Case Study 3 - Kelompok 5
Case Study 3 - Kelompok 5
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman mengatakan, berbagai persoalan
yang mewarnai kehidupan Bangsa Indonesia di berbagai daerah saat ini bersumber dari
hilangnya jati diri dan karakter masyarakat yang Pancasilais.
“Akhir-akhir ini kita melihat betapa maraknya praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-
nilai Pancasila. Kekerasan atas nama kelompok, suku dan agama masih hadir di tengah
kehidupan kebangsaan kita. Begitu pula perilaku tawuran antar pelajar masih mewarnai praktik
pendidikan kita,” ujarnya saat menyampaikan pidato paripurna DPD RI di Jakarta, Senin(01/10).
Ditegaskannya bahwa tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia sekarang ternyata tidak mudah
untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila, terutama nilai keadilan bagi seluruh rakyat di semua
bidang kehidupan.
Nilai keadilan, menurut Irman, merupakan suatu intisari yang hakiki dari spirit UUD 1945 dan
Dasar Negara Pancasila, dimana prinsip keadilan menjadi inti dari moral ketuhanan, landasan
pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat.
“Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila
lainnya. Di sisi yang lain, otentisitas pengamalan sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan
keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan,” ujarnya.
Keadilan sosial sebagai nilai fundamental Pancasila, kata Irman, harus melandasi semua
kebijakan dan perilaku penyelenggara negara, baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
maupun keamanan dan sosial-budaya.”Pertanyaannya, sudahkah nilai keadilan sosial kita
amalkan dalam perilaku kehidupan individu, masyarakat, maupun perilaku hidup para
penyelenggara negara?,” ujarnya.
Menurut dia, dalam kenyataannya, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan nilai keadilan sosial
itu. Sejauh ini, peluang kebebasan yang diberikan oleh demokrasi belum juga berhasil
mendatangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Fenomena ini memunculkan persepsi negatif publik terhadap demokrasi yang dinilai belum
secara penuh membawa manfaat bagi perbaikan kualitas hidup masyarakat,” demikian Irman
Gusman. (ant) (diambil dari http://beritasore.com/2012/10/01/ diunduh tanggal 5 Maret 2015
pukul 11.30 WIB)
Pertanyaan kasus:
1. Bagaimana seharusnya hubungan antarmanusia Indonesia ini dilakukan agar tidak terjadi
kekerasan antarkelompok, kekacauan sosial atau tawuran di dalam masyarakat kita ?
Peran pemerintah sangat penting dalam hal ini, dimana pemerintah harus dapat terus
memberikan dukungan terhadap masyarakat Indonesia, terlebih dimana pada kondisi seperti saat
ini masih banyaknya tindakan kekerasan dan tawuran antarmanusia dengan berbagai persoalan
yang tidak ada habisnya. Peran pemerintah sebaiknya harus terus ditingkatkan seperti selalu
mengayomi masyarakat, memberikan edukasi yang bersifat moralitas, memberikan kekuatan
dukungan untuk masyarakat agar bisa selalu menjaga perilaku yang baik dan selalu bersikap
tenang untuk dapat menghadapi sesuatu apapun yang kita hadapi di masa yang akan datang
seterusnya.
Pada dasarnya setiap individu memiliki karakter khas yang menandakan dari mana tempat
dia berasal. Perselisihan antar kelompok terjadi karena tindakan yang tidak mencerminakan nilai-
nilai Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Setiap individu harus
memiliki sifat terbuka untuk saling menghormati adanya perbedaan dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai toleransi dan demokrasi, menghargai setiap hak orang lain, serta mengedepankan
musyawarah mufakat dalam mencari solusi dari setiap perbedaan dan cara pandang. Salah satu
upaya dalam meredam adanya konflik internal dalam suatu daerah, diperlukan seseorang yang
dianggap sebagai tokoh masyarakat pada sistem piramida kehidupan bermasyarakat dalam upaya
tindakan preventif untuk meredam potensi-potensi konflik. Selain itu diperlukan pengutan nilai-
nilai kerohanian agar setiap individu tidak bertindak melampaui batas dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kebaikan.
Referensi
Ichwan, M., 2015. Rekonstruksi Upaya Penanggulangan Perkelahian Antar Kelompok (Studi di
Polrestabes Makassar). Malang: Universitas Brawijaya.
2. Paradigma apa yang perlu dimiliki oleh kita sebagai orang Indonesia yang memiliki
berbagai latar belakang suku, agama dan budaya yang berbeda ini? Bagaimana bentuk
ideal interaksi yang harus kita lakukan dalam konteks kebhinekaan Indonesia ini?
Sebagai masyarakat Indonesia yang multikultural, kita harus menjadikan pancasila sebagai
paradigma dalam segala bidang kehidupan. Karena didalam Pancasila mengandung nilai acuan,
persamaan pola pikir dan tujuan, dimana erat kaitannya dengan latar belakang masyarakat
Indonesia yang heterogen. Dalam Pancasila hubungan antara setiap manusia selalu dituntut untuk
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga
menciptakan paham humanis dalam setiap hubungan interaksi antar sesama, entah berasal dari
suku, agama, maupun budaya yang berbeda.
Ruang-ruang multikuktural dalam konteks kebhinekaan perlu ditanamkan hingga
menimbulkan kesadaran dari setiap individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas
kesamaan agama, etnis dan budaya untuk menghargai keberadaan individu atau kelompok yang
lain. Ini merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh para
pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu:
(1) Kebutuhan terhadap pengakuan
(2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Maksudnya, multikulturalisme
menjadi kondisi ideal suatu masyarakat, apabila keanekaragaman agama, etnis dan budaya tidak
saja diakui, namun juga diberi kesempatan dan ruang untuk mengembangkan diri dan
mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Kerangka kesetaraan
dan keadilan inilah yang menjadi perhatian penting para kritikus multikulturalisme gelombang
kedua. Para pemikir ini memandang bahwa keaneka ragaman budaya di masyarakat bukanlah
kenyataan yang diberikan begitu saja. Oleh karena itu, multikulturalisme haruslah diuraikan
dengan mendekonstruksi persoalan-persoalan ideologi, kekuasaan, marjinalasi budaya, keadilan,
politik, ekonomi, gender, permainan wacana, dan emansipasi budaya yang mengitarinya
Referensi
1) Munadlir, A., 2016. Strategi Sekolah Dalam Pendidikan Multikultural. Jurnal Pendidikan
Sekolah Dasar Ahmad Dahlan, 2(2), pp.114-130.
2) Anonim. 2017. Pancasila Sebagai Paradigma.
https://bpkad.banjarkab.go.id/index.php/2017/12/14/pancasila-sebagai-paradigma/. Diakses pada
28 April 2021.
Referensi
Dewantara Agustinus W. 2017. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Kanisuis: Yogyakarta
https://kumparan.com/hipontianak/warga-sakit-ditandu-karena-jalan-rusak-dipedalaman-sintang-
kalbar-1sMq2vvnTf1 Diakses pada 28 April 2021.