BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak, dan
dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena
meningitis. Di Inggris, dilaporkan bahwa 3000 orang terkena meningitis setiap tahunnya, baik
dewasa maupun anak-anak. Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita
meningitis akan meninggal, dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan
(www.meningitis.org).
BAB II
MENINGITIS TUBERKULOSIS
BATASAN
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis (en.wikipedia.org). Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis
paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang,
sendi, dan selaput otak (Kliegman, et al. 2004).
INSIDENSI
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk,
yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di
negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika
Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi
1% dari semua kasus tuberkulosis (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007)
PATOFISIOLOGI
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya
meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula
spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer
atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila
penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan
penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis
tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer).
Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).
Gambar 2. Penyebaran Mycobacterium tuberculosis Dari Tempat Infeksi
Primernya Di Paru-Paru
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut
di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di
basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan
mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian
III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf
kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII
akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Darto Saharso,
1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan
sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri
cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila
infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang
terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia
ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan
kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri
cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas,
diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan
perubahan fibrin (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;
4. Meningitis proliferatif
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan
lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi
dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga
stadium:
Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis
* apatis * irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana
hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa
disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan
sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium
III.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak
menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan
saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya
tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang
medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia,
quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar,
sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala:
utama)
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
* hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.
Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak
adekuat (Darto Saharso, 1999., Kliegman, et al. 2004., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
KRITERIA DIAGNOSIS
Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan
gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada
penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi,
distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan
ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus)
Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun (Herry
Garna dan Nataprawira., 2005).
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara
mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified
Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
tuberculosa (www.mediastore.com.,
2008)
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi reaksi cepat (dalam
3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis (tbcindonesia.or.id., 2008).
o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal) :
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002).
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama
3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).
PENGOBATAN
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12
bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada
terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse
reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg,
dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor
cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8
jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus
sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi
pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk
mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg
satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan
bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari
dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan
daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya
adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya
tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,
2007).
Pirazinamid
Etambutol
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total (Nastiti N. Rahajoe,
dkk., 2007).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan
gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat
berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh
obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira
2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan
dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh
mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin (Darto Suharso. 1999).
PROGNOSIS
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak
diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga
tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai
prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya (Darto Suharso. 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika. Infeksi Penyakit
Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda Melinda. Pedoman Diagnosis Dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. p.
221-229.
Soetomenggolo T S, Ismael S, 1999, Buku Ajar Neurologi Anak, IDAI, Jakarta, halaman 363-
371.
Definisi:
Kejang Demam (FC) ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38 °C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium[1].
Kejang Demam tidak disertai infeksi susunan saraf pusat (SSP) atau berupa
gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak diatas usia 1 bulan dan tidak ada riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya. Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Insiden tertinggi
terjadi pada usia 18 bulan.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 15 tahun mengalami
kejang didahului demam, ada kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam.
Klasifikasi :
Kejang lama dalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam.[2]
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
dengan kejang parsial.[3]
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang
mengalami kejang demam.[4]
Langkah Diagnostik.
Anamnesis [5]:
Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum /saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
Riwayat perkembangan kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga.
Singkirkan penyebab kejang yang lainnya.
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang demam atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan dapat meliputi:
darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, serum kalsium, fosfor, magnesium,
ureum, kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin, feses.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6% - 6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada:
3. Pencitraan
Pemeriksaan imaging (CT scan atau MRI) dapat diindikasikan pada keadaan :
4. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG dipertimbangkan pada kejang demam tidak khas /atipikal,
misalkan kejang demam kompleks.pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal.
Prognosis :
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada bagan tata-laksana
penghentian kejang. (lihat bagan). Profilaksis intermiten pada saat demam berupa:
Anti-piretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah
mencegah demam meningkat. Pemberian obat penurun panas asetaminofen 10-15
mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam.
Anti-kejang.
Diberikan diazepam oral 0,3 mg/kgBB/hari tiap 8 jam saat demam atau diazepam
rektal 0,5 mg/kgBB/hari tiap 8 jam bila demam diatas 38°C.
1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Febrile Seizures, Nelson textbook of
Pediatrics, 17th Edition, Philadelphia: WB Saunders company, 2004.
2. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S, Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006.
3. Akib A dr, Kejang Demam, Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan
Anak, Jakarta: RSCM 2005
4. NINDS. Febrile Seizures Fact Sheet, website
http://www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_sei
zures.htm accessed Maret 2006.
5. Goldenring MD MPH, Febrile Seizures, website
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm accessed
Maret 2006.
6. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Kejang Demam, Buku kuliah Ilmu Kesehatan
Anak, jilid 2, Jakarta, Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia, 1985, 847-55.
7. Febrile Seizure,. website
http://www.mayoclinic.com/health/febrile_seizures/DS00346/DSECTI
ON=10 accessed Maret 2006.
8. Macnair T, Febrile Convulsions, website
http://www.bbc.co.uk/health/conditions/febrileconvulsions2.shtml-38k
accessed Maret 2006.