Anda di halaman 1dari 17

ETIKA PARRHESIA

Suatu Kajian Etika Kristen Terhadap Parrhesia dalam Menanggapi Undang-undang


Cipta Kerja (Omnibus Law)

Mata Kuliah:
Etika Kristen

Oleh/Nim:
Rikki J D Pangaribuan/1710001
Bobi Silaban/1610946
Rita Geovani Siboro/1610959

Dosen Pengampu:
Riani Sitanggang, M.Th

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI GEREJA METHODIST INDONESIA

BANDAR BARU

2021

1
I. Pendahuluan
Setiap manusia pasti menginginkan kebenaran. Dalam semua aspek hidup, manusia
menghendaki kejujuran dan kebenaran dilakukan sehingga tidak ada kecurangan. Namun
kebenaran dan kejujuran yang dilakukan seseorang belum tentu akan ditanggapi baik oleh
semua orang. Biasanya hal-hal seperti ini terjadi dalam bidang politik dan hukum. Sering
terjadi bahwa pengkritik dicap sebagai lawan yang bisa saja menjatuhkan reputasinya.
Mengeluarkan pendapat dan keterangan yang benar disebut dengan parrhesia, yang berarti
kebebasan memberikan pendapat, atau memberikan kebenaran walaupun dengan resiko-
resiko.
I.1. Latar Belakang Masalah

Beberapa hari belakangan ini, Indonesia (khususnya buruh) sedang dihebohkan


dengan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini berupa
disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tanggal 5 Oktober
2020 yang mencakup sejumlah topik yang beragam. Dalam rangka disahkannya UU ini, ada
pro dan kontra bagi masyarakat Indonesia.

Setelah UU Cipta Kerja ini disahkan, banyak para pengunjuk rasa yang memberikan
aspirasinya di berbagai tempat. Misalnya di depan kantor DPR pusat maupun di depan kantor
DPR daerah. Penulis melihat unjuk rasa ini dilatarbelakangi oleh ketidakterbukaan dari
pemerintah terhadap masyarakat untuk putusan ini. Putusan ini kesannya dadakan dan tidak
ada pemberitahuan secara luas. Kemudian pemerintah tidak transparan dalam membagikan
naskah UU Cipta Kerja kepada media dan masyarakat. Sehingga banyak dugaan-dugaan yang
tidak tepat. Banyak berita-berita provokatif yang membuat masyarakat dan buruh cemas akan
masa depan mereka. Selain itu juga, putusan DPR ini dianggap berpihak sebelah kepada
pengusaha-pengusaha asing yang akan menanam invertasinya di Indonesia. Maka kembali
lagi kepada masalah keadilan bahwa para pengusaha akan mendapat keuntungan yang lebih
banyak, sedangkan para buruh tidak akan mendapat keuntungan apapun. Penulis menganggap
bahwa putusan ini memang tidak signifikan akan berpengaruh kepada buruh, namun para
buruh merasa tidak diberikan keuntungan seperti yang dirasakan para pengusaha. Pendapatan
pengusaha akan meningkat, sedangkan pendapatan para buruh akan tetap. penulis melihat
tidak ada keseimbangan dalam melakukan keadilan dalam hal ini.

Dalam karya tulis ini, penulis mencoba mengkaji mengenai parrhesia dihadapkan
dengan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

2
I.2. Rumusan Masalah

Dari deskripsi di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian parrhesia menurut Michel Foucault?


2. Bagaimana Etika Kriten mengenai parrhesia berkontribusi menjawab pro dan kontra
UU Cipta Kerja (Omnibus Law)?
3. Bagaimana kajian etis teologis untuk merespon masalah UU Cipta kerja (Omnibus
Law)?

II. Pembahasan

II.1. Pengertian Parrhesia

Kata parrhesia pertama kali muncul dalam kesastraan Yunani. Kata ini selanjutnya
berkembang luas di dunia kesusastraan Yunani antik sejak akhir abad kelima SM. Namun,
kata ini masih dapat juga di temukan dalam naskah patrisik yang ditulis pada akhir abad
keempat dan sepanjang abad kelima Masehi puluhan kali.1 Ada tiga macam bentuk tentang
kata ini yaitu kata benda parrhesia, kata kerja dari parrhesiazomai atau lebih tepat,
“parrhesiazesthai”, dan ada juga kata “parrhesiates” yang tidak begitu sering dipakai dan
tidak ditemukan dalam naskah-naskah klasik. Namun, kata ini dapat ditemukan hanya pada
periode Romawi Helenis misalnya, dalam Plutarkhos dan Lucian. Dalam sebuah dialog karya
Lucian. “Hidup Bernaung Sang Maut”, atau “Perihal Sang Nelayan”, salah satu tokohnya
juga bernama Parrhesiades.2

Parrhesia umumnya diterjemahkan “berbicara bebas”, dalam bahasa Inggris free


speech, dalam bahasa prancis franc-parler, dan dalam bahasa Jerman Feimuthigkeit.
Parrhesiazomai atau parrhesiates adalah penggunaan parrhesia, dan parrhesiates adalah
orang menggunakan parrhesia, yaitu seseorang yang berbicara kebenaran. Arti umum dari
kata Parrhesia secara etimologinya, parrhesiazethai berarti “mengatakan segala sesuatu”.
Orang yang menggunakan parrhesia, yakni parrhesiates, adalah orang yang menyatakan
segala sesuatu yang dia pikirkan dan ia tidak menyembunyikan apapun, tetapi membuka hati
dan pikiran sepenuhnya kepada orang lain melalui wacana. Dalam parrhesia, pihak
pembicara diharapkan menyampaikan paparan lengkap dan tepat tentang apa yang ia pikir.
Sehingga pihak pendengar mampu memahami dengan utuh apa yang dipikirkan oleh pihak

1
H. Liddel & R. Scott, “” dalam A Greek-English Lexicon, 1344.
2
Lucian, “The Death Come to Life, or The Fisherman” (trjmh. A.M. Hearmon), dalam The Works of Lucion, vol
3, 1-2

3
pembicara. Maka dengan demikian parrhesia menunjuk kepada hubungan antara pihak
pembicara dan apa yang ia bicarakan.3

Jika membahas tentang parrhesia, memang dapat dipahami sebagai suatu tindakan
yang membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri kuat tetapi yang harus ditegaskan dalam
hal ini adalah “why should speak the truth?” yang artinya “mengapa harus berbicara
kebenaran?”. Menurut Dietrich Bonhoeffer, “Telling the truth” bukan semata-mata hanya
bagian dari karakter moral tetapi juga suatu bentuk apresiasi yang benar dari sebuah situasi
yang nyata dan refleksi yang sungguh-sungguh dari situasi yang ada. Ia menjelaskan bahwa
menjadi percerita kebenaran harus mengungkapkan apa yang benar dan harus konsisten.4

Parrhesia berhubungan dengan moral sebab selalu mengacu pada baik buruknya
manusia sebagai manusia. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mempunyai
pengertian yang berarti bahwa, ia memahami adanya alternatif-alternatif untuk bertindak.
Itulah sebabnya moral berhubungan dengan kebebasan. Karena ia bebas, maka ia dibebani
suatu kewajiban. Jika mendengar kata “kebebasan”, berarti kita mampu untuk menentukan
sendiri apa yang ingin kita lakukan. 5 Dalam konsepsi Yunani tentang parrhesia, tampak
bahwa tidak terdapat masalah yang berkenaan dengan upaya untuk meraih kebenaran, karena
ini dijamin berdasarkan kepemilikan kualitas moral tertentu. Jika seseorang memiliki kualitas
moral tertentu, maka ini adalah bukti bahwa ia memiliki kebenaran dan demikian juga
sebaliknya. Parrhesiastik ini mengadaikan bahwa parrhesiates adalah orang yang memiliki
kualitas moral yang dituntun, pertama mengetahui kebenaran dan kedua mengatakan
kebenaran kepada orang lain.6

Parrhesia juga dinyatakan sebagai sebuah tanggung jawab etis yang seharusnya
dimiliki oleh manusia.7Parrhesia merupakan semacam aktivitas verbal dengan berbicara
kebenaran yang fungsi utamanya adalah tidak hanya mengatakan kebenaran tetapi
menempatkannya sebagai kritik.8 Sehingga parrhesia merupakan kewajiban moral dari diri
sendiri. Menjadi seorang pencerita kebenaran, harus menerima resiko atas keberanian sebagai
seorang pencerita kebenaran.

3
Michel Foucault, Parrhesia: Berani Berkata Benar, (Tangerang Selatan: Gajah Hidup, 2018), 2-3
4
Thomas R. Nilsen, Ethics of Speech Communication, (New York: Merril Company, 1966)), 21-22
5
Ibid,,.. 21-22
6
Michel Foucault, Parrhesia: Berani Berkata Benar, (Tangerang Selatan: Gajah Hidup, 2018), 6
7
Rachel Muers, Journal of Religious Ethics Some Contemporary Questions about Telling the Truth, (Oxford:
INC, 2014), 4
8
Devonya N. Havis, The Parrhesiastic Enterprise of Biack Phiicsophy, Volume 43, (Winter, 2013), 8

4
Jika dalam debat politik, seorang orator mengambil resiko kehilangan popularitasnya
karena pendapatnya bertentangan dengan pendapat mayoritas, atau pendapatnya dapat
mengarah ke skandal politik, ia telah menerapkan parrhesia. Dengan demikian parrhesia
berkaitan erat dengan keberanian untuk menghadapi beberapa bahaya. Dalam wujud yang
paling ekstrem, menyatakan kebenaran adalah permainan hidup mati. Karena parrhesia harus
mengambil resiko dalam menyatakan kebenaran. Fungsi parrhesia bukan untuk menunjukkan
kebenaran kepada orang lain, tetapi mempunyai fungsi kritik di mana kritik dari pihak mitra
wicana atau pihak pembicara sendiri. Parrhesia adalah suatu bentuk kritik, baik kepada pihak
lain atau kepada diri sendiri. Kritik selalu dilakukan dalam situasi pihak pembicara atau pihak
yang mengakui berada dalam posisi rendah di hadapan mitra wicana. Pihak parrhesiates
selalu kurang berdaya ketimbang pihak mitra wicana. Dalam parrhesia menyatakan
kebenaran dianggap sebagai kewajiban.9Orang yang berani secara moral melakukan
parrhesia, pasti berani mempertahankan apa yang ia yakini. Ia merasa lebih kuat dan lebih
berbesar hati. Artinya ketika ia ingin mengungkapkan kebenaran, ia dapat mengatasi rasa
takut dan malu serta bahaya yang sering mencekam dia. Dalam hal ini, barang siapa yang
mengatakan kebenaran, ia akan memberi semangat dan kekuatan yang lebih kepada mereka
yang lemah dan menderita akibat kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa. 10

Dari penjelasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa parrhesia adalah suatu
kesadaran moral untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan semua orang tanpa
menghiraukan resiko-resiko yang akan terjadi kepada orang tersebut. Dengan kesadaran itu,
maka akan menjunjung hak-hak orang yang lemah, sehingga orang-orang yang sedang
menduduki jabatan tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil. Hak orang lemah dan hak
orang kuat diupayakan untuk mencapai kesamaan.

II.2. Parrhesia menurut Michel Foucault

Michel Foucault menemukan praktik parrhesia dalam kebudayaan Yunani yang disebut
sebagai kegiatan menceritakan kebenaran.11Michel Foucault kemudian mengembangkan
konsep parrhesia sebagai modus wacana pada seseorang yang berbicara secara terbuka,
berani, jujur dan berani mengambil resiko.12 Parrhesia adalah semacam aktivitas verbal
dimana pembicara memiliki beberapa macam hubungan dengan dirinya sendiri, dengan dunia
dan lingkungan dan dengan orang lain. Parrhesia Foucault tidak dapat dipisahkan dari
9
Michel Foucault, Parrhesia: Berani Berkata Benar, (Tangerang Selatan: Gajah Hidup, 2018), 9-13
10
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 36.
11
Devonya N. Havis, The parrhesiastic Enterprise of Black Philosophy, volume 43, 2
12
Kondrad Kebung, Michel Foucault Parrhesia dan persoalan Mengenai Etika, (Jakarta: Obor, 1997), 86

5
gagasan tentang kuasa, sebab gagasannya tentang kuasa sungguh krusil. Parrhesia
dipahaminya sebagai relasi pribadi dengan kebenaran. Kebenaran dimengerti sebagai
pelaksanaan kuasa.13 Sebagaimana dikemukakan oleh Foucault, bahwa parrhesia artinya
kebebasan berbicara, berhubungan dengan kebenaran, tugas dan berhadapan dengan resiko.14

Dalam “Discourse and Truth: The Problematization of Parrhesia”, pada bulan Oktober
dan November 1983, Foucault berbicara mengenai parrhesia yang berarti menuturkan
kebenaran. Bagaimana seseorang mengungkapkan kebenaran dengan memberikan informasi,
berbicara dan lebih dari bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menuturkan kebenaran ini
memiliki banyak syarat, dan justru di sana terlihat apakah kita sesungguhnya orang yang
mengatakan kebenaran atau hanya merayu-rayu, memberikan kata pujian, berbohong dan
sekedar basa-basi (flattering). Di sana Foucault juga berbicara banyak tentang modalitas
menyampaian kebenaran. Namun, suatu hal sangat penting untuk bisa menjadi seorang
parrhesias (truth-teller) adalah bagaimana berhubungan dengan diri sendiri.

Menurut Foucault, jujur terhadap diri sendiri amat sulit dilakukan. Sesungguhnya hal-
hal esensial ini tidak ada, maka kita akan merasa teralienasi (kehilangan sesuatu yang adalah
ensensial dalam diri atau hidup kita). Dengan kata lain, tidak jujur terhadap diri membuat
orang merasa teralienasi. Dengan itu orang merasa tidak aman dan damai, karena sikap tidak
jujur itu bertentangan dengan suara batin. Jujur terhadap diri sendiri inilah yang ditekankan
Foucault dalam diskusinya mengenai parrhesia atau relasi seseorang dengan kebenaran yang
ada dalam dirinya sendiri.15

Menurut Foucault, mengatakan kebenaran lebih berharga daripada memiliki kekayaan,


reputasi, atau kehidupan yang layak meskipun dengan mengatakan kebenaran memungkinkan
seseorang untuk menghadapi penganiayaan, pengasingan dan kematian. Sebab menderita
karena berani berkata benar secara terbuka lebih baik daripada mengkhianati suara hati. 16
Dalam melakukan sesuatu harus dalam kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan situasi, agar tindakan dan perbuatan seseorang dapat dipertanggungjawabkan.

13
Ibid..,150-151
14
Ibid..,11-12
15
Michel Foucault, “Discourse and Truth: The Problematization of Parrhesia”, seminar yang dipersentasikan
Foucault pada bulan Oktober-November 1983 di Universitas California di Berkeley, USA. karya ini kemudian
dikemas Konrad Kebung dalam Michel Foucault: Parrhesia dan persoalan mengenai etika, (Jakarta: Obor,
1997). Kemudian seminar ini diedit dan diterbitkan oleh Joseph Pearson, Michel Foucault Fearles Speech, (Los
Angeles: Semiotext, 2001)
16
Paul Shherz, The Legal Suppression of Seientifle Data and the Chistian Virtue of Parrhesia, (ATLAS: Oxford,
2004), 11

6
Maka segala tindakan dan perbuatannya harus dilakukan dalam dan oleh diri manusia yang
bebas. Kebebasan harus muncul pada saat manusia melakukan sesuatu.17

Fungsi parrhesia bukan hanya sekedar menunjukkan kebenaran kepada orang lain
tetapi berfungsi sebagai kritik dalam wacana yang dilakukan. Kritik berfungsi untuk
menjawab situasi yang sedang dihadapi, tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan.18Tujuan Parrhesia ialah untuk menjamin kemerdekaan seseorang
bahkan untuk menghindari stagnasi pada kebenaran yang ada. 19 Dengan parrhesia, kebenaran
seharusnya dapat diketahui oleh semua orang, sebab semua orang berhak mengetahui
kebenaran. Dengan berani menjadi seorang parrhesiatest yang mengungkapkan kebenaran
yang ada, maka tidak ada seorang pun yang terpenjara oleh ketidakadilan, melainkan
mendapatkan kemerdekaan yang memang seharusnya diperoleh oleh setiap orang.20

Kebenaran merupakan pembentuk suatu bagian integral dari sebuah kejujuran.


Kejujuran itu memiliki cakupan yang lebih luas dari pada sekedar tidak berbohong. Kejujuran
melibatkan cara hidup yang benar dan memilliki pemikiran yang benar dan memiliki gaya
hidup yang terpuji dan terhormat.21 Berkata benar harus dengan tulus hati untuk tidak curang
terhadap diri sendiri dan juga kepada orang lain. Setiap orang mempunyai hak untuk
mengatakan kebenaran dan mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran. Kebenaran dapat
diungkapkan dengan keberanian dan kejujuran.22

Dari pendapat Michel Foucault di atas, penulis setuju bahwa parrhesia adalah suatu
kewajiban untuk berani berkata benar, jujur, terbuka dan percaya diri. Parrhesia menuntut
seseorang menjadi mandiri dan menjadi pencerita kebenaran karena berkata benar akan
membuat kebenaran terungkap. Manusia seharusnya mengungkapkan kebenaran yang
memang benar kepada orang yang berhak menerima kebenaran dan jangan menahan suatu
kebenaran. Parrhesia tidak bermaksud untuk menyembunyikan suatu kebenaran demi
mencapai tujuan politis seseorang. Setiap orang bebas dalam berbicara secara terus terang
dan berhak juga menerima kebenaran dalam hidupnya. Walaupun kebenaran itu memiliki
resiko hukuman mati, namun kebenaran itu harus diungkapkan. Karena pada dasarnya makna
parrhesia yaitu berani berterus terang dan berani mengambil resiko.

17
William Chang, PengantarTeologi Moral, 58
18
Michel Foucault, Discourse and Truth: The Problemmatication of parrhesia, 2
19
Russell Anderson dan James Wong, Truth And The Politics of Our Selves, 12
20
Kondrad kebung, Michel Foucault Parrhesia dan persoalan Mengenai Etika, (Jakarta: Obor, 1997), 105
21
Jerry White, Moral Hati Nurani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 36
22
Ibid..,35

7
II.3. Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law)

Undang-undang Omnibus (bahasa Inggris: Omnibus bill atau Omnibus Law) adalah
istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik
dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas atau mencabut sejumlah undang-
undang lain. Konsep undang-undang itu umumnya ditemukan dalam sistem hukum umum
seperti Amerika Serikat, dan sebelumnya jarang ditemui dalam sistem hukum sipil seperti di
Indonesia.23 Karena ukuran dan cakupannya yang luas, perdebatan dan pengawasan terhadap
perancangan undang-undang sapu jagat umumnya dibatasi. Dalam sejarahnya, undang-
undang sapu jagat ada kalanya digunakan untuk melahirkan amendemen yang
kontroversial.24Oleh sebab itu, beberapa kalangan menilai undang-undang sapu jagat
bertentangan dengan demokrasi.
Istilah Omnibus Law pertama kali muncul dalam pidato pertama presiden Joko
Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya pada Minggu, 20 Oktober
2019. Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan
yang disebut Omnibus Law. Saat itu, Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak DPR
untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi Omnibus Law. Pertama, UU Cipta
Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Jokowi menyebutkan, masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu
UU yang sekaligus merevisi beberapa, atau bahkan puluhan UU.
Diberitakan oleh Kompas.com, Selasa, 22 Oktober 2019, Pakar Hukum Tata Negara
Bivitri Savitri menjelaskan, Omnibus Law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk
menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Undang-undang ini dimaksudkan untuk
merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat
sasaran.25
Pada tahun 2020, DPR mewacanakan empat undang-undang sapu jagat untuk
mendorong investasi di Indonesia, yakni RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan untuk
penguatan ekonomi, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara. RUU Cipta Kerja
disebut akan memangkas dan menyederhanakan aturan dari 1244 pasal dari 79 undang-
undang terkait investasi. Pembahasan RUU ini menuai kontroversi di tengah masyarakat.26

23
Menggagas Undang-Undang Sapu Jagat". SINDOnews.com. Diakses tanggal 11 Oktober 2020.
24
Omnibus Law, UU "Sapu Jagad" di Bidang Hukum | Indonesia Baik". indonesiabaik.id. Diakses tanggal 11
Oktober 2020.
25
Diakses dari Kompas.com, pada tanggal 11 Oktober 2020.
26
Penerapan Undang-undang Sapu Jagat Omnibus Law di Dunia". SINDOnews.com. Diakses tanggal 11
Oktober 2020

8
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda
disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut
dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa
sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5
Oktober 2020. Di sisi lain, pengesahan tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen
masyarakat. Hal itu disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja dinilai akan membawa
dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh.
Diberitakan Kompas.com, Selasa, 6 Oktober 2020, UU Cipta Kerja yang baru saja
disahkan, terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya mengatur berbagai hal, mulai dari
ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.27
III. Analisa Masalah

III.1. Omnibus Law Menurut Para Buruh

Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang terdiri dari 174 pasal ini dinilai
merugikan oleh para buruh. Berikut isi Omnibus Law yang ditolak buruh menurut Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI); pertama, dalam pasal 88C, draf UU berbunyi,
gubenur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Dijelaskan lebih lanjut bahwa
upah minimum tersebut merupakan minimum provinsi. Pada peraturan pemerintah (PP)
Nomor 78 Tahun 2005, penetapan upah dilakukan di provinsi serta kabupaten/kota sehingga
menetapkan UMP sebagai satu-satunya acuan besar nilai gaji. Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memperhatikan laju inflasi atau
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK)
dihapus dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus
tetap ada. Sebab UMK setiap kabupaten atau kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika
UMK di Indonesia disebut lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Jika diambil rata-rata
nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah minimum di
Vietnam. "Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor
pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan
perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada upah minimum
sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,"
ungkapnya.

27
Kompas.com, Selasa (6/10/2020) UU Cipta Kerja, Diakses tanggal 11 Oktober 2020

9
Sebagai jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang
mendapatkan UMSK bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis
industri tertentu saja. Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak
semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan. "Jadi tidak harus sama rata sama rasa,
karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan
UMSK,".
Kedua, Buruh juga menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25
kali upah dalam UU Cipta Kerja. Di dalamnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan
dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Dia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana
untuk membayar pesangon. "Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon
buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan
berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini,"
Ketiga, buruh menolak skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang
dihapus batas waktunya. Hal ini membuat buruh bisa saja dikontrak seumur hidup tanpa
menjadi karyawan tetap. Buruh menolak PKWT seumur hidup. Dalam RUU Cipta Kerja,
juga dijelaskan mengenai kontrak outsourcing disebut bisa seumur hidup. Outsourcing juga
diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan. Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk
lima jenis pekerjaan.
Keempat, UU Cipta Kerja juga mengatur kompensasi bagi pekerja yang akan
diberikan bila masa kerja sudah mencapai minimal satu tahun. Sementara itu, kontrak kerja
sudah tidak memiliki batasan waktu. Ia khawatir buruh yang dikontrak di bawah satu tahun
tak akan mendapatkan kompensasi kerja. Dalam UU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak
yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun.
Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun?
Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi. Hal itu dinilai bisa menjadi
masalah serius bagi buruh. Alasannya, pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan
Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas. Pengusaha
bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi.
Intinya, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Sekarang saja jumlah karyawan
kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor
formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah
karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia.
Kelima, Buruh juga menolak waktu kerja yang disepakati dalam UU Cipta Kerja,
karena dinilai bersifat eksploitatif dan cenderung berlebihan. Berdasarkan materi ringkasan

10
yang diterima oleh Detik.com, waktu kerja dalam UU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk
pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. 28
Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan,
pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari. Sehingga buruh menolak jam kerja
yang eksploitatif.
Keenam, Hak cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan. Masalahnya adalah selama
cuti tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil
hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut.
Adapun yang diinginkan dari isi Omnibus Law adalah selama cuti haid dan melahirkan
tersebut buruh tetap diberikan haknya sebagai pekerja. Jika buruh tidak dibayar selama cuti,
menurutnya telah bertentangan dengan Organisasi perburuhan internasional (ILO).29
Hal-hal di atas yang menjadi penyebab penolakan para buruh terhadap Undang-
undang Cipta Kerja ini, karena mereka menganggap UU ini menindas mereka.

III.2. Omnibus Law menurut Pengusaha

Pengusaha mendukung UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Salah satunya yaitu


pengusaha sepatu yang bergabung dalam Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo).
Mereka menilai UU Cipta Kerja dapat menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif.
Khususnya pada industri alas kaki, sehingga bisa bersaing di tingkat global. Salah satu visi
Aprisindo adalah untuk terciptanya iklim investasi dan usaha yang kondusif. Industri alas
kaki di Indonesia diharapkan dapat berkompetisi di tingkat global. Maka bersama ini DPN
Aprisindo memberikan dukungan kepada pemerintah dan DPR untuk penyahan RUU Cipta
Kerja ini, ungkap Ketua Umum Aprisindo Eddy Widjanarko dalam keterangannya pada
Senin 5 Oktober 2020.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Rosan Roeslani
menambahkan bahwa pengusaha berharap UU Cipta Kerja dapat mendorong perekonomian
dan perluasan lapangan kerja. “UU tersebut mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai
permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan membuka lapangan pekerjaan,
melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, kemudahan bagi pelaku usaha
terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga tercipta lapangan kerja yang
semakin besar untuk menjawab kebutuhan angkatan kerja yang terus bertambah” kata Rosan
dalam keterangan tertulis.
28
Detik.com, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2020
29
Liputan6.com (2020-01-21). "Plus Minus Regulasi Sapu Jagat Omnibus Law". Diakses tanggal 11 Oktober
2020.

11
Ia menilai dinamika perubahan ekonomi global memerlukan respon cepat dan tepat.
Tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi tetap melambat. Penciptaan lapangan kerja
harus dilakukan, yakni dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 6,6-7%. Untuk
membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang pada akhirnya akan
mendorong peningkatan konsumsi di Kisaran 5,4-5,6%, ungkap Rosan. Rosan juga
menganggap pengesahan UU Cipta Kerja dapat mendukung program pemberdayaan UMKM
dan koperasi agar kontribusi mereka terhadap PDB masing-masing naik menjadi 6,5%. UU
Cipta Kerja akan meningkatkan daya saing Indonesia dan mendorong investasi. Itu akan
melahirkan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya mempercepat
pemulihan ekonomi nasional.30

III.3. Kontribusi Etika Parrhesia terhadap Omnibus Law

Michel Foucault mengatakan bahwa parrhesia tidak dapat dipisahkan dari gagasan
tentang kuasa, sebab gagasannya tentang kuasa sungguh krusil. Parrhesia dipahaminya
sebagai relasi pribadi dengan kebenaran. Kebenaran dimengerti sebagai pelaksana kuasa.
Undang-undang Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari pemerintah. Pemerintah bisa juga
dikatakan sebagai penguasa yang bebas memutuskan suatu aturan tertentu. Kata “penguasa”
diberikan penulis bukan karena mereka benar-benar berkuasa, melainkan karena pemerintah
di Indonesia kerap memutuskan segala sesuatu tanpa ada pemberitahuan kepada
masyarakatnya. Dalam hal inilah kebenaran yang harus di tunjukkan, tidak perlu ditutup-
tutupi oleh pemerintah. Jika pemerintah tidak transfaran dalam hal ini maka mereka tidak bisa
disebut sebagai parrhesiates.

Sebagaimana dikemukakan oleh Foucault bahwa parrhesia artinya kebebasan


berbicara, berhubungan dengan kebenaran, tugas dan berhadapan dengan resiko. Dalam hal
ini masyarakat harus diizinkan untuk memberikan aspirasi dan orasi untuk mengkritik
pemerintah. Sebab kritikan dalam hal ini bukanlah karena kebencian, melainkan karena
kecintaan kepada negara. Maka kebebasan berpendapat dari mahasiswa, masyarakat, buruh,
dan lembaga keagamaan harus ditampung. Di NKRI kebebasan berpendapat memang di atur
oleh negara. Namun jika kepentingan pribadi para penguasa lebih penting daripada
kepentingan umum, maka hukum dalam sebuah negara bisa saja tidak akan berlaku.

Foucault juga mengatakan kebenaran lebih berharga daripada memiliki kekayaan,


reputasi, atau kehidupan yang layak meskipun dengan mengatakan kebenaran memungkinkan
30
Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5201279/beda-pendapat-buruh-pengusaha-
soal-omnibus-law-cipta-kerja pada tanggal 24 November 2020 pukul 14.00 WIB

12
seseorang untuk menghadapi penganiayaan, pengasingan dan kematian. Sebab menderita
karena berani berkata benar secara terbuka lebih baik daripada mengkhianati suara hati. Hal
inilah yang juga harus dijunjung oleh dua pihak sekaligus. DPR dalam hal ini harus mengakui
kelemahan jika ada diantara UU Cipta Kerja ini benar-benar memberatkan buruh. DPR dan
pemerintah tidak boleh hanya memikirkan kepentingan pribadi, melainkan keterbukaan yang
diharapkan oleh masyarakat. Namun jika kepentingan pribadi terdapat dalam penyahan UU
ini, maka akan ada rakyat yang akan menderita.

Menanggapi masalah ini, Pemerintah sudah memberikan saran supaya diadakan


kompromi antara pengusaha dan buruh. Pengusaha merasa diuntungkan melalui UU Cipta
Kerja ini, sedangkan para buruh merasa dirugikan. Penulis setuju dengan saran adanya
kompromi internal antara pengusaha dan buruh. Tentunya kesepakatan antara kedua belah
pihak akan memperbaiki situasi saat ini. Rasa rugi dan untung tidak akan dirasakan oleh salah
satu pihak jika ada kesepakatan di samping peraturan pemerintah melalui UU Cipta Kerja
(Omnibus Law). Artinya keterbukaan antara buruh kepada pengusaha mengenai kebutuhan
mereka akan menjadi bahan pertimbangan oleh pemilik usaha dalam pemberian upah.

IV. Kajian Etis Teologis (Yohanes 18:19-21)

Pada teks Yohanes 18:12-27 merupakan narasi tentang Yesus ditangkap dan sedang
berada di hadapan Hanas untuk dimintai keterangan mengenai perbuatan-Nya. Penulis fokus
kepada ayat 19-21 tentang pertanyaan Imam Besar dan jawaban Yesus terhadap pertanyaan
itu.

Pada ayat 19 menggambarkan interogasi kepada Yesus yang dilakukan oleh iman
besar kepada Yesus menyangkut ajaran-Nya. Ketika Yesus diinterogasi oleh iman besar,
Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada-Nya (Baca
Lukas 22:68). Selanjutnya Ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan iman besar tersebut dengan
tegas, “Aku berbicara terus terang kepada dunia: Aku selalu mengajar di rumah-rumah
ibadat dan di Bait Allah, tempat semua orang Yahudi berkumpul; Aku tidak pernah
berbicara sembunyi-sembunyi” (Yohanes 18:20). Yesus menegaskan bahwa perbuatan-Nya
merupakan perbuatan terhormat. Ia memberikan pengajaran secara terbuka di hadapan publik
secara terus terang.31 Dalam jawaban Yesus yang menyatakan kebenaran dan kejujuran itu,
penulis melihat bahwa Yesus sebagai Parrhesiates. Kata kerja saya “mengajar” menunjukkan
teks ini sebagai contoh dari kata kerja dalam bentuk perfect tense yang berfungsi dalam
31
Colin G Kruse, The Tyndale New Testament Commentaries of John, (Nottingham: tzter. Varsity Press, 2003),
335

13
pengertian yang dipahami oleh orang-orang tertentu. 32 Dalam Yohanes 18:20 terdapat kata
“selalu”, kata ini tidak harus dimengerti secara harafiah, jelas bahwa Yesus selalu berbicara
terbuka untuk semua orang. Ia berkata secara pribadi hanya untuk Nikodemus dan wanita
samaria.33 Pada ayat 21 jawaban Yesus atas pertanyaan iman besar sangatlah menarik dengan
mengatakan “Mengapakah engkau menanyai aku? Tanyailah mereka yang telah mendengar
apa yang kukatakan kepada mereka. Sungguh mereka tahu apa yang telah kukatakan”. Yesus
ingin mengatakan kepada iman besar untuk bertanya saja kepada mereka. Jika ada seseorang
di antara mereka yang mengatakan bahwa dia pernah belajar atau mendengar sesuatu dari
Yesus secara pribadi yang tidak dapat didengar oleh semua orang. Yesus menegaskan bahwa
ajaran-Nya bukan ajaran yang esoteris, tidak rahasia, tidak diperuntukkan untuk segelintir
orang tetapi untuk semua orang. Namun melalui keterangan-keterangan-Nya itu, orang-orang
Yahudi pada masa itu semakin menyudutkan-Nya sehingga Ia akhirnya dihukum mati.

Melalui teks dan penjelasan teks di atas, penulis melihat bahwa pemerintah dalam hal
ini belum mengatakan kebenaran walaupun di hari-hari kedepan akan dilakukan klarifikasi.
Pemerintah dalam hal ini belum melakukan transparansi terhadap masyarakat dan buruh di
Indonesia. Pemerintah belum menyatakan diri mereka seperti Yesus yang berterus terang
mengenai apa yang dia lakukan dalam pengajaran-Nya. Di sisi lain para masyarakat, buruh,
dan mahasiswa ingin sedang melakukan orasi untuk meminta pertanggungjawaban dari
pemerintah mengenai putusan ini. Para pengunjuk rasa menuntut supaya DPR dan pemerintah
memberikan keterangan yang benar supaya masyarakat tidak lagi merasakan tekanan dari
putusan UU Cipta Kerja ini.

IV.1. Gereja Sebagai Parrhesiates

Terinspirasi dari kisah Yesus yang berlaku menjadi parrhesiates, maka gereja tidak
terlepas dari misi holistik. Misi holistik yang artinya tidak terbatas pada kesaksian,
penginjilan pribadi, melainkan misi yang mencakup ajaran Yesus seperti memberi makan
orang-orang yang kelaparan, menolong orang yang sakit, menghibur yang susah dan bersikap
kritis kepada pemerintah. Penginjilan itu dipahami bukan hanya kerangka penobatan yang
membuat orang lain menjadi anggota gereja, tetapi dalam rangka memantapkan suatu
kebudayaan, peradaban dan kebutuhan manusia.34 Dalam hal inilah gereja dituntut untuk
berlaku untuk mendukung terciptanya keadilan. Gereja harus menyuarakan kebenaran dengan
32
Raymond E. Brown, S.S, The Gospel According to John, 820
33
Prancis J. Moloney, The Gospel of John, (Minnenton: The Liturgical Press. 1998), 488
34
Risnawaty Sinulingga “Suatu Tinjauan Teologis tentang misi” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi
Sabda Medan Edisi XVIII, (Medan: STT Abdi Sabda, 2007), 41

14
resiko apapun yang mungkin akan terjadi. Inilah peran gereja yang sebenarnya dengan berani
keluar dari zona nyaman. Mengkritik pemerintah adalah salah satu yang harus dilakukan
gereja, sebab orang-orang di dalam pemerintahan tidak pernah terlepas dari kepentingan-
kepentingan pribadi yang menguntungkan orang-orang atau kelompok tertentu dalam setiap
keputusan mereka. Mengacu kepada pengertian misi yang holistik, gereja bukanlah gereja
ketika mereka hanya berani bersuara di dalam lingkup kenyamanan mereka. Tidaklah relevan
jika gereja masih saja membicarakan mengenai persepuluhan, persembahan dan gaji pendeta.
Gereja pada saat ini dituntut harus menjadi parrhesiates dalam menanggapi setiap keputusan
pemerintah. Ketika gereja berani keluar untuk menuntut hak seluruh masyarakat, maka itulah
gereja yang sesungguhnya.

V. Kesimpulan dan Saran

V.1. Kesimpulan

Dari kajian di atas penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Menurut Michel Foucault, parrhesia adalah suatu kewajiban untuk berani berkata
benar, jujur, terbuka dengan percaya diri. Parrhesia menuntut seseorang menjadi
mandiri dan menjadi pencerita kebenaran karena berkata benar akan membuat
kebenaran terungkap. Manusia seharusnya mengungkapkan kebenaran yang memang
benar kepada orang yang berhak menerima kebenaran dan jangan menahan suatu
kebenaran. Parrhesia tidak bermaksud untuk menyembunyikan suatu kebenaran demi
mencapai tujuan politis seseorang. Setiap orang bebas dalam berbicara secara terus
terang dan berhak juga menerima kebenaran dalam hidupnya. Walaupun kebenaran itu
memiliki resiko hukuman mati, namun kebenaran itu harus diungkapkan. Karena pada
dasarnya makna parrhesia yaitu berani berterus terang dan berani mengambil resiko.

2. Sebagaimana dikemukakan oleh Foucault bahwa parrhesia artinya kebebasan


berbicara, berhubungan dengan kebenaran, tugas dan berhadapan dengan resiko. Dalam
hal ini masyarakat harus diizinkan untuk memberikan aspirasi dan orasi untuk
mengkritik pemerintah. Sebab kritikan dalam hal ini bukanlah karena kebencian,
melainkan karena kecintaan kepada negara. Maka kebebasan berpendapat dari
mahasiswa, masyarakat dan buruh harus ditampung. Namun jika kebenaran itu harus
mengorbankan diri sendiri kepada kematian, maka itu adalah kewajiban moral sebagai
manusia. Walaupun di NKRI diatur mengenai kebebasan memberikan pendapat, namun
jika kepentingan pribadi atau kelompok lebih penting bagi mereka, maka kebenaran

15
dan kebebasan berpendapat itu tidak akan berlaku. Selain itu, jalan keluar yang tepat
dalam masalah ini adalah perlunya kompromi dari pihak pengusaha dan pihak buruh.
Mereka harus memberikan kesepakatan dalam kontrak kerja serta upah kerja.

3. Dalam teks Yohanes 18:19-21, Yesus menegaskan bahwa perbuatan-Nya merupakan


perbuatan terhormat. Ia memberikan pengajaran secara terbuka di hadapan publik
secara terus terang. Dalam jawaban Yesus yang menyatakan kebenaran dan kejujuran
itu, penulis melihat bahwa Yesus sebagai Parrhesiates. Melalui teks dan penjelasan
teks di atas, penulis melihat bahwa gereja perlu mencontoh Yesus yang berani
mengungkapkan kebenaran walaupun Ia akan di hukum mati. Gerejalah yang menjadi
pelaku-pelaku parrhesiates dalam menyuarakan keadilan dalam konteks masa kini.

V.2. Saran

Dari masalah di atas penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Para masyarakat harus tetap memberikan kritik dan saran terhadap pemerintah, sebab
dengan cara itulah sebuah negara dilengkapi melalui kritik dan saran menuju negara
yang maju. Walaupun kritik yang dilakukan itu mempunyai resiko yang besar terhadap
para pengkritik.

2. Gereja harus berani mendukung hak-hak masyarakat ketika pemerintah membuat


keputusan yang memberatkan rakyat. Gereja tidak lagi relevan jika masih
membicarakan mengenai gaji dan persepuluhan. Gereja harus dengan sungguh-sungguh
menjadi jembatan antara masyarakat kepada pemerintah. Di samping itu, gereja juga
harus membangun relasi dengan pemerintah, sehingga gereja memiliki jaminan hukum
dari pemerintah. Dengan itu, gereja akan lebih mudah untuk memberikan suara
terhadap pemerintah.

3. Gereja Methodist Indonesia (GMI) perlu menjadikan gereja-gereja lain yang memiliki
jaminan hukum menjadi pembelajaran. GMI perlu menjadi gereja yang menjadi
penyampai suara rakyat terhadap pemerintah. GMI tentu saja masih lambat dalam
urusan-urusan pemerintahan seperti ini. GMI kiranya tidak hanya mempersoalkan
masalah-masalah internal. Namun diharapkan lebih berani keluar dari zona nyaman
menuju lingkup yang lebih luas.

16
Daftar Pustaka
Anderson, Russell dan James Wong, Truth And The Politics of Our Selves.
Brown, Raymond E. S.S., The Gospel According to John.
Foucault, Michel., Discourse and Truth: The Problemmatication of parrhesia.
Foucault, Michel., Parrhesia: Berani Berkata Benar, (Tangerang Selatan: Gajah
Hidup, 2018).
Havis Devonya N., The Parrhesiastic Enterprise of Biack Phiicsophy, vOlume
43, (Winter, 2013).
Kebung, Kondrad., Michel Foucault Parrhesia dan persoalan Mengenai Etika,
(Jakarta: Obor, 1997).
Kruse, Colin G., The Tyndale New Testament Commentaries of John,
(Nottingham: tzter. Varsity Press, 2003).
Liddel, H & R. Scott, “” dalam A G reek-English Lexicon.
Lucian, “The Death Come to Life, or The Fisherman” (trjmh. A.M. Hearmon),
dalam The Works of Lucion, vol 3.
Moloney, Prancis J., The Gospel of John, (Minnenton: The Liturgical Press.
1998).
Muers, Rachel., Jornal of Religious Ethics Some Contemporary Questions
about Telling the Truth, (Oxford: INC, 2014).
Nilsen, Thomas R., Ethics of Speech Communication, (New York: Merril
Company, 1966).
Scherz, Paul., The Legal Suppression of Seientifle Data and the Chistian Virtue
of Parrhesia, (ATLAS: Oxford, 2004).
Suseno, Franz Magnis., Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
White, Jerry., Moral Hati Nurani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987).

Sumber Lain

SINDOnews.com
indonesiabaik.id
Kompas.com
Detik.com
Liputan6.com

17

Anda mungkin juga menyukai