Anda di halaman 1dari 223

18

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG


MEMPENGARUHI KEJADIAN MALARIA DI DESA AWIU
KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA

ANALYSIS ON RISK FACTORS INFLUENCING MALARIA


INCIDENT AT AWIU VILLAGE LAMBANDIA DISTRICT
KOLAKA REGENCY

MOSES

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013
19

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG


MEMPENGARUHI KEJADIAN MALARIA DI DESA AWIU
KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Kesehatan Masyarakat

Disusun dan Diajukan Oleh

MOSES

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013
20
21

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Moses

Nomor Mahasiswa : P1801211501

Program Studi : Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar 31 juli 2013

Yang menyatakan

Moses
22

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena atas tuntunan dan penyertaanNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu persyaratan dalam

menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Program Studi Kesehatan

Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.

Banyak rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam

penelitian dan penyusunan tesis ini, namun semuanya dapat dijalani

berkat bantuan dari berbagai pihak, maka tesis ini dapat selesai pada

waktunya. Terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dr. H.

Hasanuddin ishak, M.Sc.,Ph.D. selaku pembimbing I dan Dr. Mappeaty

Nyorong, MPH. selaku pembimbing II atas bimbingan, petunjuk dan saran

yang senantiasa diberikan kepada penulis.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan

terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS., Bapak Dr. Darmawangsyah,

SE., MS dan Bapak Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, selaku tim

pengiji yang telah memberikan kritik dan masukan berharga dalam

penyelesaian tesis ini.

2. Ibu kepala Puskesmas Lambandia Kecamatan Lambandia

Kabupaten Kolaka yang telah memberikan bantuan informasi dan

data awal penelitian.


23

3. Bapak Kepala Desa Awiu sekeluarga dan Sekertaris Desa Awiu

sekeluarga yang telah banyak membantu dan menerima penulis

selama melaksanakan penelitian.

4. Seluruh rekan seperjuangan mahasiswa pascasarjana Kesehatan

Lingkungan Angkatan 2011 yang senantiasa menjaga tali

persaudaraan.

5. Terima kasih buat Debby yang telah memberikan dukungan dan

dengan setia telah menemani penulis baik dalam suka maupun

duka selama penyusunan tesis ini.

Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis

mempersembahkan tesis ini kepada kedua orang tuaku (Sempa

marthen dan Daria Missing) yang saya banggakan atas segala

motivator serta sumbangsih yang tidak terbatas nilainya, buat saudara-

saudaraku terima kasih atas bantuan dalam bentuk motivasi maupun

materi dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari

kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu dengan penulis berharap

kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis

ini. Akhirnya saya berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi

kita semua.

Makassar, 29 Juli 2013

Penulis
24

ABSTRAK

MOSES. Analisis Faktor-Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian


Malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun
2010-2012 (dibimbing oleh Hasanuddin Ishak dan mappeaty Nyorong).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Faktor-Faktor Risiko
Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2010-2012
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian observasional dengan desain case control. Kelompok kasus
adalah semua responden yang pemeriksaan darah dilaboratorium
dinyatakan positif mengandung plasmodium, sedangkan kelompok kontrol
adalah orang yang dinyatakan negatif plasmodium. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Awiu dengan jumlah sampel 60 responden, yang
terdiri dari 30 kelompok kasus dan 30 kelompok kontrol. Data di analisis
dengan menggunakan Software SPSS.
Hasil analisis bivariat yang menjadi faktor risiko kejadian malaria
adalah faktor lingkungan fisik seperti keberadaan breeding site (p-value =
0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017) dan kondisi dinding rumah
rumah (p-value = 0,037 OR=3,763 Cl 95%=1,038 – 13,646) sedangkan
lingkungan biologi adalah keberadaan semak-semak (p-value =0,004
OR=6,882 Cl 95%=1,707 – 27,752) dan keberadaan larva anopheles spp
spp (p-value =0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017). Dari hasil
analisis multivariat di dapatkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap
kejadian malaria adalah keberadaan breeding site, kondisi dinding rumah
dan keberadaan semak-semak. Faktor yang paling berpengaruh terhadap
risiko kejadian malaria adalah keberadaan breeding site (p-value = 0,028
OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017).

Kata kunci: Faktor risiko, lingkungan fisik, biologi, sosial budaya,


pelayanan kesehatan, kejadian malaria, Lambandia dan
Kolaka.
25

ABSTRACT

MOSES. Analysis on Risk Factors Influencing Malaria Incident at Awiu


Village, Lambandia District, Kolaka Regency in 2010 -2012 (supervised by
Hasanuddin Ishak and Mappeaty Nyorong).
The research aimed at analyzing the risk factors influencing the
malaria incident at Awiu Village, Lambandia District, Kolaka Regency in
2010 -2012.
This was an observational research with the case control
design. The case group was all the respondents whose blood
examination in the laboratory was stated to contain a positive plasmodium,
where as the control group was the people who were stated to have a
negative plasmodium. The research was carried out at Awiu Village with
the number of samples as many as 60 respondents who consisted of 30
people of the case group. The data were analysed using the soft-ware
SPSS.
The result of the bivariate analysis which becomes the risk
factors of the malaria incident are: physical environmental factors such as
the presence of the breeding site (p-value=0.028 OR = 3.500 CI 95% =
1.112-11.017) and the house wall condition (p-value = 0.037 OR = 3.763
CI 95% = 1.038 – 13.646), whereas the biological environmental is the
presence of shrubs (p-value = 0.004 OR = 6.882 CI 95% = 1.707 –
27.752), and the presence larvaof the larva Anopheles spp (p-value=0.028
OR = 3.500 CI 95% = 1.112-11.017). from the result of the multivariate
analysis, the risk factors influencing the malaria incident are: the presence
of the breeding site, the house wall condition and presence of shrub. The
most influential risk factors of the malaria incident is the presence of the
breeding site (p-value=0.028 OR = 3.500 CI 95% = 1.112-11.017).

Key-word : Risk factors, Physical environment, biology, sosio-culture,


health service, malaria incident.
26

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

PRAKATA v

ABSTRAK vii

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR SINGKATAN xvii

DAFTAR LAMPIRAN

xix

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 12

C. Tujuan Penelitian 14

D. Manfaat Penelitian 16

II. TINJAUAN PUSTAKA 18

A. Tinjauan Umum tentang Malaria 18

B. Siklus Hidup Plasmodium 31


27

C. Epidemiologi Malaria 35

D. Bionomik Vektor Malaria 36

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian malaria 42

F. Kerangka Teori 59

G. Kerangka Konsep 60

H. Definisi Operasional, Kriteria Objektif dan skala

pengukuran 61

I. Hipotesis Penelitian 67

III. METODE PENELITIAN 69

A. Desain dan Rancangan Penelitian 69

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 70

C. Populasi dan Sampel Penelitian 70

D. Pengumpulan Data 73

E. Pengolahan Data 74

F. Analisa Data 75

G. Cara Penentuan Badan Air Positif Larva Anopheles 77

H. Instrumen Penelitian 78

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 79

A. Hasil Penelitian 79

B. Pembahasan 134

C. Keterbatasan Penelitian 164

V. PENUTUP 166
28

A. Kesimpulan 166

B. Saran 167

DAFTAR PUSTAKA 169


LAMPIRAN 176
29

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jenis-jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor di


Indonesia 24

2. Tabel sintesa, hasil penelitian tempat istirahat nyamuk


Anopheles spp 40

3. Tabel sintesa hubungan antara suhu udara dengan


kejadian malaria 48

4. Tabel sintesa hubungan antara kelembaban udara


dengan kejadian malaria 50

5. Tabel sintesa hasil penelitian tentang hubungan antara


faktor lingkungan sosial bidaya dengan kejadian
malaria 56

6. Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di desa


Awiu Tahun 2013 81

7. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di


Desa Awiu Tahun 2013 102

8. Distribusi Responden Berdasarkan jenis kelamin di Desa


Awiu Tahun 2013 103

9. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa


Awiu Tahun 2013 103

10. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan


Breeding site di Sekitar Rumah di Desa Awiu 106
Tahun 2013.

11. Distribusi Respoden Berdasarkan Jarak Rumah Dengan


Breeding Site di Desa Awiu Tahun 2013. 107

12. Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Dinding


Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 107

13. Distribusi Responden Berdasarkan keberadaan Langit-


30

langit Rumah di Desa Awiu Tahun 2013 108


14.
Distribusi Responden Berdasarkan Suhu di Dalam 109
Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
15
Distribusi Responden Berdasarkan Suhu di Luar Rumah 110
di Desa Awiu Tahun 2013
16.
Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban di 111
Dalam Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
17.
Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban di Luar 111
Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
18.
Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Hewan 112
Ternak di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun
2013
19.
Distribusi Responden Berdasarkan Semak Belukar di 113
Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
20.
Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva 114
Anopheles spp di Desa Awiu Tahun 2013
21.
Distribusi Responden Berdasarkan penyemprotan di 115
Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
22.
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Keluar
Rumah Pada Malam Hari di Desa Awiu Tahun 116
2013
23.
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan
Menggunakan Obat Anti Nyamuk di Desa Awiu 116
Tahun 2013
24.
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan
Menggunakan Kelambu di Desa Awiu Tahun 117
2013
25.
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan
Menggantung Pakaian di Desa Awiu Tahun 118
2013

26. Analisis Faktor Risiko Keberadaan Breeding Site dengan 119


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
31

27. Analisis Faktor Risiko Kondisi dinding rumah dengan 120


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013

28. Analisis Faktor Risiko keberadaan langit-langit rumah


dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 122
2013
29.
Analisis Faktor Risiko Suhu Udara dalam rumah dengan 122
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
30.
Analisis Faktor Risiko Keberadaan Ternak Besar dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013 124
31.
Analisis Faktor Risiko Keberadaan Semak Belukar
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 125
2013
32.
Analisis Faktor Risiko keberadaan larva anopheles spp
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 126
33. 2013

Analisis Faktor Risiko pelaksanaan penyemprotan 127


34. dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun
2013

35. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Keluar Rumah Pada 128


Malam Hari Tanpa Menggunakan Pelindung
dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun
36. 2013

Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Obat


Anti Nyamuk dengan Kejadian Malaria di Desa 129
37. Awiu Tahun 2013

Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan


38. Kelambu dengan Kejadian Malaria di Desa 130
Awiu Tahun 2013

39. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian 131


dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun
2013
40.
Rekapitulasi Hubungan Variabel Faktor Risiko dengan 132
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
41.
32

42. Hasil Analisis Bivariat yang di Jadikan Model Analisis


Multivariat 134

43. Hasil Analisis Regresi Logistik antara variabel Potensial


dengan Kejadian malaria di Desa Awiu Tahun
2013. 134
33

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Telur Anopheles sp pembesaran 260 x 194 dan telur


Anopheles spp 30 jam setelah pengambilan 19

2. Larva Anopheles sp pembesaran 10 x 20 dan larva


Anopheles spp dengan ciri istirahat di permukaan
air 20

3. Pupa Anopheles sp pembesaran 10 x 20 saat berada di


permukaan air 22

4. Nyamuk Anopheles dirus pada pembesaran 678 x 456 23

5. Siklus hidup parasit penyebab malaria, Plasmodium sp 33

6. Kerangka teori penelitian 58

7. Kerangka konsep penelitian 59

8. Rancangan Penelitian case control 68

9. Peta Lokasi Penelitian di Desa Awiu Kecamatan


Lambandia 80

10. Diagram Persentase Jumlah Penduduk berdasarkan


Administrasi Dusun di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Kabupaten Kolaka Tahun 2013 83

11. Grafik Annual Malaria Incidence (AMI) berdasarkan Desa


di Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012
(Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013). 88

12. Grafik Annual Parasite Incidence (API) berdasarkan


Desa di Kecamatan Lambandia Tahun 2010 –
2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun
2013). 89

13. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia


Tahun 2010 (Data sekunder yang telah diolah,
Tahun 2013). 90
14. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia
34

Tahun 2011 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun


2013). 91
Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia
15. Tahun 2012 (Data sekunder yang telah diolah,
92
Tahun 2013).

16. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus


dan kelompok kontrol di dusun I dan dusun IV di
Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer,
Tahun 2013). 95

17. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus


dan kelompok kontrol di dusun III dan dusun IV di
Desa Awiu Kecamatan Lambandia (Data primer,
Tahun 2013). 96

18. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus


dan kelompok kontrol di dusun II di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 97
2013).

19. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok


kontrol di dusun I di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia (Data primer, Tahun 2013). 98

20. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok


kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia (Data primer, Tahun 2013). 99

21. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok


kontrol di dusun III di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia (Data primer, Tahun 2013). 100

22. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok


kontrol di dusun IV di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia (Data primer, Tahun 2013). 101

23. Diagram Persentase Responden berdasarkan Tingkat


Pendidikan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Tahun 2013 104

24. Diagram Persentase Responden berdasarkan Jenis


Pekerjaan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Tahun 2013 105
35

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan Keterangan


AMI Annual Malaria Incidence

An. Anopheles

API Annual Parasite Incidence

Breeding Site Habitat Perkembangbiakan Nyamuk

et al et alii, dan kawan-kawan

Dip Dipper, cidukan

GIS Geografis Information System

GPS Global Positioning System

HIA High Insidencs Area, Wilayah Insiden Tinggi

LL Lower Limit

LIA Low Insidence Area, Wilayah Insiden

Rendah

MIA Moderat Insidence Area,Wilayah Insiden

Sedang

m dpl Meter Diatas Permukaan Air Laut

OR Odds Rasio

P Plasmodium

pH Power Hydrogen

SIG Sistem Informasi Geografis

spp Sub spesies


36

UL Upper Limit
0
C Derajat Celcius, satuan derajat panas

‰ Per Seribu Penduduk


37

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Form Kuesioner Penelitian 179

2. Form Lembar Observasi Penelitian 184

3. Dokumentasi Penelitian 188

4. Master Tabel Penelitian 198

5. Hasil Analisis SPSS 210

6. Surat Izin Penelitian dari Direktur PPs UNHAS Makassar 220

7. Surat Izin Penelitian dari Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten 221
Kolaka

8. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian 222


38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam

kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia. The World Malaria

Report (2010) melaporkan bahwa setengah dari penduduk dunia berisiko

terkena malaria. Jumlah kasus positif 81 juta, dengan kematian 781 ribu

orang. Kasus terbanyak terdapat di Afrika dan beberapa Negara Asia,

Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa bagian Negara Eropa.

Transmisi malaria di Indonesia juga masih terjadi, Data World

Health Organization (WHO) menyebutkan pada tahun 2009 terdapat

1.100.000 kasus klinis, dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi

1.800.000 kasus. Menurut laporan riset kesehatan dasar hingga tahun

2011, terdapat 374 Kabupaten endemis malaria, dengan jumlah kasus

malaria 256.592 orang dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang

diperiksa sediaan darahnya, dengan Annual Parasite Insidence (API)

1,75 per seribu penduduk. Artinya, setiap 1000 penduduk di daerah

endemis terdapat 2 orang terkena malaria. Dampaknya sangat nyata

terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia yang mengakibatkan


39

berbagai masalah sosial, ekonomi bahkan berpengaruh terhadap

ketahanan nasional. Oleh karena itu malaria adalah satu di antara

penyakit yang menjadi target pemerintah untuk dieleminasi secara

bertahap dan ditargetkan Indonesia bebas malaria pada 2030 (Hadi,

2012).

Indikator yang di gunakan untuk mengukur angka kejadian

malaria disuatu wilayah adalah Annual Parasit Incidence (API) dengan

kriteria sebagai berikut : dikatakan edemis tinggi (high) jika API = > 5‰,

endemis sedang (moderat) API = 1 sampai < 5‰, endemis rendah (low)

API = 0 sampai 1‰ dan bebas malaria API = 0 (Kemenkes RI, 2011).

Kabupaten Kolaka adalah salah satu Kabupaten di Provinsi

Sulawesi Tenggara yang memiliki 4 kecamatan yang endemis malaria

yakni Kecamatan Lambandia, Kecamatan Toari, Kecamatan Ladongi

Welala dan Kecamatan Tosiba. Data tiga tahun terakhir menunjukkan

kejadian malaria di Kabupaten Kolaka berfluktuasi dari tahun 2010 sampai

tahun 2012. Pada tahun 2010, jumlah penderita malaria klinis atau Annual

Malaria Incidence (AMI) sebesar 336 orang (1,090/00), yang positif malaria

atau Annual Parasite Incidence (API) sebesar 42 (0,130/00). Pada tahun

2011, AMI sebesar 243 orang (8,580/00) dengan API sebesar 84 orang
40

(2,980/00) dan tahun 2012, AMI sebesar 1030 orang (3,360/00), API sebesar

37 (0,120/00) (Dinkes Kabupaten Kolaka, 2012).

Kecamatan Lambandia merupakan salah satu kecamatan di

kabupaten Kolaka yang mempunyai wilayah endemis malaria tiga tahun

terakhir yaitu pada Tahun 2010 API sebanyak 37 (35,84 0/00), Tahun 2011

sebanyak 46 (43,750/00), Tahun 2012 sebanyak 23 (28,250/00). Sedangkan

data AMI tiga Tahun terakhir yaitu Tahun 2010 sebanyak 113 (120.24 0/00),

Tahun 2011 sebanyak 68 (66,280/00) dan Tahun 2012 sebanyak 95

(94,830/00).

Desa Awiu merupakan desa tertinggi angka penderita malaria.

Berdasarkan laporan bulanan Puskesmas Lambandia, di desa Awiu pada

tahun 2010 Annual Malari Incidence (AMI) tiga tahun terakhir adalah

tahun 2010 sebanyak 16 (28,12‰), tahun 2011 sebanyak 17 (29,56‰)

dan tahun 2012 sebanyak 24 (41,17‰) dan data API tiga tahun terakhir

adalah tahun 2010 sebanyak 10 (17,57‰), tahun 2011 sebanyak 10

(17,39‰), tahun 2012 sebanyak 10 (17,15‰) (Puskesmas Lambandia,

2012).

Perubahan lingkungan merupakan faktor penting terjadinya

malaria. Ahmadi et al (2009) telah membuktikan bahwa lingkungan dan


41

perilaku dapat mempengaruhi kejadian malaria. Perubahan signifikan dari

salah satu atau beberapa faktor lingkungan yaitu faktor-faktor

meteorologis, perkembangan alur irigasi, perubahan hutan, dan kegiatan

penambangan pasir dapat mempengaruhi habitat larva dan dinamika

transmisi malaria. Selain itu faktor pelayanan kesehatan, pola

perpindahan penduduk juga berhubungan erat dengan kejadian malaria.

Oleh karena itu keberhasilan pengendalian malaria tidak dapat tercapai

tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut diatas.

Secara epidemiologi terjadinya penyakit malaria disebabkan

oleh tiga faktor utama yang saling berhubungan yakni host

(manusia/nyamuk), agent (parasit plasmodium) dan environment

(lingkungan). Faktor individual yang berperan dalam penularan malaria

adalah usia, jenis kelamin, genetik, kehamilan, status gizi, aktivitas keluar

rumah pada malam hari (perilaku individu) dan faktor kontekstual adalah

lingkungan perumahan, keadaan musim, sosial ekonomi, dan lain-lain

(Arsin, 2012).

Penelitian Ernawati et al (2011), menunjukkan bahwa faktor

yang mempengaruhi kejadian malaria di Kecamatan Punduh Pedada


42

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor individu (pengetahuan, persepsi,

penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, penggunaan kawat

kasa, penutup tubuh, aktivitas ke luar rumah malam, pekerjaan) dan faktor

lingkungan perumahan (kondisi perumahan, lingkungan perindukan

nyamuk, pemeliharaan ternak dan jarak rumah dengan perindukan

nyamuk).

Penelitian serupa dilakukan oleh Erdinal et al (2006)

melaporkan bahwa dari hasil analisis multivariat didapatkan faktor yang

paling berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah keberadaan

kandang ternak, tempat perkembangbiakan nyamuk, pemakaian obat anti

nyamuk, pemakaian kelambu dan penggunaan kawat kasa nyamuk.

Konradsen et al. (2004) menunjukkan bahwa konstruksi rumah yang

sangat buruk memiliki risiko sebesar 30% atau lebih sebagai tempat

tinggal Anopheles culcifacies dan An. subpictus. Suryana (2003)

melakukan studi case control di Purworejo menjelaskan bahwa dinding

rumah yang berupa bilik memiliki risiko 5,62 kali untuk terinfeksi malaria

dibandingkan dengan penghuni yang rumahnya dinding bata atau kayu.

Adanya genangan air di sekitar rumah sebagai salah satu

sumber perkembangbiakan nyamuk vektor malaria. Penelitian Babba


43

(2007) menemukan bahwa ada hubungan antara jarak breeding site yang

< 50 m dengan kejadian malaria (p=0,047). Dengan demikian orang yang

memiliki breeding site dari rumah yang jaraknya < 50 m berisiko untuk

terkena malaria 1,77 kali dibandingkan dengan jarak breeding site dari

rumah > 50 m (OR : 1,77 ; 95% CI : 1,01 – 3,10). Penelitian yang serupa

dilakukan oleh Erdinal et al (2006) mendapatkan bahwa hubungan antara

tempat perkembangbiakan nyamuk dengan kejadian malaria berdasarkan

tabulasi silang (uji chi square) diperoleh nilai p = 0,006, yang berarti

terdapat hubungan bermakna antara tempat perkembangbiakan nyamuk

dengan kejadian malaria. Dalam uji tersebut diperoleh Odds Ratio (OR)

2,8 dengan confidence interval (CI) 95 % 1,381 – 5,512, hal ini berarti

responden yang tinggal dekat tempat perkembangbiakan nyamuk

mempunyai risiko 2,8 kali untuk terserang malaria dibandingkan dengan

responden yang tinggal jauh dari tempat perkembangbiakan nyamuk.

Suatu wilayah diinterpretasikan sebagai daerah yang berpotensi

sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Anopheles spp sebagai

vektor penular malaria sangat tergantung pada jenis atau tipe perairan

dan letak geografis daerah tersebut. Nyamuk yang ada di daerah pantai

kemungkinannya berbeda dengan di daerah pedalaman, demikian pula


44

nyamuk yang ada di sekitar daerah persawahan kemungkinannya

berbeda dengan di daerah non persawahan (Depkes RI, 2001).

Nawangsasi (2012) dalam penelitiannya tentang kajian deskriptif kejadian

malaria di wilayah kerja puskesmas Rowokele Kabupaten Kebumen

melaporkan bahwa penderita malaria paling banyak berada di Desa

Wonoharjo yang merupakan daerah dataran tinggi

(pegunungan/perbukitan) dibandingkan daerah dataran rendah, dengan

kecenderungan kasus malaria terbanyak pada daerah perkebunan dan

sungai.

Perilaku nyamuk Anopheles spp sebagai host defenitive,

sangat menentukan proses penularan malaria, seperti tempat

hinggap/istirahat yang eksofilik (senang hinggap di luar rumah) dan

endofilik (suka hinggap di dalam rumah), tempat menggigit yakni

eksofagik (menggigit diluar rumah) dan endofagik (lebih suka menggigit

didalam rumah), obyek yang digigit yakni antrofilik (manusia) dan zoofilik

(hewan) (Depkes, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Sukowati dan

Shinta (2009), menemukan bahwa An. sundaicus di desa Jati Malang aktif

menggigit sepanjang malam didalam dan diluar rumah, tetapi kepadatan

tiap jamnya lebih banyak tertangkap diluar rumah (eksofagik) aktivitas


45

puncak terjadi antara pukul 23.00-01.00 dan cenderung lebih banyak

menggigit ternak (di kandang) daripada menggigit manusia

(zooantropofilik) sedangkan di desa Gedangan ditemukan An. subpictus

lebih aktif menggigit di luar rumah (eksofagik) pada manusia (antrofilik)

daripada di kandang, terjadi antara pukul 19.00-20.00 dengan kepadatan

sebesar 1,4 nyamuk/orang/jam, kemudian pada pukul 21.00-22.00 dan

pukul 23.00-24.00 sebesar 2,8 nyamuk/orang/jam.

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

perkembangbiakan nyamuk Anopheles antara lain lingkungan fisik seperti

suhu udara, kelembaban, hujan, angin, sinar matahari, arus air,

lingkungan biologi (flora dan fauna) dan lingkungan sosial budaya

(pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kebiasaan diluar rumah pada malam

hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggantung

pakaian). Penelitian Yawan (2006) tentang analisis faktor risiko kejadian

malaria di wilayah kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak menemukan

bahwa ada hubungan antara keberadaan genangan air, langit–langit

rumah, penggunaan kelambu, kebiasaan keluar rumah pada malam hari,

kebiasaan menggantung pakaian dan perilaku tidak patuh minum obat

terhadap kejadian malaria. Hasil penelitian ini berbeda dengan Anjasmoro


46

(2013) yang melaporkan terdapat hubungan antara kondisi dinding rumah

dengan kejadian malaria tetapi tidak ada hubungan antara keberadaan

kasa ventilasi,keberadaan genangan air, penggunaan obat nyamuk,

penggunaan kelambu dan kebiasaan keluar pada malam hari dengan

kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Rembang Kabupaten

Purbalingga.

Kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan

lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan penyakit

malaria. Kelembaban yang optimum yang diperlukan untuk

perkembangbiakan nyamuk di atas 60%. (Harijanto, 2000). Kustiyo dan

Surlan (2008) menemukan bahwa suhu optimal untuk perkembangbiakan

nyamuk Anopheles adalah 250C - 300C, dan kelembaban optimal untuk

perkembangbiakan nyamuk adalah 65-70%; Hardiman (2009)

menemukan nyamuk Anopheles hidup pada suhu 26,30C-27,90C dan

kelembaban berkisar 76-83,6%; Amirullah (2012) dalam penelitiannya di

Kabupaten Selayar menemukan rata-rata nyamuk Anopheles

berkembangbiak pada suhu 300C-320C dan kelembaban udara 72,8-

84,3%.
47

Keberadaan semak-semak, tanaman liar dan tanaman

perkebunan di sekitar rumah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk

perkembangbiakan nyamuk. Semakin banyak semak-semak dan tanaman

perkebunan semakin banyak nyamuk, sehingga frekuensi kontak antara

nyamuk dengan manusia semakin tinggi (Fibrianto, 2009). Pada penelitian

entamologik oleh Ernst et al (2009) menunjukkan bahwa vektor malaria

potensial adalah An. sundaicus banyak di temukan bersarang di semak-

semak dan perkebunan kelapa. Betht et al (2007) menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara semak-semak dan tanaman perkebunan

dengan kejadian penyakit malaria.

Desa Awiu memiliki karakteristik wilayah dataran tinggi

(pegunungan) yang terdiri atas perkebunan dan hutan. Beberapa faktor

yang diduga merupakan faktor risiko adalah faktor pendidikan,

pengetahuan dan pekerjaan, faktor lingkungan seperti kondisi rumah di

desa Awiu yang tidak permanen, adanya tempat perindukkan nyamuk

berupa breeding site, semak-semak, perkebunan, serta adanya

persawahan yang terletak di kaki Bukit. Dengan gambaran geografis

diatas desa Awiu merupakan daerah yang berpotensi sebagai habitat


48

perkembangbiakan (breeding site) dan tempat beristirahat (resting site)

bagi nyamuk vektor malaria.

Hasil penelitian di desa Awiu Kecamatan Lambandia

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian

malaria adalah keberadaan breeding site (p-value = 0,028 OR=3,500 Cl

95%=1,112 – 11,017), kondisi dinding rumah (p-value = 0,037 OR=3,763

Cl 95%=1,038 – 13,646) dan keberadaan larva anopheles spp (p-value

=0,028 OR=3,500 Cl 95%=1,112 – 11,017) dan keberadaan semak-

semak disekitar rumah (p-value =0,004 OR=6,882 Cl 95%=1,707 –

27,752). sedangkan yang tidak berpengaruh adalah pemasangan kawat

kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, suhu udara, kelembaban udara,

keberadaan kandang ternak, penyemprotan, kebiasaan keluar rumah

pada malam hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan

menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian.

Selama ini upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah

Kabupaten Kolaka lebih banyak berorientasi pada pencegahan penyakit

seperti pengendalian vektor berupa distribusi kelambu berinsektisida,

penyemprotan rumah/Indoor Residural Spraying (IRS), kegiatan

penemuan kasus dan pengobatan malaria baik di Rumah Sakit (RS),


49

Puskesmas, maupun kegiatan Mass Blood Survey (MBS) dan penyuluhan

(Dinkes Kabupaten Kolaka, 2012). Kita perlu menyadari bahwa upaya

pemberantasan penyakit malaria memerlukan penanganan terpadu dan

menyeluruh. Keberhasilan pengendalian malaria tidak dapat tercapai

tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut diatas. Berdasarkan

permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang faktor-

faktor yang yang mempengaruhi kejadian malaria di Desa Awiu

Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.

B. Rumusan Masalah

Wilayah kerja Puskesmas Lambandia di Kabupaten Kolaka

merupakan wilayah endemis malaria. Upaya pemberantasan dan

pengendalian vektor dan pengobatan penderita telah dilakukan namun

kenyataannya kasus malaria masih tetap ada di daerah ini. Salah satu

desa dimana lokasi penelitian ini dilaksanakan yaitu Desa Awiu

merupakan Desa endemis malaria dengan total penemuan penderita

berdasarkan hasil penghitungan angka parasit malaria (API) perseribu

penduduk tiga tahun terakhir adalah tahun 2010 sebanyak 10 (17,57‰),

tahun 2011 sebanyak 10 (17,39‰), tahun 2012 sebanyak 10 (17,15‰)


50

dan data Annual Malari Incidence (AMI) tiga tahun terakhir adalah tahun

2010 sebanyak 16 (28,12‰), tahun 2011 sebanyak 17 (29,56‰) dan

tahun 2012 sebanyak 24 (41,17‰). (Puskesmas Lambandia, 2012).

Secara geografis desa Awiu merupakan daerah dataran tinggi

yang dikelilingi perkebunan, persawahan dan hutan, sehingga

memungkinkan tingginya transmisi penularan malaria. Dengan gambaran

geografis desa Awiu berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan

(breeding site) dan tempat beristirahat (resting place) bagi nyamuk vektor

malaria. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di

suatu wilayah menurut Depkes (2007) dan Becker (2010), dapat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, faktor lingkungan biologis dan

sosial budaya. Sehubungan dengan kenyataan tersebut maka kajian

dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah faktor lingkungan fisik (keberadaan breeding site, jarak rumah

dengan breeding site, dinding rumah, pencahayaan, keberadaan kawat

kasa pada ventilasi, keberadaan langit-langit, suhu udara dan

kelembaban udarah) berpengaruh terhadap kejadian malaria di Desa

Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka?


51

2. Apakah faktor lingkungan biologi (keberadaan kandang ternak,

keberadaan larva anopheles spp dan keberadaan semak-semak)

berpengaruh terhadap kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan

Lambandia Kabupaten Kolaka?

3. Apakah faktor pelayanan kesehatan (penyemprotan) berpengaruh

terhadap kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia

Kabupaten Kolaka?

4. Apakah faktor sosial budaya (kebiasaan keluar rumah pada malam

hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan

menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian)

berpemngaruh terhadap kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan

Lambandia Kabupaten Kolaka?

5. Faktor apakah yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian

malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.


52

2. Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik

(keberadaan breeding site, dinding rumah, keberadaan kawat

kasa pada ventilasi, keberadaan langit-langit, suhu udara dan

kelembaban udara) terhadap kejadian malaria di Desa Awiu

Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.

2. Untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan biologi

(keberadaan kandang ternak, keberadaan larva anopheles

spp dan keberadaan semak-semak) terhadap kejadian

malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten

Kolaka.

3. Untuk menganalisis pengaruh faktor pelayanan kesehatan

(penyemprotan) terhadap kejadian malaria di Desa Awiu

Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.

4. Untuk menganalisis pengaruh faktor sosial budaya

(kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan

menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggunakan

kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian) terhadap


53

kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia

Kabupaten Kolaka.

5. untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap

kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia

Kabupaten Kolaka.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Pengembangan Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang kejadian malaria dan

upaya-upaya pencegahan serta penanggulangannya.

2. Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang beberapa faktor penting yang

berpengaruh terhadap kejadian malaria di desa Awiu Kecamatan

Lambandia Kabupaten Kolaka.

3. Manfaat Bagi Institusi

 Memberikan gambaran informasi yang ada di daerah endemis

tentang keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat,


54

sehingga dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan akan bisa

lebih baik lagi.

 Memberikan informasi beberapa faktor penting yang

berpengaruh terhadap kejadian malaria, sehingga dapat

menyusun rencana dan strategi yang efektif dalam penanganan

malaria.

 Memberikan informasi tambahan bagi pemerintah Kabupaten

Kolaka dalam pelaksanaan program pengendalian malaria yang

akan dilakukan.
55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Malaria

1. Pengertian Malaria

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah

manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk

Anopheles betina (Depkes, 2003).

Secara umum di Indonesia terdapat 4 spesies parasit malaria

yang menginfeksi manusia yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan

P. ovale. Dimana P. falciparum menyebabkan malaria tertiana maligna

(malaria tropika), P. vivax menyebabkan tertiana benigna, disebut juga

malaria vivax atau ”tertiana ague”, P. malariae menyebabkan malaria

kuartana spesies ini paling jarang dijumpai, P. ovale menyebabkan

malaria tertiana benigna atau malaria ovale. Spesies yang paling banyak

di temukan ialah P. falciparum dan P. vivax (Depkes, 2008)

2. Vektor Malaria
56

Nyamuk termasuk dalam Phylum Arthropoda; Ordo Diptera; Klas

Hexapoda; Famili Culicidae; Sub Famili Anopheline; Genus Anopheles

(Wald,1925; Damar, 2008). Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk

Anopheles betina yang mengandung Plasmodium. Jumlah nyamuk di

dunia ditemukan tidak kurang dari 3.500 spesies nyamuk. Sedangkan

untuk Anopheles telah ditemukan 400 spesies, 80 spesies diantaranya

terbukti sebagai vektor malaria, dan 22 diantaranya ditemukan di

Indonesia (WHO, 1989 dalam Babba, 2007).

Semua vektor tersebut hidup sesuai dengan kondisi ekologi

setempat antara lain ada nyamuk yang hidup di air payau pada tingkat

salinitas tertentu (An. sundaicus, An.subpictus), ada yang hidup di sawah

(An.aconitus), air bersih dipegunungan (An. maculatus), genangan air

yang terkena sinar matahari (An. punctulatus, An. Farauti) (Harijanto,

2000).

Semua nyamuk, khususnya Anopheles memiliki empat tahap

dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, kepompong dan nyamuk dewasa.

Telur, larva dan kepompong berada dalam air selama 5-14 hari. Nyamuk

Anopheles dewasa adalah vektor penyebab malaria. Nyamuk betina dapat


57

bertahan hidup selama sebulan. Siklus nyamuk Anopheles sebagai

berikut:

1. Telur

Nyamuk betina meletakkan telurnya sebanyak 50-200 butir sekali

bertelur. Telur-telur itu diletakkan di dalam air dan mengapung di tepi air.

Telur tersebut tidak dapat bertahan di tempat yang kering dan dalam 2-3

hari akan menetas menjadi larva (CDC, 2004)

2. Larva

Larva nyamuk memiliki kepala dan mulut yang digunakan untuk

mencari makan, sebuah torak dan sebuah perut. Mereka belum memiliki

kaki. Dalam perbedaan nyamuk lainnya, larva Anopheles tidak mempunyai

saluran pernafasan dan untuk posisi badan mereka sendiri sejajar

dipermukaan air. Larva bernafas dengan lubang angin pada perut dan

oleh karena itu harus berada di permukaan (CDC, 2004).


58

Makanan larva nyamuk adalah berbagai mikroplankton yang

berada pada habitatnya berupa alga, rotifera, protozoa, bakteri dan spora

jamur (Clements 1963) serta detritus hasil penguraian sampah organik

(Bates 1970). Keberadaan ganggang dan tumbuhan air yang membusuk

membantu perkembangan larva nyamuk (Rao 1981). Mereka hanya

menyelam di bawah permukaan ketika terganggu. Larva berenang tiap

tersentak pada seluruh badan atau bergerak terus dengan mulut. Larva

berkembang melalui 4 tahap atau stadium, setelah larva mengalami

metamorfisis menjadi kepompong. Disetiap akhir stadium larva berganti

kulit, larva mengeluarkan exokeleton atau kulit ke pertumbuhan lebih

lanjut.

2 (a) 2 (b)

Habitat Larva ditemukan di daerah yang luas tetapi kebanyakan

spesies lebih suka di air bersih. Larva pada nyamuk Anopheles ditemukan

di air bersih atau air payau yang memiliki kadar garam, rawa bakau, di
59

sawah, selokan yang dirtumbuhi rumput, pinggir sungai dan kali, dan

genangan air hujan. Banyak spesies lebih suka hidup di habitat dengan

tumbuhan. Habitat lainnya lebih suka sendiri. Beberapa jenis lebih suka di

alam terbuka, genangan air yang terkena sinar matahari.

3. Pupa

Pupa terdapat dalam air dan tidak memerulukan makanan tetapi

memerlukan udara. Pada pupa belum ada perbedaan antara jantan dan

betina. Pupa menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk, dan pada

umumnya nyamuk jantan lebih dulu menetas daripada nyamuk betina.

Lamanya dari telur berubah menjadi nyamuk dewasa bervariasi

tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh panasnya suhu. Nyamuk

bisa berkembang dari telur ke nyamuk dewasa paling sedikit

membutuhkan waktu 10-14 hari.

, 2007
60

4. Nyamuk Dewasa

Semua nyamuk, khususnya Anopheles dewasa memiliki tubuh

yang kecil dengan 3 bagian : kepala, torak dan abdomen (perut). Kepala

nyamuk berfungsi untuk memperoleh informasi dan untuk makan. Pada

kepala terdapat mata dan sepasang antena. Antena nyamuk sangat

penting untuk mendeteksi bau host dari tempat perindukan dimana

nyamuk betina meletakkan telurnya. Kepalanya juga dapat diperpanjang,

maju ke depan hidung yang berguna untuk makan dan 2 pancaindra.

Thorak berfungsi sebagai penggerak. Tiga pasang kaki dan sebuah kaki

menyatu dengan sayap.

Perut berfungsi untuk pencernaan makanan dan mengembangkan

telur. Bagian badannya beperan mengembang agak besar saat nyamuk

betina menghisap darah. Darah tersebut lalu dicerna tiap waktu untuk

membantu memberikan sumber protein pada produksi telurnya.

Nyamuk Anopheles dapat dibedakan dari nyamuk lainnya, adanya

sisik hitam dan putih pada sayapnya. Nyamuk Anopheles dapat juga

dibedakan dari posisi beristirahatnya yang khas : jantan dan betina lebih

suka beristirahat dengan posisi perut berada diudara daripada sejajar

dengan permukaan.
61

Nyamuk bisa menjadi vektor bila memenuhi beberapa syarat

tertentu, antara lain; umur nyamuk, kepadatan, ada kontak dengan

manusia, rentan (tahan) terhadap parasit dan ada sumber penularan

(Depkes, 2004).

Tabel 1. Jenis-jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor di Indonesia

No Wilayah Penyebaran Jenis Nyamuk


An. balabancensis, An.sundaicus,
1 D. I. Aceh
An.Nigenimus, An. Sinensis
An.Nigenimus, An. sinensis, An. fetiier, An.
2 Sumatera Utara
rnaculatus, An.sundaicus
3 Sumatera Barat An. maculates, An.sundaicus
4 Riau An. letifer, An. maculatus, An.sundaicus
5 Jambi An. letifer, An. maculatus, An.sundaicus
6 Sumatera Selatan An. tetifer, An. maculatus, An.sundaicus
7 Bengkulu An. maculatus, An.sundaicus
8 Lampung An. aconitus, An. maculatus, An.sundaicus
9 DKI Jakarta An.sundaicus
10 Jawa Barat An. aconitus, An. maculatus, An.sundaicus
11 D.I. Yogyakarta An.balabancensis, An. Maculatus,
An.sundaicus
An. aconilus, An. maculates, An.sundaicus,
12 Jawa Timur
An. Balabancensis
An. aconilus, An. maculatus, An.sundaicus,
13 Bali
An.sundaicus
14 Kalimantan Barat An. letifer, An. balabancensis, An.maculatus
15 Kalimantan Tengah An. letifer, An. balabancensis, An. maculatus
An. letifer, An. balabancensis, An. maculatus,
16 Kalimantan Selatan
An.sundaicus
An. letifer, An. balabancensis, An. maculatus,
17 Kalimantan Timur
An.sundaicus
18 Sulawesi Utara An.barbirosfis, An.subpictus, An.sundaicus
19 Sulawesi Tengah An.barbirosfis, An.subpictus
20 Sulawesi Selatan An.barbirostris, An.subpictus, An.sundaicus
An.aconitus, An.sundaicus, An.
21 Sulawesi Tenggara balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus,
An.subpictus
62

An.aconitus, An.sundaicus, An.


21 Sulawesi Tenggara balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus,

NusaTenggara An.subpictus
An.aconitus, An.sundaicus, An.
22 balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus,
Barat
An.subpictus
An.aconitus, An.sundaicus, An.
23
NusaTenggaraTimur balabancensis, An.barbirostris, An. maculatus,
An.subpictus
24 Maluku An.subpictus, An.farauti, An.punculatus
25 Irian Jaya An.farauti, An.kodensis, An.punculatus
Sumber: Depkes (1987), Hadi (1999) dan Harijanto (2000)

3. Gejala Umum Malaria

Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan

interval tertentu (disebut parokisme), diselingi oleh suatu periode yang

penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten).

Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non imun.

Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh

sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual, di ulu hati, atau

muntah (semua gejala awal ini disebut gejala prodormal) (Sutrisna, 2004).

Masa tunas malaria sangat tergantung pada spesies Plasmodium

yang menginfeksi. Masa tunas paling pendek dijumpai pada malaria

falciparum, dan terpanjang pada malaria kuartana (P.malariae). Pada

malaria yang alami, yang penularannya melalui gigitan nyamuk, masa

tunas adalah 12 hari (9-14) untuk malaria falciparum, 14 hari (8-17 hari)

untuk malaria vivax, 28 hari (18-40 hari) untuk malaria kuartana dan 17
63

hari (16-18 hari) untuk malaria ovale. Malaria yang disebabkan oleh

beberapa strain P.vivax tertentu mempunyai masa tunas yang lebih lama

dari strain P.vivax lainnya. Selain pengaruh spesies dan strain, masa

tunas bisa menjadi lebih lama karena pemakaian obat anti malaria untuk

pencegahan (kemoprofilaksis) (Sutrisna, 2004).

4. Pola Demam Malaria

Demam pada malaria ditandai dengan adanya parokisme, yang

berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah

merah. Puncak serangan panas terjadi berbarengan dengan lepasnya

merozit – merozit ke dalam peredaran darah (proses sporulasi). Untuk

beberapa hari pertama, pola panas tidak beraturan, baru kemudian

polanya yang klasik tampak sesuai spesiesnya. Pada malaria falciparum

pola panas yang ireguler itu mungkin berlanjut sepanjang perjalanan

penyakitnya sehingga tahapan – tahapan yang klasik tidak begitu nyata

terlihat (Sutrisna, 2004).

Suatu parokisme demam biasanya mempunyai tiga stadia yang

berurutan, terdiri dari :

a. Stadium dingin
64

Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin.

Nadi penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari – jari pucat kebiru –

biruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah

dan pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung

selama 15 menit – 1 jam (Harijanto, 2000).

b. Stadium Demam

Setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita

mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya

kering dan dirasakan sangat panas seperi terbakar, sakit kepala

bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual atau muntah–

muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa

sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41ºC. Stadium ini

berlangsung selama 2 – 4 jam (Harijanto, 2000).

c. Stadium berkeringat

Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai

membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan

cepat, kadang – kadang sampai di bawah normal. Biasanya penderita

tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa

gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam. Sesudah serangan
65

panas pertama terlewati, terjadi interval bebas panas selama antara 48-72

jam, lalu diikuti dengan serangan panas berikutnya seperti yang pertama;

dan demikian selanjutnya. Gejala–gejala malaria “klasik” seperti diuraikan

di atas tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung

pada spesies parasit, umur, dan tingkat imunitas penderita (Harijanto,

2000).

5. Mekanisme Periode Panas

Periode demam pada malaria mempunyai interval tertentu,

ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual / sizogoni

darah untuk mengahasilkan sizon yang matang, yang sangat dipengaruhi

oleh spesies Plasmodium yang menginfeksi. Demam terjadi menyusul

pecahnya sizon–sizon darah yang telah matang dengan akibat masuknya

merozoit–merozoit, toksin, pigmea dan kotoran / debris sel ke peredaran

darah. Masuknya toksin – toksin, termasuk pigmen ke darah memicu

dihasilkannya tumor necrosis faktor (TNF) oleh sel – sel makrofag yang

teraktifkan. Demam yang tinggi dan beratnya gejala klinis lainnya,

misalnya pada malaria falciparum yang berat, mempunyai hubungan

dengan tingginya kadar TNF dalam darah (Sutrisna, 2004).


66

Pada malaria oleh P.vivax dan P.ovale sizon – sizon pecah setiap

48 jam sekali sehingga demam timbul setiap hari ketiga, yang terhitung

dari serangan demam sebelumnya (malaria tertiana) pada malaria karena

P.malariae pecahnya sizon (sporulasi) terjadi setriap 72 jam sekali. Oleh

karena itu, serangan panas terjadi setiap hari keempat (malaria kuartana).

Pada P.falciparum kejadiannya mirip dengan infeksi oleh P.vivax

hanya interval demamnya tidak jelas, biasanya panas badan di atas

normal tiaphari, dengan puncak panas cenderung mengikuti pola malaria

tertiana (disebut malaria subtertiana atau malaria quotidian) (Sutrisna,

2004).

6. Kekambuhan (relaps dan rekrudesensi)

Serangan malaria yang pertama terjadi sebagai akibat infeksi

parasit malaria, disebut malaria primer (berkorelasi dengan siklus sizogoni

dalam sel darah merah). Pada infeksi oleh P.vivax/P.ovale, sesudah

serangan yang pertama berakhir atau disembuhkan, dengan adanya

siklus ekso eritrositik (EE) sekunder atau hipnozoit dalam sel hati, suatu

saat kemudian penderita bisa mendapat serangan malaria yang kedua

(disebut: malaria sekunder). Berulangnya serangan malaria yang


67

bersumber dari siklus EE sekunder pada malaria vivax/ovale disebut

relaps (Sutrisna, 2004).

Umumnya relaps terjadi beberapa bulan (biasanya>24 minggu)

sesudah malaria primer, disebut long- term relapse. Pada malaria karena

P.falciparum dan P. malariae, relaps dalam pengertian seperti diatas tidak

terjadi, karena kedua spesies ini tidak memiliki siklus EE sekunder dalam

hati. Kemungkinan berulangnya serangan malaria pada kedua jenis

malaria ini disebabkan oleh kecenderungan parasit malaria yang tersisa

dalam darah, yang kemudian membelah diri bertambah banyak sampai

bisa menimbulkan gejala malaria sekunder. Kekambuhan malaria seperti

ini disebut rekrudesensi. Pada malaria karena P.falciparum rekrudesensi

terjadi dalam beberapa hari atau minggu (biasanya <8 minggu) sesudah

serangan malaria primer, disebut short term relapse. Namun pada malaria

karena P.malariae, karena suatu mekanisme yang belum begitu jelas,

kekambuhan terjadi dalam rentang waktu jauh lebih lama. Bisa terjadi

beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun sejak serangan pertama

(Sutrisna, 2004).
68

B. Siklus Hidup Plasmodium

Sebelum terjadinya penyakit malaria Plasmodium mempunyai 2

(dua) siklus yaitu pada manusia (siklus aseksual) dikenal sebagai

schizogoni dan dalam tubuh nyamuk (siklus seksual) membentuk

sporozoit sebagai sporogoni (Putu, 2004).

a. Siklus aseksual dalam tubuh manusia

- Stadium Hati (Exo-Eryhrocytic Schizogony)

Stadium ini dimulai ketika nyamuk Anopheles betina menggigit

manusia dan memasukkan sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke

dalam darah manusia sewaktu menghisap darah. Dalam waktu yang

singkat (± ½-1 jam) semua sporozoit menghilang dari peredaran darah

masuk ke dalam sel hati dan segera menginfeksi sel hati. Selama 5-16

hari dalam sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara

aseksual, dan berubah menjadi sizon hati (sizon kriptozoik) tergantung

dari spesies parasit malaria yang menginfeksi. Sesudah sizon kriptozoik

dalam sel hati menjadi matang, bentuk ini bersama sel hati yang diinfeksi

akan pecah dan mengeluarkan 5.000-30.000 merozoit tergantung

spesiesnya yang segera masuk ke sel-sel darah merah (Harijanto, 2000).


69

Siklus di darah dimulai dengan keluarnya dari merozoit dari skizon

matang di hati ke dalam sirkulasi dan berubah menjadi trofozoit muda

(bentuk cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofozoit dewasa dan

selanjutnya membelah diri menjadi sizon. Sizon yang sudah matang

dengan merozoit-merozoit di dalamnya dalam jumlah maksimal tertentu

tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang

diinfeksi, dan merozoit-merozoit yang dilepas itu kembali menginfeksi ke

sel-sel darah merah tadi untuk mengulang siklus tadi. Keseluruhan siklus

yang terjadi berulang di dalam sel darah merah disebut siklus eritrositik

aseksual atau sizogoni darah (Putu, 2004).

b. Siklus seksual dalam tubuh nyamuk

Setelah siklus sizogoni darah berulang beberapa kali, beberapa

merozoit tidak lagi menjadi sizon, tetapi berbuah menjadi gametosit dalam

sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan dan betina. Siklus

terakhir ini disebut siklus eritritistik seksual atau gametogoni. Jika

gametosit yang matang diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung

nyamuk terjadi proses ekflagelasi gametosit jantan, yaitu dikeluarkannya 8

sel gamet jantan (mikrogamet) yang bergerak aktif mencari sel gamet

betina (Harijanto, 2000).


70

Selanjutnya pembuahan terjadi antara satu sel gamet jantan

(mikrogamet) dan satu sel gamet betina (makrogamet) menghasilkan zigot

dengan bentuknya yang memanjang lalu berubah menjadi ookinet yang

bentuknya vermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung. Di

dalam dinding lambung paling luar ookinet mengalami pembelahan inti

menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang membungkusnya disebut

ookista. Di dalam ookista dihasilkan puluhan ribu sporozoit, menyebabkan

ookista pecah dan menyebarkan sporozoit-sporozoit yang berbentuk

seperti rambut ke seluruh bagian rongga badan nyamuk (hemosel) dan

dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk

(Harijanto, 2000).

Sporozoit bersifat infektif bagi manusia jika masuk ke peredaran

darah. Keseluruhan siklus aseksual eritrosit ini disebut periodisitas

skizogoni yang lamanya berbeda-beda pada masing-masing spesies yaitu

11-14 hari untuk P.falciparum, 9-12 hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk

P.ovale dan 15-21 hari untuk P.malariae (Harijanto, 2000).

C. Epidemiologi Malaria

Malaria ditemukan di daerah-daerah yang terletak pada posisi 64º

Lintang Utara sampai 32º Lintang Selatan. Penyebaran malaria pada


71

ketinggian 400 meter di bawah permukaan laut dan 2600 meter diatas

permukaan laut. P. vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas

yaitu mulai daerah beriklim dingin, subtropik, sampai dengan daerah

tropik, kadang-kadang juga dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium

falciparum jarang ditemukan di daerah beriklim dingin tetapi paling sering

ditemukan di daerah tropis (Sucipto, 2011).

Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau

dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda. Penyakit tersebut dapat

berjangkit di daerah yang mempunyai ketinggian sampai dengan 1800

meter di atas permukaan laut. Spesies terbanyak yang dijumpai adalah

P.falciparum dan P.vivax, P.ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa

Tenggara Timur. Kondisi wilayah yang adanya genangan air dan udara

yang panas mempengaruhi tingkat endemisitas penyakit malaria di suatu

daerah (Rudono, 2003).

Penyebaran penyakit malaria pada dasarnya sangat tergantung

dengan adanya hubungan interaksi antara tiga faktor dasar epidemiologi

yaitu agent (penyebab malaria), host (manusia dan nyamuk), dan

environment (lingkungan). Parasit malaria atau Plasmodium merupakan

penyebab penyakit malaria. Untuk kelangsungan hidupnya parasit malaria


72

tersebut melalui 2 siklus yang terdiri dari siklus aseksual di dalam tubuh

manusia sebagai host intermediate dan siklus seksual dalam tubuh

nyamuk Anopheles sebagai host definitive. Untuk perkembangbiakan

nyamuk Anopheles sebagai vektor penular penyakit malaria diperlukan

kondisi lingkungan/habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidup nyamuk.

Lingkungan dapat berupa lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan

biologi, dan lingkungan sosial budaya (Depkes, 1999).

D. Bionomik Vektor Malaria

1. Tempat Perindukan

Keberadaan nyamuk malaria di suatu daerah sangat tergantung

pada lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan

pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian

tempat dan bentuk perairan yang ada. Nyamuk Anopheles aconitus

dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat perkembangbiakan

nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-tingkat dan di saluran irigasi

(Barodji, 2001).

Kepadatan populasi nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh musim

tanam padi (Sundararman, 1957). Larva nyamuk ini mulai ditemukan di


73

sawah kira-kira pada padi berumur 2-3 minggu setelah tanam dan paling

banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai

menjelang panen. Di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan

sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka

nyamuk ini ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan

yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-Agustus

(Barodji, 1987).

Anopheles balabacencis dan An. maculatus adalah dua spesies

nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan non

persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada

peralihan musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau

(Barodji, 2001). Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air

yang terkena sinar matahari langsung seperti genganan air di sepanjang

sungai, pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air-mata air dan

alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1987).

Kepadatan larva An. balabacencis bisa ditemukan baik pada

musim penghujan maupun pada musim kemarau. Larva An. balabacencis

ditemukan di genangan air yang berasal dari mata air seperti

penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam


74

bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari

gambaran di atas tempat perindukan An. balabacencis tidak spesifik

seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena larva An. Balabacencis

dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan

maupun mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis

dapat hidup secara optimal pada genangan air yang terlindung dari sinar

matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang homogen seperti

kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain (Barodji, 2001).

Anopheles maculatus yang umum ditemukan di daerah

pegunungan, ditemukan pula di daerah persawahan dan daerah pantai

yang ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu (Barodji, 2001). Puncak

kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau

kepadatan meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat

perindukan berupa genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat

atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus cenderung

menurun bila aliran sungai menjadi deras (flushing) yang tidak

memungkinkan adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat

perindukan (Sunaryo, 2001).


75

Anopheles sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat

perindukannnya adalah di air payau dengan salinitas antara 0-25 per mil,

seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus yang

banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak

ditumbuhi tanaman air dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena

sinar matahari dan berlumut. An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun

dan paling banyak ditemukan pada pertengahan sampai akhir musim

kemarau (September-Desember) (Barodji, 2001; Hiswani, 2004).

2. Tempat Istirahat

Tempat istirahat alam nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan

spesiesnya. Tempat istirahatnya An. aconitus pada pagi hari umumnya di

lubang yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar,

2002).

Menurut Barodji (2000) tempat istirahat An. aconitus pada

umumnya ditempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas

cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di

tempat-tempat dekat tanah. Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-

daerah yang lembab, seperti di pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat

air yang selalu basah dan lembab (Hiswani, 2004).


76

Tempat istirahat An. balabacencis pada pagi hari umumnya di

lubang yang lembab dan teduh, terletak ditengah kebun salak (Damar,

2002). An. balabacencis juga ditemukan di tempat yang mempunyai

kelembaban tinggi dan intensitas cahaya yang rendah serta di lubang

tanah bersemak (Harijanto, 2000). Di luar rumah tempat istirahat An.

maculatus adalah di pinggiran sungai-sungai kecil dan di tanah yang

lembab. Menurut Damar (2002) tempat istirahat An. maculatus adalah di

lubang sampah daun salak, semak-semak dan bebatuan.

Perilaku istirahat Anopheles sundaicus biasanya hinggap di

dinding-dinding rumah penduduk (Hiswani, 2004). Sedangkan menurut

Sundaraman (1957) tempat istirahat nyamuk di dalam rumah yaitu:

pakaian tergantung, kelambu, di bawah-bawah almari, langit-langit rumah

dan kantong padi.

Tabel 2. Sintesa hasil penelitian tempat istirahat nyamuk


Anopheles spp

Peneliti/Tahun Lokasi Metode Hasil Temuan


Handayani dan Kecamatan Deskriptif An. Maculatus
Darwin / 2006 Kokap Eksploratif ditemukan 65,9%
Kabupaten beristirahat di lubang
Kulonprogo tanah, 41,3% di
Propinsi semak-semak, 60% di
Daerah kandang ternak,
Istimewa sedangkan An.
Yogyakarta balabacensis
ditemukan istirahat di
77

kandang ternak dan


pangkal pohon salak

Boesri dan Kecamatan Survey Di desa Giripurno dan


Boewono / 2006 Borobudur Entomologi desa Giritengah
Kabupaten ditemukan An aconitus
Magelang, dan An. vagus
Jawa Tengah beristirahat di tebing
sungai dan rumput
dekat parit

3. Aktivitas Menghisap Darah

Pola aktivitas nyamuk Anopheles mencari darah berbeda menurut

sepesiesnya. An. aconitus sebagian besar menghisap darah sebelum jam

22.00, setelah itu kepadatan nyamuk yang menghisap darah menurun

(Barodji, 2001). Vektor An. aconitus biasanya aktif menghisap darah

antara jam 18.00-22.00 dengan puncak aktivitasnya terjadi pukul 20.00

(Hiswani, 2004; Damar, 2002). Aktifitas menghisap darah An. aconitus

sekitar pukul 19.00-21.00 di dalam dan luar rumah.

Aktifitas menghisap darah An. balabacencis cenderung sepanjang

malam, tetapi puncaknya sekitar pukul 01.00-03.00, baik di dalam rumah,

di luar rumah maupun di kandang hewan. Puncak aktivitas menghisapm

darah An. balabacencis yaitu setelah tengah malam pukul 01.00. Aktivitas

menghisap darah An. maculatus cenderung meningkat pada malam hari

sekitar pukul 22.00-24.00 (Damar, 2002). Sedangkan Barodji (2000) An.


78

maculatus sebagian besar mencari pakan darah pada tengah malam

sekitar pukul 23.00-02.00. Pada vektor An. sundaicus lebih sering

menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Biasanya Nyamuk

hinggap di dinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah, aktif

menghisap darah sepanjang malam, tetapi puncaknya antara pukul 22.00-

01.00 dini hari (Hiswani, 2004).

E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria

1. Faktor Manusia (Host)

a. Umur

Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Anak yang

bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria selebral

dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Akan tetapi anak yang

bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat

dibandingkan anak bergizi buruk (Gunawan, 2000; Depkes, 1999).

b. Jenis kelamin

Perempuan mempunyai respon yang kuat dibandingkan laki-laki

tetapi apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan

anemia yang lebih berat (Supariasa et al, 2001).


79

c. Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya

terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap malaria demikian juga yang

tinggal di daerah endemis biasanya mempunyai imunitas alami terhadap

penyakit malaria (Depkes, 1999).

d. Ras

Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai

kekebalan alamiah terhadap malaria, misalnya sickle cell anemia dan

ovalositas (Depkes, 1999).

e. Status gizi

Masyarakat yang gizinya kurang baik dan tinggal di daerah

endemis malaria lebih rentan terhadap infeksi malaria. Status gizi dihitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Depkes, 1999) :

Berat Badan (Kg)


IMT =
[Tinggi Badan (m)]2

2. Faktor Nyamuk (Host)

Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus

kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak

ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-200 butir, besar
80

telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari

menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Umur

nyamuk relatif pendek, nyamuk jantan umurnya lebih pendek (kurang 1

minggu), sedang nyamuk betina lebih panjang sekitar rata-rata 1-2 bulan

(Depkes, 1999).

Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan

cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin

sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam

setelah keluar dari kepompong. Makanan nyamuk Anopheles betina yaitu

darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Nyamuk Anopheles

yang ada di Indonesia berjumlah 80 spesies. Sampai saat ini di Indonesia

telah ditemukan sejumlah 24 spesies yang dapat menularkan malaria.

Tidak semua Anopheles tersebut berperan penting dalam penularan

malaria. Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah :

a. Perilaku nyamuk

1. Tempat hinggap atau istirahat

 Eksofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau

istirahat di luar rumah.


81

 Endofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau

istirahat di dalam rumah.

2. Tempat menggigit

 Eksofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar

rumah.

 Endofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di

dalam rumah.

3. Obyek yang digigit

 Antrofofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit

manusia.

 Zoofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan.

 Indiscriminate biters/indiscriminate feeders, yaitu

nyamuk tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes

(Depkes, 2003).

b. Frekuensi menggigit manusia

Frekuensi membutuhkan darah tergantung spesiesnya dan

dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus

gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96

jam (Depkes, 2003).


82

c. Siklus gonotrofik

Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya

telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk (Depkes,

2003).

d. Faktor lain yang penting

 Umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur

nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau

vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan

dipengaruhi oleh lingkungan. Pengetahuan umur nyamuk ini penting

untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai

parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.

 Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit (Arsin,

2012).

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan dimana manusia dan nyamuk berbeda, nyamuk dapat

berkembang biak dengan baik apabila faktor lingkungan mendukung.

Faktor lingkungan dapat dikelompokan sebagai berikut :


83

1) Lingkungan Fisik

Ditinjau dari perairan yang menjadi tempat perindukannya,

nyamuk dibedakan sebagai berikut (Achmadi, 2005):

 Temporary Pool Type yaitu tempat perindukan nyamuk

yang berupa genangan air yang besifat sementara seperti bekas

pijakan kerbau, manusia dan beberapa lainnya.

 Artificial Container Type yaitu tempat perindukan

nyamuk yang berupa genangan air yang terdapat dalam kaleng-kaleng

bekas, yang dibuang sembarangan.

 Tree Hole Type yaitu tempat perindukan nyamuk yang

berupa genangan air yang bersifat sementara terdapat pada lubang-

lubang pohon ditemukan pada daerah yang sering turun hujan.

 Rock Pool Type yaitu sama dengan treehole type,

hanya saja yang dipilih genangan air yang terdapat pada lubang –

lubang batu karang.

Beberapa faktor lngkungan dan faktor geografi serta meteorologi

di Indonesia sangat berperan dan menguntungkan dalam

perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor dan transmisi dalam penularan

malaria, sebagai berikut:


84

a) Suhu

Proses kehidupan nyamuk tergantung pada suhu lingkungannya.

Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu rata-rata optimum

untuk perkembangan nyamuk adalah 25º – 27ºC. Nyamuk dapat bertahan

hidup dalam suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun atau

bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis pada suhu

yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologinya

(Depkes, 2004).

Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang

dari 10ºC atau lebih dari 40ºC. Kecepatan perkembangan nyamuk

tergantung dari kecepatan proses metabolisme sebagian diatur oleh suhu.

Oleh karena kejadian-kejadian biologis tertentu seperti lamanya masa

pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap, pematangan

indung telur, frekwensi mencari makanan atau menggigit, dan lamanya

pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dipengaruhi oleh suhu

(Sucipto, 2011).

Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,7ºC

masa inkubasi ekstrinsik adalah 10 – 12 hari untuk P. falciparum dan 8 –


85

11 hari untuk P. vivax, 14 – 15 hari untuk P. malariae dan P. Ovale

(Sucipto, 2011).

Tabel 3. Sintesa hubungan antara suhu udara dengan kejadian malaria

Peneliti/Tahun Lokasi Metode Hasil Temuan


Friaraiyantini / Barito Selatan Cross suhu berpengaruh
2006 sectional terhadap kejadian
malaria dengan nilai
p = 0,02

Harmendo / 2008 Kepulauan Case Suhu dalam rumah


Bangka control sebesar 26 – 34OC
Belitung (mean = 30,27OC)
memungkinkan
untuk
berkembangnya
vektor penyakit
malaria

Suhu optimal untuk


perkembangbiakan
nyamuk Anopheles
adalah 25,6 –
39,5ºC

Amirullah / 2012 Kabupaten


Kepulauan Studi
Selayar Korelasi

b) Kelembaban

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk,

meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Sistem pernafasan pada


86

nyamuk menggunakan pipa udara yang disebut trachea dengan lubang-

lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle. Adanya spiracle

yang terbuka tanpa ada mekanisme pengaturnya, pada waktu

kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh

nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan pada tubuh nyamuk.

Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan (Depkes, 2004).

Indonesia adalah Negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan

(air), dengan ekosistem kepulauan dan kelembaban yang tinggi.

Ekosistem kepulauan menyebabkan nyamuk beradaptasi pada

kelembaban yang tinggi dengan pengaruhnya pada populasi nyamuk

sebagai berikut (Depkes, 2004).:

 Adaptasi pada kelembaban yang tinggi menyebabkan

nyamuk kurang kuat dan pada waktu kering menyebabkan kematian

yang banyak akibat kekeringan. Dengan demikian populasi nyamuk

tertentu subur dimana iklim mikro dapat memberikan kelembaban yang

diperlukan oleh nyamuk.

 Adanya spiracle yang terbuka lebar tanpa ada

mekanisme pengaturnya membatasi penyebaran atau jarak terbang

nyamuk. Oleh karena jarak terbangnya terbatas, pola penyebarannya


87

akan terbentuk cluster (menggerombol tidak merata), tidak bisa

memilih mangsa ( indiscriminate feeder ) dan menghisap darah

sembarang hospes dengan dasar yang terdekat yang dihisap.

 Kebutuhan kelembaban yang tinggi juga

mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab basah di

luar rumah sebagai tempat hinggap istirahat pada siang hari, oleh

karena kelembaban yang tinggi tidak terdapat didalam rumah kecuali di

daerah-daerah tertentu.

 Pada kelembaban kurang dari 60 % umur nyamuk

akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan

parasit didalam tubuh nyamuk.

Tabel 4. Sintesa hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian


malaria

Peneliti/
Lokasi Metode Hasil Temuan
Tahun
Suwito / 2010 Lampung Prospektif Kelembapan udara
Selatan berpengaruh 40,5% terhadap
kepadatan nyamuk Anopheles
dimana kelembapan rata-rata
tertinggi pada Desember
(84,30%) dan terendah pada
Agustus (76%)

Hakim dan Kabupate Survey Kelembaban udara yang


Sugianto / n Ciamis Entomologi memungkinkan
2009 perkembangan nyamuk
Anopheles di setiap
88

pengulangan pada 3 lokasi


penelitian adalah 95%

c) Hujan

Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban dan menambah

jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places). Curah hujan yang

lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan vektor oleh

karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian penyakit yang ditularkan

nyamuk biasanya tinggi beberapa waktu sebelum musim hujan atau

setelah hujan (Depkes, 2004).

Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hari hujan dan

keadaan fisik daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan banjir,

menyebabkan berpindahnya perkembangbiakan vektor akan berkurang,

tetapi keadaan ini akan segera pulih cukup bila keadaan kembali normal.

Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama akan memperbesar

kesempatan nyamuk untuk berkembang biak secara optimal (Depkes,

2004).

d) Ketinggian

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin

bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada


89

ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa

berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El – nino. Di

pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih

sering ditemukan malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinkan

transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut (Anonimus, 1989

dalam Achmadi, 2008).

e) Angin

Angin sangat mempengaruhi terbang nyamuk. Bila kecepatan

angin 11 – 14 meter per detik atau 25 – 31 mil per jam akan menghambat

penerbangan nyamuk. Secara langsung angin akan mempengaruhi

penguapan (evaporasi) air dan suhu udara (konveksi).

Penelitian Miura (1970) menunjukkan bahwa ada pengaruh

kecepatan angin terhadap aktivitas terbang nyamuk. Sebuah perangkap

nyamuk yang biasanya dapat mengumpulkan 2.436 sampai 6.832 ekor

nyamuk pada malam yang tenang (tidak ada angin), hanya dapat

menangkap 832 sampai 956 nyamuk selama malam yang berangin.

Hampir seluruh nyamuk yang masuk perangkap adalah pada kecepatan

angin kurang dari 5,4 meter per detik atau 12 mil per jam (Depkes, 2004).
90

f) Sinar Matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk

berbeda-beda. An. Sundaicus lebih suka perairan payau yang berlumut

yang terkena sinar matahari langsung, An. hyracanus spp dan An.

puntulatus spp lebih menyukai tempat terbuka sedangkan An. barbirostris

dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari (Sucipto,

2011).

g) Arus Air

Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis /

mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras

dan An. letifer menyukai air tenang (Sucipto, 2011).

2) Lingkungan Biologik

Adanya tempat perindukan nyamuk Anopheles, sangat

menentukan kepadatan nyamuk tersebut. Berdasarkan ukuran lamanya

air dan macam tempat air maka genangan air diklasifikasikan sebagai

danau, kolam ikan, muara sungai, waduk, tambak udang (tempat

pemeliharaan udang), lagun dan sawah (tempat menanam padi, palawija).

Selain itu genangan air ditepi sungai dan kubangan, irigasi, saluran
91

pembuangan air limbah (rumah tangga domestik, pabrik, industri),

comberan dan lubang bekas galian (Arsin, 2012; Depkes, 2004).

Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala

timah (Pachax spp), gambusia, nila dan mujair, akan mempengaruhi

populasi nyamuk disuatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti

sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia,

apabila kandang tersebut diletakan di luar rumah, tetapi tidak jauh

jaraknya dari rumah (Anonim, 1989 dalam Achmadi, 2008).

3) Lingkungan kimia

Faktor lingkungan kimiawi yang baru diketahui pengaruhnya

adalah kadar garam dari tempat perindukan, sebagai contoh Anopheles

sundaicus tumbuh optimal pada air payau dengan kadar garam 12 –

180/00, dan tidak dapat berkembangbiak pada kadar garam 40 0/00 ke atas,

meskipun dibeberapa tempat di Sumatera utara An sundaicus ditemukan

pula di air tawar. An latifer dapat hidup di tempat yang asam atau pH

rendah (Harijanto, 2000).

4) Lingkungan Sosial Budaya

Lingkungan sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian

malaria seperti : kebiasaan keluar rumah pada malam hari, dimana


92

vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak

dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria

akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria

seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat

kasa pada rumah dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan

manusia seperti pembuatan bendungan, pembauatan jalan,

pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering

mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan

malaria. Akibat dari derap pembangunan yang kian cepat adalah

kemungkinan timbulnya tempat perindukan buatan manusia sendiri (man

made breeding places). Pembangunan bendungan, penambangan emas

dan pembukaan tempat pemukiman baru adalah beberapa contoh

kegiatan pembangunan yang menimbulkan perubahan lingkungan yang

menguntungkan bagi nyamuk Anopheles (Anonim, 1989 dalam Achmadi,

2008).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon

seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit, penyakit dan

sistem pelayanan kesehatan (Harijanto, 2000).


93

Tabel berikut menyajikan beberapa penelitian terdahulu yang

meneliti tentang hubungan antara Faktor lingkungan sosial budaya

dengan kejadian malaria.

Tabel 5. Sintesa hasil penelitian tentang hubungan antara faktor


lingkungan sosial budaya dengan kejadian malaria

Metode/
Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Desain
Semuel Analisis Faktor Case Ada hubungan antara
Franklyn Risiko Kejadian Control penggunaan kelambu,
Yawan Malaria di Wilayah Study kebiasaan keluar rumah
(2006) Kerja Puskesmas pada malam hari,
Bosnik Kecamatan kebiasaan menggantung
Biak Timur pakaian dan perilaku tidak
Kabupaten Biak- patuh minum obat terhadap
Numfor Papua kejadian malaria
Rumbiak Analisis Case Faktor lingkungan sosial
Helmin Manajemen Control budaya seperti kebiasaan
(2006) Lingkungan Study keluar rumah pada malam
Terhadap Kejadian hari, jarang membersihkan
Malaria di halaman sekitar rumah
Kecamatan Biak akan mempengaruhi
Timur Kabupaten kejadian malaria
Biak-Numfor Papua
Supri Faktor Risiko Case Faktor risiko yang memiliki
Ahmadi Kejadian Malaria di Control hubungan bermakna dengan
(2008) Desa Lubuk Nipis Study kejadian malaria antara lain :
Kecamatan kebiasaan menggunakan
Tanjung Agung kelambu (p=0,002 dan
Kabupaten Muara OR=4,060 ), kebiasaan
Enim menggunakan obat anti
nyamuk (p=0,001 dan OR =
4,210 ), Sedangkan
faktor risiko pemasangan
kawat kasa, kebiasaan keluar
rumah pada malam hari
menunjukan hubungan yang
tidak bermakna.
Ikrayama Faktor-faktor Risiko Case Berdasarkan hasil analisis
Babba Yang Control multivariat diperoleh bahwa
(2007) mempengaruhi Study faktor risiko lingkungan sosial
94

Kejadian Malaria Di budaya seperti Kasa tidak


Wilayah Kerja terpasang pada semua
Puskesmas Hamadi ventilasi mempunyai risiko
Kota Jayapura 2,14 kali untuk terkena
malaria daripada kasa
terpasang pada semua
ventilasi (OR : 2,14 ; 95% CI :
1,02– 4,47).
Metode/
Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Desain
Kebiasaan keluar rumah
pada malam hari mempunyai
risiko untuk terkena malaria
5,54 kali dibandingakn
dengan orang yang tidak
keluar rumah pada malam
hari (OR : 5,54 ; 95% CI :
2.37 – 12,98), Penghasilan
yang rendah (< Rp
1.006.000) mempunyai risiko
untuk terkena malaria 3,24
kali daripada yang
berpenghasilan >= Rp
1.006.000

Kholis Hubungan Faktor Cross Faktor individu (pengetahuan,


Ernawati, Risiko Individu dan Sectional persepsi, penggunaan
et al lingkungan dengan kelambu, penggunaan obat
(2011) Perumahan dengan metode anti nyamuk, penggunaan
kejadian Malaria di survey kawat kassa, penutup tubuh,
daerah endemis aktivitas ke luar rumah
Punduh Pedada malam dan pekerjaan)
Kabupaten merupakan faktor risiko
Pesawaran Provinsi kejadian malaria
Lampung.
95

F. Kerangka Teori Penelitian Demografi


 Umur
 Jenis Kelamin
Lingkungan Fisik
Pelayanan Kesehatan  Status gizi
 Keberadaan Habitat
Perkembangbiakan  Penyemprotan
(Breeding Site)  Jumlah Juru Malaria
 Jarak rumah dengan Desa (JMD) Gigitan Nyamuk yang
 Penyuluhan mengandung Kejadian
Breeding Site
 Pengobatan Plasmodium Malaria
 Suhu
 Kelembaban
 Curah Hujan
 Ketinggian
 Angin Kepadatan Nyamuk Sosial Budaya Masyarakat
 Pencahayaan  Pendidikan
 Sinar Matahari Manajemen  Pekerjaan
 Arus Air Lingkungan  Penghasilan
 Pengaturan  Kebiasaan menggunakan kelambu
Lingkungan Biologi pengairan  Kebiasaan menggunakan obat anti
 Tumbuhan Kakao  Membersihkan nyamuk
 Tumbuhan Air
tanaman air  Kebiasaan keluar pada malam hari
 Penimbunan Kolam,  Kebiasaan menggunakan
 Semak-semak
Kubangan/Ground insektisida untuk proteksi lahan
 Kandang Ternak
pool pertanian
 Memasang Kawat Kasa
Lingkungan Kimia
 pH
 Salinitas (Kadar
Garam)

Gambar 6. Kerangka teori penelitian (Yawan, 2006; Arsin, 2012)


96

G. Kerangka Konsep Penelitian

Lingkungan Fisik
 Keberadaan Breeding site
larva Anopheles spp
(genangan air, Ground
pool, selokan, sungai,
rawa, sumur, kolam dan Pelayanan Kesehatan
sawah)  Penyemprotan/IRS
 Kondisi dinding rumah
 Pemasangan kawat kasa
pada ventilasi
 Langit-langit rumah
 Suhu udara Kejadian
 Kelembaban udara Malaria

Sosial Budaya
 Kebiasaan keluar pada
malam hari tanpa
menggunakan pelindung
Lingkungan Biologi  Kebiasaan menggunakan
 Keberadaan kandang obat anti nyamuk
ternak  Kebiasaan menggunakan
 Keberadaan semak- kelambu
semak  Kebiasaan menggantung
 Keberadaan larva pakaian
Anopheles spp

Gambar 7. Kerangka konsep penelitian

Keterangan :

= Variabel Independen/bebas

= Variabel Dependen/terikat
97

H. Definisi Operasional, Kriteria Objektif dan Skala Pengukuran

1. Kejadian Malaria

Kejadian malaria yaitu terjadinya infeksi parasit sporozoit di desa

Awiu selama kurun waktu tiga tahun yang didasarkan pada hasil

pemeriksaan sediaan darah plasmodium malaria positif.

Kasus : Jika didiagnosa menderita malaria

Kontrol : Jika didiagnosa tidak menderita malaria

Skala : Nominal

2. Keberadaan Breeding Site

Keberadaan Breeding site yang dimaksud disini adalah

keberadaan genangan air yang diduga sebagai tempat potensial

perkembangbiakan vektor malaria berupa:

 Selokan adalah lubang panjang di tanah tempat aliran air.

 Sungai adalah aliran air yang besar di permukaan tanah yang

mengalir ke laut dan biasanya buatan alam

 Rawa adalah genangan air yang terbentuk secara alamiah

maupun buatan, permanen atau sementara dan biasanya banyak

tumbuhan air

 Sumur adalah sumber air buatan dengan cara menggali tanah


98

 Kubangan adalah lekukan tanah yang biasanya berisi air sewaktu

habis hujan

 Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam

jumlah tertentu sehingga dapat dipergunakan untuk pemeliharaan ikan

dan atau hewan air lainnya.

 Sawah merupakan lahan yang dibuat untuk menanam padi dan

biasanya terisi air

Ada : Jika terdapat genangan air sebagai tempat

perkembangbiakan vektor malaria dengan jarak ≤50 meter

dari rumah

Tidak ada : Jika tidak ada genangan air dengan jarak >50 meter dari

rumah

Skala : Nominal

3. Keberadaan Dinding Rumah

Dinding yaitu pembatas rumah terhadap lingkungan luar ataupun

sebagai pembatas antar ruangan yang terbuat dari bata merah, batako,

kayu atau anyaman.

Memenuhi Syarat : Apabila dindingnya tidak memiliki celah/lubang

Tidak Memenuhi Syarat : Apabila memiliki celah/lubang

Skala : Nominal
99

4. Keberadaan kawat kasa

Keberadaan kawat kasa pada ventilasi untuk menghindari

masuknya vektor malaria melalui lubang ventilasi.

Ada : Jika terpasang kawat kasa pada ventilasi

Tidak Ada : Jika tidak terpasang kawat kasa pada ventilasi

Skala : Nominal

5. Keberadaan Langit-langit rumah

Langit-langit adalah Batas bagian atas ruangan dengan atap yang

terbuat dari kayu, triplex, asbes yang berfungsi sebagai penghalang

masuknya nyamuk ke dalam rumah. Dilihat dari dipasang tidaknya secara

keseluruhan ( ruang tamu, kamar tidur, ruang keluarga dan dapur ).

Ada : Jika terdapat langit-langit pada rumah responden

Tidak Ada : Jika tidak tidak terdapat langit-langit saat survei

Skala : Nominal

6. Suhu Udara

Suhu udara adalah derajat panas udara di luar rumah responden yang

diukur dengan Thermometer dan dinyatakan dalam satuan derajat celcius

(0C) Depkes RI (2001).


100

Memenuhi Syarat : 20ºC – 30 ºC

Tidak Memenuhi Syarat : < 20ºC dan >30ºC

Skala : Nominal

7. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah kandungan uap air dalam udara, diukur

menggunakan alat hygrometer dan dinyatakan dalam persen relative

humadity (rH) dalam satuan persen (%) (Harijanto, 2000).

Memenuhi syarat : jika hasil pengukuran > 60%

Tidak memenuhi syarat : jika hasil pengukuran ≤ 60%

Skala : Nomina

8. Kandang Ternak

Kandang ternak adalah bangunan yang dapat digunakan untuk

melindungi ternak dari pengaruh cuaca buruk seperti hujan, panas

matahari, angin kencang dan gangguan lainnya (Mulyantini, 2010).

Ada : Jika terdapat kandang ternak di sekitar rumah

Tidak Ada : Jika tidak terdapat kandang ternak disekitar rumah

Skala : Nominal
101

9. Keberadaan Semak-semak

Keberadaan semak-semak yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah tumbuh-tumbuhan berupa rumput-rumputan.

Ada : Jika ditemukan semak-semak disekitar rumah

Tidak Ada : Jika tidak ditemukan semak-semak

Skala : Nominal

10. Keberadaan larva Anopheles spp

Keberadaan larva Anopheles spp pada habitat perkembangbiakan

seperti selokan, sungai, kolam, Ground pool, rawa-rawa dan sumur.

Positif Larva : Jika pada saat survei, ditemukan satu atau lebih larva

Anopheles spp.

Negatif Larva : jika pada saat survei, tidak ditemukan larva Anopheles

spp.

Skala : Nominal

11. Kebiasaan di luar rumah pada malam hari

Kebiasaan penduduk keluar rumah pada malam hari akan

memudahkan tergigit oleh nyamuk karena sifat vektor yang eksofilik dan

eksofagik.
102

Ya : Jika responden keluar pada malam hari

Tidak : Jika responden tidak keluar pada malam hari

Skala : Nominal

12. Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk

Kebiasaan responden untuk menggunakan obat nyamuk bakar,

repellent, penyemprotan insektisida, untuk menghindari gigitan nyamuk.

Ya : Jika responden menggunakan obat anti nyamuk

Tidak : Jika responden tidak menggunakan obat anti nyamuk

Skala : Nominal

13. Kebiasaan menggunakan kelambu

Kebiasaan responden untuk menggunakan kelambu pada waktu

tidur.

Ya : Jika responden menggunakan kelambu pada waktu tidur

Tidak : Jika responden tidak menggunakan kelambu pada waktu tidur

Skala : Nominal

14. Kebiasaan menggantung pakaian

Kebiasaan responden menggantung pakaian baik yang habis

dipakai maupun yang belum dipakai di dalam rumah (Arsin, 2012).


103

Ya : Jika responden selalu menggantung pakaian di dalam rumah

dengan sembarangan

Tidak : Jika responden tidak menggantung pakaian sembarangan di

dalam rumah.

Skala : Nominal

15. Penyemprotan

Penyemprotan yaitu kegiatan pemberantasan vektor dengan

menyemprotkan insektisida ke dalam rumah penduduk.

Ya : Jika dilakukan penyemprotan di rumah responden

Tidak : Jika tidak dilakukan penyemprotan di rumah responden

Skala : Nominal

I. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh antara faktor lingkungan fisik (keberadaan breeding

site dan dinding rumah) dengan kejadian malaria di Desa Awiu

Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.

2. Ada pengaruh antara faktor lingkungan biologi (keberadaan semak-

semak dan keberadaan larva anopheles spp) dengan kejadian

malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka.


104

3. Tidak ada pengaruh antara faktor pelayanan kesehatan dengan

kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia Kabupaten

Kolaka.

4. Tidak ada pengaruh antara faktor sosial budaya (kebiasaan keluar

pada malam hari, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk,

kebiasaan menggunakan kelambu dan kebiasaan menggantung

pakaian) dengan kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan

Lambandia Kabupaten Kolaka.


105

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain dan Rancangan Penelitian

Desain penelitian ini adalah observasional menggunakan

rancangan case control study yaitu suatu rancangan epidemiologi yang

dimulai dengan seleksi individu menjadi kelompok kasus dan kelompok

kontrol, yang faktor risikonya akan diteliti. Kedua kelompok itu

dibandingkan dalam hal adanya penyebab atau keadaan/pengalaman

masa lalu yang mungkin relevan dengan penyebab penyakit. Adapun

rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

FR (+)
Malaria
Positif
FR (-)

Sampel
Retrospektif (Matching)

FR (+)
Malaria
Negatif
FR (-)

Gambar 8. Rancangan penelitian case control (Notoatmodjo, 2005)


106

Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi atau mencari

hubungan seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit

(cause effect relationship). Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah

faktor risiko tertentu berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti

dengan membandingkan pajanan dan faktor risiko tersebut pada

kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di desa Awiu Kecamatan

Lambandia Kabupaten Kolaka dengan pertimbangan bahwa desa Awiu

memiliki angka malaria tergolong tinggi diantara desa lainnya yang ada di

wilayah kerja puskesmas Lambandia.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April tahun 2013.


C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

a. Populasi referens

Populasi referens pada penelitian ini adalah semua penduduk

yang menetap di desa Awiu Kecamatan Lambandia yakni sebanyak 583

jiwa.
107

b. Populasi Studi

1) Populasi Kasus

Populasi kasus adalah semua penderita positif malaria di desa

Awiu yang dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium atau Rapid

Diagnostic Test (RDT).

2) Populasi Kontrol

Populasi kontrol adalah semua penduduk di desa Awiu yang

dinyatakan bebas malaria serta memiliki umur dan jenis kelamin yang

sama dengan kasus serta mempunyai faktor risiko sama dengan

kelompok kasus.

2. Kriteria Inklusi Subjek Penelitian

a. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian

b. Bertempat tinggal tetap di Desa Awiu Kecamatan Lambandia minimal

3 tahun terakhir

c. Untuk kelompok kasus, tercatat sebagai penderita positif malaria

berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau RDT dalam 3 (tiga) tahun

terakhir
108

d. Untuk kelompok kontrol :

1) Memiliki umur yang sama dengan kelompok kasus

2) Memiliki jenis kelamin yang sama dengan kelompok kasus

3) Bertempat tinggal di dusun terdekat dari kasus

3. Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

cluster sampling. Pemilihan cluster di desa Awiu berdasarkan wilayah

administatif yang dilakukan satu tahap (single stage). Desa Awiu terdiri

dari 5 dusun, yang dikategorikan menurut status endemisitas malaria

berdasarkan data tahun 2010 - 2012, kriteria kasus tinggi/High Case

Incidence (HCI) jika API > 5 0/00, kriteria kasus sedang Moderate Case

Incidence (MCI) jika API 1 – 5 0/00, dan kriteria kasus rendah/Low Case

Incidence (LCI) jika API < 1 0/00.

Untuk sampel kasus diambil melalui screening test berdasarkan

hasil pemeriksaan laboratorium RDT Puskesmas Lambandia dalam 3

tahun terakhir. Sedangkan kelompok kontrol dipilih dengan matching umur

dan jenis kelamin. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1 : 1.


109

D. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan melakukan

kunjungan ke rumah pada siang hari. Data yang berkaitan dengan

variabel bebas didapatkan melalui wawancara , pengamatan dan

pengukuran. Sedangkan data variabel terikat diperoleh dari Puskesmas

Lambandia yang berdasarkan data register pasien malaria.

Data yang dikumpulkan dibedakan menjadi dua, yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer pengumpulannya dilakukan dengan

menggunakan kuisioner, dengan metode wawancara dan observasi

langsung.

Data primer lingkungan fisik meliputi keberadaan breeding site

(kubangan, selokan, sungai, rawa, sumur, kolam dan sawah), jarak rumah

dengan breeding site, dinding rumah, pemasangan kawat kasa, langit –

langit, suhu dan kelembaban. Lingkungan biologi seperti keberadaan

kandang ternak, keberadaan semak-semak, keberadaan larva Anopheles

spp. Sosial budaya antaralain: penggunaan kelambu, penggunaan obat

anti nyamuk, kebiasaan diluar rumah pada malam hari dan kebiasaan

menggantung pakaian.
110

Data sekunder dikumpulkan dari dokumentasi gambar dan hasil-

hasil pencatatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, Kantor Desa,

Kantor Kecamatan dan Puskesmas, meliputi data demografi,

kependudukan serta angka morbiditas dan mortalitas akibat malaria. Data

sekunder juga diambil melalui studi dokumentasi dari buku – buku dan

hasil penelitian – penelitian sebelumnya.

E. Pengolahan Data

Setelah data penelitian terkumpul dan lengkap, kemudian

dilakukan langkah–langkah sebagai berikut :

1. Editing

Untuk mengecek kelengkapan data, kesinambungan data dan

keseragaman data untuk menjamin validitas data.

2. Coding

Pemberian kode dan skor terhadap jawaban responden, hal ini

dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data.

3. Tabulating

Pembuatan tabel untuk variabel yang akan dianalisa.


111

4. Entry Data

Memasukkan data – data ke dalam program komputer.

F. Analisa Data

Data dianalisa dan diinterpretasikan untuk menguji hipotesis yang

diaujukan dengan menggunakan program computer Statistical Product

and Service Solution (SPSS ) versi 18.0 dengan tahapan sebagai berikut :

a. Analisa Univariat

Data yang terkumpul diolah dan dianalisa secara deskriptif, yaitu

data untuk variabel disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi,

gambar atau gambar diagram maupun grafik.

b. Analisa Bivariat

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dan kekuatan

hubungan antara dua variabel penelitian, yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Analisis faktor risiko antara dua variabel tersebut dengan melihat

nilai odds ratio (OR) yang menunjukkan besar risiko antara dua variabel

yang diuji. Besar risiko OR variabel bebas dengan terikat secara sendiri-

sendiri. Hasil interpretasi nilai OR adalah:


112

a) Jika OR lebih dari 1 dan batas bawah 95% CI tidak mencapai nilai 1,

menunjukkan bahwa variabel yang diteliti bukan faktor risiko. Contoh

: OR > 1, 95% CI : 0,8 – 4,9.

b) Jika OR lebih dari 1 dan batas bawah 95% CI melewati nilai 1, maka

variabel yang diteliti merupakan faktor risiko. Contoh : OR > 1, 95%

CI : 1,2 – 2,5.

c) Jika OR kurang dari 1 dan 95% CI tidak mencapai nilai 1,

menunjukkan bahwa variabel yang diteliti merupakan faktor protektif.

Contoh : OR < 1, 95% CI : 0,1 – 0,9, dan P < 0,05.

c. Analisa Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel

bebas dengan variabel terikat dan variabel bebas mana yang paling besar

pengaruhnya terhadap variabel terkait. Analisis multivariat dilakukan

dengan cara menghubungkan beberapa variabel bebas dengan satu

variabel terikat secara bersamaan. Karena data variabel bebas bersifat

dikotomis (kategori) berskala nominal, maka analisis yang digunakan

regresi logistik. Analisis regresi logistik dapat menjelaskan hubungan

variabel bebas dengan variabel terikat. Semua variabel dimasukkan

bersama-sama untuk dipertimbangkan menjadi model dengan nilai


113

signifikan (p < 0,05). Menurut Sabri (2006) model regresi logistik secara

matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

1
P=
1+

Dimana :

P = Probabilitas terjadinya suatu kejadian

e = Bilangan natural

β = Nilai koofisien tiap variabel

x = nilai variabel bebas

y = Nilai variabel terikat

G. Cara Penentuan Badan Air yang Positif Larva

1. Penentuan dilakukan dengan menciduk badan air, dimana untuk

badan air yang sempit dilakukan sebanyak 10 kali sedangkan untuk

badan air yang luas dilakukan lebih dari 10 kali.

2. Apabila hasil cidukan mengandung larva, maka larva tersebut diamati

spesiesnya (Anopheles atau bukan).

3. Kalau posisi larva sejajar dengan permukaan air, maka larva tersebut

adalah Anopheles.
114

4. Kalau posisi larva tersebut tidak sejajar dengan permukaan air yang

diciduk, maka larva tersebut bukan Anopheles.

H. Instrumen Penelitian

1. Alat tulis yang digunakan untuk mencatat dan melaporkan hasil

penelitian, kertas dan computer.

2. Kuisioner terstruktur sebagai panduan wawancara dan pengamatan

untuk mendapatkan data dari responden.

3. Cidukan, untuk menangkap larva

4. Thermo-Hygrometer, untuk mengukur suhu udara dan kelembaban

udara

5. Lembar observasi, untuk mencatat hasil survey

6. Global Positioning System (GPS) Merk Garmin tipe 12 XL, untuk

mengukur titik koordinat dan ketinggian daerah dari permukaan laut.


115

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Letak Geografis

Daerah Kabupaten Kolaka di wilayah Tenggara pulau Sulawesi

dan secara geografis terletak pada bagian barat Propinsi Sulawesi

Tenggara memanjang dari utara ke selatan berada diantara 2º00’-5º00’

Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120º45’-

124º06’ Bujur Timur.

Kecamatan Lambandia merupakan salah satu kecamatan di

Kabupaten Kolaka terletak di bagian Selatan Tenggara ibu kota

Kabupaten Kolaka yaitu melintang dari Selatan Tenggara ke Barat.

Kecamatan Lambandia mencakup wilayah daratan dengan luasnya ±

308,63 Km² atau 4,46 % dari luas wilayah kabupaten Kolaka. Dari luas

wilayah tersebut kecamatan Lambandia memiliki sungai diantaranya

sungai Lambandia, sungai Andowengga dan sungai Tokai yang sangat

potensi untuk dijadikan sebagai sumber kebutuhan rumah tangga dan


116

imigrasi. Dipandang dari sudut oceanografi kecamatan Lambandia tidak

memiliki perairan laut untuk dijadikan sebagai usaha penangkapan ikan di

laut.

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di desa Awiu Kecamatan

Lambandia, dengan luas wilayah 10,50 km². Adapun batas-batas desa

Awiu adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Taore

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Watubangga

d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa iwoi mea jaya

Untuk lebih jelasnya peta spasial lokasi penelitian di desa Awiu

Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka dapat dilihat pada gambar 9

berikut ini.
117

Gambar 9. Peta Spasial Lokasi Penelitian Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Kabupaten Kolaka
118

b. Demografi

Penduduk yang tinggal di desa Awiu terdiri dari tiga suku antara

lain: suku makassar, suku toraja dan suku bugis dengan jumlah penduduk

583 jiwa.

c. Kependudukan

Struktur umur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan

oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Oleh karena

itu jika angka kelahiran pada suatu daerah cukup tinggi maka dapat

mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang banyak

berpenduduk usia muda.

Keadaan struktur umur penduduk di kecamatan Lambandia

menunjukkan bahwa pada tahun 2011 sebesar 65,93 % dari jumlah

penduduk adalah tergolong penduduk usia produktif yaitu penduduk yang

berumur 15 tahun ke atas. Menurut jenis kelamin jumlah penduduk tahun

2012 adalah penduduk laki-laki sebesar 12.853 jiwa atau 50,40 % dan

penduduk perempuan sebesar 12.651 jiwa atau 49,60 %. Perbandingan

jumlah penduduk laki-laki berbanding penduduk perempuan tersebut

berdasarkan rasio jenis kelamin pada tahun 2012 adalah 101 yang

memiliki arti bahwa di kecamatan Lambandia untuk tiap 100 penduduk


119

perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki. Atau dapat dikatakan bahwa

di kecamatan ini lebih banyak penduduk laki – laki dibandingkan

penduduk perempuan.

Jumlah rumah tangga meningkat sebesar 0,57 % yaitu dari 7.887

rumah tangga tahun 2011 menjadi 7.932 rumah tangga pada tahun 2012

dengan rata-rata anggota rumah tangga 3 orang dalam setiap rumah

tangga.

Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin di desa Awiu

disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di desa Awiu


Tahun 2013
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
No Dusun
L P penduduk (%)
1 Dusun 1 93 53 146 25.04

2 Dusun 2 88 86 174 29.85

3 Dusun 3 37 42 79 13.55

4 Dusun 4 76 33 109 18.70

5 Dusun 5 46 29 75 12.86

Jumlah 340 234 583 100.0

Sumber: Kantor Desa Awiu, 2013


120

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di

desa Awiu adalah sebanyak 583 jiwa, jumlah penduduk perempuan 243

jiwa dan laki-laki 340 jiwa.

Berdasarkan gambar 10 menunjukkan bahwa Dusun yang

terbanyak jumlah penduduknya yaitu dusun II sebanyak 174 jiwa

(29,85%), sedangkan yang paling sedikit penduduknya yaitu dusun V

sebanyak 75 jiwa (12,86%).

Gambar 10. Diagram Persentase Jumlah Penduduk berdasarkan


Administrasi Dusun di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Tahun 2013.

d. Pendidikan
121

Sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dimana sasaran

pembangunan pendidikan dititikberatkan pada peningkatan mutu dan

perluasan kesempatan belajar di semua jenjang pendidikan mulai dari

taman kanak-kanak sampai kepada perguruan tinggi. Upaya peningkatan

pendidikan yang ingin dicapai tersebut agar menghasilkan manusia

seutuhnya. sedangkan perluasan kesempatan belajar dimaksud agar

penduduk usia sekolah setiap tahunnya mengalami peningkatan sejalan

dengan laju pertumbuhan penduduk. Menyadari akan arti pentingnya

pendidikan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan

antara lain dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang

semakin memadai sehingga dapat memperluas jangkauan pelayanan dan

kesempatan memperoleh pendidikan.

Sarana pendidikan pada tahun 2011/2012 di Kecamatan

Lambandia untuk sekolah taman kanak-kanak swasta ada 4 unit dengan

jumlah guru sebanyak 8 orang dan murid 156 orang. Untuk sekolah dasar

pada tahun 2011/2012 terdapat 12 sekolah dasar negeri dengan jumlah

guru sebanyak 71 orang dan murid sebanyak 2.160 orang. Sementara

untuk jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama terdapat 7 unit sekolah

negeri dengan 36 guru dan memiliki 1.280 murid. Sedangkan sekolah


122

menengah atas ada sebanyak 2 unit sekolah negeri dengan 18 guru dan

501 murid.

Sarana pendidikan di desa Awiu masih sangat rendah untuk

jumlah penduduk yang mencapai 583 jiwa karena hanya terdapat 1 unit

SD dan tidak memiliki SLTP/sederajat dan SMA/sederajat.

e. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk desa Awiu pada umumnya bekerja

sebagai petani dengan bercocok tanam, tanaman jangka pendek seperti

jagung, padi dan kacang-kacangan sedangkan untuk tanaman jangka

panjang seperti kakao dan cengkeh.

f. Sarana Pelayanan Kesehatan

Pembangunan kesehatan di kecamatan Lambandia dititikberatkan

pada peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk

mencapai sasaran pembangunan sebagaimana tersebut di atas

semuanya diarahkan pada bidang kesehatan. selama terbentuknya yaitu

tahun 2001 dalam wilayah ini diupayakan pelaksanaan pembangunan

sarana dan prasarana serta tenaga untuk pelayanan kesehatan sampai

ke pelosok pedesaan.
123

Pada tahun 2012 ada 36 unit fasilitas kesehatan yang terdiri dari 1

unit puskesmas, 3 unit puskesmas pembantu, 25 unit posyandu dan 7 unit

bakesra. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah fasilitas

kesehatan sebesar 28,57 % yaitu dari 28 unit fasilitas kesehatan tahun

2010 menjadi 36 unit tahun 2012.

Tenaga kesehatan (tenaga medis dan para medis) menunjukkan

bahwa tahun 2012 terdapat 18 tenaga kesehatan yang terdiri atas 1 orang

dokter, 2 orang sarjana kesehatan masyarakat, 7 orang perawat, 10 orang

bidan, dan 4 orang tenaga kesehatan lainnya.

Tidak satupun sarana pelayanan kesehatan di desa Awiu, hanya

sekali dalam satu bulan diadakan posyadu yang ditempatkan di rumah

Sekertaris Desa. Namun jika ada masyarakat yang sakit untuk menuju

puskesmas harus menempuh perjalanan selama 3 jam.

g. Keadaan Iklim

Keadaan musim di daerah ini umumnya sama seperti di daerah

lain di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim

kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Nopember sampai Maret

dimana pada bulan tersebut angin Barat yang bertiup dari Asia dan

Samudra Pasifik banyak mengandung uap air.


124

Musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober dimana

antara bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Australia sifatnya

kering dan kurang mengandung uap air. Khusus pada bulan April arah

angin tidak menentu, demikian pula curah hujan sehingga pada bulan ini

dikenal sebagai musim pancaroba. Curah hujan di wilayah ini umumnya

tidak merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah ini kering

dengan curah hujan kurang dari 2000 mm pertahun bahkan memiliki bulan

basah antara 3 sampai 4 bulan dalam setahun.

h. Annual Malaria Incidence (AMI)

Wilayah kerja puskesmas Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi

SulawesiTenggara termasuk daerah endemis malaria yang setiap

tahunnya kasus malaria tetap ada . Data kasus malaria klinis di desa Awiu

yang dilihat Annual Malari Incidence tiga tahun terakhir adalah tahun 2010

sebanyak 16 (28,12‰), tahun 2011 sebanyak 17 (29,56‰) dan tahun

2012 sebanyak 24 (41,17‰).


125

Gambar 11. Grafik Annual Malaria Incidence (AMI) berdasarkan Desa di


Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012 (Data sekunder
yang telah diolah, Tahun 2013).

i. Annual Parasite Incidence (API)

Wilayah kerja Puskesmas Lambandia Kecamatan Lambandia

termasuk daerah dengan Annual Parasite Incidence (API) tertinggi di

Kabupaten Kolaka.

Data kasus positif malaria di wilayah kerja puskesmas Lambandia

Khususnya di desa Awiu yang dilihat Annual Parasite Incidence (API) tiga
126

tahun terakhir adalah tahun 2010 sebanyak 10 (17,57‰), tahun 2011

sebanyak 10 (17,39‰), tahun 2012 sebanyak 10 (17,15‰).

Gambar 12. Grafik Annual Parasite Incidence (API) berdasarkan Desa di


Kecamatan Lambandia Tahun 2010 – 2012 (Data sekunder
yang telah diolah, Tahun 2013).

Berikut ini disajikan peta endemisitas malaria berdasarkan

angka posif malaria (API) di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi

Tenggara, sejak tahun 2010 – 2012.


127

Gambar 13. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia


Tahun 2010 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
128

Gambar 14. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia


Tahun 2011 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
129

Gambar 15. Peta endemisitas di wilayah kerja puskesmas Lambandia


Tahun 2012 (Data sekunder yang telah diolah, Tahun 2013).
130

2. Analisis Univariat Variabel Penelitian

a. Peta Distribusi Breeding Site Larva Anopheles spp

dengan Jarak Rumah Terdekat Kelompok Kasus dan

Kontrol di Desa Awiu Tahun 2013.

Pada penelitian ini di dapatkan bahwa jarak breeding site larva

anopheles spp dengan rumah kelompok kasus adalah ≤50 m sebanyak

14 (46,7%) dan >50 m sebanyak 16 (53,3%) sedangkan jarak breeding

site larva anopheles spp dengan rumah kelompok kontrok ≤50 m

sebanyak 6 (20%) dan >50m sebanyak 24 (80%).

Berdasarkan gambar 16 bahwa rumah kelompok kasus dan

kontrol sebanyak 24 titik, masing-masing untuk kelompok kasus terdapat

12 titik dan kelompok kontrol 12 titik. Titik yang dimaksud masing-masing

di beri simbol lingkaran warna yaitu simbol, rumah responden kelompok

kasus di beri warna merah sedangkan simbol rumah responden kelompok

kontrol di beri warna hijau. Breeding site larva anopheles spp berjumlah

11 titik, terdapat 9 titik positif larva anopheles spp sisanya 2 titik negatif

larva anopheles spp. Titik masing-masing diberi simbol lingkar warna yaitu

simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi warna kuning

sedangkan breeding site negatif larva di beri warna putih.


131

Berdasarkan gambar 17 bahwa rumah kelompok kasus dan

kontrol sebanyak 16 titik, masing-masing untuk kelompok kasus terdapat 8

titik dan kelompok kontrol 8 titik. Titik yang dimaksud masing-masing di

beri simbol lingkaran warna yaitu simbol, rumah responden kelompok

kasus di beri warna merah sedangkan simbol rumah responden kelompok

kontrol di beri warna hijau. Breeding site larva anopheles spp berjumlah 2

titik, semua titik positif larva anopheles spp. Titik masing-masing diberi

simbol lingkar warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp

diberi warna kuning.

Berdasarkan gambar 18 bahwa rumah kelompok kasus dan

kontrol sebanyak 20 titik, masing-masing untuk kelompok kasus terdapat

10 titik dan kelompok kontrol 10 titik. Titik yang dimaksud masing-masing

di beri lingkaran warna yaitu simbol, rumah responden kelompok kasus di

beri warna merah sedangkan simbol rumah responden kelompok kontrol

di beri warna hijau. Breeding site larva anopheles spp berjumlah 7 titik,

semua titik positif larva anopheles spp. Titik masing-masing diberi lingkar

warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi warna

kuning.
132

Gambar 16. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus dan
kelompok kontrol di dusun I dan dusun IV di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
133

Gambar 17. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus dan
kelompok kontrol di dusun III dan dusun IV di Desa Awiu
Kecamatan Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
134

Gambar 18. Peta jarak breeding site dengan rumah kelompok kasus dan
kelompok kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan
Lambandia (Data primer, Tahun 2013).
135

b. Peta Distribusi Jenis Breeding Site Larva Anopheles spp

Kelompok Kasus dan Kontrol di Desa Awiu.

Dari gambar 16 dibawah ini terlihat bahwa di dusun I Desa Awiu

Kecamatan Lambandia memiliki lima breeding site dimana jumlah yang

positif larva anopheles spp sebanyak tiga breeding site yaitu dua sumur

dan satu kubangan sedangkan negatif larva anopheles spp berjumlah dua

breeding site yaitu sawah dan bekas ban kendaraan.

Gambar 19. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun I di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
(Data primer, Tahun 2013).
136

Dari gambar 17 dibawah ini terlihat bahwa di dusun II Desa Awiu

Kecamatan Lambandia memiliki tujuh breeding site dimana semua jumlah

breeding site positif larva anopheles spp yaitu satu kubangan, tiga sawah,

satu rawa, satu sumur dan satu selokan. Titik masing-masing diberi

lingkar warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi

warna kuning.

Gambar 20. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun II di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
(Data primer, Tahun 2013).
137

Dari gambar 18 dibawah ini terlihat bahwa di dusun III Desa Awiu

Kecamatan Lambandia memiliki satu breeding site positif larva anopheles

spp yaitu kubangan.

Titik tersebut diberi lingkar warna yaitu simbol, breeding site

positif larva anopheles spp diberi warna kuning.

Gambar 21. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun III di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
(Data primer, Tahun 2013).
138

Dari gambar 19 dibawah ini terlihat bahwa di dusun IV Desa Awiu

Kecamatan Lambandia memiliki tujuh breeding site dimana semua jumlah

breeding site positif larva anopheles spp yaitu tiga sawah, satu sumur,

satu rawa, satu kubangan dan satu selokan. Titik masing-masing diberi

lingkar warna yaitu simbol, breeding site positif larva anopheles spp diberi

warna kuning.

Gambar 22. Peta jenis breeding site kelompok kasus dan kelompok
kontrol di dusun IV di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
(Data primer, Tahun 2013).
c. Karakteristik Responden
139

1. Umur

Distribusi responden berdasarkan kelompok umur dapat dilihat

pada Tabel 7:

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Desa Awiu


Tahun 2013
Kejadian Malaria
Kelompok Total
No Umur Kasus Kontrol
(tahun)
N % n % n %
1 0 – 15 4 13,3 4 13,3 8 13,3

2 16 – 30 10 33,3 10 33,3 20 33,3

3 > 30 16 53,4 16 53,4 22 53,4

Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa kelompok umur 0-15

tahun merupakan responden yang paling sedikit yaitu 8 orang (13,3%),

kelompok umur 16-30 berjumlah 20 orang (33,3%), sedangkan kelompok

umur diatas 30 tahun responden yang paling banyak yaitu 22 orang

(53,4%).

2. Jenis Kelamin

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

Tabel 8:

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan jenis kelamin di Desa Awiu


Tahun 2013
140

Kejadian Malaria
Jenis Total
No Kasus Kontrol
kelamin
N % N % n %
1 Laki-laki 16 53,3 16 53,3 32 53.3

2 Perempuan 14 46,7 14 46,7 28 46,7

Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2012

Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah laki-laki yang

menjadi responden lebih banyak yaitu 32 orang (53,3%) dibanding dengan

responden perempuan sebanyak 28 orang (46,7%).

3. Pendidikan

Distribusi responden berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada

Tabel 9:

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa Awiu


Tahun 2013
Kejadian Malaria
Total
No Pendidikan Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Belum Sekolah 1 3,3 1 3,3 2 3,3
2 Tidak Sekolah 11 36,7 7 23,3 18 30
3 SD 15 50 18 60 33 55
4 SMP 3 10 2 6,7 5 8,4
5 SMA 0 0,0 2 6,7 2 3,3
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013


Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SD

yang terbanyak pada responden kasus 15 (50%) maupun responden


141

kontrol 18 (60%), dan tingkat pendidikan SMA hanya terdapat pada

responden kontrol sebanyak 2 (6,7%).

Berdasarkan gambar 23 dibawah ini terlihat bahwa persentase

responden berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SD

sebanyak 55 % sedangkan yang paling sedikit adalah belum sekolah dan

SMA masing – masing sebanyak 3,3%.

Gambar 23. Diagram Persentase Responden berdasarkan Tingkat


Pendidikan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Tahun 2013

4. Pekerjaan
142

Berdasarkan gambar 24 terlihat bahwa responden dengan jenis

pekerjaan yang paling banyak adalah petani sebanyak (50%) sedanglan

yang paling sedikit adalah yang bekerja sebagai tenaga honorer 2%,

sebagai pelajar 3%, ibu rumah tangga sebanyak 30% selebihnya

responden yang tidak mempunyai pekerjaan yaitu 15%.

Gambar 24. Diagram Persentase Responden berdasarkan Jenis


Pekerjaan di Desa Awiu Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Tahun 2013

d. Lingkungan Fisik

1. Keberadaan Breeding Site


143

Distribusi responden berdasarkan keberadaan genangan air di

sekitar rumah dapat dilihat pada tabel 10:

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Breeding site


dengan jarak ≤50 m di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun
2013.
Kejadian Malaria
Keberadaan Total
No Kasus Kontrol
Breeding site
N % N % n %
1 Ada 14 46,7 6 20 20
2 Tidak Ada 16 53,3 24 80 40
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kelompok kasus yang terdapat breeding site di sekitar rumah sebanyak 14

(46,7%), sedangkan pada kelompok kontrol dari 30 responden hanya

terdapat breeding site di sekitar rumah yaitu sebanyak 6 (20%).

2. Kondisi Dinding Rumah

Distribusi responden berdasarkan kondisi dinding rumah di lihat

pada Tabel 11:

Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Dinding Rumah di


Desa Awiu Tahun 2013
Kondisi Kejadian Malaria
Total
No Dinding Kasus Kontrol
Rumah N % N % n %
1 Rapat 4 13,3 11 36,7 15 25
144

2 Tidak Rapat 26 86,7 19 63,3 45 75


Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus kondisi dinding yang rapat 4 (13,3%) dan yang tidak rapat 26

(86,7%) sedangkan responden kontrol yang mempunyai kondisi dinding

rumah yang rapat 11 (36,7%) dan dinding rumah yang tidak rapat 19

(63,3%).

3. Keberadaan Kawat Kasa Pada Ventilasi

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keberadaan kawat

kasa pada ventilasi rumah responden, tidak terdapat rumah yang

memasang kawat kasa pada ventilasi mereka baik pada responden kasus

maupaun responden kontrol.

4. Keberadaan Langit-Langit

Distribusi responden berdasarkan keberadaan langit-langit rumah

di lihat pada Tabel 12:

Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan keberadaan Langit-langit


Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
Keberadaan Total
No Langit- Kasus Kontrol
Langit
N % N % n %
1 Ada 0 0,0 2 6,7 2 3,3

2 Tidak Ada 30 100,0 28 93,3 58 96,7


145

Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer tahun 2013


Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa keberadaan langit-

langit hanya terdapat pada kelompok kontrol yaitu dari 30 responden

kelompok kontrol hanya terdapat 2 (6,7%) yang memiliki plafon dan yang

tidak memiliki plafon sebanyak 28 ( 93,3%).

5. Suhu Udara

Distribusi responden berdasarkan suhu udara lihat pada Tabel

13:

Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Suhu Udara Rumah di


Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
Suhu Dalam Total
No Kasus Kontrol
Rumah
N % N % n %
1 20ºC-30ºC 7 23,3 6 20 13 21,7

2 <20ºC->30ºC 23 76,5 24 80 47 78,3


Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan tabel 13 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus 20ºC-30ºC suhu udara 7 (23%) dan <20ºC->30ºC suhu udara 23

(76,5%) sedangkan untuk responden kontrol 20ºC-30ºC suhu udara 6

(20%) dan <20ºC->30ºC suhu udara 24 (80%).

6. Kelembaban Udara
146

Distribusi responden berdasarkan kelembaban udara lihat pada

Tabel 14:

Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban Udara di


Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
Kelembaban Total
No Kasus Kontrol
Udara
N % N % n %
1 >60% 30 100,0 30 100,0 60 100,0
2 ≤60% 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus >60% kelembaban udara 30 (100%) dan untuk responden kontrol

>60% kelembaban udara 30 (100%) sedangkan untuk kelembaban udara

≤60% tidak satupun ditemukan baik pada rumah responden kasus

maupun responden kontrol.

e. Lingkungan Biologi

1. Keberadaan Kandang Ternak

Distribusi responden berdasarkan keberadaan hewan ternak di

sekitar rumah dapat dilihat pada tabel 15:

Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Kandang


Ternak di Sekitar Rumah di Desa Awiu Tahun 2013
Keberadaan Kejadian Malaria
No Kandang Total
Ternak Kasus Kontrol
147

N % N % n %
1 Ada 5 16,7 2 6,7 7 11,7

2 Tidak Ada 25 83,3 28 93,3 53 88,3

Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus terdapat 5 (16,7%) rumah yang memiliki kandang ternak di sekitar

rumah, sedangkan pada kelompok kontrol dari 30 responden hanya

terdapat 2 (6,7%) rumah yang memiliki Kandang ternak.

2. Keberadaan Semak Belukar

Distribusi responden berdasarkan keberadaan semak belukar di

sekitar rumah dilihat pada Tabel 16:

Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan Semak Belukar di Sekitar


Rumah di Desa Awiu Tahun 2013.
Kejadian Malaria
Keberadaan Total
No Semak Kasus Kontrol
Belukar
N % N % n %
1 Ada 27 90,0 16 53,3 43 71,7

2 Tidak Ada 3 10,0 14 46,7 17 28,3


Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013


148

Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus keberadaan semak belukar di sekitar rumah 27 (90%) dan yang

tidak memiliki semak belukar hanya 3 (10%) sedangkan responden kontrol

keberadaan semak belukar di sekitar rumah 16 (53,3%) dan yang tidak

memiliki semak belukar14 (46,7%).

3. Keberadaan Larva Anopheles spp

Distribusi responden berdasarkan keberadaan larva anopheles

spp di lihat pada Tabel 17:

Tabel 17. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva


Anopheles spp di Desa Awiu Tahun 2013.
Keberadaan Kejadian Malaria
Larva Total
No Kasus Kontrol
Anopheles
spp N % N % n %
1 Positif 14 46,7 6 20 20 33,3
2 Negatif 16 53,3 24 80 40 66,7
Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus keberadaan larva anopheles spp 14 (46,7%) dan yang tidak

memiliki larva anopheles spp 16 (53,3%) sedangkan responden kontrol

keberadaan larva anopheles spp 6 (20%) dan yang negatif larva

anopheles spp 24 (80%).

f. Pelayanan Kesehatan
149

Penyemprotan

Distribusi responden berdasarkan penyemprotan untuk

penanggulangan nyamuk malaria oleh petugas kesehatan di sekitar

rumah dilihat pada Tabel 18:

Tabel 18. Distribusi Responden Berdasarkan penyemprotan di Sekitar


Rumah di Desa Awiu Tahun 2013.
Kejadian Malaria
Total
No Penyemprotan Kasus Kontrol
N % N % n %
1 Ya 18 60,0 18 60,0 46 76,7

2 Tidak 12 40,0 12 40,0 14 23,3


Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus yang dilakukan penyemprotan di sekitar rumah 18 (60%) dan yang

tidak pernah di lakukan penyemprotan 12 (40%) sedangkan responden

kontrol yang di lakukan penyemprotan di sekitar rumah 18 (60%) dan yang

tidak memiliki semak belukar12 (40%).

g. Sosial Budaya

1. Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari

Distribusi responden berdasarkan kebiasaan keluar pada malam

hari di lihat pada Tabel 19:


150

Tabel 19. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah


Pada Malam Hari di Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
Kebiasaan Total
No Keluar Kasus Kontrol
Rumah
N % N % n %
1 Ya 16 53,3 12 40,0 28 46,7

2 Tidak 14 46,7 18 60,0 32 53,3


Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus yang sering keluar rumah pada malam hari 16 (53,3%) dan yang

tidak pernah keluar rumah pada malam hari 14 (46,7%) sedangkan

responden kontrol yang sering keluar rumah pada malam hari 12 (40%)

dan yang tidak pernah keluar rumah pada malam hari 18 (60%).

2. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk

Distribusi responden berdasarkan kebiasaan menggunakan obat

anti nyamuk di lihat pada Tabel 20:

Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan


Obat Anti Nyamuk di Desa Awiu Tahun 2013
Menggunakan Kejadian Malaria
Total
No Obat Anti Kasus Kontrol
Nyamuk N % N % n %
1 Ya 1 3,3 2 6,7 3 5,0
151

2 Tidak 29 96,7 28 93,3 57 95,0


Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus yang menggunakan obat anti nyamuk hanya 1 (3,3%) dan yang

tidak menggunakan obat anti nyamuk 29 (96,7%), sedangkan respoden

kontrol dari 30 responden yang menggunakan obat anti nyamuk hanya 2

(6,7%) dan yang tidak menggunakan obat anti nyamuk 28 (93,3%).

3. Penggunaan Kelambu

Distribusi responden berdasarkan kebiasaan menggunakan

kelambu di lihat pada Tabel 21:

Tabel 21. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan


Kelambu di Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
Kebiasaan Total
No Menggunak Kasus Kontrol
an Kelambu
N % N % n %
1 Ya 28 93,3 30 100,0 58 96,7

2 Tidak 2 6,7 0 0,0 2 3,3


Total 30 0,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2913


152

Berdasarkan Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus yang menggunakan kelambu 28 (93,3%) dan yang tidak

menggunakan 2 (6,7%), sedangkan respoden kontrol dari 30 responden

semua respoden menggunakan kelambu 30(100%).

4. Kebiasaan Menggantung Pakaian

Distribusi responden berdasarkan kebiasaan menggantung

pakaian di lihat pada Tabel 22:

Tabel 22. Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Menggantung


Pakaian di Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
Kebiasaan Total
No Menggantu Kasus Kontrol
ng Pakaian
N % N % n %
1 Ya 29 96,7 28 93,3 57 95,0

2 Tidak 1 3,3 2 6,7 3 5,0


Total 30 0,0 30 100,0 60 100,0

Sumber: Data Primer Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus yang biasa menggantung pakaian di dalam kamar 29 (96,7%) dan

yang tidak menggantung pakaian di dalam kamar 1 (3,3%), sedangkan

dari 30 respoden kontrol yang sering menggantung pakaian di dalam

kamar 28(93,3%) dan yang tidak menggantung pakaian di dalam kamar 2

(6,7%).
153

3. Analisis Bivariat

Dalam analisis bivariat dijabarkan hasil penelitian tentang

hubungan antara variabel indevenden yaitu faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian malaria antara lain: faktor lingkungan fisik, faktor

lingkungan biologi, faktor pelayanan kesehatan dan faktor sosial budaya

dengan variabel dependen yaitu kejadian malaria di gunakan perhitungan

Odds Ratio (OR). Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang

(crosstab) dua kali dua.

Hasil analisis bivariat penelitian mengenai faktor risiko kejadian

malaria di desa Awiu pada tahun 2013 di sajikan pada tabel-tabel berikut

antara lain:

a. Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Malaria

1. Faktor Risiko Keberadaan Breeding Site dengan kejadian

malaria

Hasil analisis keberadaan breeding site terhadap kejadian malaria

dapat dilihat pada tabel berikut:


154

Tabel 23. Analisis Faktor Risiko Keberadaan Breeding Site dengan


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Keberadaan Kejadian Malaria
No p-value OR (95% CI)
Breeding Site Kasus Kontrol
1 Tidak Ada 16 24
3,500
2 Ada 14 6 0,028
(1,112-11,017)
Jumlah 30 30

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada

hubungan antara keberadaan breeding site dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai lower

limit (LL) = 1,112 dan upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

keberadaan breeding site dengan kejadian malaria. Hasil ini

diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki breeding site di sekitar

rumah lebih beresiko terkena malaria 3,500 kali lebih besar dari yang

rumahnya tidak ada breeding site dengan jarak 50 meter.

2. Faktor Risiko Kondisi Dinding Rumah dengan Kejadian

Malaria

Hasil analisis kondisi dinding rumah terhadap kejadian malaria

dapat dilihat pada tabel berikut.


155

Tabel 24. Analisis Faktor Risiko Kondisi dinding rumah dengan Kejadian
Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Kondisi Kejadian Malaria
No Dinding Kasus Kontrol p-value OR (95% CI)
Rumah
1 Tidak Rapat 26 19
3,763
2 Rapat 4 11 0,037
(1,038-13,646)
Jumlah 30 30

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,037 (0,037 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada

hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,763 dengan nilai lower

limit (LL) = 1,038 dan upper limit (UL) = 13,646. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria. Hasil ini diinterpretasikan

bahwa responden yang memiliki dinding rumah tidak rapat lebih beresiko

terkena malaria 3,763 kali lebih besar dari yang dinding rumahnya rapat.

3. Faktor Risiko Pemasangan Kawat Kasa pada Ventilasi

dengan Kejadian Malaria.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keberadaan kawat

kasa pada ventilasi rumah responden, tidak terdapat rumah yang

memasang kawat kasa pada ventilasi mereka. Sehingga variabel


156

keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah tidak dapat di analisis lebih

lanjut kedalam uji bivariat.

4. Faktor Risiko Keberadaan Langit-langit Rumah dengan

Kejadian Malaria.

Hasil analisis keberadaan langit-langit rumah terhadap kejadian

malaria dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 25. Analisis Faktor Risiko keberadaan langit-langit rumah dengan


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Keberadaan Kejadian Malaria
No Langit-langit Kasus Kontrol p-value OR (95% CI)
Rumah
1 Tidak Ada 30 28
0,483
2 Ada 0 2 0,492
(0,370-0,630)
Jumlah 30 30

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara keberadaan langit-langit rumah dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 0,483 dengan nilai

lower limit (LL) = 0,370 dan upper limit (UL) = 0,630. Karena nilai lower

limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..

Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan langit-langit rumah

tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

5. Faktor Risiko Suhu Udara dengan Kejadian Malaria


157

Hasil analisis suhu udara dalam rumah terhadap kejadian malaria

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 26. Analisis Faktor Risiko Suhu Udara dalam rumah dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Kejadian Malaria
No Suhu Udara p-value OR (95% CI)
Kasus Kontrol
1 20ºC-30ºC 7 6
1,217
2 <20ºC->30ºC 23 24 0,754
(0,355-4,170)
Jumlah 30 30
Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,754 (0,754 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara suhu udara dalam rumah dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 1,217 dengan nilai lower

limit (LL) = 0,355 dan upper limit (UL) = 4,170. Karena nilai lower limit dan

upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil

analisis ini diinterpretasikan bahwa suhu udara dalam rumah tidak

memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

6. Faktor Risiko Kelembaban Udara dengan Kejadian

Malaria

Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban di rumah responden,

tidak terdapat rumah kasus maupun rumah kontrol yang kelembabannya

≤60%. Sehingga variabel kelembaban rumah tidak dapat di analisis lebih

lanjut kedalam uji bivariat.


158

b. Faktor Lingkungan Biologi Terhadap Kejadian Malaria

1. Faktor Risiko Keberadaan Ternak Besar dengan

Kejadian Malaria

Hasil analisis keberadaan ternak besar terhadap kejadian malaria

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 27.Analisis Faktor Risiko Keberadaan Ternak Besar dengan


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Keberadaan Kejadian Malaria
No p-value OR (95% CI)
Ternak Besar Kasus Kontrol
1 Tidak 25 28 2,800
2 Ya 5 2 0,424
Jumlah 30 30 (0,498-15,734)

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,424 (0,424 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara keberadaan ternak besar dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,800 dengan nilai lower

limit (LL) = 0,498 dan upper limit (UL) = 15,734. Karena nilai lower limit

dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil

analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan hewan ternak besar tidak

memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

2. Faktor Risiko Keberadaan Semak Belukar di Sekitar

Rumah Terhadap Kejadian Malaria


159

Hasil analisis keberadaan semak belukar terhadap kejadian

malaria dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 28.Analisis Faktor Risiko Keberadaan Semak Belukar dengan


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Keberadaan Kejadian Malaria
No p-value OR (95% CI)
Ternak Besar Kasus Kontrol
1 Tidak 3 14 6,882
2 Ya 27 16 0,004
Jumlah 30 30 (1,707-27,752)

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,004 (0,004 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada

hubungan antara keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 6,882 dengan nilai lower

limit (LL) = 1,707 dan upper limit (UL) = 27,752. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria. Hasil ini

diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki semak belukar di sekitar

rumah lebih beresiko terkena malaria 6,882 kali lebih besar dari yang

rumahnya tidak ada semak belukar dengan jarak 50 meter.

3. Faktor Risiko Keberadaan Larva Anopheles spp

Terhadap Kejadian Malaria


160

Hasil analisis keberadaan larva anopheles spp terhadap kejadian

malaria dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 29. Analisis Faktor Risiko keberadaan larva anopheles spp dengan
Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Keberadaan Kejadian Malaria
Larva Kasus Kontrol
No p-value OR (95% CI)
Anopheles
spp
1 Tidak 16 24 3,500
2 Ya 14 6 0,028
Jumlah 30 30 (1,112-11,017)

asil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value penelitian

sebesar 0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada hubungan

antara keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai lower

limit (LL) = 1,112 dan upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian malaria. Hasil ini

diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki keberadaan larva

anopheles spp di sekitar rumah lebih beresiko terkena malaria 3,500 kali

lebih besar dari yang rumahnya tidak ada larva anopheles spp.

c. Faktor Pelayanan Kesehatan Tehadap Kejadian Malaria


161

1. Faktor Risiko Penyemprotan Terhadap Kejadian Malaria.

Hasil analisis pelaksanaan penyemprotan terhadap kejadian

malaria dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 30. Analisis Faktor Risiko pelaksanaan penyemprotan dengan


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Penyempro- Kejadian Malaria
No p-value OR (95% CI)
tan Kasus Kontrol
1 Tidak 18 18 1,000
2 Ya 12 12 1,000
Jumlah 30 30 (0,356-2,809)

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara penyemprotan dengan kejadian malaria. Kemudian

uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 1,000 dengan nilai lower limit (LL) =

0,356 dan upper limit (UL) = 2,809. Karena nilai lower limit dan upper limit

melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil analisis ini

diinterpretasikan bahwa penyemprotan tidak memiliki risiko yang

bermakna terhadap kejadian malaria.

d. Faktor Risiko Sosial Budaya Terhadap Kejadian Malaria

1. Faktor Risiko Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari

Tanpa Menggunakan Pelindung Terhadap Kejadian

Malaria
162

Hasil analisis Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari Tanpa

Menggunakan Pelindung terhadap kejadian malaria dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 31. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam
Hari Tanpa Menggunakan Pelindung dengan Kejadian Malaria
di Desa Awiu Tahun 2013
Kebiasaan Kejadian Malaria
No Keluar Kasus Kontrol p-value OR (95% CI)
Rumah
1 Tidak 16 12 1,714
2 Ya 14 18 0,301
Jumlah 30 30 (0,616-4,772)

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,301 (0,301 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa

menggunakan pelindung dengan kejadian malaria. Kemudian uji Odds

ratio di peroleh nilai OR = 1,714 dengan nilai lower limit (LL) = 0,616 dan

upper limit (UL) = 4,772. Karena nilai lower limit dan upper limit melewati

angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil analisis ini

diinterpretasikan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa

menggunakan pelindung tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap

kejadian malaria.
163

2. Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Obat Anti

Nyamuk dengan Kejadian Malaria

Hasil analisis kebiasaan menggunakan obat anti Nyamuk

terhadap kejadian malaria dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 32. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Obat Anti


Nyamuk dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Kebiasaan Kejadian Malaria
Menggunaka Kasus Kontrol
No p-value OR (95% CI)
n Obat Anti
Nyamuk
1 Tidak 29 28 2,071
2 Ya 1 2 1,000
Jumlah 30 30 (0,178-24,148)

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan

kejadian malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071

dengan nilai lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148. Karena

nilai lower limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak

bermakna.. Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan

menggunakan obat anti nyamuk tidak memiliki risiko yang bermakna

terhadap kejadian malaria.


164

3. Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Kelambu dengan

Kejadian Malaria

Hasil analisis kebiasaan menggunakan kelambu terhadap

kejadian malaria dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 33. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggunakan Kelambu


dengan Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Kebiasaan Kejadian Malaria
No Menggunakan Kasus Kontrol p-value OR (95% CI)
Kelambu
1 Tidak 2 0 2,071
2 Ya 28 30 0,492
Jumlah 30 30 (1,587-2,704)

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai

lower limit (LL) = 1,587 dan upper limit (UL) = 2,704. Karena nilai lower

limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..

Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggunakan

kelambu tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

4. Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian Terhadap

Kejadian Malaria
165

Hasil analisis kebiasaan menggantung pakaian terhadap kejadian

malaria dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 34. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Menggantung Pakaian dengan


Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
Kebiasaan Kejadian Malaria
No Menggantung Kasus Kontrol p-value OR (95% CI)
Pakaian
1 Tidak 1 2 2,071
2 Ya 29 28 1,000
Jumlah 30 30 (0,178-24,148)

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai

lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148. Karena nilai lower

limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.

Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggantung pakaian

tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.


166

Rekapitulasi hubungan variabel faktor risiko dengan kejadian

malaria di Desa Awiu Tahun 2013 dapat di lihat pada Tabel berikut.

Tabel 35. Rekapitulasi Hubungan Variabel Faktor Risiko dengan Kejadian


Malaria di Desa Awiu Tahun 2013
No Faktor Risiko Kategori OR 95% Cl p-value Kesimpulan
1 Keberadaan Breeding 0. Tidak ada 1,112 – 0,028 Bermakna
Site 1. Ada 11,017
3,500

2 Kondisi Dinding 0. Tidak rapat 3,763 1,038 – 0,037 Bermakna


Rumah 1. Rapat 13,646

3 Keberadaan Kawat 0. Tidak ada * * * *


Kasa pada Ventilasi 1. Ada

Keberadaan Langit- 0. Tidak ada


Langit Rumah 1. Ada
4 0,483 0,370 – 0,492 Tidak
0,630 Bermakna

Suhu Udara 0. Tidak


memenuhi
syarat
5 1. Memenuhi
syarat 0,355 – Tidak
4,170 Bermakna
1,217 0,754

0. Tidak
memenuhi
syarat
1. Memenuhi
syarat

Kelembaban Udara

* *
6 0. Tidak ada
1. Ada
* *

0. Tidak ada
1. Ada

Keberadaan Kandang 0. Tidak ada 0,498 – Tidak


Ternak 1. Ada 15,734 Bermakna

7 2,800 0,424
167

Keberadaan Semak- 0. Tidak 1,707 – Bermakna


semak 1. Ya 27,752

8 6,882 0,004
Keberadaan Larva 0. Tidak 1,112 –
1. Ya 11,017
Bermakna
Anopheles spp

0,356 –
9 3,500 0,028
2,809
Penyemprotan
0. Tidak
Tidak
1. Ya
Bermakna

0,616 –
4,772
10 1,000 1,000
Kebiasaan Keluar Tidak
Rumah pada Malam Bermakna
Hari 0. Tidak
1. Ya

0,178 –
11 1,741 24,148 0,301
Kebiasaan
Menggunakan Obat
Tidak
Anti Nyamuk
Bermakna
0. Tidak
1. Ya

Kebiasaan 1,587 –
Menggunakan 2,704
Kelambu
12 2,071 1,000
Tidak
Bermakna

Kebiasaan
Menggantung
0,178 –
Pakaian
24,148

Tidak
13 2,071 0,492 Bermakna

14 2,071 1,000

Ket : * = Tidak dapat dianalisis karena jawabannya homogen


168

4. Analisis Multivariat

Hasil analisis bivariat yang mempunyai nilai probabilitas kurang

dari 0,25 dilanjutkan analisisnya dengan menggunakan analisis statistik

multivariat regresi logistik dengan metode backward (conditional). Semua

variabel yang merupakan faktor risiko dimasukkan ke dalam proses

interasi selanjutnya variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan satu per

satu sampai dengan diperoleh variabel yang diperkirakan berperan

penting dengan kejadian malaria.

a. Pemilihan Variabel Multivariat

Variabel yang di lanjutkan pada analisis statistik multivariat adalah

Keberadaan breeding site, kondisi dinding rumah, keberadaan semak

belukar dan keberadaan larva anopheles spp. Analisis ini dimaksudkan

untuk menentukan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap

kejadian malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia.

Untuk melanjutkan keanalisis multivariat maka semua variabel

yang telah dilakukan analisis bivariat yang memiliki nilai p ≤ 0,25 dapat

dijadikan sebagai variabel terpilih. Hasil analisis yang dijadikan model

analisis multivariate dapat dilihat pada tabel 36.


169

Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel yang akan

dilakukan model analisis multivariate regresi logistik adalah Keberadaan

breeding site, kondisi dinding rumah, keberadaan semak belukar dan

keberadaan larva anopheles spp,

Tabel 36. Hasil Analisis Bivariat yang di Jadikan Model Analisis Multivariat

No Faktor Risiko Kategori OR 95% Cl p-value


1 Keberadaan 0. Tidak ada 3,500 1,112 – 11,017 0,028
Breeding Site 1. Ada

2 Kondisi Dinding 0. Tidak rapat 3,763 1,038 – 13,646 0,037


Rumah 1. Rapat

3 Keberadaan 0. Tidak Ada 6.882 1,707 – 27,752 0,004


Semak Belukar
1. Ada

Keberadaan
4 Larva 0. Tidak ada 3,500 1,112 – 11,017 0,028
1. Ada
Anopheles spp

b. Hasil Analisis Regresi Logistik

Hasil analisis regresi logistic sederhana dapat dilihat pada tabel 37:

Tabel 37. Hasil Analisis Regresi Logistik antara variabel yang


Berpengaruh terhadap Kejadian Malaria di Desa Awiu Tahun
2013.

No Convariat B S.E Wald p-value Exp.(B) 95% Cl


1 Keberadaan 1,883 0,763 6,083 0,014 6,572 1,472 –
Breeding Site 29,344
170

2 Kondisi Dinding 1,635 0,834 3,843 0,050 5,128 1,000 -


Rumah 26,281

Keberadaan 1,374 –
3 Semak-semak 1,870 0,792 5,575 0,018 6,491 30,656

Constant -2,113 0,746 8,030 0,005 0,121

Dari Tabel 37 menunjukkan bahwa setelah dilakukan uji regresi

logistic untuk melihat faktor risiko yang paling berpengaruh dari semua

variabel yang diteliti maka didapatkan bahwa faktor yang berpengaruh

secara signifikan dengan kejadian malaria adalah keberadaan breeding

site 0,014 (0,014 < 0,005).

B. Pembahasan

1. Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Malaria

a. Faktor keberadaan Breeding Site dengan kejadian malaria

Nyamuk berkembangbiak dengan baik bila lingkungannya sesuai

dengan keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembangbiak.

Kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk tidak sama

tiap jenis/spesies nyamuk. Lingkungan fisik berhubungan dengan

kehidupan nyamuk sebagai vektor malaria maupun pada kehidupan

parasit di dalam tubuh nyamuk itu sendiri (Arsin, 2012).


171

Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa Hasil

analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value penelitian sebesar

0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada hubungan antara

keberadaan breeding site dengan kejadian malaria. Kemudian uji Odds

ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai lower limit (LL) = 1,112 dan

upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower limit dan upper limit tidak

melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna. Dengan nilai OR > 1,

menunjukkan adanya hubungan positif antara keberadaan breeding site

dengan kejadian malaria. Hasil ini diinterpretasikan bahwa responden

yang memiliki breeding site di sekitar rumah lebih beresiko terkena malaria

3,500 kali lebih besar dari yang rumahnya tidak ada breeding site dengan

jarak 50 meter.

Analisis data spasial dengan menggunakan Sistim Informasi

Geografis, untuk menentukan titik koordinat dengan menggunakan alat

GPS (Global Posistioning System) dengan tujuan untuk memudahkan

peneliti menentukan rumah yang berada dalam radius 50 meter dari

breeding site. Jenis breeding site yang di temukan di sekitar rumah

responden di Desa Awiu Kecamatan Lambandia antara lain: sawah, rawa,

kubangan, sumur dan selokan. Jenis breeding site yang terbanyak adalah
172

sawah 9 (45%) dan yang paling sedikit yaitu selokan dan rawa masing-

masing 2 (10%). Keberadaan breeding site di sekitar rumah tentunya

merupakan faktor risiko terjadinya penularan malaria. Berdasarkan

penelitian dari Depkes diketahui bahwa faktor utama penularan malaria di

Sulawesi Tenggara adalah nyamuk An. barbirortris, An.subpictus,

An.vagus dan An. sundaicus. Nyamuk jenis ini dapat ditemukan di sawah,

rawa, dan kolam/ tambak yang tidak terurus, sumur, selokan dan

kubangan. Jentik akan berkumpul pada tempat yang tertutup oleh

tanaman, dan pada lumut yang mendapat sinar matahari. Terdapatnya

kasus malaria pada rumah yang disekitarnya terdapat genangan air dapat

dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa proporsi keberadaan

genangan air di sekitar rumah lebih besar pada kelompok kasus yaitu

46,7% dibanding kelompok kontrol yaitu 20%. Dengan adanya genangan

air yang ditumbuhi oleh rumput-rumput dan lumut-lumut disekitar rumah

tentunya peningkatan populasi nyamuk di sekitar rumah. Hal ini tentunya

sangat berisiko meningkatkan peluang kontak antara nyamuk sebagai

vektor malaria dengan orang yang rumahnya berada disekitar genangan

air. Berdasarkan teori nyamuk An.sundaicus An. barbirortris, An.subpictus

dan An.vagus bersifat antropofilik yaitu lebih menyukai darah manusia, jika
173

kepadatan nyamuk di sekitar rumah tinggi dan didukung dengan

ketersediaan manusia, maka akan meningkatkan kapasitas vektor

sehingga kemungkinan orang di sekitar genangan air untuk tertular

malaria akan semakin besar (Depkes, 2007).

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

di wilayah kerja puskesmas lowa di temukan bahwa sebagian besar

genangan air yang terdapat disekitar rumah responden terdapat larva

nyamuk anopheles dengan spesies yang ditemukan adalah

An.Barbirortris, An.Subpictus, An.Vagus dan An.Sundaicus (Amirullah,

2012). Penelitian ini juga di perkuat oleh penelitian Dedi Mahyudi Syam

(2010) di kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju, dimana di temukannya

spesies Anopheles di sekitar rumah responden antara lain: An. Subpictus,

An. Barbirortris dan An. Aconitus.

Penelitian ini di perkuat oleh hasil penelitian Haque et al (2011) di

Rajasthali, Bangladesh yang mengatakan bahwa adanya genangan air

disekitar rumah respoden lebih beresiko terkena malaria di banding rumah

yang tidak terdapat genangan air. Penelitian yang sama dilakukan oleh

Slamet (2010), Wahyuningtyas (2011) dan Ernawati et al (2011) yang

melaporkan bahwa rumah tangga yang disekitarnya ada tempat


174

perkembangbiakan nyamuk memiliki proporsi kejadian malaria lebih besar

dibandingkan dengan rumah tangga yang di sekitarnya tidak ada tempat

perkembangbiakan nyamuk dengan prevalence rate 1,10.

b. Faktor kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30

responden kasus kondisi dinding yang rapat 4 (13,3%) dan yang tidak

rapat 26 (86,7%) sedangkan responden kontrol yang mempunyai kondisi

dinding rumah yang rapat 11 (36,7%) dan dinding rumah yang tidak rapat

19 (63,3%). Dengan kondisi dinding tidak rapat maka nyamuk Anopheles

spp akan bebas masuk kedalam rumah pada malam hari sehingga akan

beresiko terjadinya penularan malaria.

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,037 (0,037 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada

hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,763 dengan nilai lower

limit (LL) = 1,038 dan upper limit (UL) = 13,646. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

kondisi dinding rumah dengan kejadian malaria. Hasil ini diinterpretasikan


175

bahwa responden yang memiliki dinding rumah tidak rapat lebih beresiko

terkena malaria 3,763 kali lebih besar dari yang dinding rumahnya rapat.

Hal ini disebabkan keadaan dinding rumah responden yang

terbuat dari papan maupun yang terbuat dari anyaman bambu yang

sebagian besar terdapat dinding yang tidak rapat. Keadaan dinding yang

demikian akan mempermudah masuknya nyamuk ke dalam rumah lebih

besar bila dibandingkan dengan kondisi dinding rumah yang rapat. Kondisi

tersebut menyebabakan penghuni rumah lebih potensial digigit nyamuk

Anopheles, karena nyamuk lebih leluasa masuk ke dalam rumah,

sehingga akan memperbesar risiko terjadinya penularan penyakit malaria.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh

Barragatti et al (2009) di wilayah Ouagadougou, Burkina Faso yang

melaporkan bahwa transmisi malaria terjadi akibat keadaan dinding rumah

yang buruk dan berlubang. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan

penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang

diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara kondisi dinding rumah

dengan kejadian malaria (p = 0,016, OR = 4,452). Hal ini berarti orang

yang tinggal di rumah dengan kategori dinding kondisi tidak rapat

mempunyai risiko terkena malaria 4,5 kali lebih besar. Sementara Hidayat
176

(2012) dan Getas (2012) menemukan bahwa Kondisi dinding rumah

merupakan faktor risiko terjadinya malaria artinya responden yang kondisi

rumahnya tidak rapat mempunyai risiko terkena malaria lebih besar

dibandingkan dengan responden yang dinding rumahnya rapat.

c. Faktor pemasangan kawat kasa dengan kejadian malaria

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keberadaan kawat

kasa pada ventilasi rumah responden, tidak satupun rumah yang

memasang kawat kasa pada ventilasi mereka, baik pada responden kasus

maupun responden kontrol. Sehingga variabel keberadaan kawat kasa

pada ventilasi rumah tidak dapat di analisis lebih lanjut kedalam uji

bivariat. Melihat kondisi tersebut, nampaknya pemasangan kasa pada

ventilasi jendela maupun pintu belum menjadi budaya dan belum

dianggap penting.

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di

Wilayah kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga,

berdasarkan analisis bivariat didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan

antara keberadaan kasa ventilasi dengan kejadian malaria (p= 0,161).

Banyak rumah penduduk di wilayah Puskesmas Rembang tidak

memasang kasa pada ventilasi rumahnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil
177

penelitian bahwa proporsi rumah tidak memakai kasa nyamuk pada

kelompok kasus (80,0%), sedangkan pada kelompok kontrol (96,3%).

(Anjasmoro, 2013).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Kampar

Kiri Tengah Kabupaten Kampar, analisis hubungan antara penggunaan

kawat kasa nyamuk dengan kejadian malaria berdasarkan tabulasi silang

(uji chi square), diperoleh nilai p = 0,027 yang berarti secara statistik

mempunyai hubungan yang bermakna. Dalam uji tersebut diperoleh Odds

Ratio 2,3 dengan confidence interval (CI) 95 % = 1,153 – 4,513 dengan

responden yang tidak memasang kawat kasa nyamuk mempunyai risiko

terkena malaria sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan responden yang

memasang kawat kasa nyamuk (Erdinal, 2006).

Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan antara ventilasi

rumah dengan kejadian malaria di Desa Ketosari Kecamatan Bener

Kabupaten Purworejo (nilai p sebesar 0,013, OR = 5,20). Dari hasil

perhitungan OR = 5,20 (Confidence Interval (CI) 95% = 1,3 – 19,7) dapat

diartikan bahwa keluarga yang tinggal di rumah dalam kondisi ventilasi

yang tidak dipasang kawat kasa mempunyai risiko untuk tertular penyakit
178

malaria 5 kali lebih besar dibanding dengan keluarga yang tinggal di

rumah yang ventilasinya dipasang kawat kasa (Aprilia, 2009).

d. Faktor keberadaan langit- langit dengan kejadian malaria

Langit-langit merupakan pembatas ruangan dinding bagian atas

dengan atap yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu

halus. Jika tidak ada langit-langit berarti ada lobang atau celah antara

dinding dengan atap sehingga nyamuk lebih leluasa masuk ke dalam

rumah. Dengan demikian risiko untuk kontak antara penghuni rumah

dengan nyamuk Anopheles lebih besar dibanding dengan rumah yang ada

langit-langitnya (Depkes RI, 1999).

Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa keberadaan langit-

langit rumah hanya terdapat pada kelompok kontrol yaitu dari 30

responden kelompok kontrol hanya terdapat 2 (6,7%) yang memiliki langit-

langit dan yang tidak memiliki langit-langit sebanyak 28 ( 93,3%).

Hasil analisi statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara keberadaan langit-langit rumah dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 0,483 dengan nilai

lower limit (LL) = 0,370 dan upper limit (UL) = 0,630. Karena nilai lower
179

limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..

Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan langit-langit rumah

tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan

oleh Stefani et al (2011) di Camopi, French Guiana dalam jurnalnya yang

berjudul Environmental, Entomological, Sosioeconomic and Behavioural

Risk Factor for Malaria Attacks in Ameridian Children, melaporkan bahwa

tidak ada hubungan yang significant antara kondisi langit-langit rumah

yang buruk pada anak-anak kelompok kasus dan kontrol karena kondisi

kedua kelompok ini adalah sama sehingga menyebabkan tingginya

transmisi malaria. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hidayat

(2012) keberadaan langit-langit rumah tidak memiliki risiko terhadap

kejadian malaria.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Desa Keto Sari

Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Hasil analisis statistik melalui uji

chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara langit-langit rumah

dengan kejadian malaria bahwa nilai α = 0,05 dengan p (value) = 0,002.

Besar hubungan tersebut dari odds ratio diperoleh 8,5 yang berarti bahwa

keluarga yang tinggal di rumah dalam kondisi tidak terdapat langit-langit


180

pada semua atau sebagian ruangan rumah mempunyai risiko untuk

terjadinya penyakit malaria 8-9 kali dibanding keluarga yang tinggal di

rumah yang terdapat langit-langit pada semua bagian ruangan rumah

(Aprilia 2009).

e. Faktor suhu udara dengan kejadian malaria

Perubahan suhu mempunyai efek terhadap periode

perkembangan nyamuk, meliputi siklus hidup nyamuk, frekuensi mengisap

darah, umur nyamuk (longevity), dan siklus gonotropik (suatu periode

waktu pematangan telur, sejak nyamuk mengisap darah sampai dengan

telur matang dan siap untuk dikeluarkan) (Arsin, 2012).

Pada suhu yang meningkat, aktivitas pencarian darah nyamuk

juga meningkat, pada gilirannya akan mempercepat perkembangan

ovarium, telur, dan mempersingkat siklus gonotropik, serta frekuensi

menggigit pada manusia meningkat pula sehingga kemungkinan

meningkatkan transmisi atau penyebarab penyakit (Arsin, 2012).

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,754 (0,754 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara suhu udara dalam rumah dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 1,217 dengan nilai lower
181

limit (LL) = 0,355 dan upper limit (UL) = 4,170. Karena nilai lower limit dan

upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil

analisis ini diinterpretasikan bahwa suhu udara dalam rumah tidak

memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

Tidak ada pengaruh faktor suhu udara dengan kejadian malaria di

Desa Awiu disebabkan karena suhu di lokasi penelitian baik kasus

maupun kontrol sama yaitu berkisar antara 20- 34ºC, Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa suhu ini sangat memungkinkan sekali untuk

perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk. Suhu yang optimum berkisar

antara 20ºC -30ºC, sedangkan suhu yang sedikit dibawah suhu optimum

dan sedikit diatas optimum masih memungkinkan untuk perkembangan

parasit dalam tubuh nyamuk.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Eckhoff (2011) dalam jurnal malaria yang berjudul A Malaria

Transmission Directed Model of Mosquitoes Life Cycle and

Ecology, menemukan bahwa perkembangan vektor malaria mulai

dari stadium telur hingga menjadi nyamuk dewasa sampai

terjadinya transmisi malaria memerlukan suhu antara 25 - 30ºC.


182

Hasil penelitian di Dulanpokpok Kabupaten Fakfak

didapatkan hasil bahwa suhu udara selama penelitian berlangsung

24,3ºC sampai 25,8ºC hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada

saat suhu udara tinggi yakni bulan mei (25,8ºC) rata-rata kepadatan

An. Punculatus 1,34/ekor/orang/malam. Sementara itu disaat suhu

udara rendah bulan juli sebesar (24,3ºC) kepadatan An. Punculatus

sebesar 0,59 ekor/orang/malam, terlihat dalam pengamatan ini ada

kecenderungan disaat terjadi penurunan suhu udara terjadi

penurunan kepadatan nyamuk An. Punculatus, demikian

sebaliknya pada saat terjadi kenaikan suhu udara kepadatan

nyamuk An. Punculatus ikut meningkat. Hasil uji korelasi

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sangat lemah kearah

negative sebesar 0,080 antara suhu udara dengan kepadatan

nyamuk An. Punculatus, hubungan tersebut tidak berbeda nyata

antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk pada taraf

kesalahan 5 % (Saputro, 2010).

f. Faktor kelembaban udara dengan kejadian malaria

Kelembaban mempengaruhi ke langsungan hidup dan kebiasaan

nyamuk menghisap. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur


183

nyamuk, sebaliknya kelembaban tinggi memperpanjang umur nyamuk.

Pada kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk akan menjadi lebih aktif dan

lebih sering menggigit (Gunawan, 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden baik

kasus maupun kontrol memiliki kondisi kelembaban dalam rumah

memenuhi syarat, sehingga faktor risiko kelembaban dalam rumah tidak

terukur sebagai faktor risiko terjadinya penyakit malaria, senada dengan

penelitian Yawan (2006), dimana tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara kelembaban dengan kejadian malaria.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh

Suwito, dkk (2010) Kepadatan Anopheles per orang per malam

dipengaruhi oleh kelembaban udara dan curah hujan. Hasil perhitungan

statistik kelembaban udara mempunyai hubungan bermakna dengan

kepadatan Anopheles per orang per malam (p=0,025). Kepadatan

Anopheles 40,5% dipengaruhi oleh kelembaban udara. Kelembaban

udara berfluktuasi, dengan rata-rata tertinggi pada Desember sebesar

84,30% dan terendah pada Agustus sebesar 76%. Kelembaban udara

mempunyai hubungan bermakna dengan kepadatan nyamuk Anopheles

per orang per malam (MBR). Hal ini dibuktikan berdasarkan uji statistik
184

korelasi pearson pada C=0,05 didapatkan nilai p=0,026 (p<0,05). Nilai

koefesien determinasi sebesar 0,405, artinya kepadatan Anopheles 40,5%

dipengaruhi oleh kelembaban udara, selebihnya 59,5% oleh faktor lain di

luar kelembaban udara.

2. Faktor Lingkungan Biologi dengan Kejadian Malaria

a. Faktor keberadaan ternak besar dengan kejadian malaria

Kandang ternak merupakan tempat peristirahatan vektor nyamuk

malaria sebelum dan sesudah kontak dengan manusia, karena sifatnya

terlindung dari cahaya matahari dan lembab. Selain itu beberapa jenis

nyamuk Anopheles ada yang bersifat zoofilik dan antropofilik atau

menyukai darah binatang dan darah manusia. Sehingga keberadaan

kandang ternak berisiko untuk terjadinya kasus malaria.

Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus terdapat 5 (16,7%) rumah yang memiliki hewan ternak di sekitar

rumah, sedangkan pada kelompok kontrol dari 30 responden hanya

terdapat 2 (6,7%) rumah yang memiliki hewan ternak.

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,424 (0,424 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara keberadaan ternak besar dengan kejadian malaria.


185

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,800 dengan nilai lower

limit (LL) = 0,498 dan upper limit (UL) = 15,734. Karena nilai lower limit

dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil

analisis ini diinterpretasikan bahwa keberadaan hewan ternak besar tidak

memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

Nyamuk Anopheles lebih menyukai hewan ternak besar berupa

sapi, kambing, dan kuda dibandingkan dengan ayam, itik, anjing dan

kucing. Di Desa Awiu sebagian besar memiliki ternak ayam dan itik.

Hewan tersebut bukan jenis hewan yang disukai nyamuk untuk

persinggahan. Hal ini yang menyebabkan tidak ada hubungan signifikan

antara kepemilikan kandang ternak dengan kejadian penyakit malaria di

Desa Awiu Kecamatan Lambandia.

Penelitian yang sama juga dilakukan Wilayah Kerja Puskesmas

Biak menunjukkan bahwa 57,6% ibu hamil yang pernah menderita malaria

memiliki rumah dengan jarak kandang ternak yang jauh. Berdasarkan uji

statistik dengan chi-square hasil RR sebesar 3,844 dengan CI= 1,984-

7,448 dengan nilai P=0,000 bermakna secara statistik yang artinya ibu

hamil yang tinggal dengan jarak kandang ternak yang jauh dengan rumah

memiliki resiko 3,844 kali lebih besar menderita malaria dibandingkan ibu
186

hamil yang tinggal dengan jarak kandang ternak yang dekat dengan

rumah (Tuzzulfa, 2012).

Penelitian ini di perkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh

Harmendo (2008) di Wilayah Kerja Puskesamas Kenanga Kecamatan

Sungai Liat, yang melaporkan bahwa berdasarkan uji Chi-Square

didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan

kandang ternak dengan kejadian malaria nilai (p = 0,67, OR = 1,3 dengan

95% Cl = 0,56 - 3,02). Walaupun faktor keberadaan kandang ternak di

sekitar rumah memiliki risiko 1,3 kali menyebabkan malaria tetapi tidak

terbukti secara statistik berhubungan dengan kejadian malaria. Hasil yang

sama juga di peroleh dari hasil penelitian yang dilakukan Budiyanto (2011)

di Kabupaten Oku, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara keberadaan kandang ternak di sekitar rumah dengan

kejadian malaria (p=0,519).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erdinal (2006)

yang melaporkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

memelihara ternak besar dengan kejadian malaria (p = 0,001).

Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai Odds Ratio 3,3 dengan

confidence interval (CI) 95% 1,650 – 6,693, yang artinya responden yang
187

disekitar tempat tinggalnya tidak memelihara ternak besar mempunyai

risiko sebesar 3,3 kali dibandingkan dengan responden yang disekitar

tempat tinggalnya ada ternak besar.

Begitu juga yang didapatkan oleh Aprilia (2009), menunjukkan

bahwa ada hubungan antara keberadaan kandang ternak dengan

kejadian malaria di Desa Ketosari Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo

pada α = 0,05 dengan p-value = 0,000. Besar hubungan tersebut dari hasil

odds ratio diperoleh angka sebesar 0,01 berarti keluarga yang tinggal di

rumah dengan kondisi terdapat kandang ternak di sekitar rumah

mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit malaria 0,01 kali dibanding

dengan keluarga yang tinggal di rumah dengan kondisi tidak terdapat

kandang ternak di sekitar rumah.

b. Faktor keberadaan semak- semak dengan kejadian malaria

Keberadaan semak (vegetasi) yang rimbun akan mengurangi

sinar matahari masuk/ menembus permukaan tanah, sehingga lingkungan

sekitarnya akan menjadi teduh dan lembab. Kondisi ini merupakan tempat

yang baik untuk untuk beristirahat bagi nyamuk dan juga tempat

perindukan nyamuk yang di bawah semak tersebut terdapat air yang

tergenang.
188

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30

responden kasus keberadaan semak belukar di sekitar rumah 27 (90%)

dan yang tidak memiliki semak belukar hanya 3 (10%) sedangkan

responden kontrol keberadaan semak belukar di sekitar rumah 16 (53,3%)

dan yang tidak memiliki semak belukar14 (46,7%).

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,004 (0,004 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada

hubungan antara keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria.

Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 6,882 dengan nilai lower

limit (LL) = 1,707 dan upper limit (UL) = 27,752. Karena nilai lower limit

dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

keberadaan semak belukar dengan kejadian malaria. Hasil ini

diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki semak belukar di sekitar

rumah lebih beresiko terkena malaria 6,882 kali lebih besar dari yang

rumahnya tidak ada semak belukar dengan jarak 50 meter.

Hal ini disebabkan semak-semak yang rimbun dan tidak bias

ditembus oleh sinar matahari berada dekat di sekitar rumah. Dilihat dari

bionomik nyamuk Anopheles di daerah Ketosari bahwa pada siang hari


189

Anopheles maculatus dan Anopheles balabacensis ditemukan istirahat di

semak-semak. Keberadaan semak-semak yang rimbun akan menghalangi

sinar matahari menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-

semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh serta lembab dan

keadaan ini merupakan tempat istirahat yang disenangi nyamuk

Anopheles, sehingga jumlah populasi nyamuk di sekitar rumah bertambah

dan menyebabkan keluarga yang tinggal di rumah yang terdapat semak di

sekitarnya mempunyai risiko untuk terjadi penularan penyakit malaria

dibanding dengan keluarga yang tinggal di rumah tidak ada semak-semak

di sekitarnya (Lestari dkk, 2007).

Penelitian ini di perkuat oleh Aprilia (2009) yang melaksanakan

penelitian di Desa Ketosari Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, hasil

analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan

antara semak-semak dengan kejadian malaria di Desa Ketosari

Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo pada _ = 0,05 dengan p (value) =

0,019. Besar hubungan tersebut dari hasil odds ratio diperoleh angka

sebesar 0,1 berarti keluarga yang tinggal di rumah dengan kondisi

terdapat semak-semak di sekitar rumah mempunyai risiko untuk terjadinya


190

penyakit malaria 0,1 kali dibanding dengan keluarga yang tinggal di rumah

dengan kondisi tidak terdapat semak-semak di sekitar rumah.

c. Faktor keberadaan larva Anopheles dengan kejadian malaria

Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus keberadaan larva Anopheles di sekitar rumah 14 (46,7%) dan yang

tidak memiliki larva Anopheles 16 (53,3%) sedangkan responden kontrol

keberadaan larva Anopheles di sekitar rumah 6 (20%) dan yang tidak

memiliki larva Anopheles 24 (80%).

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,028 (0,028 < 0,05) berarti Ho di tolak, artinya ada

hubungan antara keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 3,500 dengan nilai

lower limit (LL) = 1,112 dan upper limit (UL) = 11,017. Karena nilai lower

limit dan upper limit tidak melewati angka 1 maka dinyatakan bermakna.

Dengan nilai OR > 1, menunjukkan adanya hubungan positif antara

keberadaan larva anopheles spp dengan kejadian malaria. Hasil ini

diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki keberadaan larva

anopheles spp di sekitar rumah lebih beresiko terkena malaria 3,500 kali

lebih besar dari yang rumahnya tidak ada larva anopheles spp.
191

Penelitian ini sesuai yang dilakukan di Lampung Barat bahwa

Keberadaan Larva Anopheles di sawah yang akan ditanami dan mulai

diberi air, yang masih ada batang padi dan jerami yang berserakan,

merupakan sarang yang sangat baik untuk perkembangbiakan nyamuk

(Mardiana, 2009).

Persawahan merupakan salah satu tempat perindukan nyamuk

malaria. Keterjangkauan habitat vektor malaria dari tempat aktivitas

manusia, dipengaruhi oleh jenis nyamuk dalam terbang dan kecepatan

angin. Jarak antara rumah dengan persawahan merupakan faktor risiko

terjadinya penyakit malaria. Bentuk campur tangan manusia dalam

pengolahan lahan pertanian, contohnya pola penanaman padi terus-

menerus yang menyebabkan tersedianya genangan air menyebabkan

siklus hidup nyamuk tidak terputus. Jenis nyamuk malaria yang tempat

perkembangbiakan di persawahan adalah jenis An. Aconitus (Saxena et

al., 2009).

3. Faktor Pelayanan Kesehatan dengan Kejadian Malaria

Faktor penyemprotan dengan kejadian malaria

Program pemberantasan penyakit malaria selain dengan cara

pengobatan terhadap penderita, dilakukan pula dengan cara


192

pemberantasan vektornya. Pemberantasan terhadap vektor malaria yang

selama ini dilakukan antara lain dengan cara penyemprotan

menggunakan insektisida.

Pemberantasan malaria di Indonesia merupakan bagian dari

program pemberantasan penyakit tular vektor yang hingga saat ini masih

bermasalah karena belum bisa ditangani dengan tuntas. Hal tersebut

ditandai dengan masih tingginya kasus malaria baik di Jawa maupun di

luar Jawa, bahkan di beberapa daerah dilaporkan adanya kejadian luar

biasa malaria (Depkes 2001).

Penyemprotan yang dilakukan di Desa Awiu dibagi dalam dua

siklus, dimana tiap siklus dilakukan selama enam bulan sekali. Yaitu siklus

pertama pada bulan januari dan siklus kedua pada bulan juli dimana

penyemprotan dilakukan dengan menggunakan insektisida. Namun

berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa pelaksanaan

penyemprotan pada tahun 2012 hanya dilakukan sekali saja yaitu siklus

pertama saja dan juga pada tahun 2013 hanya dilakukan siklus pertama

saja. Hal ini tidak memenuhi salah satu syarat penyemprotan yaitu

keteraturan (Regularity) dimana dalam keteraturan itu pun harus

dipertimbangkan berdasarkan bulan dimana kepadatan vektor meningkat.


193

Upaya pemberantasan malaria telah lama dilakukan, namun

hasilnya masih belum sesuai dengan harapan. Kendala umum yang

dijumpai dalam pemberantasan malaria ini antara lain disamping kualitas

pemberantasan khususnya dalam penyemprotan rumah belum sesuai

dengan syarat-syarat yang ditentukan. Upaya pemberantasan juga belum

didasarkan pada pengetahuan bionomik vektornya sehingga tindakan

yang dilakukan tidak efektif dan efisien belum tepat sasaran, belum tepat

waktu dan cara, jenis dan dosis insektisida juga tidak tepat. Pengendalian

vektor dengan cara konvensional mengunakan insektisida diketahui

kurang efektif karena dapat mengakibatkan matinya flora maupun fauna

non target, timbulnya pencemaran lingkungan dan resistensi terhadap

insektisida tertentu bahkan sering terjadi resistensi silang (cross

resistance), yang mengurangi efektifitas pengendalian. Karena upaya

pengendalian malaria belum memberikan hasil yang memadai, maka

diperlukan cara lain untuk membantu pemberantasan vektor malaria,

antara lain dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) (Unicef, 2001).

4. Faktor Sosial Budaya dengan Kejadian Malaria

a. Faktor kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan

kejadian malaria
194

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,301 (0,301 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa

menggunakan pelindung dengan kejadian malaria. Kemudian uji Odds

ratio di peroleh nilai OR = 1,714 dengan nilai lower limit (LL) = 0,616 dan

upper limit (UL) = 4,772. Karena nilai lower limit dan upper limit melewati

angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna.. Hasil analisis ini

diinterpretasikan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa

menggunakan pelindung tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap

kejadian malaria.

Tidak adanya pengaruh kebiasaan keluar rumah dengan kejadian

malaria di Desa Awiu dikarenakan proporsi orang yang punya kebiasaan

di luar rumah pada malam hari pada kelompok kasus hampir sama

dengan kelompok kontrol. Kebiasaan di luar rumah pada malam hari pada

kedua kelompok ini sama yakni tanpa menggunakan pelindung sehingga

berisiko terjadinya kontak antara orang sehat dengan nyamuk Anopheles

spp. yang membutuhkan darah untuk memenuhi siklus gonotropiknya.

Jika nyamuk yang menggigit mengandung sporozoid dalam kelenjar

ludahnya, maka peluang orang tertular malaria akan semakin besar.


195

Berdasarkan hasil wawancara dilokasi penelitian ditemukan bahwa

kegiatan responden kasus pada malam hari di luar rumah 57,1 %

sedangkan untuk respoden kontrol 42,9 %.

Menurut Becker (2010) dalam bukunya Mosquitoes and Their

Control mengemukakan bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan

keluar rumah pada malam hari memudahkan gigitan nyamuk diluar rumah,

sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya infeksi malaria. Waktu

mencari darah nyamuk Anopheles pada umumnya malam hari dengan

kecenderungan menggigit mulai senja hingga tengah malam. Anopheles

lebih cenderung bersifat eksofagik (mencari darah di luar rumah), apabila

pada malam hari di luar rumah tidak ada orang, nyamuk ini masuk

kerumah orang untuk menggigit orang.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30

responden kasus jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan adalah jaga

kebun 10 (62,5%) dan sisanya ngobrol 6 (37,5%) sedangkan responden

kontrol jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan jaga kebun 9 (75%),

kegiatan yang jarang dilakukan ngobrol 2 (16,7%) dan main kartu 1

(8,3%). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Hasan Husin (2007), hasil analisis bivariat variabel kebiasaan keluar
196

rumah malam hari dengan kejadian malaria didapat nilai p = 0,730 atau p

> 0,05. Secara statistik dapat dikatakan tidak ada hubungan antara

kebiasaan keluar rumah malam hari dengan kejadian malaria.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di

Wilayah Kerja Puskesmas Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, hasil analisis

bivariat variabel kebiasaan keluar rumah malam hari dengan kejadian

malaria didapat nilai p = 0,560 atau p > 0,05. Secara statistik dapat

dikatakan tidak ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah malam hari

dengan kejadian malaria (Imbiri dkk, 2012).

Berbeda denganpenelitian yang dilakukan di Kelurahan Poboya

Kecamatan Palu Timur Kota Palu, Ada hubungan antara kebiasaan

berada di luar rumah pada malam hari dengan kejadian penyakit Malaria,

dengan nilai P = 0,000 (P Value < 0,5) dan responden yang memiliki

kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari mempunyai peluang 8

kali untuk tertular penyakit Malaria di banding dengan responden tidak

biasa berada di luar rumah pada malam hari (Iwan, 2011).

b. Faktor kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan

kejadian malaria
197

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan

kejadian malaria (p = 1,000). Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR =

2,071 dengan nilai lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148.

Karena nilai lower limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan

tidak bermakna. Dapat diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggunakan

obat anti nyamuk tidak memiliki pengaruh yang bermakna terhadap

kejadian malaria di Desa Awiu.

Tidak terbuktinya kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk

sebagai faktor kejadian malaria karena, berdasarkan hasil pengamatan

selama penelitian ini ditemukan semua responden kasus tidak

mempunyai kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk. Begitu juga pada

responden kontrol hanya sebagian kecil yang mempunyai kebiasaan

menggunakan obat anti nyamuk (6,7%), sehingga antara kelompok kasus

dan kelompok kontrol memiliki peluang yang sama untuk digigit nyamuk

pada malam hari.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Harmendo (2008)

Berdasarkan analisa bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian


198

malaria dimana p = 0,25. dari perhitungan Odds Ratio menunjukkan

kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk berisiko menyebabkan

kejadian malaria (OR= 1,5) namun tidak terbukti secara bermakna

berhubungan dengan kejadian malaria (95% Cl= 0,806-2,92).

Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh

Anjasmoro (2013) di Puskesmas Rembang yang melaporkan berdasarkan

hasil analisis bivariat diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara

penggunaan obat nyamuk dengan kejadian malaria (p = 0,759). Alasan

yang dapat diberikan adalah berdasarkan hasil wawancara di lapangan,

dimana responden biasanya menggunakan obat anti nyamuk yang

diletakkan di dalam kamar tidur. Sedangkan peluang terjadinya kontak

antara nyamuk dengan orang sehat tidak hanya di dalam kamar tidur

tetapi juga di ruangan lain.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto

(2011), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

pemakaian anti nyamuk dengan kasus malaria di Kecamatan

Pengandonan Kabupaten OKU, dengan nilai OR=0,231 dan p = 0,0001

(95% CI0,130-0,409). Dapat diinterpretasikan bahwa orang yang memakai

anti nyamuk pada saat tidur pada malam hari hanya akan berisiko terkena
199

malaria sebesar 0,23 kali dibanding dengan mereka yang tidur tidak

memakai anti nyamuk.

c. Faktor kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian

malaria

Pemakaian kelambu adalah salah satu usaha untuk menghindari

gigitan nyamuk yang diharapkan dapat menurunkan kejadian malaria. Hal

ini menunjukkan bahwa pencegahan gigitan nyamuk dengan

menggunakan kelambu sangat dianjurkan sesuai dengan program

Departemen Kesehatan (Depkes 2003).

Berdasarkan Tabel 31 menunjukkan bahwa dari 30 responden

kasus yang menggunakan kelambu 28 (93,3%) dan yang tidak

menggunakan 2 (6,7%), sedangkan respoden kontrol dari 30 responden

semua respoden menggunakan kelambu 30(100%).

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 0,492 (0,492 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai

lower limit (LL) = 1,587 dan upper limit (UL) = 2,704. Karena nilai lower

limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
200

Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggunakan

kelambu tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

Tidak terbuktinya kebiasaan menggunakan kelambu karena

meskipun ada responden yang mengatakan bahwa saat tidur

menggunakan kelambu tetapi berdasarkan pengamatan saat tidur mereka

keluar dari kelambu karena kepanasan sehingga menyebabkan nyamuk

menggigit mereka. Dimana aktiitas nyamuk menggigit pada malam hari

mulai dari jam 20.00 sampai jam 04.00 (Depkes, 2007).

Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan upaya yang efektif

untuk mencegah dan menghindari kontak antara nyamuk Anopheles spp

dengan responden pada saat tidur pada malam hari.

Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Anjasmoro (2013) di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten

Purbalingga berdasar hasil analisis bivariat diketahui bahwa tidak ada

hubungan kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian malaria

(p=0,479).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Hidayat (2012), hasil analisis menunjukkan bahwa p-value penelitian

sebesar 0,008 (0,008 < 0,005) berarti Ho ditolak artinya ada hubungan
201

antara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria, hasil ini di

interpretasikan bahwa respoden yang tidak menggunakan kelambu lebih

beresiko terkena malaria 10,714 kali lebih besar dari yang menggunakan

kelambu.

d. Faktor kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian

malaria

Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa dari 30

responden kasus yang biasa menggantung pakaian di dalam kamar

29 (96,7%) dan yang tidak menggantung pakaian di dalam kamar 1

(3,3%), sedangkan dari 30 respoden kontrol yang sering

menggantung pakaian di dalam kamar 28(93,3%) dan yang tidak

menggantung pakaian di dalam kamar 2 (6,7%).

Hasil analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa p-value

penelitian sebesar 1,000 (1,000 > 0,05) berarti Ho di terima, artinya tidak

ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian

malaria. Kemudian uji Odds ratio di peroleh nilai OR = 2,071 dengan nilai

lower limit (LL) = 0,178 dan upper limit (UL) = 24,148. Karena nilai lower

limit dan upper limit melewati angka 1 maka dinyatakan tidak bermakna..
202

Hasil analisis ini diinterpretasikan bahwa kebiasaan menggantung pakaian

tidak memiliki risiko yang bermakna terhadap kejadian malaria.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan suwito (2005)

Adanya kebiasaan menggantung pakaian pada kelompok kasus sebesar

77,8% dan pada kelompok kontrol 71,1%. Hasil uji statistic dipdapatkan

hasil nilai p=0,629 dengan OR=1,4(95% Cl= 0,55-3,69) berarti kebiasaan

menggantung pakaian bukan menjadi resiko.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di

Wilayah Kerja Puskesmas Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, hasil analisis

bivariat variabel kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian

malaria didapat nilai p-value = 0,551 atau p > 0,05. Secara statistik dapat

dikatakan tidak ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian

dengan kejadian malaria (Imbiri et al, 2012).

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol (case

control) dimana penetuan subyek penelitian berdasarkan status penyakit,

dalam hal ini kejadian malaria, kemudian dilakukan pengamatan tentang

riwayat keterpaparan terhadap faktor risiko lingkungan fisik, lingkungan


203

biologi, pelayanan kesehatan dan sosial budaya. Pengukuran variabel

bebas maupun variabel terikat dilakukan satu kali pada saat yang relatif

bersamaan, sehingga terdapat beberapa kelemahan antara lain :

1. Penentuan kelompok kasus didasarkan pada diagnosa tenaga medis

berdasarkan sediaan darah yang positif mengandung Plasmodium

falcifarum, dimana rata–rata kasus perbulan sangat kecil dibanding

jumlah pengunjung keseluruhan yang positif malaria, sehingga

jumlah kasus dalam penelitian ini terlalu sedikit seharusnya kontrol

digandakan. Oleh sebab itu hasil yang diperoleh belum tentu

mewakili populasi yang sebenarnya. Kemungkinan adanya bias

informasi yang diperoleh dari responden karena keterbatasan

mengingat kejadian yang sudah terjadi.

2. Kemungkinan adanya bias informasi khususnya untuk faktor perilaku

responden karena peneliti tidak melakukan observasi khusus

terhadap informasi yang diperoleh

3. Tidak semua faktor risiko kejadian malaria diteliti karena

keterbatasan waktu dan biaya. Selain itu variabel perancu lingkungan

lain seperti pencahayaan, curah hujan kecepatan angin dan lain-lain

tidak diteliti.
204

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian Analisis Faktor – Faktor Yang

Mempengaruhi Kejadian Malaria di Desa Awiu Kecamatan Lambandia

Kabupaten Kolaka, maka dapat disimpulkan anatar lain:

1. Faktor lingkungan fisik yang berpengaruh secara signifikan terhadap

kejadian malaria di Desa Awiu adalah keberadaan breeding site dan

kondisi dinding rumah

2. Faktor lingkungan biologi yang berpengaruh secara signifikan

terhadap kejadian malaria di Desa Awiu adalah keberadaan semak

belukar dan keberadaan larva Anopheles spp.

3. Faktor pelayanan kesehatan tidak berpengaruh terhadap kejadian

malaria di Desa Awiu.

4. Faktor sosial budaya seperti kebiasaan keluar rumah pada malam hari,

kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggunakan

kelambu dan kebiasaan menggantung pakaian tidak berpengaruh

terhadap kejadian malaria di Desa Awiu.


205

5. Hasil analisis multivariat diperoleh bahwa faktor yang paling

berpengaruh terhadap kejadian malaria di Desa Awiu adalah

keberadaan breeding site.

B. Saran

1. Bagi Instansi Kesehatan

a. Diperlukan adanya tambahan penyuluhan kesehatan bagi

masyarakat khususnya tentang malaria. Hal ini dapat dilakukan

melalui sosialisasi pada saat PKK, Posyandu, atau pada saat ke

Puskesmas.

b. Perlunya pembangunan sarana pelayanan kesehatan dan

penambahan tenaga kesehatan khususnya yang menangani

penyakit malaria.

2. Bagi Masyarakat

a. Melakukan pemberantasan habitat perkembangbiakan nyamuk

seperti menutup sumur yang sudah tidak dipakai, menutup

kubangan dan memperlancar aliran air selokan agar tidak

tergenang.
206

b. Membersihkan semak-semak yang ada di sekitar rumah secara

teratur.

c. Dinding rumah dibuat rapat agar nyamuk tidak dapat masuk ke

dalam rumah.

3. Bagi Peneliti Berikutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk

melakukan penelitian tentang penyakit malaria. Karena pada dasarnya

masih terdapat faktor lain yang menyebabkan kejadian penyakit malaria

seperti tingkat imunitas dan sosial ekonomi.


207

Daftar Pustaka

Ahmadi, S. 2008. Faktor Risiko Kejadian Malaria di Desa Lubuk Nipis


Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim. Tesis
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Amirullah. 2012. Karakteristik Lingkungan Habitat Perkembangbiakan dan
Korelasinya dengan Spesis dan Kepadatan Larva Anopheles spp
di kabupaten Kepulauan Selayar. Tesis Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Anonim. 2009. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. (Online),
http://infeksi.wordpress.com/2009/05/06/malaria/ diakses 19
Februari 2013.
Aprilia, P. 2009. Hubungan kondisi fisik rumah dan Lingkungan Sekitar
Rumah Dengan Kejadian Malaria di Desa Ketosari Kecamatan
Bener Kabupaten Purworejo. Sripsi Universitas Muhammadiyah,
Surakarta.

Arsin, A. Arsunan 2012. Malaria di Indonesia. Tinjauan Aspek


epidemiologi. Makassar: Masagena Press.
Anjasmoro, R. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten
Purbalingga. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 2, No. 1 Tahun
2013.
Babba I. 2007. Faktor-faktor Risiko yang mempengaruhi Kejadian malaria
(Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota
Jayapura). Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.
Barodji. 1987. Fluktuasi Kepadatan Populasi Vektor Malaria An. aconitus
Di Daerah Sekitar Persawahan. Proc. Seminar Entomologi II,
Jakarta.
Barodji. 2000. Bionomik Nyamuk Anopheles spp di Daerah Endemis
Malaria di Kabupaten Pekalongan. Seri Biologi, Fakultas Biologi
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Barodji dan Suwasono, H. 2001. Keberadaan Sapi dan Kerbau di Daerah
Pedesaan dan Pengaruhnya Terhadap Vektor Malaria. Balai
Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga.
Becker et al. 2010. Mosquitos and Their Control. Secon Edition, Springer
Heidelberg Dordrecht London, New York.
Beth, K., Scholthof, G. 2007. The Disease Triangle: Pathogens, The
Environment and Society. Nature Publising Group, 5.
Budiyanto. A. Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria
di Daerah Endemis di Kabupaten Oku. Jurnal Pembangunan
Manusia. Vol.5 No.2 Tahun 2011.
Boesri Hasan dan Boewono, D. T. 2006. Situasi Malaria dan Vektornya di
desa Giri Tengah dan desa Giri Purno Kecamatan Borobudur
208

Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan


Vol. 5 No. 3, Desember 2006 : 458 – 471.
CDC. 2004. Malaria: Anopheles Mosquitoes, National Center for Infectious
Diseases. Division of Parasitic Diseases.
Clements, A. N. 1992. The Biology Mosquitoes. Vol. 1. CABI Publishing.
London.
Damar, T.B. 2002. Studi Epidemiologi Malaria di Daerah Endemi Malaria
Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. (Online),
(http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-
2002-damar-1737-malaria diakses 20 Februari 2013).
Damar T. 2008. Mata Kuliah Pengendalian Vektor Nomenklatur, Klasifikasi
dan Toxonomi Nyamuk. Pascasarjana Kesehatan Lingkungan
Universitas Diponegoro, Semarang.
Departemen Kesehatan R.I. 1987. Ekologi Vektor dan Beberapa Aspek
Perilaku. Jakarta: Ditjen. PPM dan PL Departemen Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 2003. Laporan Pelatihan Dinamika Penularan
dan Faktor Resiko Malaria bagi Petugas Propinsi-Kabupaten
Regional Sumatera, Palembang. Sub Direktorat Malaria.
Departemen Kesehatan R.I. 1989. Kumpulan Buletin Riset Nyamuk
(Mosquito) di Indonesia. Ditjen. PPM dan PLP Departemen
Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 1999. Modul Epidemiologi Malaria. Jakarta:
Ditjen. PPM dan PL Departemen Kesehatan R.I.
Departemen Kesehatan R.I. 1999. Entomologi Malaria. Direktorat Jenderal
P2M dan PLP Departemen Kesehatan R.I.

Departemen Kesehatan R.I. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku


Vektor. Jakarta:Ditjen. PPM & PL Departemen Kesehatan R.I.

Departemen Kesehatan 2001. Pedoman Survei Entomologi Malaria.


Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, Depkes R.I.

Departemen Kesehatan R.I. 2003. Modul Entomologi Malaria 3. Jakarta:


Ditjen. PPM & PL Departemen Kesehatan R.I.

Departemen Kesehatan R.I. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Prilaku


Vektor. Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan R.I
Departemen Kesehatan R.I. 2005. Pedoman Tehnis Penyehatan
Perumahan. Ditjen PPM dan PLP Departemen Kesehatan R.I.

Departemen Kesehatan R.I. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus


Malaria di Indonesia. Direktorat Jenderal P2PL, Departemen
Kesehatan R.I.
209

Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Teknis Rumah dan


Bangunan. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum.

Dinkes Kabupaten Kolaka. 2012. Profil Dinkes Kabupaten Kolaka Tahun


2012.

Erdinal, Susanna D., Wulandari R. A. 2006. Faktor-faktor yang


Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Kampar Kiri
Tengah Kabupaten Kampar 2005/2006. Jurnal Makara Kesehatan,
Vol. 10, No. 2:64-70.
Ernawati K., Soesilo B., Adah R., Duarsa A. 2011. Hubungan Faktor
Risiko Individu dan lingkungan Rumah dengan Malaria di Punduh
Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Indonesia 2010.
Jurnal Makara Kesehatan, Vol. 15, No. 2: 51-57.
Ernst, K. C., Lindblade, K. A., Koech D., Sumba, P. O., Kuwuor, D. O.,
John C. C., and Wilson M. L. 2009. Environmental, Socio-
demographic and Behavioral Determinants of Malaria Risk in The
Western Kenyan Highlands: A Case-Control Study. Tropical
Medicine and International Health. Vol. 4. No. 10: 1258-1265.
Fibrianto D dan Mardiana. 2009. Hubungan karakteristik Lingkungan Luar
Rumah dengan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Vol. 5. No. 1: 11-16.
Friaraiyatini, et al. 2006. Pengaruh Lingkungan dan Perilaku Masyarakat
terhadap Kejadian Malaria di Kab. Barito Selatan Propinsi
Kalimantan Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 2 No. 2,
Januari 2006 : 121 – 128
Getas I Wayan dan Zaetun Siti. 2012. Faktor Risiko Penularan Penyakit
Malaria di Sekitar Lagunan Kecamatan Tanjung Kabupaten
Lombok Utara. Media Bina Ilmiah 1 Volume 6, No. 4.

Gunawan, S. 2000. Epidemiologi Malaria dalam Malaria : Epidemiologi,


Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganannya. EGC, Jakarta.
Hadi, U. K. 1999. Telaah Nyamuk dalam Hubungannya Sebagai Vektor
Potensial Dirofilariasis Pada anjing di Bogor. Majalah Parasitologi
Indonesia. 12 (1-2): 24-38.
Hadi, U. K. 2012. Hari Malaria Sedunia 2012. (Online),
(http://upikke.staff.ipb.ac.id/2012/04/19/hari-malaria-sedunia-2012/
diakses 17 Februari 2013)
Hakim, L., Sugianto, 2009. Hubungan Kepadatan Populasi Nyamuk
Anopheles Sundaicus dengan Tempat Perkembangbiakan di
Kabupaten Ciamis. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 8 No. 2, Juni
2009 : 964 – 970.
Handayani, F. D., Darwin Akhid. 2006. Habitat Istirahat Vektor Malaria di
Daerah Endemis Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo
210

Propinsi Daerah Istirahat Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan


Vol. 5, No. 2, Agustus 2006 : 438 – 446.
Hardiman. 2009. Pola Spasial Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Malaria
di Kecamatan Mamuju Kabupaten Mamuju dengan Sistem
Informasi Georafis (SIG). Tesis Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Harijanto, A. 2000.Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Pengobatan. EGC, Jakarta.

Harmendo. 2008. Faktor Risiko Kejadian Malaria


di Wilayah Kerja Puskesmas Kenanga
Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tesis
tidak diterbitkan. Semarang. Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Semarang.
Hidayat Mohammad Yusuf, 2012. Analisis Faktor Risiko Lingkungan,
Kondisi Rumah dan Kebiasaan Masyarakat Terhadap Kejadian
Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Lowa Kabupaten Kepulauan
Selayar. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

Hiswani. 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor


Malaria di Indonesia. (Online),
(http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
hiswani11.pdf diakses 25 Februari 2013)

Husin. H. 2007. Analisis Faktor Risiko Kejadian


Malaria di Puskesmas Sukamerindu
Kecamatan Sungai Serut Kota Bengkulu
Propinsi Bengkulu. Tesis Pascasarjana
Universitas Diponegoro. Semarang.
211

Imbiri. J.K., Suhartono,. Nurjazuli. 2012. Analisi Faktor Risiko Malaria Di


Wilayah Kerja Puskesmas Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, Jurnal
Kesehatan Lingkungan. Indonesia Vol. 11 No. 2 .

Iwan dan Zamil Mardani. 2012. Hubungan Kebiasaan Masyarakat dengan


Kejadian Malaria di Kelurahan Poboya kecamatan Palu Timur
Kota Palu. Jurnal Keperawatan. Sulawesi Tengah.

Kecamatan Lambandia. 2010. Profil Kecamatan Lambandia Kabupaten


Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara

Kementerian Kesehatan. R.I. 2009. Kepmenkes RI No. 293


/Menkes/SK/IV/2009 Tentang Eliminasi Malaria di Indonesia.
Jakarta: Depkes R.I.

Kementerian Kesehatan. RI. 2011. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:


Departemen Kesehatan R.I.

Konradsen, F. et al. 2004. Strong Association Between House


Characteristics and Malaria Vectors in Srilanka. Am Journal Trop
Med Hyg. 68 (2):177-181.
Lee, D. J., M. M. Hicks, M. Grifiths, M. L. Debenham, J. H. Bryan, R. C.
Russel, M. Geary dan E. N. Mark. 1987. The Culicidae Australian
Region Volume 5. Australian Government Publishing Service,
Canbera.
Lestari. E.W., Sukowati S., Soekidjo., dan Wigati. Vektor Malaria di Daerah
Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Vol. 17. No. 1. 2007:30-35.
Mardiana. Dwi Fibrianto. Hubungan Karateristik Lingkungan Luar Rumah
Dengan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, vol. 5 No. 1. 2009: 11-16
Mulyadi. 2010. Distribusi Spasial dan Karakteristik Habitat
Perkembangbiakan Anopheles spp serta Peranannya dalam
Penularan Malaria di Desa Doro Kabupaten Halmahera Selatan
Provinsi Maluku Utara. Tesis Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Mulyantini. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Nawangsasi, C. P. 2012. Kajian Deskriptif Kejadian Malaria di Wilayah
Kerja Puskesmas Rowokele Kabupaten Kebumen. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol. 1, No. 2, Hal: 911-921.
Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka
Cipta, Jakarta.
Puskesmas Lambandia. 2011. Profil Puskesmas Kecamatan Lambandia
Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.
212

Putu, S. 2004. Malaria Secara Klinis : dari Pengetahuan Dasar Sampai


Terapan. EGC, Jakarta.
Rudono. 2003. Hubungan Penyakit Malaria Pada Ibu Hamil dengan
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Daerah Endemik Malaria
Kabupaten Purworejo. Tesis Pascasarjana Universitas Gadja
Mada, Yogyakarta.
Unicef. Indonesia. 2001 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT).
Multiple Indicator Cluster Survey Report on the Education and
Health of Mothers and Children.
Saputra G, Hadi U. K. dan Koesharto FX. 2010. Perilaku Nyamuk
Anopheles punctulatus dan Kaitannya dengan Epidemiologi
Malaria di Desa Dulanpokpok Kabupaten Fakfak Papua Barat.
Indonesian Journal of Veterinary Science and Medicine. Vol. II No.
2 : 25 – 33.
Saxena, R., Nagpa, B.N., Srivastava, A., Gupta, S.K. and Dash, A.P.
2009. Application of Spatial Technology in Malaria Research &
Control: Some New Insights. Indian Journal Med Res, 130: 125-
132.
Sucipto, C. D. 2011. Vektor Penyakit Tropis, Seri Kesehatan Lingkungan.
Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Sukowati, S & Shinta. 2009. Habitat Perkembangbiakan dan Aktivitas
Menggigit Nyamuk An. sundaicus dan An.Subpictus di Purworejo
Jawa Tengah. Jurnal ekologi Kesehatan, Vol. 8, No. 1, Hal: 915-
925.
Sulistio Irwan. 2010. Karakteristik Habitat Larva Anopheles sundaicus dan
Kaitannya dengan Malaria di Lokasi Wisata Desa Senggigi
Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat. Tesis Program
Pascasarjana Institut Pertanian, Bogor.
Sunaryo. 2001. Bionomik Vektor Malaria di Kabupaten Banjarnegara.
SLPV, Banjarnegara.
Sundararman, R.M. et al. 1957. Malaria Vector Control In Mid Java. Indian
Jurnal Malariol.
Supariasa D.N, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC, Jakarta
Suryana, M. 2003. Kehamilan Sebagai Salah Satu Faktor Risiko Infeksi
Malaria Pada Usia Reproduksi Di Daerah Endemis Kabupaten
Purworejo Jawa Tengah. Tesis Program Studi Epidemiologi.
Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Jakarta.
Sutrisna, P. 2004. Malaria Secara Ringkas dari Pengetahuan Dasar
Sampai Terapan. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Suwito. 2005. Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat
Sebagai Faktor Risiko Malaria. Tesis Pascasarjana Undip
Semarang.
213

Suwito, et al. 2010. Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan


Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Entomologi Indonesia, April
2010, Vol. 7, No. 1, 42 – 53.
Syam Dedi Mahyudin, 2010. Hubungan Distribusi Spasial Larva dan
Nyamuk Dewasa Anopheles dengan Kejadian Malaria di
Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju. Tesis Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tuzzulfa. Anisa 2012. Hubungan Antara Lingkungan Fisik dengan
Kejadian Malaria pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas
Biak Kota Kecamatan Biak Kota Kabupaten Biak Numform
Provinsi Papua. Universitas Respati Yogyakarta. Yogyakarta.

Wahyuningtyas Mahadmika, 2011. Hubungan Faktor Lingkungan dan


Perilaku dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas
Ayah I Kabupaten Kebumen. Universitas Diponegoro. Semarang.
World Health Organization. 1989. Geographical Distribution of Anthropod-
Borne Diseases and Their Principal Vektor. WHO Vector Biology
and Control Division. Geneva, Switzerland.
World Health Organization. 2010. WHO Global malaria Programme. World
Malaria Report.
World Health Organization. 2010. Global Marlaria Burden. World Malaria
Report.
Yawan S. F. 2006. Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah
Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak-
Numfor Papua. Tesis Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.
214

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Kandang ternak kambing dusun II di Desa Awiu Kecamatan


Lambandia tahun 2013

Gambar 2. Kandang ternak babi dusun IV di Desa Awiu Kecamatan


Lambandia tahun 2013
215

Gambar 3. Wawancara responden di dusun III Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013

Gambar 4. Wawancara responden di dusun II Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013
216

Gambar 5. Dinding rumah yang tidak rapat di dusun I Desa Awiu


Kecamatan Lambandia Tahun 2013

Gambar 6. Dinding rumah yang tidak rapat di dusun I Desa Awiu


Kecamatan Lambandia Tahun 2013
217

Gambar 7. Semak belukar di sekitar rumah di dusun IV Desa Awiu


Kecamatan Lambandia Tahun 2013

Gambar 8. Semak belukar di sekitar rumah di dusun III Desa Awiu


Kecamatan Lambandia Tahun 2013
218

Gambar 9. Kelambu di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia


Tahun 2013

Gambar10. Kelambu di dusun I Desa Awiu Kecamatan Lambandia


Tahun 2013
219

Gambar 11. Breeding site Kubangan di dusun I Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013

Gambar12. Breeding site Sumur di dusun I Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013
220

Gambar 13. Breeding Site Sawah Negatif Larva di dusun I Desa Awiu
Kecamatan Lambandia Tahun 2013

Gambar 14. Breeding Site bekas pijakan ban negative larva di dusun I
Desa Awiu Kecamatan Lambandia Tahun 2013
221

Gambar 15. Breeding Site Rawa di dusun II Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013

Gambar 16. Breeding site Selokan di dusun II Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013
222

Gambar 17. Breeding site Sawah di dusun III Desa Awiu Kecamatan
Lambandia Tahun 2013

Gambar 18. Breeding site Sawah di dusun IV Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013
223

Gambar 19. Breeding site Sawah di dusun IV Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013

Gambar 20. Breeding site Sumur di dusun IV Desa Awiu Kecamatan


Lambandia Tahun 2013
224

CROSSTABS
/TABLES=BS Dinding Kasa Plafon Penghuni Suhu Kelembaban BY
Plasmodium
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Crosstabs
[DataSet0] D:\SPSS Penelitian.sav

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Keberadaan BS * Hasil
60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Pemeriksaan
Kondisi Dinding * Hasil
60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Pemeriksaan
Keberadaan Kasa * Hasil
60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Pemeriksaan
Keberadaan Plafon * Hasil
60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Pemeriksaan
Kepadatan Penghuni * Hasil
60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Pemeriksaan
Suhu * Hasil Pemeriksaan 60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Kelembaban * Hasil
60 100.0% 0 0.0% 60 100.0%
Pemeriksaan

Keberadaan BS * Hasil Pemeriksaan

Crosstab

Hasil Pemeriksaan Total

Positif Negatif

Count 14 6 20
Ya
% within Keberadaan BS 70.0% 30.0% 100.0%
Keberadaan BS
Count 16 24 40
Tidak
% within Keberadaan BS 40.0% 60.0% 100.0%
Count 30 30 60
Total
% within Keberadaan BS 50.0% 50.0% 100.0%
225

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4.800 1 .028
b
Continuity Correction 3.675 1 .055
Likelihood Ratio 4.902 1 .027
Fisher's Exact Test .054 .027
Linear-by-Linear Association 4.720 1 .030
N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Keberadaan


3.500 1.112 11.017
BS (Ya / Tidak)
For cohort Hasil
1.750 1.087 2.816
Pemeriksaan = Positif
For cohort Hasil
.500 .244 1.023
Pemeriksaan = Negatif
N of Valid Cases 60

Kondisi Dinding * Hasil Pemeriksaan

Crosstab

Hasil Pemeriksaan Total

Positif Negatif

Count 26 19 45
Tidak Rapat
% within Kondisi Dinding 57.8% 42.2% 100.0%
Kondisi Dinding
Count 4 11 15
Rapat
% within Kondisi Dinding 26.7% 73.3% 100.0%
Count 30 30 60
Total
% within Kondisi Dinding 50.0% 50.0% 100.0%
226

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4.356 1 .037
b
Continuity Correction 3.200 1 .074
Likelihood Ratio 4.490 1 .034
Fisher's Exact Test .072 .036
Linear-by-Linear Association 4.283 1 .038
N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Kondisi


Dinding (Tidak Rapat / 3.763 1.038 13.646
Rapat)
For cohort Hasil
2.167 .903 5.201
Pemeriksaan = Positif
For cohort Hasil
.576 .364 .910
Pemeriksaan = Negatif
N of Valid Cases 60

Keberadaan Kasa * Hasil Pemeriksaan

Crosstab

Hasil Pemeriksaan Total

Positif Negatif

Count 30 30 60
Keberadaan Kasa Tidak
% within Keberadaan Kasa 50.0% 50.0% 100.0%
Count 30 30 60
Total
% within Keberadaan Kasa 50.0% 50.0% 100.0%
227

Chi-Square Tests

Value
a
Pearson Chi-Square .
N of Valid Cases 60

a. No statistics are computed


because Keberadaan Kasa is a
constant.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Keberadaan a


.
Kasa (Tidak / .)

a. No statistics are computed because


Keberadaan Kasa is a constant.

Keberadaan Plafon * Hasil Pemeriksaan

Crosstab

Hasil Pemeriksaan Total

Positif Negatif

Count 30 28 58
Tidak
% within Keberadaan Plafon 51.7% 48.3% 100.0%
Keberadaan Plafon
Count 0 2 2
Ya
% within Keberadaan Plafon 0.0% 100.0% 100.0%
Count 30 30 60
Total
% within Keberadaan Plafon 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 2.069 1 .150
b
Continuity Correction .517 1 .472
Likelihood Ratio 2.842 1 .092
Fisher's Exact Test .492 .246
Linear-by-Linear Association 2.034 1 .154
N of Valid Cases 60

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00.
b. Computed only for a 2x2 table
228

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort Hasil


.483 .370 .630
Pemeriksaan = Negatif
N of Valid Cases 60

Suhu * Hasil Pemeriksaan

Crosstab

Hasil Pemeriksaan Total

Positif Negatif

Count 7 6 13
20 - 30
% within Suhu 53.8% 46.2% 100.0%
Suhu
Count 23 24 47
< 20 atau > 30
% within Suhu 48.9% 51.1% 100.0%
Count 30 30 60
Total
% within Suhu 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .098 1 .754
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .098 1 .754
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear Association .097 1 .756
N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50.
b. Computed only for a 2x2 table
229

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Suhu (20 -


1.217 .355 4.170
30 / < 20 atau > 30)
For cohort Hasil
1.100 .615 1.969
Pemeriksaan = Positif
For cohort Hasil
.904 .472 1.732
Pemeriksaan = Negatif
N of Valid Cases 60

Kelembaban * Hasil Pemeriksaan

Crosstab

Hasil Pemeriksaan Total

Positif Negatif

Count 30 30 60
Kelembaban > 60
% within Kelembaban 50.0% 50.0% 100.0%
Count 30 30 60
Total
% within Kelembaban 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value
a
Pearson Chi-Square .
N of Valid Cases 60

a. No statistics are computed


because Kelembaban is a constant.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Kelembaban a


.
(> 60 / .)

a. No statistics are computed because


Kelembaban is a constant.
230

Lampiran 5. Analisis SPSS

GET FILE='D:\SPSS Penelitian.sav'.


DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Plasmodium
/METHOD=ENTER BS Dinding Semak Larva
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).

Logistic Regression
[DataSet1] D:\SPSS Penelitian.sav

Warnings

Due to redundancies, degrees of freedom have been reduced for


one or more variables.

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 60 100.0

Selected Cases Missing Cases 0 .0

Total 60 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 60 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of


cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Positif 0
Negatif 1

Block 0: Beginning Block

a,b
Classification Table

Predicted

Observed Hasil Pemeriksaan Percentage

Positif Negatif Correct

Positif 0 30 .0
Hasil Pemeriksaan
Step 0 Negatif 0 30 100.0

Overall Percentage 50.0


231

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .258 .000 1 1.000 1.000

a
Variables not in the Equation

Score df Sig.

BS 4.800 1 .028

Dinding 4.356 1 .037


Step 0 Variables
Semak 8.523 1 .004

Larva 4.800 1 .028

a. Residual Chi-Squares are not computed because of redundancies.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 18.830 3 .000

Step 1 Block 18.830 3 .000

Model 18.830 3 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 64.348 .269 .359

a. Estimation terminated at iteration number 5 because


parameter estimates changed by less than .001.

a
Classification Table

Predicted

Observed Hasil Pemeriksaan Percentage

Positif Negatif Correct

Positif 27 3 90.0
Hasil Pemeriksaan
Step 1 Negatif 15 15 50.0

Overall Percentage 70.0


232

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

BS 1.883 .763 6.083 1 .014 6.572 1.472 29.344

a
Dinding 1.635 .834 3.843 1 .050 5.128 1.000 26.281
Step 1
Semak 1.870 .792 5.575 1 .018 6.491 1.374 30.656

Constant -2.113 .746 8.030 1 .005 .121

a. Variable(s) entered on step 1: BS, Dinding, Semak.


233

Lampiran 1. Form Kuesioner Penelitian


KUESIONER ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN MALARIA DI DESA AWIU
KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA

No. Responden : .................... Dusun : ..........................


Nama Responden : ..................... Desa : Awiu
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia

Tanggal Wawancara : ................................................2013


Pewawancara : ..........................................

I. IDENTITAS RESPONDEN
Jenis kelamin
1 1. Laki-laki
2. Perempuan
Berapakah umur anda/ibu/bapak?
2 ................. (tahun)
Pendidikan terakhir ?
1. Tidak Sekolah 5. SMP
3 2. Belum Sekolah 6. SMA
3. TK 7. S1
4. SD 8. S2/S3
Pekerjaan?
1. Petani 6. Pelajar/Mahasiswa
2. PNS 7. TNI/Polri
4
3. Honorer 8. Buruh/Kuli
4. Ibu Rumah Tangga 9. Tidak Bekerja
5. Nelayan 10. Lainnya, (........................)
Hasil Pemeriksaan sediaan Darah di Puskesmas Lowa?
5 1. Positif
2. Negatif
Waktu Pemeriksaan?
6
..................................................................

II. KUESIONER KEBIASAAN BERADA DI LUAR RUMAH


Apakah anda punya kebiasaan/aktifitas di luar rumah pada
7 malam hari (sebelum pemeriksaan sediaan darah)?
1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no.13)
Jika Ya, Kebiasaan apa saja yang anda lakukan?
1. Ngobrol 5. Jaga di Pos Ronda
8 2. Memancing 6. Jaga Kebun
3. Main kartu 7. Lainnya, sebutkan, (............................)
4. Buang hajat
Jenis kegiatan yang anda lakukan berdekatan dengan apa?
9
1. Pegunungan 4. Perkebunan
234

2. Sawah 5. Lainnya, sebutkan (.............................)


3. Pantai
Apakah kegiatan yang saudara lakukan rutin setiap malam?
10
1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. 12)
Jika rutin berapa kali dalam seminggu kegiatan itu dilakukan?
11 1. 1 kali dalam seminggu 3. 3 kali dalam seminggu
2. 2 kali dalam seminggu 4. Lebih dari 3 kali seminggu
Sejak jam dan sampai jam berapa saudara melakukan aktifitas
12 tersebut?
(.............................................................................................)

III. KUESIONER PENGGUNAAN KELAMBU


Apakah ibu/bapak memakai kelambu setiap saat menjelang
13 tidur (sebelum pemeriksaan sediaan darah)?
1. Tidak (lanjut.no 21) 2. Ya
Jika Ya, sejak kapan menggunakan kelambu?
14
................ bulan
Jika Ya, seberapa rutin anda menggunakan kelambu?
15
1. Setiap malam menjelang tidur 2. Kadang-kadang
Mengapa ibu/bapak menggunakan kelambu pada saat tidur?
16 1. Kebiasaan
2. Menghindari gigitan nyamuk
3. Lainnya, sebutkan( ..............................................................)
Berapa orang yang tidur di dalam 1 kelambu?
17
Sebutkan, ............................... orang.
Jenis kelambu apa yang ibu/bapak gunakan?
18 1. Kelambu biasa
2. Kelambu berinsketisida
Dimana ibu/bapak memperoleh kelambu?
19 1. Dipasar
2. Dari petugas kesehatan
Jika Tidak, mengapa ibu/bapak tidak menggunakan kelambu
20 pada saat akan tidur?
(...........................................................................................)

IV. KUESIONER PENGGUNAAN OBAT ANTI NYAMUK


Apakah ibu/bapak menggunakan obat nyamuk pada setiap
21 akan tidur (sebelum pemeriksaan sediaan darah)?
1. Tidak (lanjut ke no. 27) 2. Ya
Jika Ya, sejak kapan anda menggunakan obat anti nyamuk?
22
........................... bulan.
Seberapa rutin anda menggunakan obat anti nyamuk?
23
1. Setiap malam menjelang tidur 2. Kadang-kadang
Jenis obat anti nyamuk apa yang digunakan?
24
1. obat anti nyamuk bakar
235

2. obat anti nyamuk semprot


3. obat anti nyamuk elektrik
4. obat anti nyamuk lotion
5. obat anti nyamuk alami, sebutkan (.......................................)
Kapankah obat anti nyamuk dipasang/disemprotkan?
1. Setiap malam
25
2. Hanya sesekali pada saat banyak nyamuk
3. Pada waktu akan istirahat/tidur
Mengapa ibu/bapak tidak menggunakan obat anti nyamuk?
1. Tidak suka baunya
26 2. Takut keracunan
3. Alergi
4. Lainnya, sebutkan (..........................................)

V. KUESIONER MENGENAI LINGKUNGAN


Apakah bapak/Ibu mempunyai ternak hewan di sekitar rumah
27 (sebelum pemeriksaan sediaan darah)?
1. Tidak (lanjut ke no. 31) 2. Ya
Jika Ya, sejak kapan anda memelihara hewan ternak?
28
............... bulan
Hewan apa saja yang ada pelihara?
1. Sapi
29 2. Kuda
3. Kambing
4. Lainnya, sebutkan (..........................................................)
Dimana anda memelihara hewan tersebut?
1. Di belakang rumah
30 2. Di depan rumah
3. Di samping rumah
4. Lainnya, sebutkan (...........................................................)
Apakah ada genangan air yang ada di sekitar rumah anda
31 (sebelum pemeriksaan sediaan darah)?
1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. 34)
Jika ya, genangan airnya berupa apa?
1. Got/Selokan 7. Sawah
32 2. Parit 8. Lagun
3. Rawa 9. Bekas galian
4. Tambak 10. Lainnya, sebutkan (............................)
Bagaimana kondisi genangan air tersebut?
33 1. Selalu terisi sepanjang tahun
2. Kadang-kadang terisi (tergantung musim)
Apakah ada semak belukar di sekitar rumah anda?
34
1. Ya 2. Tidak (lanjut ke no. 37)
Jika Ya, Sejak kapan keberadaan semak belukar tersebut?
35
........................... bulan.
236

Dimana letak semak belukar tersebut?


1. Di Samping rumah
36 2. Di Depan rumah
3. Di Belakang rumah
4. Lainnya, sebutkan (.....................................................)

VI. KUESIONER MENGENAI KONDISI RUMAH


Apakah bapak/Ibu memasang kawat kasa pada ventilasi?
37
1. Tidak (lanjut ke no. 41) 2. Ya
Jika Ya, sejak kapan anda memasang kawat kasa tersebut?
38
............... bulan
Jenis kawat kasa yang anda gunakan adalah?
1. Aluminium
39 2. Tembaga
3. Plastik
4. Lainnya, sebutkan (..........................................................)
Dibagian mana saja kawat kasa itu dipasang?
1. Di semua ventilasi yang terhubung dengan luar rumah
40 2. Di ventilasi depan rumah saja
3. Di ventilasi kamar tidur
4. Di ventilasi rumah bagian belakang
Apakah rumah anda menggunakan langit-langit/plafon?
41 1. Tidak (lanjut ke no. 44) 2. Ya
Jika Ya, sejak kapan anda menggunakan plafon tersebut?
42 ..................... (bulan)
Jenis langit-langit / plafon yang anda gunakan adalah?
1. Kayu
42 2. Internit
3. Anyaman bambu
4. Lainnya, sebutkan (.......................................................)
Dibagian mana plafon dipasang?
1. Di semua bagian rumah yang berbatasan dengan atap
43 2. Di ruang tamu (ruang tengah)
3. Di kamar tidur
4. Lainnya, sebutkan (...........................................................)
Apa jenis dinding yang anda gunakan?
44 1. Beton 3. Bambu
2. Papan 4. Seng
Kondisi Dinding?
45 1. Tidak Rapat 3. Berlubang
2. Rapat
18

Lampiran 2. Form Lembar Observasi Penelitian

LEMBAR OBSERVASI LINGKUNGAN

No. Responden : Dusun/Lingk :


................................... .................................................
Nama Responden : Desa/Kel : Awiu
................................................
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia

Observasi Keberadaan Hewan Ternak Besar


Hewan Ternak Hewan yang dipelihara
Besar Jarak
No Ya Tidak Sapi Kambi Kuda Lainny dengan KET
ng a, rumah
Sebutk (m)
an

Observasi Keberadaan Semak Belukar


Semak Nyamuk yang
No Jarak dengan KET
Belukar hinggap
rumah (m)
Ya Tidak Ya Tidak

Observasi Keberadaan Genangan Air


Genangan air Jenis genangan air
Jarak
Ya Tidak Parit Got Selo Lainny
No dengan KET
kan a,
rumah
Sebutk
(m)
an
19

LEMBAR OBSERVASI KONDISI RUMAH

No. Responden : Dusun/Lingk :


................................... .................................................
Nama Responden : Desa/Kel : Awiu
................................................
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia

Observasi Kerapatan Dinding


Jenis Dinding Kondisi Dinding
No KET
Beton Papan Bambu Lainnya, Rapat Tidak
rapat

Observasi Keberadaan Kawat Kasa


N Kawat Kasa Jenis Kasa Ukuran lubang
KET
o Ya Tidak Temb Alumin Plasti < 2,5 cm > 2,5
aga ium k cm

Observasi Keberadaan Langit-Langit


Langit-Langit Semua Jenis Langit-Langit
KET
atap
rumah
No
Ya Tidak Ya Tida Kayu Inter Anya Lainnya,
k nit man sebutka
bamb n
u
20

LEMBAR OBSERVASI KEBIASAAN

No. Responden : Dusun/Lingk :


................................... .................................................
Nama Responden : Desa/Kel : Awiu
................................................
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia

Observasi Penggunaan Kelambu


Menggunakan Jenis Kelambu Kondisi
No Kelambu Kelambu KET
Ya Tidak Biasa Insektisi Baik Rusak
da

Observasi Penggunaan Obat Anti Nyamuk


Menggunakan Jenis obat anti nyamuk
Obat Anti
No KET
Nyamuk
Ya Tidak Baka Sem Elekt Repel Lainnya,
r prot rik ent sebutkan
21

LEMBAR PENGUKURAN KONDISI LINGKUNGAN

No. Responden : Dusun/Lingk :


................................... .........................................................
Nama Responden : Desa/Kel : Awiu
................................................
Kabupaten : Kolaka Kecamatan : Lambandia

Pengukuran Suhu (°C)


No
Suhu Dalam Rumah Suhu Luar Rumah

Pengukuran Kelembaban (%)


No
Kelembaban Dalam Rumah Kelembaban Luar Rumah

Anda mungkin juga menyukai