terhadap prinsip 3H “Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon” Dalam
Suku Batak Toba dan Pengaruhnya Terhadap Siboru Manik
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna sebagai makhluk yang
mempunyai kebutuhan dalam kehidupannya, baik secara biologis, psikologis, sosiologis
dan religius. Lalu ketika manusia memasuki tahap masa dewasa mulai memfokuskan relasi
interpersonal pada hubungan yang lebih intim dengan pasangannya, dimana relasi itu
berkembang lebih lanjut kepada kesepakatan yang lebih mendalam dan dalam jangka
waktu yang relative panjang seperti halnya pernikahan. Pernikahan adalah sebuah
kesepakatan yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga yaitu antara seorang pria
dan wanita untuk sama-sama mengikat diri hingga bersama memenuhi kebutuhan
tertentu, baik secara lahir dan batin. Pernikahan tidak hanya menjadi ikatan antara seorang
pria dan wanita, namun keluarga kedua belah pihak pun turut ambil bagian didalam
pernikahan. Ketika dikatakan memenuhi kebutuhan lahir maupun batin, terdapat juga
peranan yang penting antara hubungan pernikahan dengan agama (kerohanian).

Orang Kristen sangat sering memiliki rasa antusias yang tinggi dengan meyakini
bahwa kehidupan manusia diawali oleh sebuah “Pernikahan” yaitu manusia pertama
antara Adam dan hawa. Perkataan di dalam kitab Kejadian selanjutnya menjadi acuan
dasar bagi orang-orang Kristen untuk menggenapkan tata tertib Penciptaan dengan
memasuki kehidupan berrumah tangga yang diawali oleh sebuah pernikahan. Bertolak dari
keyakinan bahwa kehidupan manusia diawali oleh sebuah Pernikahan. Dalam hal seperti
ini maka banyak orang Kristen berkeyakinan bahwa manusia akan menjalani hidup

1
“normal” apabila ia menikah, dan sebaliknya ia akan menjalani hidup “tidak normal”
apabila ia tidak menikah demikian banyak orang berpandangan demikian. Bukan hal yang
mustahil bahwa keyakinan dasar seperti ini telah menimbulkan persoalan-persoalan
krusial dalam hal pernikahan, di mana pernikahan tidak lagi dijalani berdasarkan ikatan
bersama dengan suatu komitmen yang bulat dari suami dan istri, sebaliknya pernikahan
ditempatkan semata-mata sebagai ajang “formalisasi” penggenapan titah Allah di dalam
tata tertib penciptaan. Akibatnya, pernikahan yang dibangun itu sendiri bukannya
menciptakan keharmonisan, sebaliknya diwarnai oleh banyak ketegangan-ketegangan
sebagai akibat dari pernikahan yang bersifat “paksaan” legal saja.

Tanpa menyangkal kenyataan sosial di atas, disadari pula adanya fakta kehidupan di
mana seseorang menempatkan pernikahan, sebagai suatu preferensi pribadi. Artinya,
setiap orang memiliki keputusan-keputusan pribadi tentang “baik tidaknya” menikah.
Tidak dipungkiri pula bahwa pada zaman sekarang ini kecenderungan untuk hidup
membujang banyak ditemukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat luas, masing-
masing dengan dasar pertimbangannya atau alasannya sendiri. Seiring dengan kenyataan
ini ada pihak-pihak yang belum sanggup memahami sepenuhnya kenapa seseorang
memutuskan untuk hidup tidak menikah, dan sebaliknya ada pula pihak-pihak yang tidak
sepenuhnya mengerti kenapa seseorang memilih untuk masuk ke dalam kehidupan
pernikahan yang tentu tidak pernah bebas dari persoalan-persoalan hidup berrumah
tangga setelah ia akan menikah.

Pilihan hidup tidak menikah pada seseorang masyarakat etnis Batak Toba telah
memunculkan suatu masalah pada masyarakat lainnya, karena pada dasarnya masyarakat
Batak Toba diikat oleh budaya yang mengatur kehidupan masyarakat Batak Toba. Dimana
dalam masyarakat Batak Toba ada sebuah prinsip hidup Yaitu “ Hasangapon” merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat Batak Toba untuk menjalani kehidupan
mereka. “Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon” adalah suatu status tertinggi dalam budaya
Batak Toba, yang artinya ketika seseorang itu sudah memenuhi suatu nilai budaya Batak
yaitu diukur dengan pencapaian suatu keluarga dengan memiliki anak laki-
laki/Perempuan dan anak-anaknya semua sudah menikah dan mempunyai cucu. Ketika
ada Anak/Boru dari suku Batak yang belum menikah, maka mereka belum dapat dikatakan

2
“Hasangapon/Hagabeon” dan orang tua dari mereka yang belum menikah tidak dapat
dikatakan “Sangap”. Jadi seseorang yang belum menikah atau berkeluarga belum dapat
dikatakan memiliki nilai Raja dari Suku mereka ketika ada diantara mereka yang belum
berkeluarga dan mempunyai anak.

Masyarakat suku Batak lebih menekankan bahwa setiap orang harus menikah
karena perlu memiliki keturunan, dalam hal ini orang batak akan disebut memenuhi 3H
(Hasangapon, Hamoraon, Hagabeon). Pemahaman ini diwarisi turun-temurun sehingga
seseorang pada usia yang dianggap dewasa diharapkan sudah menikah. Tidak dapat
disangkal, suku Batak yang mewarisi pemahaman ini memiliki dasar yaitu perintah Tuhan
kepada manusia pertama bahwa patut beranak cucu dan bertambah banyak serta
memenuhi bumi. Ketika pemahaman ini dipegang teguh oleh suatu kelompok orang, maka
mereka akan menganggap bahwa untuk mencapai kesempurnaan/Kebahagiaan itu
(Prinsip 3H) Harus menikah. Tidak menikah berarti tidak bahagia atau tidak menikah
adalah sebuah kesalahan dan orang yang tidak menikah berarti tidak normal. Padahal
orang yang tidak menikah bukan berarti tidak bahagia, setiap orang mempunyai caranya
sendiri untuk bahagia. Justru ada orang yang beranggapan tidak menikah itu lebih bahagia
karena akan bisa hidup bebas tanpa ada ikatan, ada juga tidak menikah karena panggilan
pelayanan, dia menganggap bahwa dengan tidak menikah akan lebih fokus dalam melayani
Tuhan. Sebenarnya pengertian dari Prinsip 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasngapon) itu
dalam suku Batak sepertinya sudah ada kekeliruan dalam pemahaman menikah menurut
orang-orang bersuku Batak.

1.2 Deskripsi Masalah

Penulis menemukan ada sebuah kasus di daerah Kisaran, Kab. Asahan, Sumut yaitu
seorang wanita yang tidak menikah. Kita sebut saja nama nya siboru Manik. Siboru Manik
adalah seorang wanita yang tinggal didaerah Kisaran, Kab. Asahan Sumut, Anak Pertama
dari 3 bersaudara, lahir di Sentang, 13 November 1977 dan sekarang sudah berusia 42
tahun. Sekitar 2 tahun lalu siboru Manik memisahkan diri dari tempat tinggal kedua orang
tuanya, isu yang beredar hal ini terjadi karena ada sebuah keributan di tengah-tengah
keluarga siboru Manik yaitu perdebatan antara siboru Manik dengan Ayahnya (Alm. Bpk. S.

3
Manik). Dari informasi yang penulis temukan melalui wawancara dengan seorang ibu
(Tetangga orang tua siboru Manik), perdebatan itu hanya masalah usia siboru Manik yang
sudah memasuki usia matang yang tak kunjung menemukan jodoh (Belum menikah). 1
Perdebatan itu akhirnya berujung dengan kepergian siboru Manik dari rumah orang
tuanya.

Dari wawancara yang dilakukan penulis kepada keluarga siboru Manik, perdebatan
itu memang terjadi dan bukan hanya soal siboru Manik yang tak kunjung menikah tetapi
dia juga menyatakan dirinya (Siboru Manik) sebenarnya tidak ingin menikah (jadi seumur
hidupnya dia hanya ingin melajang). Hal ini yang membuat keluarga siboru Manik kesal
dan sampai terjadi perdebatan yang menimbulkan keributan didalam keluarga mereka
sehingga siboru Manik ini pergi meninggalkan rumah orang tuanya dan hidup mandiri di
Kota Kisaran, sekitar setengah jam dari kampung halaman orang tua siboru Manik. Dalam
hal ini, orang tua dari siboru Manik memiliki pemahaman bahwa seorang boru Batak itu
memang harus diwajibkan menikah sehingga mempunyai keturunan, dan dari situlah
orang tua akan disebut “Sangap”. Ketika penulis melakukan wawancara kepada orang tua
yaitu ibu dari siboru Manik ini, penulis memberikan salah satu pertanyaan, Apakah
seseorang itu memang diwajibkan menikah? Jawab si Ibu “Jika tidak menikah untuk apalah
hidup, menikah itu memperoleh keturunan sehingga orang tua yang sudah tua bisa bahagia
dan memperoleh hidup sempurna”.2 Dalam hal ini menunjukkan bahwa prinsip orang tua
dari siboru Manik memahami tujuan hidup adalah menikah dan memperoleh hidup
sempurna. Dalam hal ini, penulis memahami bahwa orang tua dari si boru Manik ini
memegang prinsip 3H dalam suku Batak. Menurut Penulis, pengertian Prinsip 3H yang
keliru yaitu salah mengartikan pernikahan ini menjadi pengaruh negatif yang membuat si
Boru Manik menjadi korban dari prinsip 3H itu.

1.3 Rumusan Masalah


1. Pengertian Menikah dalam Perspektif Alkitab dan Etika Kristen?
2. Salahkah tidak menikah?

1
Wawancara dengan Ibu O. Silaen (Tetangga orang tua dari Siboru Manik), Pada Tanggal 03 April
2021, Pukul 10.00 WIB
2
Wawancara dengan Orang Tua Siboru Manik “ Molo so Muli do anak boru tu aha ma manggolu,
……….”, Di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Pada Tanggal 03 April 2021, Pukul 15.00 WIB

4
3. Kajian Etis Kristen terhadap prinsip 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) Dalam
Suku Batak Toba?
II. Pembahasan
2.1 Pengertian Menikah Dan Tidak Menikah

Menurut KBBI Pernikahan atau nikah adalah sebuah ikatan (akad) perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama, yang artinya hidup sebagai
suami-istri tanpa merupakan pelanggaran terhadap agama, artinya sudah sah secara
agama dan kebudayaannya.3 Secara etimologis kata “perkawinan” atau pernikahan berasal
dari kata dasar kawin atau nikah. Jadi, perkawinan adalah suatu komitmen yang tak
bersyarat yang dibuat diantara dua orang yang memasuki gerbang pernikahan. Pernikahan
juga merupakan ikatan yang dilakukan atas dasar ajaran Agama untuk hidup sebagai suami
istri dalam membangun sebuah keluarga. Sedangkan menurut, Any Andjar bahwa “Fungsi
perkawinan adalah guna mengembangkan misi luhur untuk menciptakan keluarga yang
bahagia dan sejahtera, yang saling memberi dan menerima serta saling pengertian
berdasarkan cinta kasih dalam rangka untuk mengayu-hayuning bawana, artinya
menciptakan ketentraman dunia dan akhirat”. 4 Pernikahan adalah pengikatan janji nikah
yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan
perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial didalam masyarakat. 5

2.1.1 Pernikahan menurut Alkitab


a) Perjanjian Lama
Allah memberkati manusia, yaitu memberi kemampuan untuk prokreasi hingga
beranakcucu, menaklukkan bumi dan berkuasa atas makhluk ciptaan lainnya. Berkat itu
terungkap dalam kata kerja Ibrani kābas (menaklukkan) dan rādāh (berkuasa). Dalam
konteks memeras anggur, kata kerja kābas berarti “menginjak-injak dengan kaki”. Dalam
konteks berkat (Kej 1:28a), kābas berarti “menaklukkan, menjadikan miliknya, mengolah”,
seperti ungkapan “mengusahakan dan memelihara” dalam Kej 2:15. Sedangkan kata kerja
rādāh berarti “menguasai” seperti seorang raja menguasai bawahannya (bdk. 1Raj 5:4; Yes

3
KBBI
4
Any Andjar, Perkawinan Berdasarkan Budaya (Surakarta: PT Pabelan, 1986), 21.
5
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pernikahan, Diakses Pada tanggal 24 Februari 2021, Pukul 20.00
WIB

5
14:6). Kata rādāh berasal dari bahasa Akkad redu(m) yang berarti “mendampingi”,
sehingga dalam konteks berkat (Kej 1:28a) rādāh dapat diartikan sebagai perintah untuk
menggembalakan atau mengurus dengan baik makhluk ciptaan lainnya. 6

Berkat Allah dalam Kej 1:28 itu tidak ada sangkut pautnya dengan “berkat
perkawinan” sebagaimana dalam tata cara perkawinan sakramental. Oleh karena itu, Kej
1:26-28 memang berbicara tentang seksualitas dan berkat, tetapi belum berbicara apa-apa
mengenai perkawinan secara sakramental.   Para penulis perjanjian Lama percaya bahwa
kasih pernikahan merupakan bagian dari maksud Allah menciptakan manusia. Bukan
peristiwa aksidental, bukan penemuan manusia tetapi rencana baik Allah bagian dari cara
dunia diciptakan. Kita dapat melihat ide ini dengan sangat jelas dalam kisah-kisah
penciptaan dalam kitab Kejadian (Kejadian 2:23-24). Penulisannnya berpendapat bahwa
perkawinan itu sangat penting, sehingga Ia menempatkannya tepat di tengah kosah
penciptaan itu sendiri. Para penulis perjanjian Lama juga berpendapat bahwa kasih
perkawinan harus bersifat kreatif dan memberi kehidupan. Dikatakan laki-laki dan
perempuan menjadi satu. Menjadi satu (atau satu daging) menunjuk pada persekutuan
seksual dengan segala potensinya untuk menciptakan kehidupan baru. 7 Pernikahan adalah
peraturan suci atau lembaga ilahi yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Dalam peraturan
atau tata tertib pernikahan itu Tuhan mengaruniakan persekutuan khusus antara suami
dan isteri untuk dijalani bersama sebagai sumber yang membahagiakan kehidupan mereka,
seperti seksualitas yang menjadi karunia Tuhan yang suci. Seksualitas adalah hubungan
jiwa-jiwa di antara suami dan isteri. Khususnya hubungan seks merupakan karunia yang
sangat khusus, karena persekutuan suami isteri yang paling dalam dialami dalam
hubungan seks yaitu hubungan jiwa raga. Kejadian 1:31 juga menjelaskan bahwa
seksualitas itu adalah ciptaan Allah sendiri, karena itu seksualitas itu dikuduskan oleh
Allah.8

Alkitab menjelaskan bahwa seks adalah suatu hal yang wajar dan indah. Seks
bukanlah suatu hal yang aneh atau jahat dalam diri manusia karena manusia
6
S. Surip, Harmoni Kehidupan. Asal’usul Alam Semesta: Menggembalakan Ciptaan (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), 46.
7
Simon dan Christopher Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Sama Prespektif Iman Kristen
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), 49.
8
Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 164.

6
membutuhkannya. Alkitab mengajarkan bahwa seks dibentuk dan diciptakan oleh Allah
sendiri untuk kebaikan manusia. Seks sudah ada sebelum dosa masuk dalam dunia, Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka seperti di dalam Kejadian 1: 28. 9
Jadi, menurut penulis, pernikahan didalam perjanjian lama adalah sebuah lembaga ilahi
yang Tuhan ciptakan dalam rangka agar manusia dapat meneruskan keturunan
(berkembangbiak) dalam melanjutkan kelangsungan hidup manusia tersebut dalam arti
mandat pelestarian keturunan.

b) Perjanjian Baru

Tuhan Yesus merujuk pada Perjanjian Lama (Kej. 1 dan 2) menyatakan untuk
memperhatikan dua fakta bahwa seksualitas manusia merupakan karya ilahi dan bahwa
pernikahan manusia merupakan rancangan dan pengaturan ilahi. Tuhan Yesus
menggabungkan kedua ayat (Kej.1:27 dan 2:24) serta mengatakan bahwa Allah adalah
yang mengadakan kedua teks tersebut karena Pencipta yang sejak semula membuat
mereka laki-laki dan perempuan, juga mengatakan, Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Lalu Tuhan Yesus menambahkan serta menegaskan penjelasan-Nya sendiri, mereka bukan
dua lagi, melainkan satu. Dan karena itu kata-Nya menambahkan larangan-Nya sendiri, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat.19:6; Mrk.10:9). Ajaran
Tuhan Yesus jelas, bahwa ikatan pernikahan bukanlah untuk menunjuk pada
ketidaksetiaan seksual setelah pernikahan oleh salah satu pasangan. 10

Ajaran Yesus tentang persyaratan pemuridan secara teratur menunjukkan ikatan


kekerabatan seseorang dengan kewajiban kerajaan. Namun, sementara Tuhan kita
berbicara banyak tentang kebutuhan orang-orang untuk memberikan terlebih dahulu
sebelum panggilan Yesus untuk menjadi murid, Dia memberikan sedikit instruksi tentang
pernikahan. Tidak diragukan, alasan utama untuk ini adalah bahwa Yesus, seperti yang

9
Jonathan A. Trisna, Pernikahan Kristen (Jakarta: Kalam Hidup, 1986), 89.
10
Kalis Stevanus, “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian Dan Pernikahan Kembali,” KURIOS (Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen): Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu 4, no. 2 (2018): 142–143.

7
dilakukan orang-orang sezamannya, mengasumsikan validitas pola ilahi untuk pernikahan
yang dijelaskan dalam pasal-pasal pembukaan kitab Kejadian. 11

Dalam Mat. 19:6 menjelaskan bahwa Yesus menganggap pernikahan sebagai ikatan
suci antara seorang pria dan seorang wanita, yang didirikan oleh Allah dan dimasuki di
hadapan Allah. Seperti yang dicatat John Stott dengan tepat, “Ikatan pernikahan lebih dari
sekadar kontrak manusia: itu adalah kuk ilahi. Dan cara Tuhan meletakkan kuk ini atas
pasangan yang sudah menikah bukanlah dengan menciptakan semacam persatuan mistik
tetapi dengan menyatakan tujuan-Nya di dalam Firman-Nya.” 12

Dalam 1 Korintus 7:1-40 Paulus menjelaskan pandangan dan ajarannya tentang


perkawinan. Pengajaran itu didorong oleh sebagian jemaat yang berpendapat bahwa
hubungan seks, bahkan dalam rangka perkawinan, kurang cocok dengan kepercayaan
Kristen. Maka, dalam 1 Korintus 7:2-6 Paulus meneguhkan nilai-nilai dari sebuah
perkawinan.13

Perkawinan (monogam) berfungsi sebagai pengatur seksualitas demi membendung


percabulan. Dalam seksualitas, hak dan kedudukan suami-isteri sama/setingkat, sehingga
mereka harus saling melayani dan tidak boleh ada yang menguasai. Sebab dalam tata
penyelamatan Kristus, perbedaan etnis, sosial, seksualitas dan budaya tidak berarti apa-
apa (bdk. Gal3:28; Kol 3:11). Paulus berkata: “Dalam Tuhan, perempuan tidak ada tanpa
laki-laki dan laki-laki tidak ada tanpa perempuan” (1Kor 11:11). Artinya mengenai
keselamatan, suami tidak berarti apa-apa tanpa isteri, juga sebaliknya, karena mereka
adalah satu. Oleh karena itu, isteri tidak mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri dan
suami pun tidak mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri (7:4). Dengan perkawinan,
suami-isteri kehilangan otonomi, kemandirian dan individualnya. Mereka saling
memberikan diri dan bersatu menjadi kemandirian dwitunggal. Pemberian diri dan
persatuan itu sangat intens dalam hubungan seks. Karena itulah Paulus sangat melawan
pelacuran, sebab orang Kristen yang bergabung dengan pelacur telah menyerahkan

11
Andreas J. Kostenberger and David W. Jones, God, Marriage, and Family: Rebuilding the Biblical
Foundation (Wheaton, Illinois: Crossway Books, a division of Good News Publishers, 2004), 62.
12
Ibid.
13
Surip Stanislaus, “Perkawinan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru,” Logos, Jurnal Filsafat-Teologi 15,
no. No.2 (2018): 24–25.

8
kemandiriannya kepada pelacur, pada hal sebagai orang Kristen otonominya telah menjadi
milik Kristus (bdk. 1Kor 6:15-20).14

2.1.2 Tujuan Pernikahan Menurut Alkitab

Dalam Alkitab, pernikahan mempunyai tujuan dalam rencana Allah menyatukan


laki-laki dan perempuan. Itulah sebabnya pernikahan itu harus dilandasi cinta kasih dan
sukacita tanpa paksaan. Jelaslah bahwa pernikahan mempunyai tujuannya dan tujuan itu
harus diperhatikan supaya orang yang hendak menikah tidak sekedar memenuhi
kewajiban kodrat atau hukum alam, melainkan supaya ia menikah karena kasih karunia
Tuhan. Secara umum orang berbicara salah satu tujuan pernikahan adalah kebahagiaan.
Tetapi kebahagiaan itu adalah konsep abstrak yang sangat sulit dijelaskan. Itu sebabnya
banyak pula yang mereduksi kebahagiaan sebagai kesejahteraan material. Secara teologis,
kebahagiaan itu dipahami sebagai shalom (Damai) di mana ada kesejahteraan material
tetapi juga kesejahteraan rohani, kedamaian, keharmonisan dan cinta kasih dalam hidup
manusia.15
Jadi kebahagiaan suatu pernikahan tidak dapat dinilai dari segi materi saja tetapi
dapat dilihat dari persekutuan mereka dengan Tuhan juga. Ketika dua pribadi (Laki-laki
dan perempuan) dipertemukan di dalam Tuhan, kemuliaan Allah harus terlihat didalam
diri pribadi yang telah dipersatukan tersebut. Dengan demikian tujuan pernikahan adalah
untuk merefleksikan gambar Allah dan keberadaan-Nya. 16 Maksud Tuhan dengan
pernikahan ialah supaya pernikahan itu menjadi suatu persekutuan hidup didalam
manusia tersebut. Tuhan menghendaki supaya yang dua menjadi satu. Satu di dalam kasih
kepada Tuhan, satu di dalam kasih mengasihi, satu di dalam kepatuhan, satu di dalam
menghayati kemanusiaan mereka, satu di dalam memikul beban pernikahan dan satu di
dalam menunjukkan perhatian kepada pekerjaan masing-masing. Satu di dalam
pengabdian kepada Tuhan dan rencana-Nya. 17 Dalam surat Paulus yang pertama ke jemaat
korintus (1 Korintus 7: 3-4), Rasul Paulus menjelaskan mengenai pernikahan bahwa
pernikahan merupakan media untuk memberi, menyerahkan, atau menaklukkan diri

14
Ibid., 25.
15
Ibid., 18.
16
Sinclair B. Ferguson, Menemukan Kehendak Allah (Surabaya: Momentum, 2003), 91.
17
J. Verkuyl, Etika Kristen Seksual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1956), 65.

9
kepada pasangan hidup kita. Dengan demikian, menikah berarti membuat komitmen untuk
memberi yang seharusnya kepada pasangan, bukan meminta yang seharusnya dari
pasangan, harus ada saling melengkapi antara pasangan.18
2.2 Menikah dan Tidak Menikah Menurut UU di Indonesia
1. Menikah
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : “bahwa negara menjamin hak warga negara
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah,
menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.19

2. Tidak Menikah
Secara Undang-Undang menikah bukanlah suatu kewajiban yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh manusia melainkan menikah atau tidak menikah merupakan suatu hak
untuk dipilih oleh setiap manusia. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.20 Didalam HAM juga terdapat hak untuk hidup dan hak atas
kebebasan pribadi dimana setiap manusia berhak untuk mempertahankan hidup dan taraf
kehidupannya serta berhak atas keutuhan pribadi. Maka selama tidak menikah tidak
merusak hak orang lain dan juga tidak mengganggu kehidupan, kebahagiaan dan
kedamaian orang lain maka tidak menikah bukanlah menjadi permasalahan bagi setiap
individu manusia yang berarti bahwa ketika seseorang memilih untuk tidak menikah maka
itu adalah pilihan dan hak yang dia pilih karena dari pilihannya dia dapat mempertahankan
hidupnya dengan tentram dan juga mampu meningkatkan taraf hidupnya.
2.3 Menikah menurut Pandangan Etika Kristen

18
Arliyanus Larosa, Kunci Sukses Karier Pernikahan (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009), 56.
19
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1945-perkawinan, Diakses
Pada tanggal 6 April 2021, Pukul 21.00 WIB
20
Koleksi Pusat Dokumentasi ELSAM: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999, Hal. 2

10
Pernikahan menurut pandangan Etika Kristen adalah penyatuan antara seorang
pria dan seorang wanita. Dimana pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria
biologis dan seorang wanita biologis. Hal ini jelas dari sejak mulanya dimana Allah
menciptakan “laki-laki” dan “perempuan” (Kej 1:27) dan memerintahkan mereka untuk
beranakcucu dan bertambah banyak (ayat 28). Dan menunjuk pada penciptaan Adam dan
Hawa dan kesatuan pernikahan mereka, “Ia yang menciptakan manusia sejak semula
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan” (Matius 19:4). Jadi menegaskan pernikahan
itu antara seorang pria dan wanita. Pernikahan bukan hanya satu kesatuan antara pria dan
wanita yang melibatkan hak-hak perkawinan secara seksual, tetapi merupakan satu
kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian dan janji-janji timbal balik dan Allah menjadi
saksi (Maleakhi 2) dalam pernikahan yang dimaksud oleh Yesus ketika Dia berkata, “apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6). Yang
merupakan satu yang berlaku seumur hidup di hadapan Allah.21
     Glen H. Stassen juga memberikan penjelasan bahwa pernikahan adalah hidup
berdampingan yang penuh kasih sukacita antara laki-laki dan perempuan dalam persatuan
(kembali) menjadi satu daging, jadi harus didasarkan dengan Cinta kasih dan sukacita. 22
Pernikahan mempunyai tujuan dalam rencana Allah, oleh sebab itu, pernikahan harus
dilandasi cinta kasih antara laki-laki dan perempuan yang hendak menikah. Supaya setiap
orang menikah bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban kodrat, melainkan ia menikah
karena kasih karunia Allah. Kasihlah yang harus melandasi hubungan keluarga yaitu
hubungan orangtua dan anak dan hubungan anak dengan anak, serta hubungan semua
orang.23

2.4 Salahkah Tidak Menikah?

Apakah orang yang tidak menikah berarti tidak memiliki jodoh? Menurut kamus Besar
Bahasa Indonesia Jodoh adalah orang yang cocok menjadi pasangan suami atau istri,
pasangan hidup, sepadan, sesuatu yang cocok sehingga menjadi pasangan dan tepat. 24

21
Geisler Norman, Etika Kristen Pilihan Dan Isu (Malang: Dapartemen Literatur SAAT, 2001), 352–
356.
22
Glen H. Stassen, Etika Kerajaan (Surabaya: Momentum, 2008), 352.
23
Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer (Bandung: Ink Media, 2006), 17.
24
W. J. S. Poerdaminta, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 79.

11
Namun untuk menyebut seorang laki-laki atau perempuan ialah jodoh, maka ada proses
yang dinamakan berpacaran, dimana dalam kekristenan berpacaran adalah masa untuk
mengenal pribadi pasangannya secara mendalam lagi, dan bukan untuk mengumbar hawa
nafsu saja serta bersenang-senang, apalagi dengan berganti-ganti pasangan. 25 Di dalam
proses jodoh justru memadukan dua individu yang indah tetapi berbeda, baik dalam
bentuk, sifat, warna dan wataknya, namun saling mengisi secara positif, sehingga menjadi
setujuan guna mewujudnyatakan suatu kesatuan yang laras gerak dan arahannya,
keselarasan antara dua individu itu demikian menyatu, sehingga walaupun mereka
berpisah tempat, mereka tetap dinamis. Sifat dan rasa menyatu kedua individu dan itulah
yang kemudian disebut Jodoh.26

Terlepas dari ketetapan dogmatis tentang “keharusan” menikah berdasarkan tata tertib
penciptaan di dalam kitab Kejadian, satu kenyataan yang tidak bisa diabaikan, namun
seringkali dilupakan ialah adanya preferensi pribadi untuk “tidak menikah”. Ada sebagian
orang berpendapat tujuan menikah itu adalah memperoleh kebahagiaan. Lalu yang
menjadi pertanyaannya apakah orang yang sudah menikah sudah pasti memperoleh
kebahagiaan? Ada juga sebagian orang berpendapat bahwa tidak menikah bukan berarti
tidak bahagia, justru itu adalah cara sebagian orang untuk hidup lebih bahagia. Pandangan
Allah mengenai hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Alkitab. Kita membaca kata-kata
Yesus tentang orang-orang yang seperti Dia tetap melajang “supaya dapat melayani Allah”
(Matius 19:12), jadi ada orang yang tidak menikah hanya untuk melayani Tuhan saja.

Rasul Paulus juga menyebutkan tentang orang-orang Kristen yang memutuskan untuk
meniru dia dengan tetap melajang demi kepentingan “Kabar Baik” (1 Korintus 7:37, 38;
9:23). Namun Yesus dan Paulus tidak memerintahkan orang Kristen untuk tidak menikah.
Yesus berkata bahwa melajang itu “Karunia” yang tidak dimiliki oleh semua pengikutnya.
Meski Paulus menulis bahwa melajang itu baik, dia dengan terus terang berkata, “Aku tidak
mendapat perintah dari Tuan, tetapi aku memberikan pendapatku.” (Matius 19:11; 1
Korintus 7:25) . Berbagai macam upaya mengatasi segala persoalan kehidupan pernikahan
serta berbagai macam prinsip kebaikan untuk mewujudkan hidup pernikahan yang baik

25
Erich Urnato, Hidup Dalam Etika Kristen (Jakarta: Pustaka Surgawi, 2010), 19.
26
S. Nur Sidharta, Jodoh Kesaksian 50 Tahun Pernikahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 2–3.

12
yang ada di tengah-tengah masyarakat luas ketika itu tentunya dapat menjadi hal yang
berguna dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hidup pernikahan. Karena itu
kemungkinan besar pilihan untuk hidup membujang dan menghindari segala bentuk
hubungan seksual tidak mungkin didasarkan pertama-tama pada alasan menghindarkan
diri dari persoalan-persoalan hidup berkeluarga yang mendatangkan kecemasan hidup
tetapi juga memang atas dasar pilihan hidup. Diduga alasan utamanya justru terletak pada
alasan keagamaan agar dapat lebih bebas dalam melakukan pelayanan kepada Tuhan. 27

Jadi menurut penulis menikah itu bukan kewajiban. Menikah atau tidak menikah bukan
menjadi masalah karena baik menikah atau tidak menikah sama-sama bisa memperoleh
kebahagiaan. Perlu disadari bahwa orang yang tidak menikah tidak mengurangi status
mereka sebagai manusia yang utuh. Kita bisa bahagia kalau kita memberikan yang terbaik
kepada Allah. Baik hidup menikah atau tidak menikah adalah karunia Tuhan. Menurut
Alkitab, satu alasan untuk tetap tidak menikah adalah untuk dapat menggunakan waktu
dan kebebasan untuk melayani Tuhan. Tidak menikah jangan dipandang sebagai kutukan,
juga bukan sebagai tanda kalau ada “sesuatu yang salah” atau “tidak normal” dengan orang
itu. Meskipun kebanyakaan orang memang menikah dan Alkitab tampaknya menyatakan
bahwa menikah merupakan kehendak Allah bagi manusia, mereka yang tidak menikah juga
merupakan panggilan yang khusus dari Tuhan.

Ketika pernyataan ini diperhadapkan dengan konteks Etika Kristen, perlu dipahami
bahwa tentu ada persyaratan bagi sebuah pernikahan Kristen yang kudus. Pasangan hidup
kita sebenarnya tidak ditentukan oleh Tuhan siapa orangnya, bahkan Tuhan tidak
menetapkan secara rinci bahwa seseorang itu adalah pasangan hidup kita. Dalam Matius
19:12 juga terdapat sebuah pengertian yang menjelaskan penjelasan Tuhan Yesus, bahwa
seseorang yang tetap lajang atau tidak memilih (mencari) jodoh atau hidupnya bisa
disebabkan karena beberapa hal yang terjadi didalam hidup seseorang tersebut. 28 Jadi
penulis menyimpulkan, baik menikah atau tidak menikah adalah keputusan seseorang
dalam menentukan jalan kehidupannya. Jika dengan menikah ia memperoleh kebahagiaan
maka menikalah, sebaliknya jika dengan tidak menikah ia memperoleh kebahagian maka

27
Ibid., 4–5.
28
Urnato, Hidup Dalam Etika Kristen, 24.

13
itu bukan sebuah kesalahan. Semua tergantung pilihan hidup, seseorang memiliki hak atas
dirinya sendiri selagi itu tidak merugikan atau mengambil hak orang lain. Maka ketika
seseorang memilih untuk menikah janganlah kiranya itu menjadi batu sandungan bagi
mereka yang tidak menikah dan begitu juga sebaliknya jika seseorang tidak menikah
janganlah juga menjadi menghalang bagi mereka yang memilih untuk menikah. Karena
pada dasarnya Paulus di Korintus menyatakan adanya pernikahan agar menghindari dan
menghancurkan percabulan yang terjadi di Korintus.

2.5 Kajian Etis Kristen terhadap prinsip 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) dalam
Suku Batak Toba?

Selain Dalihan Na Tolu, orang Batak juga memiliki tujuan hidup yang di kenal dengan
3H, Yaitu Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon. Dalam masyarakat suku Batak Toba tujuan
hidup 3H ini terbentuk dalam lingkungan suku Batak Toba karena merupakan wujud dari
kebudayaan yang terus-menerus diwariskan dan mendarah daging bagi masyarakat suku
Batak Toba. Pada masyarakat Batak Toba istilah Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon ini
sering sekali disebut nilai Raja masyarakat suku Batak Toba. Nilai Raja itulah yang menjadi
kebanggaan masyarakat etnis Batak Toba.

Hamoraon, yang berarti kekayaan. Kekayaan ini berupa materi seperti uang, tanah,
rumah, dan lain-lain. Hagabeon, artinya keturunan. Pada masyarakat batak toba,
kesempurnaan diukur dari jumlah suatu keturunan. Suatu kebanggaan bila anak yang
dimiliki adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Keturunan adalah dasar seseorang
dapat lebih di hormati sebagai seorang Raja Batak. Dan yang terakhir adalah Hasangapon
yang artinya adalah kemuliaan/Kesempurnaan. Hasangapon akan diperoleh jika seseorang
yang bersuku Batak sudah memperoleh Hamoraon dan Hagabeon. Jadi, Hasangapon ini
adalah puncak tertinggi dari prinsip 3H, Karena didalamnya sudah terkandung Hamoraon
dan Hagabeon. Penilaian ini diberikan kepada individu, karena memiliki sejumlah
keturunan baik laki-laki dan perempuan sampai kepada generasi ketiga dan keempat yang
memiliki kualitas, karena mereka telah bekerja dan berkeluarga yang mempunyai
keturunan baik itu laki-laki maupun perempuan. Salah satu hukum adat yang berlaku di
masyarakat Batak Toba adalah pernikahan. Ada pepatah batak yang berbunyi “Mangodang

14
anak pangolihonon, magodang boru pamulion ” yang berarti ketika anak sudah dewasa baik
itu perempuan atau laki-laki wajib dinikahkan. Masyarakat juga memahami bahwa kodrat
perempuan adalah menjadi istri dan ibu, sehingga mengakibatkan adanya desakan sosial
bagi perempuan bahwa pernikahan adalah kewajiban bagi perempuan.

Semakin tinggi kualitas Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon dari setiap keturunan
maka akan semakin sangap di pandang dalam masyarakat Batak Toba. Batak Toba
memandang bahwa perempuan harus menikah jika sudah memasuki usia yang tepat untuk
menikah. Melalui pernikahan ini, maka akan terbentuk sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu
yang baru antar keluarga yang menikahkan anaknya. 29 Dalam masyarakat Batak Toba,
apabila ada anak/boru yang belum menikah atau hidup melajang dalam suatu keluarga,
maka mereka belum dapat dikatakatan sebagai Hagabeon dan Hasangapon, sebelum
mengakhiri masa lajang mereka atau menikah. Perempuan yang hidup melajang sering
menimbulkan streotipe negatif dari masyarakat Batak Toba. Misalnya para wanita yang
hidup melajang sering dikatakan karena tidak laku, terlalu dalam memilih jodoh, sampai
dengan istilah ”perawan tua”. Streotipe negatif akan ditujukan bagi mereka yang belum
menikah di usia yang sudah dianggap sepantasnya. Terkait dengan falsafah di atas, bila
boru (putri) tidak menikah akan dianggap salah, sebab selain akan jadi gunjingan,
perempuan batak yang sudah menikah telah menjadi ibu bagi keluarga suaminya, juga
paniaran untuk marga suaminya yang sekaligus melanjutkan konsep Dalihan Na Tolu pada
keturunannya, yang memberikan hagabeon bagi orang tuanya. Ketika perempuan batak
tidak menikah, maka konsep Dalihan Na Tolu tersebut akan terputus. 30 Melalui pernikahan
tujuan hidup atau misi orang Batak Toba, yaitu hagabeon (diberkati karena keturunan),
hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan) dapat terwujud. Tujuan ini dapat
dicapai karena adanya andil perempuan didalamnya, ketika perempuan Batak Toba tidak
menikah maka misi hidup ini tidak akan dicapai dirinya dan orang tuanya. 31

Tanpa disadari ketika sekelompok orang memegang prinsip 3H yang keliru maka yang
menjadi korban adalah mereka yang tidak ingin menikah. Mereka yang memegang teguh
29
Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu (Medan: Prima Anugerah, 1982), 17.
30
Dikutip Penulis dari Skripsi Rorez Simanjuntak , FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA, Hal. 4 (Dafrina, P. (2010). Fenomena pilihan hidup tidak menikah (Studi deskriptif pada wanita karir
etnis Batak Toba di kota Medan))
31
Ibid.

15
prinsip ini belum memaknai makna dan tujuan pernikahan itu. Ketika perempuan yang
sudah cukup umur tapi belum menikah (melajang) mereka akan menjadi tihas (aib) bagi
dirinya dan keluarganya. Tihas (aib) bagi dirinya yaitu dia akan dianggap sebagai boru-
boru na hapang-hapangon (perempuan yang tidak laku-laku), mereka akan tetap menjadi
tanggungan orang tuanya meskipun sudah memiliki pekerjaan, tidak memiliki peran dalam
adat. Sedangkan tihas bagi keluarga yaitu pada saat upacara kematian bagi orang tua
dengan anak yang belum menikah akan di bedakan dengan orang tua yang anaknya sudah
menikah. Orang tua yang meninggal telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang
belum menikah di sebut mate sari matua (meninggal dengan masih ada tanggungan).
Kondisi-kondisi seperti yang telah diuraikan sebelumnya berdampak bagi perempuan
Batak Toba yang tidak menikah. Aturan dan ketentuan tentang pernikahan ini
menimbulkan rasa tidak berharga, tidak lengkap dan harapannya putus ketika ia tidak
menikah. Harapan adat yang demikian membuat kesedihan yang mendalam, merasa tidak
puas dengan hidup yang dijalani, merasa terasing dari lingkungannya, kesepian dan
menutup diri dari acara adat. 32

Ini lah yang dirasakan oleh siboru Manik yang akhirnya ia memilih pergi dan
meninggalkan keluarganya hanya karena persoalan pilihan hidupnya. Seharusnya dalam
permasalahan ini seseorang berhak dalam menentukan pilihan hidupnya yang bahagia.
Menurut penulis menikah itu belum tentu menjadikan seseorang merasakan kebahagiaan
dalam hidupnya. Setiap orang berhak berbahagia dengan prinsip dan tujuan masing-
masing. Prinsip 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) adalah prinsip etnis Batak Toba
yang sebenarnya untuk membuat orang-orang yang bersuku Batak Toba mempunya nilai
pekerja keras. Dan harus disadari prinsip 3H itu juga harus ada kebahagiaan didalamnya.
Ketika seseorang yang bersuku Batak ingin mencapi prinsip 3H itu harus atas dasar
kebahagiaan. Apalah artinya ketika seseorang hanya memperoleh prinsip yang sempurna
itu jika ia tidak bahagia. Jadi menurut penulis, tujuan hidup ini adalah kebahagiaan yang
utama bukan persoalan etnis.

32
Dikutip Penulis dari Skripsi Rorez Simanjuntak , FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA, Hal. 5 (Hutabarat, Rainy. (1999). Perempuan dalam budaya batak: Boru ni raja, inang soripada dan
pembuka hubungan baru. Jakarta: Gema Duta Wacana)

16
Etika Kristen memandang bahwa orang yang tidak menikah merupakan suatu
panggilan yang khusus. Etika Kristen melihat itu bukan sebagai suatu kesalahan, tetapi
sebagai suatu pilihan dari rang tersebut. Artinya, seseorang dapat memilih untuk tetap
melajang agar dapat menyebarkan Injil dengan lebih luas dan kreatif. Dengan demikian,
orang yang menikah dengan orang yang tidak menikah, menurut etika Kristen bukan
sesuatu yang harus dinilai dengan baik atau buruk. Setiap keputusan hidup membujang
yang diambil oleh setiap individu haruslah didasarkan dengan kesungguhan hati dan
pemikiran yang jauh ke depan, karena tidak menikah adalah suatu pilihan yang serius
dalam hidup seseorang. Memilih hidup membujang bukan hanya sekedar terluka oleh masa
lalu, putus asa karena terlalu lama menunggu pasangan hidup, kesibukan rutinitas, dan
memutuskan untuk menjaga orang tua. Alasan tersebut seharusnya bukan menjadi faktor
utama dalam kesungguhan dan pencarian makna hidup membujang akan tetapi jauh
melampaui itu semua, karena untuk menjadi seorang bujang yang bahagia dan memiliki
kesungguhan, haruslah memandang hidup dari sudut pandang yang berbeda dengan orang
yang menikah atau berpasangan.33

III. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa :
1. Menikah adalah ikatan dan persekutuan hidup yang menyeluruh (total) dari seorag
pria (Suami) dengan seorang wanita (Istri) yang telah diteguhkan Allah dalam
pernikahan kudus, dengan tujuan untuk membentuk secara bertanggungjawab
suatu rumah tangga Kristiani yang kudus serta memuliakan dan melayani Tuhan.
pernikahan harus dilandasi cinta kasih antara laki-laki dan perempuan yang hendak
menikah. Supaya setiap orang menikah hanya sekedar memenuhi kewajiban kodrat,
melainkan ia menikah karena kasih karunia Allah. Jadi menikah tidak boleh ada
unsur paksaan dari orang lain. Menikah itu sebenarnya bukan kewajiban. Menikah
atau tidak menikah bukan menjadi masalah karena baik menikah atau tidak
menikah sama-sama bisa memperoleh kebahagiaan. Perlu disadari bahwa orang
yang tidak menikah tidak mengurangi status mereka sebagai manusia yang utuh.

33
Augita Gabrielle Emmanuella, Faktor-Faktor Penyebab Warga POUK TNI AL Sunter Hidup
Membujang (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2019), 12.

17
Kita bisa bahagia kalau kita memberikan yang terbaik kepada Allah. Baik hidup
menikah atau tidak menikah adalah karunia Tuhan.
2. Prinsip 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) dalam etnis Batak Toba adalah
sebuah tujuan hidup atau misi bagi orang yang bersuku Batak. Ketika prinsip
pertama (Hamoraon) dan kedua (Hagabeon) ini dapat dicapai maka akan mencapai
prinsip yag ketiga yaitu Hasangapon, orang batak yang sudah mencapai prinsip itu
akan disebut “sangap”. Tujuan hidup atau misi orang Batak Toba, yaitu Hagabeon
(diberkati karena keturunannya semua menikah dan mempunyai cucu), Hamoraon
(kekayaan), dan Hasangapon (kehormatan/kesempurnaan) dapat dipandang
sebagai pedoman masyarakat batak dalam bertindak dan berperilaku dalam
kehidupannya. Tujuan ini dapat dicapai karena adanya andil perempuan
didalamnya. Penilaian dan tuntutan masyarakat tentang status pernikahan adalah
kewajiban maka pada perempuan yang melajang cenderung menimbulkan perasaan
sedih, khawatir, kesepian, dan emosi-emosi negatif lainnya. Sebenarnya prinsip 3H
ini seharusnya bersamaan dengan tujuan hidup yaitu “kebahagiaan”, baik dari orang
tua dan sianak/boru. Jadi, yang selama ini terjadi konsep dari prinsip 3H ini hanya
ingin mewujudkan kebahagiaan orang tua saja, yaitu supaya orang tua dianggap
“sangap” dalam adat suku Batak Toba tanpa memikirkan pilihan atau keinginan
sianak/boru. Prinsp 3H ini cenderung mendiskriminasi pilihan hidup seseorang
yang tidak ingin menikah.
3. Etika Kristen memandang bahwa orang yang tidak menikah merupakan suatu
panggilan yang khusus. Etika Kristen melihat itu bukan sebagai suatu kesalahan,
tetapi sebagai suatu pilihan dari rang tersebut. Artinya, seseorang dapat memilih
untuk tetap melajang agar dapat menyebarkan Injil dengan lebih luas dan kreatif.
Dengan demikian, orang yang menikah dengan orang yang tidak menikah, menurut
etika Kristen bukan sesuatu yang harus dinilai dengan baik atau buruk. Setiap
keputusan hidup membujang yang diambil oleh setiap individu haruslah didasarkan
dengan kesungguhan hati dan pemikiran yang jauh ke depan, karena tidak menikah
adalah suatu pilihan yang serius dalam hidup seseorang. Jadi menikah atau tidak
menikah adalah hak seorang individu.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

Andjar, Any. Perkawinan Berdasarkan Budaya. Surakarta: PT Pabelan, 1986.

Borrong, Robert P. Etika Seksual Kontemporer. Bandung: Ink Media, 2006.

Danes, Simon dan Christopher. Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Sama Prespektif Iman
Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Emmanuella, Augita Gabrielle. Faktor-Faktor Penyebab Warga POUK TNI AL Sunter Hidup
Membujang. Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2019.

Ferguson, Sinclair B. Menemukan Kehendak Allah. Surabaya: Momentum, 2003.

Jones, Andreas J. Kostenberger and David W. God, Marriage, and Family: Rebuilding the
Biblical Foundation. Wheaton, Illinois: Crossway Books, a division of Good News
Publishers, 2004.

Larosa, Arliyanus. Kunci Sukses Karier Pernikahan. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009.

Norman, Geisler. Etika Kristen Pilihan Dan Isu. Malang: Dapartemen Literatur SAAT, 2001.

Poerdaminta, W. J. S. KBBI. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Siahaan, Nalom. Adat Dalihan Na Tolu. Medan: Prima Anugerah, 1982.

Sidharta, S. Nur. Jodoh Kesaksian 50 Tahun Pernikahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Sosipater, Karel. Etika Perjanjian Lama. Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010.

Stanislaus, Surip. “Perkawinan Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.” Logos, Jurnal Filsafat-
Teologi 15, no. No.2 (2018).

Stassen, Glen H. Etika Kerajaan. Surabaya: Momentum, 2008.

Stevanus, Kalis. “Sikap Etis Gereja Terhadap Perceraian Dan Pernikahan Kembali.” KURIOS
(Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen): Sekolah Tinggi Teologi
Tawangmangu 4, no. 2 (2018): 142–143.

20
Surip, S. Harmoni Kehidupan. Asal’usul Alam Semesta: Menggembalakan Ciptaan .
Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Trisna, Jonathan A. Pernikahan Kristen. Jakarta: Kalam Hidup, 1986.

Urnato, Erich. Hidup Dalam Etika Kristen. Jakarta: Pustaka Surgawi, 2010.

Verkuyl, J. Etika Kristen Seksual. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1956.

Sumber Lain

KBBI

Koleksi Pusat Dokumentasi ELSAM: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999

Skripsi Rorez Simanjuntak , FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA,


(Dafrina, P. (2010). Fenomena pilihan hidup tidak menikah (Studi deskriptif pada
wanita karir etnis Batak Toba di kota Medan))

Skripsi Rorez Simanjuntak , FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA,


(Hutabarat, Rainy. (1999). Perempuan dalam budaya batak: Boru ni raja, inang
soripada dan pembuka hubungan baru. Jakarta: Gema Duta Wacana)

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pernikahan, Diakses Pada tanggal 24 Februari 2021,


Pukul 20.00 WIB

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1945-perkawinan,
Diakses Pada tanggal 6 April 2021, Pukul 21.00 WIB

Wawancara dengan Ibu O. Silaen (Tetangga orang tua dari Siboru Manik), Pada Tanggal
April 2021, Pukul 10.00 WIB

Wawancara dengan Orang Tua Siboru Manik “ Molo so Muli do anak boru tu aha ma
manggolu,……….”, Di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Pada Tanggal 03 April
2021, Pukul 15.00 WIB

21
22

Anda mungkin juga menyukai