Anda di halaman 1dari 7

UPAYA PEMBENTUKAN PERILAKU PENEGAK HUKUM YANG ANTI

KORUPSI MELALUI REKAM SIDANG TIPIKOR

Ridwan
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan Serang, Telp. 0254-280330.
email : ridwan_untirta@yahoo.co.id

Abstract

Corruption is a criminal act. Corruption causing state unable to fulfill its legal duty; to protect and to
welfare his society, in those conditions states wouldn't be able delivering happiness for the people.
Corruption recently in Indonesia is involving all society element, including the law enforcement officer.
Furthermore, some verdicts describing un- responsive and un-progressive decisions, then make this
verdict having no quality and fairness. These realities, motivating KPK RI (.....) take some real steps in
preventing and combating corruption through court recording activity in any corruption case at the court;
prosecutor could be from KPK or district attorney with specific circumstances, the case get much public
attention; because of its actor or how big government loss. Court records during court session over
corruption case has improved some law enforcement officer behavior for not doing corruptive. It has also
become an effective tool for arising social control which is a part of corruption eradicating.

Keywords: Recording, Corruption, Responsive, Progressive, Fairness.

Abstrak

Tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan Negara tidak dapat memenuhi
kewajiban hukumnya yakni melindingi dan mensejahterakan masyrakatnya, pada kondisi demikian
Negara tidak mampu membuat masyarakatnya bahagia. Korupsi yang terjadi di Indoneia telah
melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk penegak hukum. Putusan-putusan pengadilan sering
menggambarkan putusan yang tidak responsif dan progresif sehingga putusan tersebut adalah putusan
yang tidak berkualitas dan berkeadilan. Hal ini kemudian mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia melakukan langkah-langkah konkrit dalam mencegah dan memberantas korupsi
melalui perekaman persidangan tindak pidana korupsi di pengadilan, baik penuntutnya dari KPK
maupun dari kejaksaan dengan kriteria kasus terebut mendapatkan perhatian publik, dikarenakan
pelakunya atau besarnya kerugian Negara. Perekaman persidangan tindak pidana korupsi mampu
mempengaruhi priaku penegak hukum untuk tidak melakukan prilaku koruptif dan menjadi sarana yang
efektif bagi tumbuhnya kontrol sosial yang diperlukan bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kata Kunci: Perekaman, Korupsi, Responsif, Progresif, Keadilan.


A . Pendahuluan
1. Latar Belakang
Persoalan bangsa yang diakibatkan oleh tindak perlindungan terhadap segenap tumpah darah
pidana korupsi, telah menempatkan negara hanya dapat dilaksanakan dengan perangkat
Indonesia pada posisi yang sulit untuk mewujudkan hukum, sehingga tercapai tujuan hukum yaitu
tujuan negara yakni melindungi segenap tumpah kesejahteraan rakyat, hal ini merupakan bagian
darah dan menciptakan kesejahteraan umum. terpenting dari penanggulangan kejahatan,
Padahal Indonesia telah memposisikan dirinya sebagaimana ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief,
sebagai negara hukum, di mana sebuah bahwa penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

404
MMH, Jilid 43 No. 3 Juli 2014

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan berbagai kepentingan yang ada. Represif sering
masyarakat (social defence) dan upaya mencapai juga sangat halus dan dilakukan secara tidak
kesejahteraan masyarakat (social welfare).1 langsung, dengan mendorong dan mengeksploitasi
Melalui penanggulangan kejahatan tersebut, persetujuan pasif.5 Untuk mengatasi problematik
akan dapat mewujudkan hakikat dari terbentuknya tersebut diperlukan sebuah kontrol sosial. Agar
negara hukum yaitu membahagiakan rakyatnya kontrol sosial menguat dan sekaligus melemahkan
yang dokonsepsikan oleh Satjipto Rahardjo sebagai kekerasan struktural, Komisi Pemberantasan
negara yang memiliki kenuranian, di mana negara Korupsi Republik Indonesia, melakukan langkah-
bukan sekedar “legal structure of the state” langkah konkret dan strategis bagi pemberantasan
melainkan lebih mengutamakan “a state with korupsi terutama lingkup korupsi yang melibatkan
conscience”.2 Namun negara hukum yang penuh penegak hukum, yaitu dengan melakukan rekam
kenuranian dengan cita-cita kesejahteraan rakyat, sidang peradilan tindak pidana korupsi. Perekaman
tidak akan mudah mewujudkan dirinya demikian, itu dilakukan bukan saja pada kasus yang ditangani
karena negara dengan cita-cita besar tersebut oleh KPK tetapi juga kasus korupsi yang ditangani
tengah menghadapi persoalan besar yang oleh lembaga lain dalam hal ini oleh kejaksaan,
ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dengan kriteria kasusnya menyita perhatian
melibatkan para penegak hukum yang semestinya masyarakat luas, menyangkut pelakunya atau
menjadi bagian yang utama dalam pemberantasan besarnya kerugian Negara.
tindak pidana korupsi. Tulisan sebagai hasil penelitian ini
Keterlibatan penegak hukum dalam melakukan memfokuskan pada dua hal pokok yang sangat
tindak pidana korupsi ini ditengarai oleh dua sebab penting yaitu apakah perekaman persidangan
atau faktor yang kuat, yaitu faktor internal dan tipikor memiliki korelasi yang positif terhadap
eksternal. Faktor internal lebih diakibatkan oleh pembentukan prilaku hakim yang anti korupsi? dan
watak jahat yang dimiliki oleh penegak hukum itu apakah rekam sidang tindak pidana korupsi dapat
sendiri, yang juga diperparah oleh lemahnya kontrol dijadikan sebagai alternatif sebuah kontrol sosial?
sosial, di mana kontrol sosial ini menurut Romli
Atmasasmita akan dapat menjaga atau mengawasi 2. Metode Penelitian
individu berada dalam jalur yang seharusnya.3 Penelitian adalah cara atau jalan atau proses
Faktor eksternal terbentuknya prilaku jahat bagi pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan
para penegak hukum, diakibatkan masih adanya cara penalaran dan berfikir yang logis-analitis
praktek kejahatan yang ditimbulkan oleh kekerasan (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan
struktural, sebagaimana yang konsepsikah oleh teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu)
Johann Galtung, bahwa kekerasan struktural adalah tertentu, untuk menguji kebenaran (atau
kekerasan tidak langsung, yang bukan dari orang mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori
tertentu, melainkan yang telah terbentuk dalam tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah,
suatu sistem sosial tertentu, yakni dilakukan oleh peristiwa sosial atau peristiwa hukum yang tertentu.6
kekuasaan dan mereka yang memiliki harta Sejalan dengan pengertian metode ilmiah
kekayaan yang berlimpah.4 Munculnya kekerasan sebagaimana tersebut di atas, maka dalam
struktural ini mengakibatkan adanya penerapan penelitian ini peneliti menggunakan metode
hukum pidana yang represif, yang dapat melukai Kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan
hati rakyat. perbandingan, dimana pengumpulan data dilakukan
Penerapan hukum pidana yang represif tidak melalui pendekatan partisipatoris. Penelitian ini
selamanya dalam bentuk yang kasar, karena dilakukan pada Peradilan Tindak Pidana Korupsi
menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick Represif Banten di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Serang.
juga terjadi ketika kekuasaan bersifat lunak tetapi
hanya sedikit memperhatikan, dan tidak secara
efektif, dan tidak secara efektif dikendalikan oleh
1
Barda Nawawi Arief. 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, hlm.2.
2
Satjipto Rahardjo. 2008, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta, Genta Press, hlm.77.
3
Romli Atmasasmita, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Refika Aditama, hlm. 44.
4
J.E. Sahetapy.2005, Pisau Analisi Kriminologi, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 97.
5
Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2008, Hukum Responsif, Bandung, NusaMedia, hlm.35.
6
Sunaryati Hartono.1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20, Bandung, Alumni, hlm. 105.

405
Ridwan, Upaya Pembentukan Perilaku Penegak Hukum

3. Kerangka Teori memiliki nilai, tetapi sebagai sarana untuk


a. Teori Penegakan Hukum melindungi kepentingan masyarakat.10 Sasaran
Penegakan hukum pidana bertujuan untuk yang hendak dijangkau oleh teori relatif tersebut
menciptakan kedamaian dalam pergaulan hidup. pada hakikatnya adalah pencegahan kejahatan,
Secara Konsepsional penegakan hukum menurut oleh karenanya dalam teori ini berlaku pencegahan
Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan secara umum (algemene preventief), yakni dengan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam cara menakut-nakuti, yang ditujukan untuk umum,
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan pencegahan secara khusus (speciale
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai preventief), yakni memperbaiki penjahatnya agar ia
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan tidak mengulangi perbuatan jahatnya.11 Menurut
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.7 Barda Nawawi Arief penggunaan sanksi pidana
Menurutnya bahwa penegakan hukum tersebut harus memperhatikan pendekatan humanistis,
dipengaruhi oleh: yakni pidana yang digunakan tidak hanya harus
1). Faktor hukumnya sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang beradab, tetapi juga
2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang harus dapat membangkitkan kesadaran si
membentuk maupun menerapkan hukum pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-
3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung nilai pergaulan kehidupan masyarakat.12
penegakan hukum
4). Faktor masyarakat , yakni lingkungan di mana di B. Hasil dan Pembahasan
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 1. Korelasi Rekam Sidang Tipikor Terhadap
5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, Pembentukan Perilaku Para Penegak Hukum
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa Menurut Barda Nawawi Arief, “permufakatan
manusia di dalam pergaulan hidup.8 jahat” merupakan istilah yuridis sama halnya
b. Teori Pencegahan dengan istilah yuridis lainnya seperti “percobaan”
Untuk mewujudkan keadilan sebagaimana yang “pembantuan”, ”pengulangan”13 lebih lanjut Barda
terkandung di dalam hukum pidana, maka fungsi Nawawi Arief menjelaskan bahwa di Belanda
hukum pidana secara khusus yaitu pemberian apabila undang-undang khusus di luar KUHP
sanksi harus dimanifestasikan terhadap siapa pun menyatakan bahwa “permufakatan jahat” dapat
yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dipidana, maka undang-undang khusus tersebut
terhadap nilai-nilai hukum. Menurut Sudarto, membuat pengertian mengenai “permufakatan
pemberian sanksi terhadap pelaku yang melakukan jahat” di dalam “ketentuan umum” nya.14 Jadi
pelanggaran hukum menunjukkan bahwa secara perumusan pengertian mengenai istilah-istilah
khusus fungsi hukum pidana dalam hal penjatuhan yuridis dalam undang-undang khusus mengenai
pidana atau sanksi terdapat suatu yang bersifat tindak pidana korupsi merupakan hal yang sudah
tragik atau suatu yang menyedihkan, yang berarti semestinya dilakukan agar terjadi sinkronisasi
pula bahwa hukum pidana di samping hendak antara undang-undang khusus dengan KUHP
melindungi benda hukum (nyawa, harta benda, sebagai sistem induk.
kemerdekaan, kehormatan) dari setiap bentuk Perlekatan Undang-undng yang bersifat khusus
pelanggaran, juga mengadakan perlukaan terhadap dengan KUHP sebagai sebuah sistem juga terlihat
benda hukum bagi si pelanggar.9 Penjatuhan sanksi dalam Undang-undang Anti Korupsi Korea Nomor
merupakan bagian dari tujuan pemidanaan. 6494, 24 Juli, 2001, di mana undang-undang
Perkembangan pemidanaan yang terjadi di khusus tetap mendasarkan tindak pidana korupsi
Indonesia pada saat ini adalah bertujuan pada pada KUHP sebagai sistem induk, hal mana
perlindungan masyarakat, di mana tujuan tersebut dikatakan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang
lebih didasari oleh teori relatif. Menurut teori ini anti korupsi Korea yang mengatur mengenai Filing
memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan Adjudication, bahwa :
absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak Where a person suspected of committing the act of
7
Soerjono Soekanto. 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, RadjaGrafindo Persada, hlm.3.
8
Ibid, Hlm. 5.
9
Sudarto.1990, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto, hlm.13.
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, hlm.16.
11
Lihat C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm,17 .
12
Ibid. hlm 34-35.
13
Ibid.hlm 9.
14
ibid

406
MMH, Jilid 43 No. 3 Juli 2014

corruption under Article 29 (4) and (5) falls under Court, Court of Appeal or Federal Court, and any
Articles 129 through 133 and 355 through 357 of the person receiving any remuneration from public
Criminal Act (including the case of aggravated funds, and, where the public body is a corporation
punishment under other Acts) and that the sole, includes the person who is incorporated as
Commission directly files an accusation with the such;
prosecution against him/her, if the same case as the "prescribed offence" means;
one against which the accusation is filed is already (yang dimaksud dengan tindak pidana ialah)
under investigation or is related to another case (a) an offence punishable under section 161, 162,
under investigation and a public prosecutor 163, 164, 165, 213, 214 or 215 of the Penal
concerned delivers a notice to the Commission that Code;
s/he does not institute a public prosecution against Pasal 161 KUHP Malaysia (Law of Malaysia
either of the two cases, the Commission may file an Act 574 Penal Code)15 sebagaiamana disebutkan
application for an adjudication on the right or wrong dalam Pasal 2 Undang-undang anti korupsi
thereof with the High Court corresponding to the Malaysia di atas menyatakan bahwa:
High Public Prosecutor's Office to which the public Whoever, being or expecting to be a public servant,
prosecutor belongs within 10 days from the date the accepts or obtains, or agrees to accept or attempts to
Commission receives such notice. obtain, from any person, for himself or for any other
Rumusan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Anti person, any gratification whatever, other than legal
Korupsi Korea Nomor 6494, 24 Juli, 2001, tersebut remuneration, as a motive or reward for doing or
menyatakan bahwa “where a person suspected of forbearing to do any official act, or for showing or
committing the act ......... falls under Articles 129 forbearing to show, in the exercise of his official
through 133 and 355 through 357 of the Criminal Act” functions, favour or disfavour to any person, or for
dan dalam Pasal 129 ayat (1) KUHP Korea, misalnya rendering or attempting to render any service or
dikatakan bahwa “A public official or an arbitrator disservice to any person, with the Government, or
who receives, demands or promises to accept a with any member of the Cabinet or of Parliament or of
bribe in connection with his duties. Ini menunjukkan a State Executive Council or Legislative Assembly,
bahwa undang-undang khusus mengenai tindak or with any public servant, as such, shall be punished
pidana korupsi di Korea, tetap mendasarkan pada with imprisonment for a term which may extend to
rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam three years or with fine or with both.
KUHP, atau setidak-tidaknya menunjukkan bahwa Jadi dengan demikian, undang-undang khusus
undang-undang khusus mengenai tindak pidana mengenai anti korupsi di Korea maupun di Malaysia,
korupsi yang berlaku tidak mencabut KUHP sebagai dalam merumuskan tindak pidana korupsi tetap
sistem induk. mendasarkan pada KUHP, dan tidak mencabut
Penekanan mengenai rumusan tindak pidana KUHP sebagai bentuk kriminalisasi terhadap
korupsi yang ditunjukkan dalam undang-undang anti tindakan korupsi. Perlu disadari bahwa Undang-
korupsi di Korea sebagaimana diuraikan di atas, Undang anti korupsi yang berlaku di Indonesia,
memiliki persamaan dengan pengertian/batasan dalam hal mengenai peristilahan yang dapat
yuridis mengenai petugas badan publik sebagai diberlakukan baik dalam KUHP atau di luar KUHP
subyek hukum tindak pidana korupsi yang diatur sebagaimana yang di rumuskan dalam Pasl 103
dalam undang-undang anti korupsi Malaysia, di KUHP terbatas hanya pada Bab I sampai Bab VIII,
mana dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 575 jadi peristilahan yang diatur dalam Bab IX misalnya
Tahun 1997 di sebutkan bahwa: tetang “permufaata jahat”, dan “pengulangan” tidak
"officer of a public body" means any person who is a dapat diberlakukan untuk perbuatan yang diatur
member, an officer, an employee or a servant of a dalam undang-undang di luar KUHP.
public body, and includes a member of the Kelemahan-kelemahan tersebut dapat
administration, a member of Parliament, a member mendorong seorang hakim kemudian mengambil
of a State Legislative Assembly, a judge of the High sebuah kebijakan dalam pengambilan putusan, dan
15
http://www.agc.gov.my/agc/Akta/Vol. 12/Act 574

407
Ridwan, Upaya Pembentukan Perilaku Penegak Hukum

apabila tidak dilakukan secara hati-hati atau secara materielnya, dilakukan pada fakta dan peraturan
sembarang, maka ini akan menimbulkan sebuah perundang-undangannya, sehingga diperoleh
tindakan korupsi, karena menurut Robert Klitgaard gambaran secara hukum betapa pentingnya suatu
kebijakan itu dapat menimbulkan sebuah korupsi, di proses monitoring sidang-sidang peradilan
mana Robert Klitgaard memberikan rumusan khusunya kasus korupsi, karena kasus korupsi
dengan model matematis yaitu (C=M+D-A) jadi akhir-akhir ini mengalami dinamika yang destruktif,
Corruption = Monopoly Power + Discretion by di mana kasus yang diajukan KPK seratus persen
Official – Accountabilty,16 sehingga korupsi terjadi diterima oleh pengadilan, tapi putusannya belum
karena adanya monopoli atas kekuasaan dan menggambarkan putusan yang berkarakter
diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan pada responsif dan progresif.21
suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya Hakim Adhoc pada Peradilan Tindak Pidnana
akuntabilitas.17 ntuk menghindari kebijakan yang Korupsi di Pengadilan Negeri Serang, Sigit
koruptif, maka dilakukan sebuah terobosan baru menyatakan bahwa Pengawasan terhadap hakim
yang dilakukan oleh KPK yakni melalui proses pada dasarnya merupakan kewenangan Mahkamah
perekaman persidangan tindak pidana korupsi di Agung dan Komisi Yudisial, bukan lembaga penyidik
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menurut dan penuntut seperti KPK, namun demikian
Bambang Widjojanto, proses perekaman ini bukan perekaman ini sangat membantu dalam rangka
sekedar sebah perekaman semata, tapi merupakan meningkatkan prilaku hakim sehingga mendapatkan
sebuah proses sejarah pembentukan peradilan putusan pengadilan yang berkualitas. 2 2
yang bertanggungjawab.18 Apa yang dikatakan oleh Memperhatikan pernyataan para penegak hukum
Bambang Widjojanto tersebut berbanding lurus tersebut, menunjukkan adanya korelasi yang sangat
dengan pernyataan hakim tindak pidana korupsi erat dan positif antara perekaman persidangan
yang sekaligus sebagai wakil ketua Pengadilan tindak pidana korupsi dengan pencegahan anti
Negereri Serang yaitu Poltak Sitorus yang korupsi terutama dikalangan penegak hukum.di
menegaskan bahwa perekaman persidangan mana para penegak hukum merasa enggan untuk
membuat para penegak hukum khususnya hakim melakukan tindakan-tindakan atau prilaku-prilaku
untuk berfikir sepuluh kali jika ingin melakukan koruptif.
perbuatan koruptif melalui putusan yang diambilnya,
jika hal itu tidak dilakukan sama artinya dengan 2. Rekam Sidang Tindak Pidana Korupsi Sebagai
membuang badan.19 Alternatif Sosial Kontrol
Pernyataan Poltak Sitorus tersebut juga sejalan Melalui perekaman persidangaan pada kasus-
dengan Panitera Muda Tindak Pidana Korupsi Pada kasus tindak pidana korupsi, terutama pada kasus-
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh
Negeri Serang, Anton yang menyatakan dengan penegak hukum diluar KPK ditemukan lemahnya
adanya rekam sidang penegak hukum akan berhati- analisis para penegak hukum khususnya penuntut
hati dalam sebuah proses pengambilan putusan umum dalam menindaklanjuti fakta-fakta
atas perkara korupsi.20 Sejalan dengan apa yang persidangan yang terjadi. Misalnya, terungkapnya
dikatakan oleh Poltak Sitorus dan Anton tersebut, pelaku baru dalam persidangan, namun sering
Busyro Mukodas sebagai salah satu Komisioner pelaku tersebut tidak ditindaklanjuti melalui proses
KPK menegaskan monitoring dari sebuah proses peyidikan, tentu hal ini bertentangan dengan tujuan
peradilan memilki makna dan fungsi yang strategis, hukum acara pidana yakni menemukan kebenaran
di mana menurutnya bahwa berdasarkan kajian materiel. Kalau kemudian kebenaran materiel itu
Komisi Yudisial pada periode pertama yang tidak diungkap maka penegakan hukum dalam
dilajutkan pada periode kedua menyimpulkan kasus Korupsi pada inti hakikatnya masih jauh dari
terdapat putusan-putusan hakim yang rasa keadilan. Kondisi demikian juga pernah
unprofessional yang disebabkan adanya manipulasi digambarkan oleh salah seorang penasihat hukum,
pada hukum acara maupun pada hukum
16
Rohim.2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Depok, Pena Multi Media, hlm.2.
17
Ibid
18
Disampaikan oleh Bambang Wijayanto dalam acara Evaluasi rekam sidang tipikor di Makasar, pada tanggal 18 Oktober 2012.
19
Diskusi dengan Poltak Sitorus tanggal 2 Oktober 2012 di Pengadilan Negeri Serang, Banten sebeum persidangan kasus Korusi alat-alat Laboratorium Universitas
Sultan Ageng Tirtyasa.
20
Wawancara dengan Anton tanggal 3 November 2012 di Pengadilan Negeri Serang, Banten.
21
Penyampaian Ceramah oleh Busyro Mukodas dalam pelatihan APIK, tanggal 13 Juni 2013 di Hotel Ciputra Jakarta.
22
Sigit dalam Focus Group Discusion, tanggal 2 Oktober 2013

408
MMH, Jilid 43 No. 3 Juli 2014

Dian Samudra yang menegaskan “Saya pernah atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk
menangani perkara Kasus korupsi yang di rekam melaksanakan norma-norma atau peraturan
oleh tim rekam sidang tindak pidana korupsi, dalam menjadi efektif.29 Menurut Satjipto Rahardjo sendiri
persidangan tersebut terungkap nama lain tapi bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
terungkapnya fakta tersebut tidak ditindaklanjuti.23 dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar
Bahkan menurut salah satu hakim Adhoc pada bertingkah laku sesuai dengan harapan
Peradilan Tindak Pidnana Korupsi di Pengadilan masyarakat, kontrol sosial tersebut dijalankan
Negeri Serang, Naspudin menegaskan rekam dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang
sidang ini cukup efektif tapi sifatnya terbatas karena melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai
hanya bisa dilihat dalam ruang persidangan. suatu lembaga yang diorganisasi secara politik,
seharusnya tidak cukup hanya di ruang sidang saja melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.30
tapi musyawarah hakim pun perlu di pantau.24 Bahkan di Malaysia, kontrol sosial tidak hanya
Pernyataan-penyataan atau penegasan- dilakukan oleh lembaga yang dibentuk secara resmi
penegasan tersebut, menunjukkan bahwa masih oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh
ada persoaan-persoalan khusus dalam penegakan elemen masyarakat, hal tersebut di sampaikan oleh
hukum pidana berkaitan dengan pemberantasan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, bahwa
tindak pidana korupsi. Di sinilah letak betapa di Malaysia setiap warga harus menjadi pemantau
pentingnya eksistensi rekam sidang tindak pidana atas korupsi di pemerintahan.31 Hal tersebut menjadi
korupsi, terutama dalam membangun kontrol sosial, wajar, karena tindak pidana korupsi merupakan
untuk mencegah dan menghindari terjadinya kejahatan sosial dan yang paling dirugikan adalah
penyimpangan-penyimpangan penegakan hukum masyarakat. Jadi dengan demikian, perekaman
pidana. Kontrol sosial menurut Ronny Hanitijo persidangan terhadap kasus-kasus korupsi
Soemitro, merupakan aspek normatif dari merupakan hal yang harus perlu didorong, sehingga
kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai terjadi kontrol sosial dalam mencegah dan
pemberi definisi dan tingkah laku yang menyimpang memberantas korupsi.
serta akibat-akibatnya, seperti larangan-larangan,
tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti C. Simpulan dan Saran
rugi.25 Bahkan menurutnya tingkah laku yang Berdasarkan uraian diatas, dapat di ambil
menyimpang tergantung pada kontrol sosial. Ini simpulan sebagai berikut :
berarti, kontrol sosial menentukan tingkah laku 1. Penanganan kasus-kasus korupsi di
bagaimana yang merupakan tingkah laku yang pengadilan, tidak serta merta menghasilkan
menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu putusan yang berkualitas, sebagai cerminan
pada kontrol sosial, maka semakin berat nilai putusan hakim yang responsif dan progresif.
penyimpangan pelakunya. 2 6 Jadi tindakan Sehingga diperlukan suatu proses perekaman
menyimpang tidak dibenarkan karena masyarakat persidangan yang mampu mempengaruhi
secara umum merasa tindakan-tindakan tersebut prilaku hakim atau penegak hukum lainnya yang
tidak dapat diterima.27 Oleh karena itu, menurut terlibat dalam penanganan kasus korupsi di
Emile Durkheim, kejahatan merupakan tindakan pengadilan ke arah prilaku anti koruptif,
yang tidak disepakati secara umum oleh anggota sehingga putusan hakim akan menjadi putusan
masing-masing masyarakat. Suatu tindakan bersifat yang berkualitas.
kejahatan ketika tindakan tersebut melanggar 2. Perekaman persidangan juga akan mampu
kesadaran bersama yang kuat dan terdefinisi.28 Jadi menumbuhkan sikap kepedulian seluruh pihak
dengan demikian menurut Emile Durkheim bahkan masyarakat untuk melakukan kontrol
kejahatan merupakan hal yang disepakati oleh sosial, agar tidak dilakukan penyimpangan-
masyarakat sebagai sesuatu yang tidak boleh penyimpangan oleh para penegak hukum di
dilakukan. Secara tegas Reiss mendefinisikan pengadilan dalam menegakkan hukum pidana
kontrol sosial sebagai kemampuan kelompok sosial berkaitan dengan tindak pidana korupsi, jadi
23
Dian Samudra dalam Focus Group Discusion, tanggal 2 Oktober 2013
24
Naspudin dalam Focus Group Discussion, tanggal 2 Oktober 2013
25
Ahmad Ali. 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indinesia, hlm.71.
26
Ibid.
27
Soeharto.2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm. 24.
28
Ibid.
29
Romli Atmasasmita, op.cit. hlm:43.
30
Ibid
31
Kamri Ahmad.2005, “Membangun Visi Baru Pemberantasan Korupsi dengan Progresif” Artikel dalam Jurnal Progresif, Pencarian Pembebasan Pencerahan, Program S3 FH.Undip, Vol.1
No.2 hlm.131.

409
Ridwan, Upaya Pembentukan Perilaku Penegak Hukum

perekaman persidangan merupakan alternatif Genta Press.


yang efektif dalam menumbuhkan kontrol Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana
sosial. Korupsi, Depok: Pena Multi Media.
Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan: Sahetapy, J.E. 2005, Pisau Analisi Kriminologi,
1. Perekaman persidangan kasus-kasus korupsi Bandung: Citra Aditya Bakti.
perlu secara terus menerus dilakukan, sehingga Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2008, Beberapa
para penegak hukum benar-benar menjadi Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum
penegak hukum yang professional. Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
2. Para penegak hukum harus bekerja secara Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka,
serius, sehinga pelaku lain yang terungkap di Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme
persidangan harus disidik, hal ini demi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
terwujudnya tujuan hukum acara pidana yaitu Bandung, Refika Aditama.
mencari kebenaran materiel. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian
Hukum, Jakarta: UI-Press.
DAFTAR PUSTAKA Soekanto, Soerjono, 2002, Faktor-faktor yang
Buku Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Ali, Ahmad. 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor: RadjaGrafindo Persada.
Ghalia Indinesia. Sudarto,1990 Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan
Ahmad, Kamri.2005, “Membangun Visi Baru Sudarto.
Pemberantasan Korupsi dengan Progresif”
Artikel dalam Jurnal Progresif, Pencarian
Pembebasan Pencerahan, Program S3
FH.Undip, Vol.1 No.2 hlm.131.
Atmasasmita, Romli. 2005, Teori dan Kapita Selekta
Kriminologi, Bandung: Refika Aditama.
Hartono, Sunaryati. 1994, Penelitian Hukum di
Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20, Bandung:
Alumni.
Kansil, C.S.T. dan S.T. Kansil, Christine.2004,
Pokok-pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana
Untuk Tiap Orang, Jakarta: Pradnya Paramita,
2004:17
Muladi dan Nawawi Arief, Barda.1998, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.
Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan
Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Nawawi Arief, Barda, 2008, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta:
Kencana.
Nonet, Philippe & Selznick, Philip, 2008. Hukum
Responsif. Bandung: Nusamedia.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, Satjipto, 2008, Negara Hukum yang
Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta:

410

Anda mungkin juga menyukai