Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana di atur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

tercantum pada Pasal 1 Ayat (3), hal ini dapat diartikan bahwa seluruh aspek

kehidupan negara Indonesia di atur berdasarkan atas aturan hukum (Rechtsstaat).

Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai Ideologi untuk

menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan, serta kesejahteraan bagi warga

negaranya. Dengan demikian konsekuensinya bahwa hukum mengikat setiap tindakan

yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Hukum merupakan suatu norma yang

memuat aturan-aturan dan ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban individu

maupun masyarakat. Hukum ada dengan maksud untuk menciptakan keselarasan

hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hukum merupakan himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, di


mana hukum bertujuan untuk mengatur tata cara kehidupan masyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggar. (Zainal Asikin,2012,hal:11)

Hukum bersifat mengatur dan memaksa artinya apabila seseorang melakukan

suatu pelanggaran maka akan ada sanksinya sesuai dengan yang diatur oleh negara

Indonesia.

1
2

Anak adalah karunia Tuhan yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang

perempuan dengan seorang laki-laki. Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu

generasi baru yang akan menjadi penerus cita-cita bangsa dan sumber daya manusia

bagi pembangunan nasional. Masa depan bangsa dan negara Indonesia berada

ditangan anak sehingga, semakin baik tumbuh kembang anak maka semakin baik

pula kehidupan masa depan bangsa begitu pula sebaliknya.

Menjadi suatu perhatian luas bagi setiap orang untuk meletakkan posisi anak

sebagai suatu insan yang perlu untuk diperhatikan dan mendapat segala kebutuhan

yang sesuai kebutuhan anak itu sendiri. Secara umum kedudukan anak dalam rumah

tangga sebenarnya dalam posisi yang strategis serta menjadi kebanggaan orang

tuanya, namun secara fisik mereka lebih lemah dibandingkan dengan orang dewasa,

sehingga anak sering kali menjadi korban.

Anak adalah amanah Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dan didik sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Pandangan yang lebih religious ini melihat anak bukan
sekedar keturunan biologis dari seseorang, tetapi suatu titipan dari Tuhan yang
harus dijaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian tanggung
jawab orang tua terhadap anak bukan hanya tanggung jawan pribadi atau antara
manusia, tetapi juga tanggung jawab transcendental antara manusia dengan Tuhan.
(Supeno Hadi,2010,hal:24)

Tidak semuanya anak yang terlahir memiliki tumbuh kembang yang baik, ada

juga anak-anak yang terlahir memiliki keterbatasan, dalam hal ini disebut sebagai

anak penyandang disabilitas. Anak penyandang disabilitas menurut Pasal 1 angka 7


3

Undang-Undang Perlindungan Anak adalah “Anak yang memiliki keterbatasan fisik,

mental, intelektual, atau sensorik, dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi

dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang

menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak”.

Anak penyandang disabilitas wajib diperlakukan sama seperti anak-anak pada

umumnya, tidak boleh dibeda-bedakan.

Setiap anak termasuk anak penyandang disabilitas juga berhak memenuhi

seluruh hak-haknya sebagaimana telah dijaminkan menurut undang-undang. Anak

penyandang disabilitas juga mendapatkan kesempatan dan aksebilitas untuk

memperoleh pendidikan inklusif dan/atau pendidikan khusus. Anak penyandang

disabilitas juga mendapatkan perlindungan khusus, menurut Pasal 1 angka 3

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun

2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas menyebutkan

bahwa “Perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas adalah suatu bentuk

perlindungan yang diterima oleh anak penyandang disabilitas untuk memenuhi hak-

haknya dan mendapatkan jaminan rasa aman, terhadap ancaman yang membahayakan

diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya”.

Setiap anak memiliki hak, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia

yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Hak-hak anak itu sendiri telah dijamin di
4

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, salah satunya

Undang-Undang Perlindungan Anak.

Dalam konteks sistem peradilan pidana, fungsi hukum pidana adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan kepada individu baik
pelaku tindak pidana mapun korban tindak pidana, hak-hak dan kepentingan
masyarakat termasuk saksi serta hak-hak dan kepentingan negara yang diwakili
oleh Pemerintah.(Muladi,1995,hal:129)

Berbagai macam perlindungan terhadap anak diwujudkan dalam berbagai

macam undang-undang, diantaranya yaitu dalam KUHP dan Undang-Undang

Perlindungan Anak.

Perlindungan Anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan


kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. (Maidin Gultom,2014,hal:40)

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap anak korban kejahatan dapat

diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan atau kerugian yang

diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental (psikis) tentunya

bentuk ganti rugi dalam bentuk materi atau uang tidaklah memadai apabila tidak

disertai dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya

menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu

berlebihan.
5

Perkembangan pada masyarakat yang semakin maju, berdampak pada

timbulnya kejahatan salah satunya yaitu kejahatan kesusilaan. Ada banyak macam-

macam kejahatan kesusilaan yang tercantum baik di dalam KUHP maupun diluar

KUHP. Salah satu contoh dari kejahatan kesusilaan yang marak terjadi di Indonesia

yaitu kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur. Apabila dilihat dari ruang

lingkup kejahatan seksual, maka memaksa anak untuk melakukan persetubuhan

dengan orang lain masuk pada kategori melanggar kesusilaan dan termasuk dalam

lingkungan nafsu birahi.

Maraknya kejahatan seksual yang terjadi terhadap anak dibawah umur yang

tidak sedikit pelakunya itu orang dewasa atau bahkan keluarganya sendiri yang mana

secara fisik anak dibawah umur yang menjadi korban belum memiliki daya tarik

seksual seperti layaknya orang dewasa, hal tersebut tentunya dapat merusak moral

generasi penerus cita-cita bangsa dimasa mendatang.

Menurut Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa

anak korban kejahatan seksual masuk pada bagian dari yang mendapatkan

perlindungan khusus oleh pemerintah, pemerintah daerah dan juga lembaga negara

lainnya. Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh

anak dalam suatu dan kondisi tertentu terhadap jaminnya rasa aman dari ancaman

yang membahayakan tumbuh kembangnya.

Anak sebagai korban kejahatan seksual menurut Pasal 69A Undang-Undang

Perlindungan Anak mendapatkan perlindungan khusus berupa edukasi tentang


6

kesehatan reproduksi, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial saat pengobatan

sampai pemulihan, pendampingan mulai pada saat pemeriksaan sampai dengan

proses persidangan dipengadilan.

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur
peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan
perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.
(Nashriana,2011,hal:3)

Menurut Andi Hamzah mengatakan bahwa “Pidana bersifat pembalasan

karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan

secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan

pidana ialah melindungi kesejahteraan rakyat”.(Andi Hamzah,2017,hal:35)

Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa unsur-unsur pengertian pidana


yaitu: a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. pidana itu diberikan
dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang
berwenang); c. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.”(Roeslan Saleh,1983,hal:4)

Dalam hal penjatuhan sanksi pidana, menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana terdapat dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok adalah jenis pidana yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara,

pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan
7

adalah jenis pidana yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang

yang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untun mengasuh, mendidik,

memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan

agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya. Namun

seringkali di beberapa kenyataan yang terjadi orang tua melalaikan kewajibannya

terhadap anak, hal ini akan berdampak buruk apabila dibiarkan anak tersebut masih

berada dalam pengasuhan orang tua yang melalaikan kewajibannya. Dalam Pasal 30

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan

apabila orang tua melalaikan kewajibannya, maka terhadap orang tua dapat dilakukan

tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

Salah satu contoh kasus yaitu pada Putusan Pengadilan Negeri Bogor. DAF

umur 16 tahun 11 bulan yang mana DAF merupakan anak penyandang disabilitas

yaitu Tuna Grahita atau kecerdasaan intelektualnya dibawah rata-rata. DAF

merupakan anak tiri dari JU (47 tahun). Dimulai dari DAF sedang mandi dengan

pintu tidak terkunci, kemudian JU masuk ke dalam kamar mandi dengan alasan untuk

mencuci tangannya. Dengan melihat DAF dalam keadaan seperti itu sehingga timbul

nafsu birahi pada diri JU, yang selanjutnya JU mulai menjalankan aksinya terhadap

DAF dengan memaksa DAF untuk melakukan persetubuhan dengan JU dengan

iming-iming apabila menolak kemauan JU maka DAF tidak akan di antar-jemput

sekolah, mengingat DAF merupakan penderita tuna grahita maka DAF merasa
8

ketakutan sehingga ancaman tersebut membuat DAF menuruti kemauan JU. Menurut

kesaksian DAF di muka pengadilan, JU telah beberapa kali memaksa DAF untuk

menuruti perbuatannya sewaktu DAF masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD) sekitar

tahun 2015, yang kedua sekiranya bulan Agustus 2018 dan terakhir bulan November

2018. JU terbukti melakukan tindak pidana kekerasan atau ancaman kekerasan

dengan memaksa DAF melakukan persetubuhan dengannya dan JU dikenakan Pasal

81 Ayat (3) Undang- Perlindungan Anak juncto Pasal 76 D Undang-Undang

Perlindungan Anak dengan hukuman pidana penjara 15 tahun dan denda sebesar

Rp1.000.000.000 (satu milyar rupiah) apabila denda tidak dibayar maka diganti

dengan pidana penjara 6 bulan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana telah dijelaskan, maka yang

dipermasalahkan adalah “Apakah penerapan sanksi pidana tambahan berupa

pencabutan hak asuh anak dapat dikenakan kepada JU ditinjau dari KUHP dan

Undang-Undang Perlindungan Anak?”

1.3 Alasan Pemilihan Judul

Skripsi yang berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Tambahan Terhadap Pelaku

Kejahatan Seksual Ditinjau Dari KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak”.

Dipilih dengan alasan: Anak merupakan seseorang yang posisinya sangat rentan

mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang-orang disekitarnya. Perlindungan


9

hukum bagi anak korban tindak pidana pada saat ini menjadi suatu hal yang sangat

penting untuk diperhatikan baik dari segi materiil maupun inmateriil. Sebagai contoh

pada Putusan Pengadilan Negeri Bogor anak menjadi korban ayah tirinya dengan

melakukan ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan.

Melihat kasus ini, maka dapat dipastikan anak yang menjadi korban kejahatan seksual

wajib mendapatkan perlindungan, maka dari itu perlindungan yang dapat diterapkan

terhadap anak korban kejahatan seksual adalah bahwa pelaku dapat dikenakan sanksi

pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini memiliki 2 (dua) tujuan :

a. Tujuan Akademis

Tujuan akademis yang hendak dicapai adalah untuk memenuhi salah satu

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Surabaya.

b. Tujuan Praktis

Tujuan praktis yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui dan

menganalisis penerapan sanksi pidana tambahan pelaku kejahatan seksual

terhadap anak penyandang disabilitas tunagrahita.

1.5 Metode Penelitian

Metode penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut :


10

a. Tipe Penulisan

Tipe penulisan yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah tipe

penulisan hukum yuridis normatif, yaitu penulisan dengan menggunakan

bahan-bahan hukum primer untuk memecahkan fakta atau persoalan hukum

dan untuk mendapatkan bahan hukum tersebut serta menganalisa melalui

penelusuran studi pustaka (peraturan perundang-undangan dan literatur).

b. Pendekatan Masalah

Dalam tulisan ini, ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu Statute

Approach dan Conceptual Approach. Statute Approach, yaitu pendekatan

masalah yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.

(Marzuki,2006,hal:93)

Conceptual Approach merupakan pendekatan masalah yang beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu

hukum. (Marzuki,2006,hal:95)

c. Bahan Hukum

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan dua bahan hukum, yaitu

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer, yaitu

bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal ini peraturan perundang-

undangan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, KUHP, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016


11

tentang Penyandang Disabilitas Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus

Bagi Anak Penyandang Disabilitas, Putusan Pengadilan Negeri Nomor

48/Pid.Sus/2019/PN.Bgr dan peraturan lain yang berkaitan dengan materi

yang diteliti. Sedangkan bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang

bersifat menjelaskan bahan hukum primer, yang digunakan dalam penelitian

ini berupa literatur-literatur maupun karya ilmiah para sarjana.

d. Langkah Penelitian

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi

kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang

terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan

hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun secara

sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajari.

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat

deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum

untuk menarik kesimpulan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan

yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran

sistematis dengan lainnya yang ada dalam undang-undang lain untuk

memperoleh pengertian lebih mantap, serta penafsiran otentik adalah

penafsiran yang pasti terhadap arti kata yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan itu sendiri.


12

1.6 Pertanggungjawaban Sistematika

Pertanggungjawaban sistematika dalam penulisan ini diuraikan secara rinci

menjadi bagian tiap-tiap bab dan sub bab yang membahas dan menguraikan hal-hal

yang mendukung dalam analisa kasus serta menjawab rumusan permasalahan

sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Sistematika ini untuk memberikan

gambaran yang jelas, maka sistematika dalam penulisan skripsi saya dibagi menjadi 4

(empat) bab, yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yaitu :

Bab 1, Pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu Latar Belakang,

Rumusan Masalah, Alasan Pemilihan Judul dimaksudkan untuk memberikan suatu

gambaran dipilihnya judul skripsi, Tujuan Penulisan dan Metode Penulisan yang

merupakan langkah-langkah atau metode yang digunakan dalam suatu penulisan

karya ilmiah dan Pertanggungjawaban Sistematika berisi kerangka skripsi.

Bab 2, Tinjauan Umum tentang Pengertian Anak Penyandang Disabilitas,

Tinjauan Umum tentang Ruang Lingkup Anak Sebagai Korban Kejahatan Seksual,

Tinjauan Umum tentang Pengertian Sanksi Pidana Tambahan.

Bab 3, Pembahasan mengenai Analisis Penerapan Sanksi Pidana Tambahan

JU Sebagai Pelaku Kejahatan Seksual Kepada Anak Penyandang Disabilitas.

Bab 4, Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh

bab yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya yang mana dirumuskan secara

singkat atas pokok-pokok dari pembahasan sebagaimana yang telah diuraikan, serta
13

memberikan bahan masukan atau saran yang dapat digunakan untuk menanggulangi

permasalahan yang serupa dikemudian hari.


14

Anda mungkin juga menyukai