Anda di halaman 1dari 16

BAB I

SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

A. SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA PADA MASA PRAKEMERDEKAAN


Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa melayu. Pada zaman Sriwijaya,
bahasa Melayu di pakai sebagai bahasa penghubung antar suku di Nusantara dan
sebagai bahasa yang di gunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam
Nusantara dan dari luar Nusantara.
Peninggalan – peninggalan yang membuktikan perkembangan dan pertumbuhan
Bahasa Melayu, yaitu :
1. Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1379.
2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 682.
3. Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
5. Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.

Fungsi Bahasa Melayu pada Zaman Sriwijaya, yaitu :

1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup


dan sastra.
2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di Indonesia.
3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun pedagang
yang berasal dari luar indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.

Bahasa melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya


agama Islam di wilayah Nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh
keberadaannya karena bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan
antar kerajaan.

Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa
Indonesia yaitu :
1. Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa
perhubungan dan bahasa perdangangan.
2. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa
melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku jawa, suku sunda dan suku suku yang lainnya dengan sukarela menerima
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar: Unsur
yang ketiga dari “Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa indonesia. Bahasa Indonesia di nyatakan
kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945, karena pada saat
itu Undang-Undang Dasar 1945 di sahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 Bab XV pasal 36 menyebutkan bahwa “Bahasa
Negara Adalah Bahasa Indonesia”. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa indonesia
secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa indonesia di pakai oleh
berbagai lapisan masyarakat indonesia.

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku sejak
tahun 1972.

Ada beberapa perkembangan dan penyempurnaan dari Bahasa Indonesia, yaitu :

c. Ejaan Yang Disempurnakan

Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:

‘tj’ menjadi ‘c’ : tjutji → cuci


‘dj’ menjadi ‘j’ : djarak → jarak
‘oe’ menjadi ‘u’ : oemoem -> umum
‘j’ menjadi ‘y’ : sajang → sayang
‘nj’ menjadi ‘ny’ : njamuk → nyamuk
‘sj’ menjadi ‘sy’ : sjarat → syarat
‘ch’ menjadi ‘kh’ : achir → akhir

awalan ‘di-’ dan kata depan ‘di’ dibedakan penulisannya. Kata depan ‘di’ pada contoh “di
rumah”, “di sawah”, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara ‘di-’ pada dibeli,
dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.

Munculnya Bahasa Media Massa (bahasa Pers):

1. Bertambahnya jumlah kata-kata singkatan (akronim);

2. Banyak penggunaan istilah-istilah asing atau bahasa asing adalam surat kabar.

Pers telah berjasa dalam memperkenalkan istilah baru, kata-kata dan ungkapan baru,
seperti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), kroni, konspirasi, proaktif, rekonsiliasi, provokator,
arogan, hujat, makar, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia sudah mulai bergeser menjadi bahasa kedua setelah Bahasa Inggris
ataupun bahasa gaul. Selain itu, dipengaruhi pula oleh media iklan maupun artis yang
menggunakan istilah baru yang merupakan penyimpangan dari kebenaran cara berbahasa
Indonesia maupun mencampuradukan bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
BAB II
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

A. Kedudukan Bahasa Indonesia

1. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan


Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi :

“Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan Bahasa


Indonesia”.

2. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan UUD


1945 pasal 36 Bab XV yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah Bahasa
Indonesia.

B. Fungsi-Fungsi Bahasa Indonesia

1. Sebagai Bahasa Nasional

a. Lambang Kebanggan Nasional

b. Lambang Identitas Nasional

c. Alat Perhubungan Antarwarga, Antardaerah, dan Antar Budaya

d. Alat Pemersatu Suku Budaya dan Bahasanya

2. Sebagai Bahasa Negara

a. Bahasa Resmi Kenegaraan

b. Bahasa Pengantar di dalam Dunia Pendidikan

c. Alat penghubung pada tingkat nasional serta kepentingan pemerintah

d. Alat pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi

fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional


1. Lambang Kebanggaan Nasional

Sebagai Lambang Kebanggaan Nasional Bahasa Indonesia mencerminkan nilai –


nilai sosial budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita harus bangga memakai
Bahasa Indonesia, menjunjung Bahasa Indonesia, mempertahankan Bahasa
Indonesia serta mengembangkan Bahasa Indonesia.

2. Lambang Identitas Nasional

Sebagai lambang identitas nasional, Bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’


bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia dapat diketahui siapa kita,
yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia.

Alat Perhubungan Antarwarga, Antardaerah, dan Antar Budaya

Berkat adanya Bahasa nasional kita dapat berhubungan satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang
sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan.

Kita dapat berpergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di tanah air kita
dengan hanya memanfaatkan Bahasa Indonesia sebagai satu – satunya alat
komunikasi.

4. Alat Pemersatu Suku Budaya dan Bahasanya

Bahasa Indonesia memungkinkan keserasian di antara suku – suku, budaya dan


bahasa di Nusantara, tanpa harus menghilangkan identitas kesukuan dan kesetiaan
kepada nilai – nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang
bersangkutan. Lebih dari itu, dengan bahasa nasional itu masyarakat dapat
meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.

BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NEGARA

Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berfungsi sebagai :

1. Bahasa Resmi Kenegaraan


Bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa,dan kegiatan
kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan.

2. Bahasa Pengantar di dalam Dunia Pendidikan

Bahasa Pengantar di lembaga pendidikan mulai taman kanak – kanak sampai


dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

3. Alat penghubung pada tingkat nasional serta kepentingan pemerintah

Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan


penyebarluasan informasi kepada masyarakat, untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pemerintah. Degan mengadakan penyeragaman 
sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa, tujuannya agar isi atau
pesan yang di sampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh kedua belah
pihak (masyarakat).

4. Alat pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi


Kebudayaan nasional Indonesia yang beragam, berasal dari masyarakat Indonesia
yang beragam pula, hampir tidak mungkin dapat disebarluaskan dan dinikmati oleh
masyarakat Indonesia lain tanpa bahasa indonesia. Agar jangkauannya lebih luas,
penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku
populer, majalah-majalah ilmiah, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia.
Apabila arus informasi kita meningkat berarti akan mempercepat pengetahuan kita,
apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat
tercapai.
BAB III
RAGAM BAHASA INDONESIA

A. Pengertian Ragam Bahasa Indonesia


Sebagi gejala sosial, pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
kebahasaan, tetapi juga oleh faktor-faktor nonkebahasaan, antara lain faktor lokasi
geografis, waktu, sosiokultural, dan faktor situasi. Faktor-faktor di atas mendorong
timbulnya perbedaan-perbedaan dalam pemakaian bahasa. Perbedaan tersebut
akan tampak dalam segi pelafalan, pemilihan kata, dan penerapan kaidah tata
bahasa. Perbedaan atau varian dalam bahasa, yang masing-masing menyerupai pola
umum bahasa induk, disebut ragam bahasa.

B. Keberagaman Bahasa Indonesia


Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut berpengaruh pada timbulnya
sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap
disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing berbagi intisari bersama yang umum.
1. Keberagaman Bahasa Menurut Daerah
Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang
luas wilayah pemakaiannya selalu mengenal logat. Masing-masing logat dapat
dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur
logat yang daerahnya berdampingan. Jika di dalam wilayah 8 pemakaiannya, individu
atau sekelompok orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena tempat
keadiamannya dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat laun tiap
logat dapat mengalami perkembangan sendiri-sendiri yang selanjutnya semakin sulit
dimengerti oleh penutur ragam lainnya. Pada saat itu, ragam-ragam bahasa tumbuh
menjadi bahasa yang berbeda.
2. Keberagaman Bahasa Menurut Pendidikan Formal
Ragam bahasa Indonesia menurut pendidikan formal, menunjukkan perbedaan
yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi bahasa
Indonesia golongan penutur yang kedua itu berbeda dengan fonologi kaum
terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat
dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah.
3. Keberagaman Bahasa Menurut Pendidikan Formal
Ragam bahasa Indonesia menurut pendidikan formal, menunjukkan perbedaan
yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi bahasa
Indonesia golongan penutur yang kedua itu berbeda dengan fonologi kaum
terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat
dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah.
4. Keberagaman Bahasa Menurut Sikap Penutur
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa
Indonesia yang masing-masing, pada asasnya, tersedia bagi tiap pemakai bahasa.
Ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada
sikap penutur atau penulis terhadap orang yang diajak berbicara atau penbacanya.
Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain, oleh usia dan kedudukan orang yang disapa,
tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan yang hendak disampaikan, dan
tujuan penyampaian informasinya. Ketika berbicara dengan seseorang yang
berkedudukan lebih tinggi, penutur akan menggunakan langgam atau gaya
berbahasa yang berbeda daripada ketika dirinya berhadapan dengan seseorang yang
berkedudukan lebih rendah. Begitu juga halnya ketika berbicara dengan seseorang
yang usianya lebih muda atau tua, penutur tentulah akan menggunakan langgam
atau gaya bertutur yang berbeda.
5. Keberagaman Bahasa Menurut Jenis Pemakaiannya
Menurut jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dirinci menjadi tiga macam,
masing-masing
a. berdasarkan pokok persoalannya,
b. berdasarkan 9 media pembicaraan yang digunakan, dan
c. berdasarkan hubungan antar pembicara.
Berdasarkan pokok persoalannya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam
bahasa undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, ragam
bahasa sastra, dan ragam bahasa sehari-hari.
Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan
(ragam bahasa cakapan, ragam bahasa pidato, ragam bahasa kuliah, dan ragam
bahasa panggung), ragam tulis (ragam bahasa teknis, ragam bahasa undang-undang,
ragam bahasa catatan, dan ragam bahasa surat).

Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibedakan menjadi ragam


bahasa resmi, ragam bahasa santai, ragam bahasa akrab, ragam baku dan ragam
takbaku. Situasi resmi, yang menuntut pemakaian ragam baku, tercermin dalam
situasi berikut ini:

a) komunikasi resmi, yakni dalam suratmenyurat resmi, surat-menyurat dinas,


pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi-instansi resmi,
penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya;

b) wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karya ilmiah;

c) pembicaraan di depan umum, yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah, dan


sebagainya; dan

d) pembicaraan dengan orang yang dihormati.


BAB IV
ETIKA PENULISAN KARYA ILMIAH

A. DEFINISI ETIKA
Suatu aturan / norma yang seringkali tidak memiliki sanksi hukum tetapi wajib ditaati
oleh pihak yang profesinya tercakup dalam aturan tersebut. Falsafah moral yang
berfungsi sebagai pedoman dan tolak ukur terhadap apa yang baik dan apa yang buruk.
Ada 3 hal berkaitan dengan subyek penelitian yang harus
dilindungi menurut Ary et al. dalam Subardhy (1992:10)
1. Melindungi subyek dari kerugian fisik dan kerugian apapun.
2. Pengakuan terhadap hak mereka untuk mengetahui sifat dan tujuan penelitian
serta hak mereka untuk menyatakan kesediaan atau ketidaksediaan
berpartisipasi.
3. Penghormatan yang bersifat pribadi.
ringkasan kode etik peneliti yang digunakan American Sosiological Assosiation
(Subardhy, 1992:11) :
4. Obyektifitas
Mengenal keterbatasan dan kemampuannya serta tidak mencoba meneliti diluar
kemampuannya Menghargai privacy dan martabat seseorang
Menjaga kerahasiaan subyek penelitian Temuan disampaikan secara jujur tanpa
distorsi Peroleh informasi atas hak istimewa peneliti
5. Harus menghargai semua bantuan, kerjasama dari orang lain atau sumber lain
dimana informasi dipinjam. Harus mencantumkan bantuan keuangan baik dari
institusional atau perorangan (sponsor) Tidak boleh menerima kebaikan hati,
hibah atau bantuan dalam bentuk lain yang memungkinkan pelanggaran kode
etik.

4 HAL TABU BAGI PENULIS ILMIAH


1. Mengakui tulisan orang lain
Membuatkan karya tulis atas nama orang lain
Menutupi kebenaran dengan sengaja
Menyulitkan pembaca
B. Etika dan faktor penting dalam penelitian dan tulisan ilmiah
2. Kegiatan penelitian ilmiah (scientific research)
3. dibangun atas dasar kepercayaan (trust), baik
4. kepercayaan dari para peneliti maupun
5. kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan ini
6. akan terpelihara jika perilaku komunitas ilmiah
7. atas nilai tersebut mengikuti etika ilmiah yang
8. berlaku dan tercermin dalam tulisan ilmiahnya.
9. Sebagai pegangan dalam mengikuti etika ilmiah ini
10. setiap bidang ilmiah, profesi, bahkan publikasi
11. penelitian mengeluarkan peraturan / petunjuk etika
12. ilmiah / profesi/publikasi.

13. Tiga hal yang secara nyata dikategorikan kejahatan penelitian adalah: fabrikasi
(fabrication), falsifikasi (falsification), dan plagiarisme (plagiarism).
14. Dalam etika penelitian, pengertian fabrikasi adalah mengarang(making up) data,
eksperimen, atau informasi yang signifikan dalam mengusulkan, melakukan, atau
melaporkan penelitian.
15. Sedangkan pengertian falsifikasi adalah mengubah atau mengaburkan data atau
eksperimen, atau mengaburkan sesuatu yang signifikan. Plagiarisme adalah menyalin
sesuatu, atau menampilkan grafik atau gagasan orang lain, yang dinyatakan atau
terkesan sebagai hasil dirinya. Plagiarisme ini termasuk kategori pelanggaran
kepemilikian intelektual (ABET, 2001a, Whitbeck, 1998).
16. Dari ketiga hal yang secara nyata dikategorikan sebagai kejahatan penelitaian
tersebut, hal yang kritis yang dapat secara tidak sadar terjebak pada kategori ini
adalah plagiarisme.
17. Oleh karena itu penulis artikel ilmiah harus secara sadar dan jelas menyatakan
menggunakan sumber atau hasil penelitian orang lain, serta harus mengikuti tata-
cara dan aturan penulisan cuplikan atau acuan (citation) suatu tulisan/artikel ilmiah
yang berlaku.
18. Pernyataan atau acuan dalam suatu tulisan/artikel ilmiah merupakan bentuk
penghargaan pada peneliti lain.
19. Sebagai referensi, untuk etika penulisan artikel ilmiah pada jurnal, berikut
disajikan kewajiban etika bagi penulis dari American Chemical Society (ACS, 1996) :
20. Kewajiban utama penulis adalah mempresentasikan hasil penelitiannya secara
akurat dan secara objektif membahas hasil penelitian tersebut.
21. Penulis harus menyadari bahwa setiap halaman jurnal merupakan suatu sumber
penting dan memerlukan biaya. Oleh karenanya, penulis wajib untuk menggunakan
jumlah halaman secara bijak dan ekonomis.
22. Laporan utama suatu penelitian harus ditulis secara rinci dan menyertakan referensi
tentang informasi yang diambil dari sumber umum (public reference) sehingga dapat
ditelusuri kembali oleh peneliti lain.
23. Laporan utama suatu penelitian harus ditulis secara rinci dan menyertakan referensi
tentang informasi yang diambil dari sumber umum (public reference) sehingga dapat
ditelusuri kembali oleh peneliti lain.
24. Laporan utama suatu penelitian harus ditulis secara rinci dan menyertakan referensi
tentang informasi yang diambil dari sumber umum (public reference) sehingga dapat
ditelusuri kembali oleh peneliti lain.
25. Saat mengajukan sebuah manuskrip untuk dipublikasi, penulis harus menyampaikan
ke pihak editor jika ada manuskrip lain yang berkaitan sedang direvisi atau diproses
oleh editor lain. Copy dari manuskrip tersebut beserta penjelasan korelasi antara
kedua manuskrip harus dikirimkan kepada editor.
26. Penulis tidak dibenarkan mengajukan manuskrip yang esensinyasama ke beberapa
jurnal yang berbeda. Secara umum, diperbolehkan untuk mengajukan kembali
manuskrip yang sama jika manuskrip tersebut merupakan keterangan yang lebih
rinci dari manuskrip sebelumnya yang masih singkat, atau manuskrip tersebut telah
ditolak untuk dipublikasikan oleh editor sebelumnya.
27. Penulis harus menyatakan sumber dari setiap informasi yang dikutip, kecual
informasi yang telah menjadi pengetahuan umum (common knowledge). Informasi
yang diperoleh secara tertutup, seperti halnya dalam pembicaraan, korespondensi,
atau diskusi dengan pihak ketiga, hanya digunakan dalam laporan penelitian apabila
ada izin eksplisit dari penelitinya.
28. Penulis harus menyampaikan kepada pihak editor jika manuskrip tersebut dapat
menimbulkan konflik kepentingan, misalnya : penulis sedang memberikan konsultasi
atau menerima bantuan finansial dari sebuah perusahaan yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian yang akan dipublikasikan. Penulis harus menjamin
tidak ada suatu ikatan kontrak atau perjanjian yang mempengaruhi informasi yang
terkandung dalam manuskrip.

BAB V
KAIDAH PENYERAPAN BAHASA ASING KE BAHASA INDONESIA

A. PENGERTIAN KATA SERAPAN


Kata serapan (juga kata pungutan atau kata pinjam) adalah kata yang berasal dari
bahasa asing yang sudah diintegrasikan ke dalam suatu bahasa dan diterima
pemakaiannya secara umum.
Bahasa Indonesia menyerap banyak kata dari bahasa-bahasa lain, terutama
yang pernah berhubungan langsung dengan Nusantara, baik melalui perdagangan
(Sanskerta, Tionghoa, Arab), melalui penjajahan (Portugis, Belanda, Jepang), maupun
karena perkembangan ilmu pengetahuan (Inggris)

CONTOH PENYERAPAN DARI BAHASA ASING

1. tetapi (dari bahasa Sanskerta tathâpi: namun itulah)


2. mungkin (dari bahasa Arab mumkinun: ?)
3. kongko (dari bahasa Hokkien kongko: bercakap)
4. meski (dari bahasa Portugis mas que: walau)
5. bengkel (dari bahasa Belanda winkel: pojok atau toko)
PENULISAN UNSUR SERAPAN
• Pertama
unsur yang belum sepenuhnya terserap kedalam Bahasa Indonesia. Unsur-
unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih
mengikuti cara asing.
• Kedua
usur asing yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah
bahasa indonesia dan diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih
dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Proses Penyerapan Bahasa Asing ke Dalam Bahasa Indonesia
• Adopsi
Pemakai bahasa mengambil bentuk dan makna kata asing itu secara keseluruhan.
Contoh: supermarket, plaza, mall.
• Adaptasi
Pemakai bahasa hanya mengambil makna kata asing itu, sedangkan ejaan atau
penulisannya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia. Contoh: "Pluralization"
menjadi "pluralisasi".
• Penerjemahan
Pemakai bahasa mengambil konsep yang terkandung dalam bahasa asing itu, lalu
kata tersebut dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Contohnya: "Try out"
menjadi "uji coba".
• Kreasi
Pemakai bahasa hanya mengambil konsep dasar yang ada dalam bahasa Indonesia.
Cara ini mirip dengan cara penerjemahan, tetapi tidak menuntut bentuk fisik yang
mirip seperti cara penerjemahan.
Misal, kata dalam bahasa aslinya ditulis dalam dua atau tiga kata, sedangkan dalam
bahasa Indonesianya hanya ditulis satu kata. Contoh: "Spare parts" menjadi "suku
cadang".

BAB VI
PEMILIHAN KATA DALAM KARYA ILMIAH

A. DIKSI
Pemilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkap gagasan/ide dalam pola
satu kalimmat (Enre, 1998:101)
B. TUJUAN DIKSI
Diksi memudahkan pembaca dalam memahami maksud dari penulis serta
mengantisipasi terjadinya kesalahan interpretasi/tafsiran dari penulis kepada pembaca
C. SYARAT DIKSI
1. Ketetapan
Agar gagasan/ide dapat tersampaikan dengan baik dan tidak melenceng,
penulis harus menguasai tempat makna berdasarkan gagasan yang disampaikan.
Seperti misalkan; memahami perbedaan antara makna dasar (denotatif) dan
makna tambahan (konotatif) dari setiap kata yang digunakan.
2. Kesesuaian
Kesesuaian mengutamakan pertimbangan cara, yakni bagaimana cara penulis
mengungkapkan pada semua kesempatan dan dalam semua lingkungan pembaca.
Cermat dalam memilih kata hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki serta
menguasai perbendaharaan kata yang tidak sedikit. Dengan kata lain, semakin banyak
kosakata yang dimiliki, maka akan semakin leluasa ia dalam memilih kata-kata mana
yang sesuai.
D. MAKNA
1. Makna leksikal dan makna gramatikal

Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, sesuai dengan
hasil observasi alat indera/makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita Contoh: Kata tikus, makna leksikalnya adalah binatang yang memnyebabkan
timbulnya penyakit. Sedangkan makna gramatikal adalah untuk menyatakan
nuansa-nuansa gramatikal, Contoh: Kata buku bermakna tunggal, jika maknanya
berubah dijamakkan maka menjadi buku-buku

Berdasarkan makna leksikal/makna kamus, diksi juga dibedakan menjadi


beberapa bagian:
1) Homofon

Memiliki pengucapan yang sama, tetapi maknanya berbeda.

a. Bang x Bank
b. Massa x Masa
2) Homonym

Memiliki makna yang berbeda tetapi cara pengucapan dan ejaannya sama

a. Rapat x Rapat
b. Bisa x Bisa
c. Hak x Hak
3)

Anda mungkin juga menyukai