Anda di halaman 1dari 48

TUTOR

DEFISIENSI VITAMIN DAN MINERAL


DISKUSI CASE REPORT: “DEFISIENSI VITAMIN D”

Pembimbing:
dr. Hj. Rini Sulviani, Sp. A, M. Kes

Disusun oleh:
Maybelline (201806010042)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN ATMA JAYA
PERIODE 12 APRIL – 13 JUNI 2021
RSUD R. SYAMSUDIN, S.H. SUKABUMI
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah tutor yang berjudul “Defisiensi
Vitamin dan Mineral”. Makalah tutor ini disusun untuk menambah pengetahuan mengenai
defisiensi vitamin dan mineral pada anak, khususnya gejala dan tanda yang sering ditemukan
dan tatalaksananya. Selain itu, pada makalah tutor ini juga akan dibawakan contoh laporan
kasus mengenai “Defisiensi Vitamin D pada Anak” agar dapat memberikan gambaran terkait
kasus defisiensi vitamin D dan tatalaksananya. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Rini Sulviani, Sp. A, M. Kes, selaku pembimbing
makalah tutor ini yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah. Penulis
menyadari bahwa makalah tutor ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap
makalah tutor ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Atas perhatiannya, penulis
mengucapkan terima kasih.

Sukabumi, 1 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii
BAB I. Kasus: Defisiensi Vitamin D...................................................................................1
Kasus........................................................................................................................1
Pembahasan.............................................................................................................4
BAB II. Tinjauan Pustaka....................................................................................................7
A. Defisiensi Vitamin.............................................................................................7
1. Vitamin A....................................................................................................7
2. Vitamin B....................................................................................................11
3. Vitamin C....................................................................................................21
4. Vitamin D....................................................................................................24
5. Vitamin E.....................................................................................................31
6. Vitamin K....................................................................................................32
B. Defisiensi Mineral.............................................................................................34
1. Kalsium........................................................................................................34
2. Fosfor...........................................................................................................35
3. Zat besi .......................................................................................................36
4. Yodium .......................................................................................................40
5. Zinc..............................................................................................................42
Daftar Pustaka......................................................................................................................44

ii
BAB I
KASUS: DEFISIENSI VITAMIN D

Sumber: Stevens RL, Lyon C. Nutritional vitamin D deficiency: a case report. Cases Journal.
2009; 2:7000. https://doi.org/10.1186/1757-1626-2-7000.

Kasus:
a. Anamnesis:
An. A, 6 bulan, laki-laki, ras African-American, datang dengan keluhan tidak
ada peningkatan berat badan dan tinggi badan selama 2 bulan terakhir. Ibu pasien
mengatakan bahwa meskipun pasien sudah mengonsumsi ASI dengan baik, sebanyak
4 ounces dari ASI pump setiap 2-3 jam sekali, berat badan dan tinggi badannya tidak
meningkat. Pasien mengonsumsi ASI eksklusif dan ibu pasien belum pernah
memberikan makanan lain selain ASI. Pasien lahir dari ibu partus maturus spontan
pervaginam tanpa komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Pada saat berusia 2
bulan, pasien berada dalam persentil 50 untuk kurva berat badan dan tinggi badan,
namun turun dibawah 3rd percentile untuk berat badan dan berada di 3rd percentile
untuk tinggi badan saat usia 6 bulan. Berat badan pasien saat usia 4 bulan adalah 6477
gram dengan panjang badan 63,5 cm dan hanya meningkat menjadi 6761 gram
dengan panjang badan 66 cm saat berusia 6 bulan.
An. A telah mencapai milestones perkembangan sesuai usia. Keluhan muntah,
diare, demam, perubahan nafsu makan, gangguan menelan, gangguan pernafasan,
sesak/apnea, penyakit akut berulang, atau trauma disangkal.
Pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan. Tidak ada saudara atau
anggota keluarga dengan riwayat gagal tumbuh (failure to thrive). Riwayat depresi
post partum pada ibu disangkal. Riwayat penggunaan obat-obatan (substance abuse)
oleh ibu pasien disangkal. Tidak ada riwayat keluarga dengan malabsorbsi. Kedua
orang tua memiliki perawakan normal.
Pasien belum pernah berobat sebelumnya untuk keluhan ini.

Pada kasus ini, perlu ditanyakan terkait keluhan tambahan, seperti apakah
terdapat kejang atau tetani? Apakah ada faktor risiko, misalnya jarang terkena sinar
matahari, berapa lama berada di luar rumah dan terpapar sinar matahari/berjemur?

1
Apakah sering menggunakan pakaian tertutup sehingga kulit tidak langsung terkena
sinar matahari? Apakah pasien menggunakan sunscreen? Apakah pasien pernah
sakit-sakitan selama 6 bulan terakhir? Apakah anaknya tampak lemas? Apakah
anaknya pernah patah tulang atau mengalami gangguan tulang? Perlu ditanyakan
juga terkait riwayat pemeriksaan prenatal dan makanan yang dikonsumsi ibu, gizi
saat hamil bagaimana? Apa saja yang dimakan ibu saat ini, apakah ibu
mengonsumsi makanan kaya akan vitamin D seperti ikan dan susu? Apakah ibu
mengonsumsi suplementasi seperti minyak ikan? Perlu juga ditanyakan riwayat
imunisasi.

b. Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan keadaan umum tampak sehat, kesadaran
compos mentis, tanda-tanda vital normal, pasien alert, aktif bermain, secara
perkembangan baik, namun kecil untuk usianya (small for his age). Berat badan
pasien 6761 gram dan panjang badan 66 cm. Pemeriksaan kepala, leher, jantung,
pernafasan, gastrointestinal, genitourinaria, muskuloskeletal, dan neurologi dalam
batas normal.
c. Diagnosis dan tatalaksana awal:
Pasien didiagnosis failure to thrive karena adanya deviasi 2 persentil dari
kurva pertumbuhan normal. Peningkatan berat badan yang diharapkan adalah 0,33
kg/bulan dan follow-up dijadwalkan 1 bulan kemudian dengan edukasi makanan
tambahan berupa makanan keluarga lembek dengan tetap mengonsumsi ASI dan
tambahan susu formula untuk meningkatkan intake kalori. Ibu pasien juga diedukasi
untuk membuat food diary dan mengonsumsi makanan yang bergizi.

d. Pemeriksaan penunjang:
Pada saat follow-up bulan berikutnya, peningkatan berat badan tidak tercapai
(saat ini berat badan 7045 gram) meskipun sudah mendapatkan intake kalori yang
cukup dan suplementasi susu formula. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil
elektrolit, fungsi ginjal, bilirubin, AST, ALT, protein, albumin, TSH, CBC, dan lead
level normal. Alkaline phosphatase mengalami peningkatan 4280 (setelah diulang
menjadi 6310). Normalnya <500 IU/L pada neonatus dan <1000 IU/L pada anak
berusia sampai 9 tahun. Follow-up dilakukan pemeriksaan gamma glutamyl
transferase (dengan hasil normal, yang menunjukkan resorpsi tulang), CRP, T3, free
T4, dan PTH dalam batas normal. Pemeriksaan fosfat menunjukkan hasil yang
rendah, yaitu 2,9 (normal 3,0-4,5) dan pemeriksaan vitamin D diperoleh 11 (normal
45-50 ng/mL).
Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya metaphyseal fraying and cupping
pada distal femur bilateral, tibia dan fibula proksimal dan distal bilateral, humerus
proksimal dan distal bilateral, radius dan ulna distal bilateral, dan metakarpal 2-5
distal; konsisten dengan gambaran rickets pada ekstremitas. Ditemukan pula
gambaran pemisahan periosteum dari diafisis akibat osteoid yang tidak
termineralisasi. Perbaikan radiografi akan membaik dalam 3 bulan setelah terapi yang
adekuat. Bila tidak terdapat perbaikan radiografi, maka perlu dipikirkan gangguan
malabsorbsi atau noncompliance.

Diagnosis dan Tatalaksana:


Diagnosis rickets ditegakkan dan pasien diberikan vitamin D 2000 IU dan kalsium
karbonat 1000 mg per hari. Pasien juga diberikan iron sulfate 22 mg dan zinc 20 mg per hari,
direkomendasikan oleh spesialis endokrinologi pediatri.

Follow-up:
Catch-up growth pasien saat ini (usia 2 tahun) berada pada persentil 45 untuk berat
badan dan persentil 30 untuk tinggi badan. Pemeriksaan laboratorium (kalsium, fosfor,
alkalin fosfatase) dilakukan satu bulan setelah terapi dan 3 bulan kemudian, bersama dengan
pemeriksaan magnesium, PTH, dan 25-OH D. Hasil follow-up pasien ini menunjukkan
adanya peningkatan kadar vitamin D menjadi 29 ng/mL dengan suplementasi vitamin D.

Pembahasan:
Teori Kasus
Epidemiologi
Defisiensi vitamin D banyak ditemukan pada Pasien adalah anak berusia 6 bulan.
anak-anak di negara berkembang. Defisiensi
vitamin D terutama banyak pada infants karena
poor intake dan tidak adekuatnya sintesis vitamin
D di kulit. Rickets merupakan penyakit akibat
defisiensi vitamin D pada anak yang epifisisnya
belum menutup karena matriks yang belum
termineralisasi pada growth plate.
Anamnesis
Gejala: Anak usia 6 bulan dengan keluhan
- Gagal tumbuh/berkembang (failure to thrive) tidak ada peningkatan berat badan dan
- Kejang/tetany dan hipokalsemia tinggi badan selama 2 bulan terakhir.
- Anak dengan malabsorbsi kronis Perkembangan milestones sesuai
- Sulit berjalan pada anak yang lebih besar dengan usia.
- Karies gigi
Faktor risiko: Faktor risiko pada pasien: etnis dan
- Dark-skinned individuals konsumsi ASI eksklusif. Riwayat
- Kurangnya pemaparan cahaya matahari pemaparan cahaya matahari tidak
(UVB) vitamin D  menggunakan baju diketahui. Riwayat penggunaan obat-
tertutup, sunscreen dengan SPF 15, iklim obatan dan riwayat keluarga
dingin, waktu yang dihabiskan di luar rumah. malabsorbsi disangkal.
- ASI eksklusif  hanya mengandung 15-50
IU/L vitamin D. Perlu ditanyakan faktor Perawakan kedua orang tua normal.
risiko ibu seperti makanan dan pemaparan
cahaya matahari saat kehamilan.
- Obat-obatan yang dikonsumsi anak 
antikonvulsan (fenobarbital, fenitoin)
meningkatkan degradasi vitamin D; antasida
yang mengandung aluminium mengganggu
absorbsi fosfat.
- Penyakit hepar atau usus  malabsorbsi
- Penyakit ginjal (proteinuria, hematuria,
infeksi saluran kemih)
- Prematuritas
Pemeriksaan fisik
Kurva pertumbuhan Saat berusia 2 bulan, pasien berada
Perubahan skeletal: dalam persentil 50 untuk kurva berat
- Craniotabes badan dan tinggi badan, namun turun
- Rachitic rosary dibawah 3rd percentile untuk berat
- Growth plate widening badan dan berada di 3rd percentile
- Harrison groove untuk tinggi badan. Berat badan
- Pantau cara berjalan (gait) pasien saat usia 4 bulan adalah 6477
Pemeriksaan paru: ateletaksis, pneumonia gram dengan panjang badan 63,5 cm
dan hanya meningkat menjadi 6761
gram dengan panjang badan 66 cm
saat berusia 6 bulan.

Tidak ditemukan tanda perubahan


skeletal dan gangguan paru.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi: tampak penurunan Pemeriksaan radiologi: metaphyseal
kalsifikasi pada growth plate, fraying dan cupping fraying and cupping pada distal femur
pada ujung distal tulang panjang, dan trabekula bilateral, tibia dan fibula proksimal
diafisis yang kasar. dan distal bilateral, humerus
Pemeriksaan laboratorium: kalsium serum, fosfor proksimal dan distal bilateral, radius
serum, alkaline phosphatase, PTH, 25-D, 1,25-D dan ulna distal bilateral, dan
Urinalisis: glikosuria dan aminoasiduria metakarpal 2-5 distal; konsisten
dengan gambaran rickets pada
ekstremitas. Ditemukan pula
gambaran pemisahan periosteum dari
diafisis akibat osteoid yang tidak
termineralisasi.

Pemeriksaan laboratorium:
• Alkaline phosphatase ↑ (4280)
à Normalnya <1000 IU/L
sampai anak usia 9 tahun
• Fosfat ↓ (2,9) à Normalnya
3,0-4,5
• Vitamin D ↓ (11) à
Normalnya 45-50 ng/mL
Tatalaksana
Pemberian suplementasi vitamin oral dalam Pasien berusia 6 bulan. Pasien
bentuk ergocalciferol (plant formulated vitamin diberikan vitamin D 2000 IU dan
D2) atau cholecalciferol (animal formulated kalsium karbonat 1000 mg per hari.
vitamin D3) selama 2-4 bulan Pasien juga diberikan iron sulfate 22
dengan dosis: mg dan zinc 20 mg per hari
Bayi <1 bulan: 1000 IU per hari
Bayi 1-12 bulan: 1000-5000 IU per hari
Balita >12 bulan: >5000 IU per hari
Remaja: sampai 10.000 IU per hari
Setelah terdapat perbaikan hasil laboratorium,
dapat diberikan maintenance vitamin D 400 IU
per hari.

Bila terdapat masalah compliance pengobatan,


maka dapat diberikan terapi dengan dosis tinggi
100.000-600.000 IU per oral selama 1-5 hari,
kemudian diberikan follow-up dose 3 bulan
kemudian

Vitamin D3 3 kali lebih poten dibanding vitamin


D2, terutama bila diberikan secara bolus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Defisiensi nutrisi, baik
makronutrien maupun mikronutrien, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan,
mengganggu fungsi imun, dan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Mikronutrien terdiri
dari vitamin dan mineral dan berperan penting dalam berbagai fungsi fisiologis tubuh.
Fortifikasi makanan merupakan metode efektif untuk mencegah defisiensi nutrisi. ASI juga
mengandung kandungan nutrien yang optimal untuk kebutuhan bayi berusia 4-6 bulan,
terutama zat besi dan zinc. Setelah usia 4-6 bulan, zat besi dan zinc tersebut perlu diperoleh
dari makanan tambahan seperti sereal dengan fortifikasi besi atau daging yang dilunakkan.

A. Defisiensi Vitamin
1. Vitamin A
Vitamin A merupakan mikronutrien yang larut dalam lemak yang tidak dapat
disintesis dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan. Vitamin A berperan
dalam perkembangan embrio, fetus, dan neonatus, hematopoiesis, regulasi gen, fungsi
respirasi, gastrointestinal, dan fungsi imun, perkembangan tulang, serta pertumbuhan
dan perkembangan berbagai sel. Peran vitamin A dalam penglihatan berkaitan dengan
sistem fotoreseptor, yaitu sel batang (mengandung rhodopsin untuk melihat cahaya)
dan sel kerucut (mengandung iodopsin untuk melihat warna). Retinal (bentuk
aldehyde dari vitamin A) akan mengalami fotoisomerasi (berubah bentuk ketika
terkena cahaya), sehingga bila cahaya redup, 11-cis retinal dalam rhodopsin akan
mengalami isomerasi menjadi all-trans-retinal dan membentuk signal untuk
ditransmisi ke nervus optik.
1.1. Metabolisme Vitamin A
Vitamin A yang aktif diperoleh dari diet hewani dalam bentuk retinyl
esters, terutama hati, ginjal, daging, susu, dan keju. Selain itu, vitamin A tersedia
dalam bentuk provitamin A (karotenoid atau beta-carotene) yaitu dari buah dan
sayuran (labu, ubi, bayam, dan brokoli). Di dalam tubuh, prekursor tersebut
digunakan untuk sintesis 2 metabolit esensial dari vitamin A, yaitu all-trans
retinoic acid (diferensiasi dan regulasi transkripsi gen) dan 11-cis retinal
(penglihatan). Absorbsi vitamin A membutuhkan lemak yang akan memfasilitasi
retinoid masuk dalam usus dan terutama terjadi di proksimal usus halus.
Retinil ester yang dikonsumsi akan dihidrolisasi dalam lumen usus
membentuk retinol, kemudian akan mengalami reesterifikasi dalam sel usus.
Sekitar 70-90% vitamin A akan diabsorbsi selama terdapat 10 gram lemak dalam
makanan. Setelah retinol diesterifikasi dalam enterosit, retinil ester akan masuk
dalam bentuk kilomikron dan disekresikan dalam pembuluh limfatik dan
ditranspor melalui sirkulasi ke hati dan jaringan lainnya. Ketika kadar vitamin A
adekuat, maka vitamin A akan disimpan dalam hati (di dalam sel stelata),
sedangkan bila kadar vitamin A tidak adekuat, vitamin A akan dimobilisasi oleh
RBP (retinol-binding protein) dan digunakan oleh jaringan ekstrahepatik. Pada
jaringan target, retinol diesterifikasi menjadi retinil ester untuk disimpan atau
dioksidasi menjadi retinoic acid untuk digunakan.

Gambar 2.1. Metabolisme vitamin A

1.2. Penyebab Defisiensi Vitamin A


Penyebab defisiensi vitamin A adalah karena intake yang rendah,
malnutrisi, defisiensi protein, defisiensi zinc, dan kondisi inflamasi. Defisiensi
protein menyebabkan gangguan sintesis dari retinol transport protein. Defisiensi
zinc meningkatkan risiko defisiensi vitamin A. Inflamasi menyebabkan
penurunan sintesis RBP dan TTR (transthyretin) sehingga terjadi kondisi
kekurangan vitamin A yang tidak membaik dengan suplementasi. Kondisi infeksi
menyebabkan penurunan nafsu makan dan gangguan absorbsi disertai kebutuhan
meningkat akibat katabolisme dan ekskresi urin yang tinggi sehingga dapat
menyebabkan defisiensi vitamin A. Kekurangan vitamin A dapat terjadi sejak
bayi baru lahir pada ibu dengan defisiensi vitamin A sehingga kadar vitamin A
dalam ASI juga rendah.
Defisiensi vitamin A banyak ditemukan pada negara berkembang dan
pada anak dengan penyakit kronis. Berikut ini tabel mengenai sumber, fungsi, dan
gejala defisiensi vitamin A.

Gambar 2.2. Karakteristik Vitamin A

1.3. Diagnosis
Defisiensi vitamin A akan menyebabkan gejala terkait gangguan fungsi
epitel, gangguan penglihatan, gangguan pertumbuhan, diare, rentan terkena
infeksi, anemia, apatis, dan retardasi mental. Vitamin A berfungsi dalam
membentuk epitel penghasil mukus sebagai barrier melawan patogen. Bila
terdapat defisiensi vitamin A, akan terjadi proliferasi sel basal, hiperkeratosis, dan
pembentukan epitel skuamosa bertingkat dengan keratin sehingga berisiko untuk
terkena infeksi. Kulit akan menjadi kering, bersisik, dan hiperkeratosis terutama
di lengan, tungkai, bahu, dan bokong. Selain itu, defisiensi vitamin A membuat
anak mudah sakit dan bila sakit cenderung berat.
Lesi mata juga dapat ditemukan pada defisiensi vitamin A. Lesi mata
biasanya terjadi perlahan dan diawali dengan gangguan adaptasi terhadap cahaya
redup karena gangguan sintesis rhodopsin. Lama kelamaan akan terjadi night
blindness atau buta senja karena tidak adanya rhodopsin atau pigmen visual di
retina. Gejala yang sering dijumpai adalah fotofobia. Epitel pada mata akan
mengalami keratinisasi dan degenerasi dan menimbulkan kebutaan. Selain itu,
epitel kornea dan konjungtiva juga akan mengalami kerusakan. Kornea akan
mengalami keratinisasi, menjadi opak, dan rentan terhadap infeksi. Di atas
lapisan kornea akan terbentuk sel yang bersisik dan kering (xerophtalmia).
Konjungtiva akan mengalami keratinisasi dan membentuk plak (Bitot spots). Bila
terdapat infeksi, akan terjadi infiltasi limfosit dan kornea mengerut serta
mengalami generasi (keratomalacia dan ulserasi kornea) sehingga menyebabkan
kebutaan.

Gambar 2.3. (A) Bitot spots; (B) xeropthalmia

Anemia juga dapat terjadi pada defisiensi vitamin A karena peran dalam
mobilisasi dan transpor zat besi, serta hematopoesis. Vitamin A berperan dalam
proliferasi dan diferensiasi sel progenitor eritrosit, potensiasi imunitas, penurunan
anemia karena infeksi, dan mobilisasi zat besi dari jaringan.
Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis mengenai riwayat makan untuk melihat
intake vitamin A dan gejala-gejala defisiensi vitamin A dapat bermanfaat.
Pemeriksaan mencari Bitot spots dan xerophtalmia juga dapat bermanfaat karena
merupakan lesi karakteristik defisiensi vitamin A. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah dark adaptation tests dan pemeriksaan kadar retinol
plasma. Berdasarkan kadar retinol plasma pada anak, kadar vitamin A dapat
dibagi menjadi:
 Sangat defisien : retinol plasma <0,35 µmol/L
 Defisien : retinol plasma 0.35-0.7 µmol/L (20 µmol/dL)
 Marginal : retinol plasma 0,7-1,05 µmol/L
 Adekuat : retinol plasma >1,05 µmol/L
1.4. Dietary Reference Intakes
Kebutuhan vitamin A semakin meningkat sesuai dengan usia karena
peningkatan ukuran tubuh. Pada saat kehamilan, kebutuhan vitamin A adalah
750-770 µg, sedangkan saat laktasi meningkat menjadi 1200-1300 µg agar ASI
mengandung cukup vitamin A. Berikut ini adalah jumlah RDA (recommended
daily allowance) untuk vitamin A pada anak-anak:

Gambar 2.4. RDA Vitamin A

1.5. Terapi
Pada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A, pemberian vitamin
A 100.000-200.000 IU (retinol 30-60 mg) berguna untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas penyakit infeksi virus (seperti measles). Suplementasi vitamin A
sebesar 1500 µg per hari diberikan kepada anak yang mengalami defisiensi
vitamin A. Xeropthalmia diterapi dengan memberikan 1500 µg/kgBB vitamin A
per oral selama 5 hari diikuti dengan injeksi 7500 µg IM sampai mengalami
perbaikan. Vitamin A juga diberikan untuk bayi prematur untuk meningkatkan
fungsi pernafasan dan pencegahan penyakit paru kronis.
Di Indonesia, defisiensi vitamin A dicegah dengan suplementasi kapsul
vitamin A untuk anak usia 6-59 bulan. Bayi di bawah 1 tahun mendapatkan
kapsul vitamin A 100.000 IU sekali dalam setahun, sedangkan anak 1-5 tahun
mendapatkan kapsul vitamin A 200.000 IU dua kali dalam setahun, yaitu pada
bulan Februari dan Agustus.

2. Vitamin B
Vitamin B kompleks terdiri dari nutrien yang larut dalam air, seperti tiamin
(B1), riboflavin (B2), niasin (B3), piridoksin (B6), folat, kobalamin (B12), biotin, dan
asam pantotenat. Kolin dan inositol juga termasuk dalam vitamin B kompleks dan
penting untuk fungsi tubuh normal. Vitamin B kompleks bekerja sebagai koenzim
dalam berbagai jalur metabolik.
2.1. Tiamin (vitamin B1)
Bentuk aktif tiamin, tiamin difosfat, merupakan kofaktor dalam proses
katabolisme protein, sintesis asam nukleat, dan konduksi saraf. Tiamin
diabsorbsi dalam saluran pencernaan dan dapat mengalami defisiensi bila
terdapat gangguan GI atau hepar, konsumsi karbohidrat dalam jumlah besar,
konsumsi alkohol, dan peningkatan metabolisme (demam, hipertiroid, hamil,
dan laktasi).
Tiamin banyak terdapat dalam makanan nonvegetarian, seperti daging
babi, ikan, dan telur; sedangkan untuk vegetarian, tiamin terdapat dalam nasi,
oat, dan gandum. Tiamin sifatnya larut dalam air dantidak tahan panas.
Defisiensi tiamin dapat terjadi bila bayi menyusui dari ibu yang defisiensi
tiamin, konsumsi antagonis tiamin, seperti teh, kopi, dan tiaminase (ikan yang
difermentasi).
Defisiensi tiamin dapat terjadi dalam 2-3 bulan setelah intake yang tidak
adekuat dengna gejala lemas, apatis, iritabel, depresi, mengantuk, konsentrasi
buruk, anoreksia, mual, dan rasa tidak nyaman pada perut. Pasien akan
mengalami beriberi, yaitu neuritis perifer (kesemutan, terbakar, parestesia pada
kaki dan jari), penurunan refleks tendon, penurunan rasa getar, nyeri, dan rasa
kram pada kaki. Pasien dapat mengalami ptosis dari kelopak mata dan atrofi
nervus optikus. Paralisis nervus laringeal menyebabkan afonia dan suara serak.
Atrofi otot juga dapat terjadi, diikuti dengan ataksia, hilangnya koordinasi, dan
peningkatan tekanan intrakranial, meningismus, gagal jantung, serta koma.
Gambaran klinis ini dapat dibagi menjadi dry (neuritic) atau wet (cardiac)
tergantung jumlah cairan yang terkumpul dalam tubuh akibat disfungsi jantung
dan ginjal. Wernicke encephalopathy dapat terjadi dengan gejala berupa
perubahan status mental, ataksia, dan tanda okular.
Pemeriksaan objektif biokimia adalah dengan mengukur aktivitas
erythrocyte transketolase dan efek thiamine pyrophosphate. Kriteria diagnosis
dari defisiensi tiamin adalah rendahnya aktivitas erythrocyte transketolase dan
tingginya efek thiamine pyrophosphate (normal 0-14%). Pada bayi dapat
ditemukan gambaran MRI defisiensi tiamin berupa hiperintensitas basal ganglia
dan lobus frontalis bilateral dan simetris dengan lesi pada regio periakuaduktal
dan thalamus.
Terapi defisiensi vitamin B1:
- Anak dengan gagal jantung, kejang, atau koma diberikan 10 mg
tiamin IM/IV setiap hari selama 1 minggu pertama, kemudian 3-5
mg tiamin PO setiap hari selama 6 minggu. Responnya baik pada
manifestasi kardiovaskular, namun lambat pada manifestasi
neurologis.
- Pasien beri-beri biasanya mengalami defisiensi vitamin B kompleks
lainnya sehingga perlu diberikan vitamin B kompleks.

2.2. Riboflavin (vitamin B2)


Riboflavin merupakan struktur dari koenzim flavin yang berguna dalam
reaksi oksidasi reduksi dan produksi energi pada mitokondria. Riboflavin rusak
dengan cahaya. Makanan kaya riboflavin antara lain susu, telur, daging, jamur,
sereal, dan roti.
Defisiensi riboflavin terjadi karena gangguan intake atau gangguan
absorbsi seperti infeksi GI. Penggunaan obat seperti probenecid, phenotiazine,
atau kontrasepsi oral juga menyebabkan defisiensi. Vitamin ini juga dapat
dirusak saat fototerapi untuk bayi hiperbilirubinemia.
Manifestasi klinis defisiensi riboflavin adalah cheilosis, glositis,
keratitis, konjungtivitis, fotofobia, lakrimasi, vaskularisasi kornea, dan
dermatitis seboroik. Cheilosis muncul di tepi mulut dan menyebabkan penipisan
dan maserasi epitelium sehingga tampak fisura pada kulit. Pada glositis, lidah
tampak licin tanpa struktur papil. Gangguan eritropoiesis juga dapat terjadi
dengan gambaran anemia normositik normokrom.
Gambar 2.5. Glositis dan angular cheilosis akibat defisiensi riboflavin

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dari angular


cheilosis pada anak malnutrisi dan berespon dengan suplementasi riboflavin.
Tes untuk melihat status riboflavin adalah dengan mengukur EGR (erythrocyte
glutathione reductase). Bila >1,4 menunjukkan adanya defisiensi. Ekskresi
riboflavin urin <30 µg/24 jam juga menunjukkan intake yang rendah.
Tatalaksananya dengan pemberian riboflavin 3-10 mg/hari secara oral.
Selain itu, anak juga perlu diberikan makanan dengan nutrisi seimbang,
termasuk susu dan produk susu serta telur.

2.3. Niasin (vitamin B3)


Niasin (nicotinamide atau asam nikotinat) berguna dalam sintesis
steroid, diferensiasi sel dan DNA. Niasin diabsorbsi dalam gaster dan usus dan
dapat disintesis dari triptofan yang berasal dari makanan. Makanan kaya niasin
antara lain daging, ikan, produk ternak (telur), susu, sereal, dan sayuran hijau.
Defisiensi niasin dikenal pula sebagai pellagra. Manifestasi klinis
awalnya adalah anoreksia, lemas, rasa terbakar, dan pusing. Setelah periode
yang cukup lama, akan muncul dermatitis, diare, dan demensia (classic triad).
Dermatitis muncul tiba-tiba atau perlahan, yang diawali dengan adanya iritan
(seperti cahaya matahari). Lesi muncul simetris, muncul area eritema seperti
luka bakar, berbatas tegas dengan distribusi yang berubah-ubah. Gambaran yang
mungkin ditemukan adalah adanya glove or stocking appearance. Dapat pula
tampak demarkasi sekitar leher (Casal necklace). Kulit dapat mengalami
supurasi, bengkak, deskuamasi, dan hiperpigmentasi. Lesi pada kulit dapat
diawali dengan stomatitis, glositis, muntah, dan/atau diare. Gejala lain seperti
bengkak dan merah pada ujung lidah, gangguan saraf seperti depresi,
disorientasi, insomnia, dan delirium. Gejala pada anak-anak tidak khas,
misalnya iritabel, cemas, apatis, dan anoreksia.
Gambar 2.6. Pellagra akibat defisiensi niasin
Diagnosis defisiensi niasin berdasarkan dari tanda dan gejala glositis,
gangguan gastrointestinal, dan dermatitis yang simetris. Terdapat perbaikan
klinis yang cepat setelah diterapi dengan niasin. Pencegahan defisiensi niasin
adalah dengna konsumsi daging, telur, susu, dan sereal terfortifikasi. Kebutuhan
niasin adalah 1 mg niasin atau 60 mg triptofan.
Usia Recommended Dietary Allowances (RDA)
0-6 bulan 2 mg
6-12 bulan 4 mg
1-3 tahun 6 mg
4-8 tahun 8 mg
9-13 tahun 12 mg
14-18 tahun 14-16 mg

Terapi dapat diberikan suplementasi niasin 50-300 mg/hari, pada kasus


yang berat dengan absorbsi usus yang rendah maka dapat diberikan 100 mg
secara intravena. Hindari paparan matahari saat fase aktif pellagra dan berikan
krim untuk soothing.

2.4. Piridoksin (vitamin B6)


Vitamin B6 berfungsi sebagai koenzim dalam berbagai metabolisme
asam amino, sintesis neurotransmiter, dan metabolisme glikogen. Bila terdapat
defisiensi vitamin B6, metabolisme glisin dapat menyebabkan oksaluria.
Vitamin B6 terdapat dalam ASI, susu formula, sereal terfortifikasi, daging, ikan,
produk ternak, hati, pisang, nasi, dan berbagai sayuran. Vitamin B6 dapat rusak
dengan pemanasan dengan temperatur tinggi.
Defisiensi vitamin B6 dapat terjadi karena obat-obatan yang
menghambat aktivitas vitamin B6 (isoniazid, penicillamine, kortikosteroid,
fenitoin, karbamazepin), pada wanita muda yang mengonsumsi kontrasepsi oral
berisi progesteron-estrogen, dan pasien yang menjalani dialisis. Ibu maternal
yang menerima piridoksin dosis tinggi selama kehamilan meningkatkan risiko
kejang yang bersifat pyridoxine-dependent pada bayi. Defisiensi vitamin B6
dapat menyebabkan gejala dan tanda, antara lain:
- Iritabel, kejang, mual, failure to thrive
- Neuritis perifer (sering ditemukan pada orang dewasa, namun jarang
pada anak)
- Lesi kulit, seperti cheilosis, glositis, dermatitis seboroik sekitar
mulut, mata, dan hidung
- Anemia mikrositik pada bayi (jarang)
- Oksaluria, batu vesica urinaria, hiperglisinemia, limfopenia,
penurunan pembentukan antibodi, dan rentan terhadap infeksi
- Dependence syndrome, akibat kerusakan struktur atau fungsi enzim,
yang menyebabkan epilepsi, anemia, asiduria, homisistinuria dan
berespon terhadap piridoksin.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah dengan
mengukur aktivitas erythrocyte transaminase, glutamic oxaloacetic
transaminase, dan glutamic pyruvic transaminase dan ditemukan dalam kadar
yang rendah. Pemberian piridoksin untuk melihat respon dari klinis juga dapat
dilakukan.
Tatalaksana bila ditemukan defisiensi vitamin B6 simptomatik seperti
kejang adalah dengan pemberian piridoksin 100 mg sebanyak satu kali. Untuk
anak yang pyridoxine-dependent, dosis 2-10 mg IM atau 10-100 mg per oral
dapat diberikan. Pencegahan defisiensi vitamin B6 adalah konsumsi adekuat
makanan yang mengandung vitamin B6. Berikut ini adalah kebutuhan vitamin
B6 berdasarkan kelompok usia, yaitu:
Usia Recommended Dietary Allowances (RDA)
0-6 bulan 0,1 mg/hari
6-12 bulan 0,3 mg/hari
1-3 tahun 0,5 mg/hari
4-8 tahun 0,6 mg/hari
9-13 tahun 1 mg/hari
14-18 tahun 1,2-1,3 mg/hari

2.5. Biotin
Biotin merupakan kofaktor enzim untuk reaksi karboksilasi dalam
mitokondria dan berkaitan dengan proses glukoneogenesis, metabolisme asam
lemak, dan katabolisme asam amino. Tanda dan gejala defisiensi biotin
ditemukan pada orang yang mengonsumsi putih telur mentah dalam periode
yang lama karena putih telur mentah mengandung antagonis biotin. Selain itu,
terapi dengan asam valrpoat menyebabkan defisiensi biotin.
Gambaran klinis defisiensi biotin adalah dermatitis periorificium yang
bersisik, konjungtivitis, penipisan rambut, alopesia, scalp rash, gangguan sistem
saraf pusat, seperti letargi, hipotonia, kejang, ataksia, dan gangguan perilaku.
Biotin responsive basal ganglia disease merupakan gangguan neurologis jarang
pada anak yang ditandai dengan ensefalopati, kejang, dan manifestasi
ekstrapiramidal. Defisiensi biotin dapat diterapi dengan 1-10 mg biotin per oral
setiap harinya.

Gambar 2.7. Scalp rash akibat defisiensi biotin


Berikut ini adalah kebutuhan biotin berdasarkan kelompok usia:
Usia Recommended Dietary Allowances (RDA)
0-6 bulan 5 µg/hari
6-12 bulan 6 µg/hari
1-3 tahun 8 µg/hari
4-8 tahun 12 µg/hari
9-13 tahun 20 µg/hari
14-18 tahun 25 µg/hari

2.6. Folat
Asam folat banyak terdapat dalam nasi, sereal, kacang-kacangan,
sayuran hijau, dan buah-buahan seperti jeruk dan pepaya. Vitamin ini siap
diabsorbsi dalam usus halus dan dipecah menjadi monoglutamat. Vitamin ini
juga disintesis oleh bakteri kolon dan waktu paruhnya meningkat karena ada
sirkulasi enterohepatik. Defisiensi folat terjadi karena intake yang tidak adekuat,
gangguan absorbsi (celiac disease, inflammatory bowel disease), peningkatan
kebutuhan (anemia sel sabit, psoriasis, keganasan, periode pertumbuhan yang
cepat pada anak dan remaja), atau penggunaan yang tidak adekuat (penggunaan
NSAID dosis tinggi jangka lama, metotreksat, atau antikonvulsan seperti
fenitoin dan fenobarbital). Penyebab defisiensi folat yang jarang adalah karena
faktor genetik yang menyebabkan malabsorbsi, gangguan metabolisme, dan
defisiensi enzim.
Manifestasi klinis defisiensi folat berkaitan dengan gangguan sintesis
DNA dan RNA, misalnya anemia megaloblastik, hipersegmentasi neutrofil,
glositis, dan retardasi pertumbuhan. Ibu dengan kadar folat yang rendah
menyebabkan peningkatan risiko defek neural tube pada bayi (spina bifida dan
anensefali). Malabsorbsi folat herediter terjadi pada usia 1-3 bulan dengan
gejala diare kronis atau rekuren, failure to thrive, ulserasi oral, gangguan
neurologis, anemia megaloblastik, dan infeksi oportunistik. Pada usia 4-6 bulan
akan tampak gangguan cerebral seperti gangguan perkembangan, mikrosefalus,
iritabel, ataksia cerebellum, gangguan traktus piramidalis, kejang, dan kebutaan
karena atrofi optik.
Diagnosis dapat ditegakkan dari makrositosis disertai dengan kadar folat
yang rendah pada serum atau sel darah merah. Kadar asam folat normal dalam
serum adalah 5-20 ng/mL dan dikatakan defisiensi bila kadar asam folat serum
<3 ng/mL. Kadar asam folat pada sel darah merah dapat menunjukkan defisiensi
kronis. Normalnya kadar asam folat dalam sel darah merah adalah 150-600
ng/mL. Sumsum tulang tampak hiperselular karena hiperplasia eritroid dan
perubahan megaloblastik.
Ketika diagnosis defisiensi folat ditegakkan, asam folat dapat diberikan
secara per oral atau parenteral dengan dosis 0,5-1 mg/hari. Terapi asam folat
perlu dilanjutkan selama 3-4 minggu sampai terdapat respon hematologi yang
baik. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian nutrisi folat atau konsumsi
makanan kaya dengan asam folat. Berikut ini adalah kebutuhan folat
berdasarkan kelompok usia:
Usia Recommended Dietary Allowances (RDA)
0-6 bulan 65 mikrogram
6-12 bulan 80 mikrogram
1-3 tahun 150 mikrogram
4-8 tahun 200 mikrogram
9-13 tahun 300 mikrogram
14-18 tahun 400 mikrogram
Ibu hamil 400-800 mikrogram per hari
Suplementasi diberikan 1 bulan sebelum
konsepsi dan dilanjutkan sampai 2-3 bulan
kehamilan

2.7. Kobalamin (vitamin B12)


Vitamin B12 terdapat dalam bentuk deoksiadenosilkobalamin dan
metilkobalamin. Deoksiadenosilkobalamin merupakan kofaktor untuk isomerasi
methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA yang penting dalam metabolisme
karbohidrat dan lipid. Metilkobalamin merupakan bentuk vitamin B12 yang
terdapat dalam sirkulasi untuk mengubah homosistein menjadi metionin. Proses
ini membutuhkan asam folat sebagai kofaktor dan penting untuk biosintesis
protein dan asam nukleat. Vitamin B12 berperan dalam proses hematopoiesis,
mielinisasi sistem saraf pusat, dan perkembangan mental dan psikomotor.
Sumber vitamin B12 berasal dari makanan hewani, seperti daging dan
organ, makanan laut (kerang, ikan), produk ternak, kuning telur, makanan
fortifikasi sereal dan susu, serta ASI. Vitamin ini diabsorbsi melalui ileum pada
pH basa setelah terikat dengan faktor intrinsik. Kadar vitamin B12 juga
dipertahankan tubuh melalui sirkulasi enterohepatik, absorpsi langsung, dan
sintesis bakteri dalam usus.
Defisiensi vitamin B12 terjadi pada vegetarian atau ibu menyusui yang
vegetarian, malabsorpsi (celiac disease, reseksi ileum, Crohn disease, infeksi H.
pylori, dan gastritis autoimun/anemia pernisiosa), dan penggunaan PPI.
Manifestasi klinis defisiensi vitamin B12 adalah iritabel, hipotonus, gangguan
perkembangan, gerakan involunter, dan hiperpigmentasi pada buku-buku jari
dan telapak terutama pada bayi dan anak; sedangkan pada remaja biasa
ditemukan kesemutan dan neuritis perifer. Defisiensi vitamin B12 pada ibu
hamil juga berisiko terjadi neural tube defects.

Gambar 2.8. Hiperpigmentasi pada buku-buku jari akibat defisiensi kobalamin

Defisiensi vitamin B12 dapat ditangani dengan pemberian vitamin B12


secara parenteral dengan dosis 250-1000 mikrogram. Anak dengan defisiensi
berat dan gangguan neurologis dapat diberikan dosis berulang, setiap hari pada
minggu pertama diikuti pemberian dosis per minggu pada 1-2 bulan setelahnya,
dan per bulan. Anak dengan manifestasi hematologi akan membaik dalam 2-3
bulan, sedangkan anak dengan manifestasi neurologis membutuhkan minimal 6
bulant erapi. Anak dengan kondisi malabsorbsi atau inborn error perlu terapi
seumur hidup.
Pencegahan defisiensi vitamin B12 adalah dengan memberikan vitamin
B12 sesuai dengan kebutuhan (RDA) dan konsumsi makanan kaya akan vitamin
B12 atau konsumsi makanan fortifikasi. Berikut ini adalah kebutuhan folat
berdasarkan kelompok usia:
Usia Recommended Dietary Allowances (RDA)
0-6 bulan 0,4 mikrogram
6-12 bulan 0,5 mikrogram
1-3 tahun 0,9 mikrogram
4-8 tahun 1,2 mikrogram
9-13 tahun 1,8 mikrogram
14-18 tahun 2,4 mikrogram
Ibu hamil 2,6 mikrogram
Ibu menyusui 2,8 mikrogram
3. Vitamin C
Vitamin C berguna dalam sintesis kolagen, metabolisme neurotransmitter
(konversi dopamin menjadi norepinefrin dan triptofan menjadi serotonin),
metabolisme kolesterol (konversi kolesterol menjadi hormon steroid dan asam
empedu), dan biosintesis karnitin. Selain itu, vitamin C mempertahankan zat besi
dengan meningkatkan absorbsi, transfer zat besi dari transferin ke feritin, dan
bermanfaat sebagai antioksidan.
3.1. Kebutuhan Vitamin C
Berikut ini adalah tabel kebutuhan vitamin C berdasarkan kelompok
usia:
Usia Recommended Dietary Allowances (RDA)
0-6 bulan 40 mg
6-12 bulan 50 mg
1-3 tahun 15 mg
4-8 tahun 25 mg
9-13 tahun 45 mg
14-18 tahun 65-75 mg
Masa kehamilan 85 mg
Masa laktasi 120 mg

Kebutuhan vitamin C akan meningkat saat infeksi atau diare. Anak yang
terpapar dengan asap rokok juga membutuhkan peningkatan intake kaya vitamin
C. Vitamin C banyak terdapat pada buah (jeruk, berries, melon, tomat),
kembang kol, dan sayuran hijau. Vitamin C dapat rusak dengan penyimpanan
lama atau overcooking. Absorbsi vitamin C terjadi pada usus halus melalui
suatu proses aktif atau difusi (bila konsumsi dalam jumlah besar). Vitamin C
tidak disimpan dalam tubuh melainkan diambil oleh jaringan, terutama
hipotalamus dan kelenjar adrenal. Kadar askorbat dalam otak fetus dan neonatus
cukup tinggi terkait dengan sintesis neurotransmiter.
Bila konsumsi vitamin C ibu adekuat selama kehamilan dan laktasi, bayi
akan memiliki kadar vitamin C yang adekuat dalam jaringan karena adanya
transfer via plasenta dan ASI. Bayi yang mengonsumsi susu sapi berisiko
mengalami defisiensi. Bayi dengan total parenteral nutrition dapat diberikan 80
mg/hari secara parenteral (bayi full-term) atau 25 mg/kg/hari (bayi preterm).
3.2. Defisiensi Vitamin C
Defisiensi vitamin C menyebabkan manifestasi klinis scurvy, dimana
ditemukan defek dalam pembentukan jaringan penyambung dan kolagen di
kulit, kartilago, dentin, tulang, dan pembuluh darah sehingga menyebabkan
fragilitas. Pada tulang panjang, osteoid tidak dideposit dengan osteoblas
sehingga korteks tipis dan trabekula rapuh.
Gambaran klinis:
- Iritabilitas, hilang nafsu makan, low-grade fever, nyeri muskuloskeletal,
dan nyeri pada kaki.
- Kaki bengkak (terutama lutut dan tumit)
- Pseudoparalysis (bayi berbaring dengan panggul dan lutut semifleksi dan
kaki rotasi keluar)
- Scorbutic rosary di perbatasan costae dan tulang rawan (costochondral)
- Depresi sternum
- Gusi tampak berwarna keunguan, bengkak pada membran mukosa
- Anemia (karena gangguan absorpsi zat besi)
- Manifestasi perdarahan pada scurvy: peteki, purpura, dan ekimosis;
epistaxis; perdarahan gusi; perdarahan perifolikular
- Gangguan penyembuhan luka, hiperkeratosis folikel rambut, athralgia,
kelemahan otot

Gambar 2.9. (A) Scorbutic rosary pada costochondral junction; (B) lesi gingiva
Diagnosis defisiensi vitamin C berdasarkan dari gambaran klinis,
gambaran radiografi dari tulang panjang, dan riwayat intake vitamin C.
Pemeriksaan biokimia kurang berguna dalam mendeteksi scurvy. Konsentrasi
askorbat dalam plasma <0,2 mg/dL biasanya menunjukkan defisiensi.
Konsentrasi vitamin C pada leukosit ≤10 mikrogram/10 8 WBC dikatakan
defisien. Gambaran radiografi yang khas terdapat pada ujung distal dari tulang
panjang dan lutut. Beberapa gambaran radiografi tersebut antara lain:
- Ground-glass appearance pada tulang panjang karena atrofi trabekula
- Pencil outlining dari diafisis dan epifisis akibat korteks yang tipis dan
padat
- White line of Frankel yaitu adanya garis putih iregular dan tebal di
metafisis menunjukkan adanya kalsifikasi kartilago
- Ground glass appearance pada pusat epifisis dan dikelilingi oleh sclerotic
ring
- Trummerfeld zone: zona rarefaction di bawah garis putih metafisis yang
menunjukkan area debris akibat rusaknya trabekula dan jaringan
penyambung
- Pelkan spur: pemanjangan garis putih lateral dan terdapat di ujung korteks

3.3. Tatalaksana
Pemberian suplementasi vitamin C 100-200 mg/hari per oral atau
parenteral dapat memberikan penyembuhan yang cepat. Perbaikan klinis akan
tampak dalam 1 minggu, namun terapi harus dilanjutkan sampai 3 bulan.

3.4. Pencegahan
Pemberian ASI eksklusif dapat mencegah terjadinya defisiensi vitamin
C. Anak yang mengonsumsi susu formula atau susu yang dipanaskan terlebih
dahulu perlu mendapatkan fortifikasi vitamin C dan mengonsumsi makanan
kaya vitamin C. Suplementasi diberikan untuk anak yang malnutrisi dan
memiliki penyakit kronis seperti keganasan atau gangguan neurologis.

4. Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak dan merupakan prohormon yang
memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium tubuh.
4.1. Metabolisme Vitamin D
Vitamin D dapat diproduksi di kulit dari paparan sinar matahari. Vitamin
D terdapat dalam dua bentuk, yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol) dan vitamin D3
(kolekalsiferol). Vitamin D2 diperoleh dari radiasi sinar ultraviolet pada ragi
sterol ergosterol (tumbuh-tumbuhan/nabati) dan ditemukan secara alamiah pada
paparan sinar matahari. Vitamin D3 disintesis pada kulit dan ditemukan pada
minyak ikan seperti ikan salmon, ikan makarel, ikan herring, dan kuning telur.
Vitamin D yang berasal dari makanan hanya menyumbang 20% dari seluruh
vitamin D yang diperlukan tubuh.
Di dalam tubuh, sintesis vitamin D di kulit dimediasi oleh sinar
ultraviolet B dengan panjang gelombang 290-320 nm. UVB akan mempenetrasi
kulit dan mengubah 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3, yang secara
cepat diubah menjadi vitamin D3 (3-cholecalciferol). Selanjutnya vitamin D3
yang diproduksi di kulit maupun vitamin D yang berasal dari makanan atau
suplementasi (vitamin D2 dan D3) berikatan dengan vitamin D binding protein
(DBP) dan dibawa dalam sirkulasi menuju hepar. Dengan enzim 25-
hydroxylase, vitamin D3 diubah menjadi 25-hydroxyvitamin D3 (25-(OH)D3)
atau kalsidiol. Bentuk vitamin D inaktif ini merupakan bentuk yang terbanyak
beredar di sirkulasi dan memiliki waktu paruh yang lebih lama (2-3 minggu)
sehingga digunakan oleh para klinisi untuk dapat menentukan status vitamin D
pasien.
Tahap hidroksilasi kedua berlangsung di ginjal melalui enzim 1-α
hydroxylase yang mengubah 25-hydroxyvitamin D3 menjadi 1α,25-
hydroxyvitamin D3 (1α, 25(OH)2D3) atau kalsitriol, yang merupakan bentuk aktif
dari vitamin D. Vitamin D yang aktif kemudian memasuki sirkulasi dengan
berikatan dengan protein pengikat vitamin D sehingga kompleks tersebut dapat
masuk ke dalam sel. Vitamin D akan berikatan dengan reseptor vitamin D
(RVD) yang terdapat pada berbagai tipe sel, antara lain pada sistem skeletal,
ginjal, kulit, hepar, dan pankreas. Di usus, vitamin D berguna dalam
meningkatkan penyerapan kalsium. Di tulang, vitamin D berguna dalam
meningkatkan proses mobilisasi tulang. Di kelenjar paratiroid, vitamin D
berguna untuk menekan produksi hormon paratiroid.
Produksi vitamin D dipengaruhi oleh hormon paratiroid dan kadar serum
kalsium atau fosfor. Apabila kadar serum kalsium atau fosfor rendah, produksi
hormon paratiroid akan meningkat. Peningkatan hormon paratiroid
menstimulasi konversi 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D di ginjal dan
meningkatkan resorpsi kalsium tulang, meningkatkan penyerapan kalsium usus,
dan meningkatkan mobilisasi kalsium tulang.
Gambar 2.10. Metabolisme vitamin D

4.2. Kebutuhan Harian Vitamin D


Berikut ini asupan harian vitamin D yang direkomendasikan IDAI, yaitu:
 Anak dan dewasa usia 50 tahun : 400 IU
 Usia 51-70 tahun : 600 IU
 Usia ≥71 tahun : 800 IU
 Pada paparan sinar matahari yang rendah, baik anak maupun dewasa,
dapat diberikan 800-1000 IU vitamin D setiap harinya.

4.3. Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D


Beberapa sumber vitamin D adalah paparan UVB sinar matahari,
makanan difortifikasi vitamin D, dan suplementasi vitamin D. Sebagian besar
vitamin D tubuh berasal dari paparan UVB sinar matahari. Satu dosis paparan
UVB sinar matahari (1 MED (minimum eryhtema dose) adalah lamanya paparan
UVB sinar matahari yang menyebabkan eritema minimal, yaitu 4-10 menit pada
etnis kulit putih dan 60-80 menit pada etnis kulit hitam. Satu MED
menghasilkan 10.000-20.000 IU vitamin D. Paparan sinar matahari paling tinggi
adalah tengah hari (antara jam 10.00 sampai jam 14.00) sedangkan pagi dan
sore hari lebih dominan ultraviolet A dengan panjang gelombang 320-400 nm.
Defisiensi vitamin D ditemukan terutama pada negara yang paparan
sinar mataharinya tidak adekuat. Terpapar sinar matahari pada daerah wajah,
tangan, dan lengan selama 20-30 menit 3 kali dalam seminggu dapat membantu
memenuhi kebutuhan vitamin D. Produksi vitamin D maksimal saat tengah hari,
sedangkan pada jam 08.00-09.00 dan jam 16.00-17.00 dalam jumlah yang lebih
kecil. Penggunaan pelindung kulit SPF 8% (sunlight protection factor) dapat
menurunkan produksi vitamin D sampai dengan 97%. Faktor risiko defisiensi
vitamin D lainnya adalah obat-obatan (fenitoin, fenobarbital, antasida yang
mengandung aluminium), malabsorbsi vitamin D, gangguan ginjal, dan riwayat
keluarga dengan rickets. Faktor yang menghambat pemaparan UVB adalah kulit
hitam (melanin tinggi), pakaian yang menutupi seluruh tubuh, sunscreen, atau
tinggal di daerah geografis >35o lintang utara atau lintang selatan. Air susu ibu
(ASI) mengandung vitamin D sekitar 15-50 IU/L sehingga bayi yang
mengonsumsi ASI 750 cc/hari hanya mendapatkan vitamin D 11-38 IU/hari dan
jauh dari kebutuhan.

4.4. Manifestasi Klinis Defisiensi Vitamin D


Defisiensi vitamin D menyebabkan tidak normalnya kadar kalsium,
fosfor, dan metabolisme tulang. Penurunan absorpsi kalsium dan fosfor di usus
menyebabkan peningkatan hormon paratiroid yang memobilisasi kalsium dari
tulang dan meningkatkan sekresi fosfor di urin. Peningkatan hormon paratiroid
menyebabkan osteopenia dan osteoporosis serta menurunkan BMD (bone
mineral density). Pengaruh defisiensi vitamin D yang lain adalah kelemahan
otot, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskuler, meningkatnya risiko terjadinya
kanker (kanker kolon, prostat, mammae, pankreas), dan autoimun (DM tipe I,
DM tipe II, rheumatoid arthritis, Crohn’s disease, dan multipel sklerosis).
Defisiensi vitamin D pada anak menyebabkan keterlambatan
pertumbuhan dan deformitas tulang, rickets, hipokalsemia, dan meningkatkan
risiko fraktur. Vitamin D2 maupun D3 dapat digunakan untuk fortifikasi dan
suplementasi vitamin D. Rickets merupakan penyakit gangguan pertumbuhan
tulang akibat matriks yang tidak termineralisasi pada lempeng pertumbuhan dan
terjadi pada anak yang epifisisnya belum menutup. Lempeng pertumbuhan akan
terus membesar namun mineralisasi tidak adekuat sehingga lama kelamaan akan
menebal. Terjadi pelebaran dari tulang, misalnya pelebaran dari pergelangan
tangan dan tumit. Selain itu, tulang juga mudah bengkok ketika kondisi weight
bearing yang menyebabkan deformitas.
Gambar 2.11. Manifestasi klinis defisiensi vitamin D
Puncak kejadian rickets pada anak adalah antara usia 3-18 bulan dengan
gejala muncul sebulan setelah mengalami defisiensi vitamin D. Manifestasi
klinis yang dapat ditemukan akibat rickets adalah:
 Craniotabes: tulang kranial yang tidak keras, dideteksi dengan penekanan
pada occiput atau tulang parietal seperti sensasi menekan bola pingpong.
Craniotabes juga dapat terjadi sekunder akibat hidrosefalus, sifilis, atau
osteogenesis imperfekta.
 Rachitic rosarie, seperti tasbih rosari sepanjang costochondral junctions
 Pelebaran lempeng pertumbuhan sehingga menyebabkan pelebaran
pergelangan tangan dan tumit
 Harrison groove, yaitu depresi horizontal pada dinding dada anterior
bagian bawah karena tertariknya tulang iga oleh diafragma saat inspirasi.
 Gangguan berjalan, gagal tumbuh (failure to thrive), dan hipokalsemia
simptomatik.

4.5. Pemeriksaan Penunjang


Gambaran radiologi menunjukkan adanya penurunan kalsifikasi dan
penebalan growth plate. Tepi dari metafisis kehilangan ketajamannya (fraying)
dan membentuk gambaran yang lebih konkaf (cupping), terutama pada ujung
radius, ulna, dan fibula. Selain itu, dapat ditemukan trabekula tampak kasar.
Diagnosis rickets dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik yang didukung
dengan gambaran radiologis.

Gambar 2.12. Pemeriksaan radiografi pada pasien defisiensi vitamin D

Laboratorium yang dapat diperiksa adalah kadar kalsium, fosfor, alkalin


fosfatase, hormon paratiroid, 25(OH)D3, 1,25(D), kreatinin, dan elektrolit
serum. Selain itu, pemeriksaan urinalisis dapat bermanfaat untuk mendeteksi
glikosuria dan aminoasiduria untuk melihat apakah terdapat Fanconi syndrome.

Gambar 2.13. Profil laboratorium pada Rickets

4.6. Kriteria Diagnosis Defisiensi Vitamin D


Status vitamin D dalam tubuh ditentukan berdasarkan kadar 25(OH)D
karena masa paruh yang lebih panjang (2-3 minggu) dibandingkan dengan
1,25(OH)2D (4 jam). Berikut kriteria diagnosis berdasarkan kadar 25-hidroksi
vitamin D berdasarkan IDAI tahun 2018:
 Kadar 25-hidroksi vitamin D (25(OH)D3) normal : 30-100 ng/ml
 Kadar 25-hidroksi vitamin D (25(OH)D3) insufisiensi : 21-29 ng/ml
 Kadar 25-hidroksi vitamin D (25(OH)D3) defisiensi : < 20 ng/ml
 Kadar 25-hidroksi vitamin D (25(OH)D3) defisiensi berat : < 5 ng/ml

4.7. Tatalaksana dan Pencegahan


Skrining vitamin D dengan pemeriksaan kadar 25-hidroksi vitamin D
(25(OH)D3) dilakukan pada individu yang berisiko terjadi defisiensi vitamin D.
Tujuannya adalah untuk mengetahui status vitamin D. Pemeriksaan 1,25
dihidroksi vitamin D3 bertujuan untuk memantau gangguan vitamin D dan
fosfor yang diturunkan. Untuk pencegahan dan pengobatan defisiensi vitamin D
digunakan vitamin D2 atau vitamin D3. Dosis vitamin D pada pasien dengan
risiko defisiensi vitamin D:
 Bayi usia 0-1 tahun: 400 IU/hari terutama untuk bayi dengan ASI
eksklusif. Suplementasi dihentikan bila bayi mendapatkan susu formla
yang difortifikasi vitamin D minimal 1 liter perhari.
 Anak >1 tahun: 600 IU/hari untuk mengoptimalkan kesehatan tulang dan
fungsi otot; sedangkan untuk menaikkan kadar 25(OH)D 3 menjadi 30
ng/ml memerlukan vitamin D 1000 IU/hari
 Dewasa 19-50 tahun: 600 IU/hari untuk pemeliharaan; sedangkan untuk
menaikkan kadar 25(OH)D3 menjadi 30 ng/ml memerlukan vitamin D
1500-2000 IU/hari
 Wanita hamil dan menyusui: 600 IU/hari untuk pemeliharaan; sedangkan
untuk menaikkan kadar 25(OH)D3 menjadi 30 ng/ml memerlukan vitamin
D 1500-2000 IU/hari
Pada anak dengan obesitas, sindrom malabsorpsi, atau pada anak dengan
pengobatan yang mengganggu metabolisme vitamin D seperti antikonvulsan,
glukokortikoid, anti jamur (ketokonazole), pengobatan HIV, maka vitamin D
dinaikkan dua sampai tiga kali lebih tinggi sesuai usianya.
Pada defisiensi vitamin D, pemberian vitamin dosis tinggi, yaitu:
 Usia 0-1 tahun: vitamin D 2000 IU/hari atau 50.000 IU/minggu selama 6
minggu, untuk mencapai kadar 25(OH)D3 diatas 30 ng/ml, selanjutnya
diberikan dengan dosis 400-1000 IU/hari.
 Usia 1-18 tahun: vitamin D 4000 IU/hari atau 50.000 IU/minggu selama 6
minggu, untuk mencapai kadar 25(OH)D3 di atas 30 ng/ml, selanjutnya
diberikan dengan dosis 600-1000 IU/hari.
 Usia 19 tahun ke atas: vitamin D 10.000 IU/hari atau 50.000 IU/minggu
selama 8 minggu, untuk mencapai kadar 25(OH)D 3 di atas 30 ng/ml,
selanjutnya dengan dosis 1500-2000 IU/hari.
Bila kadar 25(OH)D3 dalam waktu 3 bulan tidak mencapai di atas 30
ng/ml maka pemberian vitamin D diulang mulai dari dosis awal kembali. Jika
setelah 2 kali siklus terapi vitamin D, kadar 25(OH)D3 tetap kurang dari 30
ng/ml, maka perlu dipikirkan adanya malabsorpsi lemak.
Pemeriksaan kadar kalsium dilakukan pada bulan pertama dan bulan
ketiga setelah terapi vitamin D untuk memantau hiperkalsemia yang mungkin
terjadi dan pemeriksaan ulangan kadar 25(OH)D3 dilakukan 6 bulan setelah
terapi untuk memantau keberhasilan pemberian vitamin D. Skrining kadar
25(OH)D3 perlu dilakukan pada anggota keluarga yang mengalami defisiensi
vitamin D.
Pasien dengan hipokalsemia diberikan suplementasi kalsium per oral
dengan dosis 30-75 mg elemental kalsium/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Bila pasien
mengalami symptomatic hypocalcemia, maka diberikan kalsium IV, dilanjutkan
dengan suplementasi kalsium, ditaper selama 2-6 minggu. Dosis yang dapat
diberikan adalah kalsium klorida 20 mg/kg atau kalsium glukonas 100 mg/kg
(10-20 mg elemental kalsium/kgBB diberikan IV dalam 5-10 menit.

4.8. Prognosis
Sebagian besar anak memiliki respon baik terhadap terapi dengan
perbaikan radiologis dalam beberapa bulan dan perbaikan lab secara cepat.
Malformasi tulang membaik, namun bila sudah berat dapat menyebabkan
deformitas permanen dan perawakan pendek.

5. Vitamin E
Vitamin E merupakan vitamin larut lemak dan berfungsi sebagai antioksidan.
Defisiensi vitamin E dapat menyebabkan hemolisis atau manifestasi neurologis,
terutama pada bayi prematur, pasien dengan malabsorpsi lemak (cholestatic liver
disease, cystic fibrosis, short-bowel syndrome, dan Crohn disease), dan gangguan
autosom resesif yang mengganggu transpor vitamin E (abetalipoproteinemia).
Vitamin E banyak terdapat pada minyak sayur, biji-bijian, kacang-kacangan,
sayuran hijau, dan margarin. Vitamin E terdapat dalam membran sel dan mencegah
peroksidasi lipid dan pembentukan radikal bebas. Antioksidan lain seperti asam
askorbat meningkatkan aktivitas antioksidan dari vitamin E. Bayi prematur rentan
terhadap defisiensi vitamin E karena terdapat transfer vitamin E pada trimester ketiga
kehamilan, sehingga dapat menyebabkan trombositosis, edema, dan hemolisis
(anemia). Risiko defisiensi vitamin E meningkat dengan penggunaan susu formula
untuk bayi prematur yang kaya dengan PUFAs. Konsumsi susu formula ini
menyebabkan kadar PUFAs tinggi pada membran sel darah merah sehingga rentan
terkena stres oksidatif. Stres oksidatif ditambah dengan penggunaan suplementasi zat
besi yang meningkatkan radikal bebas.
Manifestasi klinis jarang muncul sampai anak berusia 1 tahun. Anak akan
menunjukkan gangguan neurologis berat, seperti gangguan cerebellar, disfungsi
kolumna posterior, dan gangguan retina. Pada pemeriksaan dapat ditemukan
hialngnya refleks tendon, ataksia, intention tremor, disdiadokokinesia, disartria,
oftalmoplegia, nistagmus, gangguan propioseptif, dan gangguan sensasi vibrasi. Pada
bayi prematur, hemolisis dapat muncul pada bulan kedua kehidupan disertai dengan
edema.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur rasio vitamin E
terhadap kadar lipid serum, dengan <0,8 mg/g adalah abnormal pada anak dan
dewasa; <0,6 mg/g abnormal untuk bayi <1 tahun. Bayi prematur dengan hemolisis
akibat defisiensi vitamin E juga akan menunjukkan peningkatan jumlah platelet.
Abnormalitas neurologi akan menyebabkan gangguan pada pemeriksaan konduksi
saraf.
Dosis vitamin E untuk kondisi defisiensi pada neonatus adalah 25-50 unit/hari
selama 1 minggu diikuti dengan konsumsi makanan yang adekuat. Anak dengan
defisiensi vitamin E akibat malabsorpsi harus menerima 1 unit vitamin E per kilogram
berat badan per hari. Anemia hemolitik pada bayi akan membaik dengan koreksi
vitamin A. Beberapa gejala neurologis dapat bersifat reversibel. Koreksi vitamin E
berguna untuk mencegah progresi dari penyakit. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memberikan vitamin E melalui susu formula tanpa PUFAs yang tinggi.
6. Vitamin K
Vitamin K merupakan vitamin yang penting untuk sintesis faktor pembekuan
II, VII, IX, dan X. Defisiensi vitamin K menyebabkan perdarahan signifikan.
Defisiensi vitamin K biasanya terjadi pada bayi dengan intake tidak adekuat atau
penurunan absorbsi vitamin K.
Vitamin K terdapat dalam bentuk vitamin K1 dan K2. Vitamin K1
(phylloquinone) terdapat dalam sayuran hijau, hati, dan minyak tanaman. Vitamin K2
(menaquinones) yang dihasilkan oleh bakteri usus atau terdapat dalam daging, hati,
dan keju. Vitamin K merupakan kofaktor dari faktor koagulasi, seperti faktor II, VII,
IX, dan X. Defisiensi vitamin K menyebabkan gangguan faktor koagulasi serta
penurunan protein C dan S yang berguna dalam menghambat koagulasi darah.
Terdapat 3 bentuk vitamin K-deficiency bleeding (VKDB) pada bayi baru
lahir, yaitu:
 Early VKDB (classic hemorrhagic disease of the newborn), terjadi 1-14
hari setelah lahir dan terjadi akibat kadar vitamin K yang rendah karena
transfer vitamin K melewati plasenta yang buruk dan tidak adekuatnya
intake pada beberapa hari pertama. Pada saat ini, usus masih bersifat steril
sehingga belum ada sintesis vitamin K2 pada usus. Early VKDB ini terjadi
terutama bayi yang mengonsumsi ASI karena kadar vitamin K yang
rendah. Faktor risiko tambahan lain adalah delayed feeding. Daerah yang
sering mengalami perdarahan adalah GI tract, jaringan mukosa dan kulit,
umbilical stump, dan area postsirkumsisi.
 Late VKDB, terjadi pada usia 2-12 minggu (sampai 6 bulan setelah lahir).
Hampir semua kasus terjadi pada bayi yang mengonsumsi ASI karena
rendahnya kadar vitamin K. Faktor risiko tambahan lain adalah
malabsorpsi vitamin K pada anak dengan cystic fibrosis atau penyakit
kolestasis (atresia bilier dan defisiensi alfa-1-antitripsin), gangguan
pankreas, gangguan usus (celiac sprue, IBD, short-bowel syndrome), dan
diare berkepanjangan. Daerah yang sering mengalami perdarahan adalah
intrakranial, kulit, dan GI tract. Anak yang lebih dewasa dapat tampak
perdarahan mukokutan atau memar.
 Bentuk ketiga terjadi saat lahir atau beberapa saat setelahnya dan terjadi
akibat obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu (warfarin, fenobarbital,
fenitoin) yang melewati plasenta dan mengganggu fungsi vitamin K.
Pemeriksaan yang dapat ditemukan adalah pemanjangan prothrombin time
(PT), namun harus diinterpretasikan sesuai dengan usia. PTT biasanya memanjang
namun dapat normal pada awal defisiensi. Jumlah platelet dan kadar fibrinogen
normal. Pengukuran PIVKA-II (protein induced by vitamin K absence) dapat
mendeteksi defisiensi vitamin K ringan.
Bayi dengan VKDB dapat mendapatkan 1 mg vitamin K parenteral. PT akan
turun dalam waktu 6 jam dan normal dalam 24 jam. Untuk perbaikan pada remaja
dengan cepat, dapat diberikan dosis parenteral 2,5-10 mg. Pasien dengan perdarahan
berat dapat diberikan transfusi fresh-frozen plasma yang memperbaiki koagulopati.
Pasien dengan defisiensi vitamin K karena malaborpsi membutuhkan administrasi
kronis vitamin K dosis tinggi (2,5 mg sebanyak 2x/minggu sampai 5x/hari).
Pencegahan early VKDB adalah dengan pemberian vitamin K parenteral
setelah bayi lahir dengan vitamin K 1 mg IM. Penghentian obat-obatan yang
memengaruhi vitamin K sebelum persalinan dapat mencegah VKDB. Bila obat tidak
dapat dihentikan, maka pemberian vitamin K pada ibu juga dapat bermanfaat. Bila
vitamin K tidak memperbaiki koagulopati, anak dapat memperoleh fresh frozen
plasma. Anak dengan risiko malabsorpsi vitamin K perlu mendapatkan vitamin K
suplemental dan pemantauan PT periodik.

B. Defisiensi Mineral
Mikronutrien terdiri dari vitamin dan trace elements. Trace elements terdiri dari
<0,01% dari berat badan, seperti yodium, zat besi, zinc, kalsium, dan fosfor. Defisiensi
trace element dapat ditemukan di negara berkembang akibat intake yang kurang, nutrisi
parenteral berkepanjangan, malabsorbsi, atau pertumbuhan yang cepat sehingga
menyebabkan peningkatan kebutuhan trace element. Defisiensi mikronutrien dapat
menyebabkan gangguan organ, misalnya otak, gigi, dan gastrointestinal.

1. Kalsium
Kalsium penting untuk kesehatan tulang dan dapat diukur berdasarkan mineral
tulang dan densitas tulang. Tempat penyimpanan kalsium utama adalah tulang dan
gigi. Rickets dapat terjadi karena tidak adekuatnya konsumsi kalsium, yaitu <200
mg/hari. ASI dan susu formula kaya akan kalsium, sedangkan sayuran hijau kaya
akan fitat, oksalat, dan fosfat, yang dapat menurunkan absorbsi dari kalsium.
Kalsium terdapat dalam tubuh dalam 3 bentuk, yaitu kalsium terionisasi (50%),
kalsium yang terikat dengan protein (40%), dan kalsium yang terikat dengan
fosfat/sitrat. Kadar kalsium bergantung dari hormon paratiroid, kalsitonin, dan
vitamin D. Pada saat bayi baru lahir, kadar kalsium sekitar 28 gram dan terjadi
penjepitan tali pusat sehingga terhentinya transpor aktif kalsium dari plasenta.
Hipokalsemia terjadi secara cepat pada 24-48 jam pertama (delayed PTH surge)
namun jarang menimbulkan masalah klinis.
Rickets akibat defisiensi kalsium biasanya terjadi pada anak dengan alergi susu
sehingga konsumsi kalsiumnya rendah atau anak-anak yang tidak mengonsumsi susu
formula dan ASI (jus, minuman soda, atau susu soya) dan tidak diberikan
suplementasi kalsium. Selain itu, dapat diakibatkan karena anak-anak tidak konsumsi
susu formula atau ASI lagi sehingga kadar kalsium <200 mg/hari. Malabsorbsi
kalsium juga dapat terjadi pada celiac disease, abetalipoproteinemia, dan setelah
reseksi usus halus. Kejadian malabsorbsi kalsium dapat terjadi bersamaan dengan
malabsorbsi vitamin D.
Gambaran klinis yang ditemukan adalah rickets yang muncul saat bayi, anak,
atau remaja. Defisiensi kalsium biasanya terjadi setelah defisiensi vitamin D.
Pemeriksaan laboratorium yang ditemukan adalah peningkatan alkaline phosphatase,
PTH, dan 1,25-D. Kadar kalsium dapat normal atau menurun. Terjadi penurunan
ekskresi kalsium urin dan kadar fosfor serum rendah akibat kondisi hiperparatiroid
(renal wasting of phosphate). Di Nigeria, defisiensi vitamin D sering terjadi pada usia
4-15 bulan, sedangkan defisiensi kalsium sering terjadi pada usia 15-25 bulan. Pada
beberapa anak, dapat ditemukan coexisting defisiensi vitamin D dengan kadar 25-D
yang rendah.
Tatalaksana anak dengan defisiensi kalsium adalah dengan memberikan
suplementasi kalsium, yaitu dosis 700 mg/hari untuk anak 1-3 tahun, 1000 mg/hari
untuk anak 4-8 tahun, dan 1300 mg/hari untuk anak 9-18 tahun. Pencegahan yang
dapat dilakukan adalah dengan memberikan ASI eksklusif (mencegah pemberhentian
ASI terlalu awal) dan meningkatkan konsumsi makanan kaya kalsium.
2. Fosfor
Fosfor dapat ditemukan pada hampir sebagian besar makanan sehingga
defisiensi fosfor jarang ditemukan kecuali pada kasus anoreksia hebat atau kelaparan
lama (starvation). Malabsorbsi (celiac disease, cystic fibrosis, dan penyakit kolestasis
hepar) dan konsumsi antasida yang mengandung aluminium dapat menurunkan
absorbsi fosfor dengan mengikat fosfor di saluran gastrointestinal.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan adalah adanya rickets dengan tanda
khas abnormalitas pada ekstremitas inferior, gangguan pertumbuhan, keterlambatan
pertumbuhan gigi, dan abses gigi. Ada pula pasien dengan hipofosfatemia dengan
perawakan pendek namun asimptomatik. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan ekskresi fosfat ginjal, hipofosfatemia, dan peningkatan alkalin fosfatase.
Kadar PTH dan kalsium serum dapat normal. Hipofosfatemia meningkatkan 1-α
hydroxylase dan menyebabkan peningkatan 1,25-D, namun pasien biasanya memiliki
kadar 1,25-D yang rendah atau normal.
Tatalaksana untuk defisiensi fosfor adalah dengan suplementasi fosfor oral
dan 1,25-D (calcitriol). Kebutuhan sehari-hari dari fosfor adalah 1-3 gram elemental
phsophorus yang dibagi dalam 4-5 dosis. Dosis yang sering membantu mencegah
penurunan kadar fosfor serum karena kadar fosfor akan cepat menurun setelah
pemberian satu dosis. Dosis yang sering juga mencegah diare akibat pemberian dosis
fosfor yang tinggi. Kalsitriol dapat diberikan 30-70 ng/kg/hari yang dibagi dalam 2
dosis.
Komplikasi pengobatan terjadi apabila tidak terdapat keseimbangan dalam
pemberian suplementasi fosfor dan kalsitriol. Fosfor yang berlebihan dapat
menurunkan absorbsi kalsium dalam usus dan menimbulkan hiperparatiroidisme
sekunder yang memperburuk lesi pada tulang. Kalsitriol yang berlebihan
menyebabkan hiperkalsiuria dan nefrokalsinosis dan menyebabkan hiperkalsemia.
Oleh sebab itu, monitoring kalsium, fosfor, alkalin fosfatase, PTH serum, kalsium
urin, dan USG ginjal secara periodik penting dilakukan.
Respon terapi biasanya baik dan anak perempuan biasanya mengalami gejala
yang lebih ringan dibanding laki-laki karena sifatnya yang X-linked inheritance.
Perawakan pendek dapat tetap ada meskipun rickets sudah membaik.

3. Zat Besi
Kebutuhan zat besi selama masa anak lebih tinggi dibandingkan dewasa.
Kelompok usia paling tinggi mengalami defisiensi besi adalah usia balita (0-5 tahun)
sehingga menjadi kelompok prioritas pencegahan defisiensi besi. Kekurangan besi
dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama terjadi pada usia 0-2
tahun, dapat mengganggu tumbuh kembang anak, mengganggu sistem imun, dan
berdampak negatif terhadap perkembangan otak (neurokognitif).
Zat besi terdapat di setiap sel tubuh manusia dan berfungsi sebagai pembawa
oksigen dari paru ke jaringan tubuh dalam bentuk hemoglobin, sebagai media transpor
elektron dalam sel dalam bentuk sitokrom, dan bagian integral berbagai enzim dalam
jaringan. Jika kecukupan zat besi dalam tubuh terpenuhi, maka 70% berada dalam
bentuk besi fungsional (dalam eritrosit sebagai Hb, mioglobin, dan enzim pernapasan
intraseluler/sitokrom) dan sisanya sebagai cadangan. Penyebab kekurangan zat besi
pada anak dan bayi adalah akibat kebutuhan yang meningkat karena cepatnya
pertumbuhan yang tidak diikuti dengan asupan yang cukup.
Rekomendasi terbaru menyatakan suplementasi besi sebaiknya diberikan
mulai usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan dengan dosis tunggal
2-4 mg/kg/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir. Angka kejadian defisiensi
besi umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan karena rendahnya asupan besi
melalui diet dan pertumbuhan cepat pada tahun pertama. Angka kejadian defisiensi
besi lebih tinggi pada usia bayi, terutama bayi prematur dan bayi yang mengonsumsi
ASI eksklusif tanpa suplementasi.
Remaja perempuan perlu mendapat perhatian khusus karena mengalami
menstruasi dan merupakan calon ibu. Ibu hamil dengan anemia mempunyai risiko 3
kali lipat melahirkan bayi anemia, 2 kali lipat melahirkan bayi prematur, dan 3 kali
lipat melahirkan bayi berat badan lahir rendah sehingga suplementasi besi harus
diberikan pada remaja perempuan sejak sebelum hamil.
Rekomendasi pemberian suplementasi zat besi:
a. Bayi prematur
Bayi prematur perlu mendapat suplementasi besi sekurang-kurangnya
2 mg/kg/hari sampai usia 12 bulan, dimulai sejak usia 1 bulan dan
diteruskan sampai bayi mendapat susu formula yang difortifikasi atau
makanan padat yang mengandung cukup besi.
b. Bayi berat badan lahir rendah
Bayi berat badan lahir rendah adalah kelompok risiko tinggi (10 kali
lipat lebih tinggi) mengalami defisiensi besi dan diberikan lebih awal
dengan dosis 2-4 mg/kg/hari. Hal ini disebabkan karena bayi dengan
BBLR mempunyai simpanan zat besi awal lebih rendah, kecepatan
pertumbuhan yang lebih tinggi, dan kemungkinan kehilangan darah lebih
banyak oleh karena pengambilan darah yang dilakukan pada tubuh bayi
sehingga pada usia 2-3 bulan, simpanan zat besinya sudah berkurang.
c. Bayi cukup bulan
Bayi cukup bulan dan anak di bawah 2 tahun diberikan suplementasi
besi jika tidak mendapat makanan fortifikasi atau jika prevalensi anemia
defisiensi besi tinggi (di atas 40%). Menurut AAP, bayi cukup bulan yang
sehat mempunyai cadangan zat besi yang cukup sampai bayi berusia 4
bulan. Air susu ibu hanya mengandung sedikit sumber zat besi sehingga
bayi dengan ASI saja harus mendapat tambahan zat besi sebesar 1
mg/kgBB/hari sejak umur 4 bulan sampai mampu mendapat makanan
pendamping dengan fortifikasi zat besi.
Suplementasi dapat diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi besi pada tahun
pertama kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan
suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan.
d. Balita dan anak usia sekolah
Pada anak balita dan usia sekolah, suplementasi besi diberikan tanpa
skrining jika prevalensi anemia defisiensi besi lebih dari 40%.
Suplementasi besi diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari sampai 30
mg/hari selama 3 bulan.
e. Remaja
Suplementasi besi diberikan pada remaja lelaki dan perempuan dengan
dosis 60 mg/hari selama 3 bulan. Suplementasi besi pada remaja laki-laki
hanya dilakukan bila terdapat riwayat anemia defisiensi besi sebelumnya,
namun karena prevalensi defisiensi besi di Indonesia yang masih tinggi,
maka suplementasi besi tetap diberikan untuk laki-laki. Penambahan asam
folat pada remaja perempuan dengan pertimbangan pencegahan terjadinya
neural tube defect pada bayi yang akan dilahirkan kemudian hari.
Gambar 2.13. Rekomendasi dosis suplementasi besi berdasarkan IDAI
AAP dan CDC menganjurkan pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit
setidaknya satu kali pada usia 9-12 bulan dan diulang 6 bulan kemudian pada usia 15-
18 bulan atau pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun.
Pemeriksaan dilanjutkan setiap tahun sampai usia remaja. Pemeriksaan tersebut
dilakukan pada kelompok risiko tinggi seperti bayi dengan kondisi prematur, berat
badan lahir rendah, riwayat perawatan lama di unit neonatologi, dan anak dengan
riwayat perdarahan, infeksi kronis, etnis tertentu dengan prevalensi anemia yang
tinggi, atau ASI eksklusif tanpa suplementasi. Pada bayi prematur atau berat badan
lahir rendah yang tidak mendapat formula yang difortifikasi besi, perlu
dipertimbangkan pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan.
Defisiensi besi dapat menyebabkan anemia. Bayi aterm baru lahir
mengandung 0,5 gram zat besi, bila dibandingkan dengan dewasa yang memiliki 5
gram zat besi. Pada bayi, kadar hemoglobin yang tinggi pada 2-3 bulan pertama akan
menurun dengan cepat. Delayed cord clamping (1-3 menit) dapat meningkatkan kadar
zat besi dan menurunkan risiko defisiensi zat besi. Penyebab bayi mengalami
defisiensi zat besi adalah karena tidak adekuatnya konsumsi zat besi dalam 9-24 bulan
pertama, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja biasanya disebabkan
karena kehilangan darah. Defisiensi zat besi kronis dapat terjadi akibat perdarahan di
gastrointestinal seperti ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma,
atau inflammatory bowel disease.
Sebagian besar anak dengan defisiensi besi asimptomatik dan teridentifikasi
saat melakukan pemeriksaan laboratorium saat berumur 12 bulan. Gejala yang paling
sering ditemukan adalah pucat (bila Hb 7-8 g/dL) di telapak tangan, buku jari, atau
konjungtiva. Pada defisiensi besi ringan-sedang (Hb 6-10 g/dL), terdapat mekanisme
kompensasi, yaitu peningkatan 2,3-diphosphoglycerate dan pergeseran kurva disosiasi
oksigen. Ketika Hb mencapai <5 g/dL, pasien menjadi iritabel, anoreksia, dan letargi.
Kadang dapat ditemukan murmur sistolik, takikardia, dan high output cardiac failure.
Defisiensi besi juga dapat menyebabkan gangguan neurokognitif, meningkatkan
risiko kejang, stroke, gangguan kontraktilitas miokard, gangguan fungsi kekebalan,
berkurangnya asam lambung, gastritis, eksaserbasi dari restless leg syndrome,
pagophagia, dan pica.
Pada tahap awal, zat besi yang tersimpan di jaringan akan berkurang.
Penurunan ini ditandai oleh jumlah ferritin serum yang berkurang. Kemudian, kadar
serum iron dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC akan meningkat. Ketika
zat besi menurun, zat besi tidak mampu berikatan dengan protoporphyrins sehingga
jumlah protoporphyrins akan meningkat dan terjadi gangguan sintesis hemoglobin.
Dengan berkurangnya hemoglobin pada tiap sel darah merah, sel darah merah akan
menjadi lebih kecil dan ukurannya bervariasi, yang tampak sebagai peningkatan red
cell distribution width dan penurunan MCV dan MCH. Jumlah eritrosit akan
berkurang, namun persentase retikulosit dapat normal atau meningkat. Apusan darah
tepi menunjukkan sel darah merah mikrositik hipokrom, dapat pula ditemukan sel
elips atau sel cigar. Kadar sel darah putih normal, sedangkan trombositosis atau
trombositopenia dapat ditemukan.
Dosis terapeutik yang dapat diberikan adalah 3-6 mg/kg elemental iron yang
dibagi dalam 3 dosis yang adekuat. Dosis maksimum per hari adalah 150-200 mg per
hari. Ferrous sulfate mengandung 20% elemental iron dan diberikan setelah minum
jus. Pemeriksaan ulang anemia adalah 4 minggu setelah terapi dengan harapan kadar
Hb naik 1-2 g/dL. Bila anemia berat, follow-up dilakukan lebih awal dengan melihat
adanya respon retikulositosis dalam 48-96 jam. Kadar Hb akan meningkat 0,1-0,4
g/dL per hari dan dilanjutkan sampai 2-3 bulan.

4. Yodium
Yodium merupakan mikronutrien esensial yang terdapat dalam tubuh dalam
jumlah yang sangat kecil, sekitar 15-20 mg, yang hampir semuanya terdapat pada
kelenjar tiroid. Yodium merupakan komponen esensial bagi hormon tiroid, tiroksin
(T4), dan triodotironin (T3). Hormon tiroid mengatur proses metabolisme karbohidrat
dan lemak, serta mempengaruhi hormon lain (growth hormone). Konsekuensi
kekurangan yodium menyebabkan retardasi mental, kretinisme, stunting, gangguan
penglihatan, dan gondok.
Di Indonesia, prevalensi gondok endemik yang tinggi terutama dijumpai di
sekitar lereng gunung berapi atau daerah pegunungan. Bila asupan yodium dalam
makanan yang masuk dalam tubuh kurang memadai, pembentukan tiroksin akan
terhambat sehingga terjadi peningkatan produksi TSH dan memacu kelenjar tiroid
memproduksi tiroglobulin.
Yodium berasal dari makanan dan minuman dari alam. Jika lahan alam di
tanah permukaan kurang tersedia yodium, maka semua tumbuhan dan air di daerah
tersebut memiliki kandungan yodium yang rendah.
Gondok dapat terjadi ketika tubuh kekurangan yodium sehingga tiroid
mengalami kekurangan bahan baku pembuat hormon. TSH dan kelenjar tiroid akan
bekerja lebih keras sehingga jaringan otot akan membesar akibat proses adaptasi. Jika
defisiensi yodium ringan dan adaptasi berhasil dengan baik, penderita akan
mengalami pembesaran gondok tetapi tidak terdapat gangguan metabolisme. Bila
terjadi defisiensi yodium saat kehamilan, dapat menimbulkan abortus, kematian janin,
berat badan lahir rendah, hipotiroid neonatal, dan retardasi mental.
Kebutuhan yodium untuk bayi adalah 90 μg/hari dengan rekomendasi asupan
berasal dari ASI eksklusif. WHO merekomendasikan asupan yodium harian sebanyak
90 μg untuk anak prasekolah dan 120 μg untuk anak sekolah. Terdapat 3 bentuk
kelainan klinis, yaitu gondok endemik, kretinisme endemik, dan hipotiroidisme.
 Gondok endemik, terjadi akibat defisiensi yodium, goitrogen, atau
kelebihan yodium.
 Kretinisme endemik, terjadi akibat defisiensi yodium berat pada masa
fetus dan biasanya lahir di area dengan defisiensi yodium sangat berat
dengan urine iodine excretion < 25 μg/L. Gambaran klinisnya adalah jika
anak lahir di daerah dengan gondok endemik dengan dua dari tiga gejala,
yaitu retardasi mental, tuli sensorineural nada tinggi, atau gangguan
neuromuskular. Kretinisme dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tipe
nervosa, tipe miksedematosa, dan tipe campuran.
Berikut ini adalah gambaran klinis defisiensi yodium:
Gambar 2.14. Gambaran klinis defisiensi yodium

Penanggulangan dan pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian suntikan


yodium, pemberian kapsul yodium, dan fortifikasi yodium pada garam. Penggunaan
garam beryodium di Indonesia dengan kadar yodium 40 ppm, artinya konsumsi garam
10 gram sehari dapat memenuhi 230 gram yodium (terkandung potasium yodium 400
gram). Pemberian suntikan atau kapsul yodium diberikan untuk daerah defisiensi
yodium sedang atau berat dengan sasaran wanita umur 0-35 tahun dan laki-laki umur
0-14 tahun.

Gambar 2.14. Rekomendasi suplementasi yodium

5. Zinc
Defisiensi zinc banyak ditemukan pada negara berkembang dan terkait dengan
malnutrisi atau defisiensi mikronutrien lain (seperti zat besi). Defisiensi zinc
meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan linear (stunting), hipogonadisme,
dermatitis, mengganggu fungsi imun (T-cell immunodeficiency), dan meningkatkan
risiko penyakit respirasi dan diare. Konsumsi makanan kaya fitat dapat menghambat
absorbsi zinc. Defisiensi zinc dapat didiagnosis dari anamnesis, terkait riwayat makan
dan adanya patologi sistem gastrointestinal. Pemeriksaan antropometri dapat untuk
melihat adanya gangguan pertumbuhan dan pemeriksaan kulit untuk melihat
dermatitis.
Defisiensi primer zinc terjadi pada anak dengan usia yang lebih besar dan
mengonsumsi ASI. Konsentrasi zinc pada awalnya dalam ASI cukup tinggi (>3 mg/L)
dan menurun pada bulan-bulan awal postpartum menjadi <1 mg/L dalam 6 bulan.
Pada anak berusia 6 bulan, zinc dibutuhkan dari makanan tambahan untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis. Defisiensi zinc juga dapat disebabkan karena masalah genetik,
misalnya akibat acrodermatitis enteropathica yang bersifat autosom resesif dan
menyebabkan gangguan uptake dari zinc; serta transient neonatal zinc deficiency
yang disebabkan karena ketidakmampuan kelenjar susu ibu dalam mensekresi zinc
akibat mutasi pada kelenjar mammae. Pasien akan mengalami dermatitis dengan
konsentrasi zinc yang rendah di plasma 3-4 bulan postnatal. Defisiensi zinc didapat
dapat disebabkan karena:
 Bayi prematur atau BBLR, terutama bila tidak mendapat suplementasi
zinc, sehingga dapat terjadi gangguan pertumbuhan linear, dermatitis,
konsentrasi zinc yang rendah dalam plasma, dan mudah terkena infeksi
(diare dan pneumonia). Faktor risiko utama adalah riwayat reseksi usus
halus atau small for gestational age (SGA). Penyebabnya adalah cadangan
zinc yang rendah dalam tubuh karena tidak mendapatkan transfer zinc
pada trimester akhir kehamilan, peningkatan ekskresi zinc dari ginjal dan
saluran pencernaan, dan intake yang rendah. Bayi prematur dengan
defisiensi zinc yang dirawat di NICU diberikan fortifikasi zinc dari susu
formula atau nutrisi parenteral sebesar 2,7 mg/kg/hari.
 Celiac disease, dimana terdapat erosi pada mukosa usus halus proksimal,
anoreksia, diare, dan perawakan pendek. Terapi dapat diberikan gluten-
free diet dengan/tanpa suplementasi zinc.
 Cystic fibrosis, dimana terjadi insufisiensi eksokrin pankreas dan
abnormalitas mukosa usus, terjadi gagal tumbuh, diare, dan dermatitis.
Terapi dapat diberikan multi vitamin dan mineral yang mengandung zinc
dan pertimbangkan pemberian suplementasi selama 6 bulan bila terjadi
gangguan pertumbuhan.
 Gangguan hepar, dimana terjadi dermatitis, perubahan status mental,
gangguan penglihatan malam hari, hipogonadisme, gangguan fungsi imun,
dan penurunan kemampuan penyembuhan luka. Perlu dipertimbangkan
permberian suplementasi zinc.

Gambar 2.15. Etiologi defisiensi zinc


DAFTAR PUSTAKA

1. Stevens RL, Lyon C. Nutritional vitamin D deficiency: a case report. Cases Journal.


2009; 2:7000. https://doi.org/10.1186/1757-1626-2-7000.
2. Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 21st edition. Philadelphia, MO:
Elsevier; 2019.
3. Vitamin D. Panduan Praktik Klinis IDAI; 2018.
4. Suplementasi Besi untuk Anak. Rekomendasi IDAI; 2011.
5. Pedoman Pelayanan Medis. IDAI.
6. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. IDAI.
7. Mihatsch W, Fewtrell M, Goulet O, et al. ESPGHAN/ESPEN/ESPR/CSPEN
guidelines on pediatric parenteral nutrition: Calcium, phosphorus and magnesium.
Clinical Nutrition. 20;37(6):2360-2365.
8. Krebs NF. Update on Zinc Deficiency and Excess in Clinical Pediatric Practice. Ann
Nutr Metab. 2013;62:19-29.

Anda mungkin juga menyukai