HUKUM ZAKAT
INDIKATOR KOPETENSI
Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 1 ini diharapkan saudara dapat:
1. Menjelaskan tentang hukum zakat tanah yang disewakan
2. Menjelaskan tentang hukum zakat hasil usaha (profesi)
3. Menjelaskan tentang hukum zakat produktif
4. Menjelaskan tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid
POKOK-POKOK MATERI
URAIAN MATERI
Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajar akan dibahas empat materi pokok
tentang zakat yang diperselisihkan hukumnya. Pada bagian pertama akan dibahas tentang
hukum zakat tanah yang disewakan. Pada bagian kedua akan dibahas tentang hukum zakat
profesi. Pada bagian ketiga akan dibahas tetang hukum zakat produktif dan pada bagian
keempat akan dibahas tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid. Kepada saudara,
diharapkan untuk dapat membaca dan memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-
baiknya agar tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.
Mencermati judul di atas setidaknya terdapat pertanyaan dalam benak saudara, siapa
yang wajib mengeluarkan zakat dari tanah yang disewakan, apakah si pemilik tanah atau pihak
penyewa tanah. Sepintas jawabannya sudah dapat ditentukan dari judul itu yaitu orang yang
1
menyewa tanah karena dialah orang yang mendapatkan secara langsung dari hasil tanah
tersebut. Namun demikian, ditemukan pendapat bahwa si pemilik tanahlah yang terkena
kewajiban zakatnya karena tanpa tanah tidak mungkin didapati hasil tanaman. Terdapat juga
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada kesepakatan antara dua
belah pihak sebelum transaksi dilakukan, berikut bahasannya.
A. Pengertian
Kata zakat ) ٌ ) زَ كَاةberasal dari bahasa Arab, secara bahasa artinya suci, tumbuh
berkembang dan berkah. Makna zakat secara bahasa ini mencerminkan sifat zakat yang
dapat mensucikan harta dan jiwa serta mengandung nilai positif yang dapat dikembangkan
berupa kebaikan bagi si muzakki dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq.
Sejalan dengan firman Allah swt:
ٌَ َقَدٌ أَفل
ح َمنٌ زَ َّكاهَا
Artinya: “Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (QS. al-
Syams: 9)
Menurut syara’, para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib
dikeluarkan sebagiannya kepada para mustahiq.”
Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan, ”Zakat adalah suatu nama hak Allah yang harus
dikeluarkan oleh manusia kepada fuqara.” Selanjutnya Sabiq menambahkan,
“Dinamakan zakat karena mengharap berkah, pensucian diri, dan bertambahnya
kebaikan.” Hal ini sejalan dengan firman Allah swt:
2
berarti juga transfer sumber-sumber ekonomi. Rahardjo (1987) menyatakan bahwa dengan
menggunakan pendekatan ekonomi, zakat bisa berkembang menjadi konsep
kemasyarakatan (muamalah), yaitu konsep tentang bagaimana cara manusia melakukan
kehidupan bermasyarakat termasuk di dalamnya bentuk ekonomi. Oleh karena itu ada dua
konsep yang selalu di kemukakan dalam pembahasan mengenai sosial ekonomi Islam yang
saling berkaitan yaitu pelarangan riba dan perintah membayar zakat (Q.S al-Baqarah [2]:
276).
B. Pengertian dan Dasar Hukum-Nya
Sebelum menjelaskan pengertiannya, penting rasanya untuk mengedepankan beberapa
komponen yang harus terpenuhi dalam transaksi zakat hasil tanah yang disewakan.
ٌُ ( ٌأ َ ألَر
1. Sebidang tanah yang disewakan )ُ ض ال ُمست َأ َج َر ٌة
ٌ ِ صاحِ بٌ أَألَر
2. Pemilik tanah )ض َ (: Orang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain.
hasil tanah yang langsung dihasilkan oleh tanah tersebut berupa tumbuh-tumbuhan yang
menghasilkan buah. Hasil dimaksud bisa berupa makanan pokok, seperti padi, korma,
gandum atau buah-buahan, seperti, jeruk, anggur, semangka, atau berupa sayur-sayuran,
seperti ketimun, kacang, bawang, dan lain sebagainya. Kewajiban untuk mengeluarkan
zakat hasil tanah yang disewakan didasari oleh ayat berikut ini:
َّ ع ُمخت َ ِلفا أ ُ ُكلُ ٌهُ َو
ٌَالزيتُون َّ ل َو
ٌَ الزر ٌَ وشَاتٌ َوالنَّخ ََ وشَاتٌ َوغَي ٌَر َمع ُر ََ شٌَأ َ َجنَّاتٌ َمع ُر ََ َو ُه ٌَو الَّذِي أَن
ال تُس ٌِرفُوا َ الر َّمانٌَ ُمتَشََ ا ِبها َوغَي ٌَر ُمتَشَا ِبهٌ ُكلُوا ِمنٌ ث َ َم ِر ٌِه ِإذَا أَث َم ٌَر َو َءاتُوا َحقَّ ٌهُ يَو ٌَم َح
ٌ َ صا ِد ٌِه َو ُّ َو
ٌَُحبٌُّ ال ُمس ِرفِينٌِ ال يٌ َ ُإِنَّ ٌه
Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dan
delima yang serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah-buah
tersebut jika panen dan keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-
lebihan.” (QS. al-An’am: 141)
ٌُ ُف الع
ٌش ِر ٌُ سانِيَ ٌِة نِص
َّ ي بِال
ٌَ س ِق
ُ شو ٌُر ِفي َما ُ ت االَن َه
ُ ُار َوالغَي ٌُم الع ٌِ َسٌق
َ فِي َما
3
)(رواه احمد ومسلم
Artinya: “Tanaman yang tumbuh diari oleh air yang menggunakan alat, zakatnya
sebanyak lima persen. Sedangkan tanaman yang diairi oleh air hujan sebanyak sepuluh
persen.”
Jika dicermati, mengapa hasil tanah yang diairi oleh alat lebih kecil dari pada yang
diairi oleh air hujan? Hal ini karena yang memakai alat itu membutuhkan biaya, sedangkan
yang memakai air hujan tidak membutuhkan biaya. Dengan demikian, terdapat keadilan di
dalamnya.
Zakat hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku untuknya haul
(genap satu tahun) di dalamnya. Jika satu tahun itu dua kali panen, maka zakatnyapun dua kali.
Sedangkan ketentuan nisabnya menurut M. Syaltut, baik sedikit atau banyak hasil panennya
tetap dizakatkan karena menurutnya agar tumbuh selalu sikap solidaritas sosial sebagai hikmah
diwajibkannya zakat.
C. Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakatnya
Ketentuan bahwa zakat hasil tanah yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya tidak
memunculkan masalah jika tanah itu ditanami oleh pemiliknya langsung. Persoalannya jika
tanah itu disewakan kepada orang lain, maka hal ini akan memunculkan masalah, siapa yang
wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan? Apakah si pemilik tanah atau si
penyewa tanah (yang bercocok tanam). Untuk menjawab kasus hukum ini tidak terdapat
kata sepakat di kalangan para ulama mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti
diuraikan berikut ini.
1. Menurut Jumhur ulama, bahwa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang
disewakan adalah pihak penyewa. Mereka beralasan karena yang dikeluarkan zakatnya
adalah hasil tanahnya bukan tanahnya hal ini diperkuat oleh pendapat Mahmud Syaltut.
ٌي
َ ِ َو ِه ٌِ ِالزرعَّ ق ٌُّ الز َكا ٌة ُ َح َّ ع َو ٌَ الزر َّ علَى ال ُمستَأ ِج ٌِر الَّذِى يُ َبا ِش ٌُر َ َ ى الَّذِى نَعت َ ِمد ٌُهُ اِن َّهٌا َّ َف
ٌُ الرا
ك َكانٌَ ال ُمستَأ ِج ٌُر ُه ٌَو ٌَ سالَ َمتِ ٌِه َوبِذَا ِل
َ عِ َو َّ ت
ٌ الزر ٌِ علَى نِع َم ٌِة اِنبَا َ شك ٌِر ُّ بَع ٌدَ نَوعٌ ِمنٌَ ال
ج َر ٌِةٌَ ض ال ُمستَأ ٌ ِ اجِ زَ َكا ٌِة األَر
ٌ ب ِباِخ َر ٌُ ٌَطال
َ ال ُم
Artinya:“Pendapat yang kami pegang bahwasanya kewajiban zakat ada pada pihak
penyewa yang langsung menggarap pertanian. Dan zakat merupakan hak pertanian
sebagai rasa syukur atas ni’mat berhasilnya pertanian. Dengan demikian penyewalah
yang dibebani untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan.”
4
2. Menurut pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya bahwa pemilik tanahlah yang
wajib mengeluarkan zakatnya karena dari sebab tanah itulah ada hasil yang
diperoleh., tanpa tanah tak akan dapat dihasilkan apa-apa.
3. Imam Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu
Tsaur berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini
sejalan dengan pendapat point pertama.
Mencermati perselisihan pendapat tentang zakat hasil tanah yang disewakan
sebagaimana tersebut di atas dapat dikelompokkan perbedaannya menjadi dua kelompok
dengan alasannya masing-masing.
Pendapat pertama adalah ulama yang menetapkan bahwa si penyewa dalam hal ini
orang yang menggarap tanah yang wajib mengeluarkan zakat karena dialah yang secara
langsung memperoleh hasil dari tanah tersebut. Sedangkan pendapat kedua menetapkan
bahwa si pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena si pemilik tanah
tersebut mendapatkan uang sewa. Jika diperbandingkan alasan dari kedua kelompok
tersebut, maka pendapat pertama memiliki argumentasi yang lebih kuat karena hal ini
diperkuat oleh firman Allah swt dalam surat al-An’am ayat 141 seperti tersebut di atas yang
menyebutkan bahwa hasil tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan tanahnya
demikian juga dengan yang dimaksudkan oleh Hadits Rasulullah sebagaimana tersebut di
atas. Berdasarkan kepada dalil-dali tersebut, fuqaha telah sepakat bahwa yang dizakatkan
adalah hasil tanah bukan tanahnya maka sebidang tanah yang tidak ditanami tidak wajib di
keluarkan zakatnya. Dengan demikian, tanah yang disewakan jika dilihat dari hasilnya itu
adalah milik sempurna pihak si penyewa. Maka tidaklah tepat alasan yang diajukan oleh
kelompok kedua yang berpendapat bahwa penyewalah yang wajib mengeluarkan zakatnya.
Terkait dengan status tanah yang disewakan itu tetap milik orang yang menyewakan
dan di sisi lain terdapat kewajiban untuk mengeluarkan kewajiban pajak. Jika berpegang
kepada pendapat pertama seperti dijelaskan di atas maka sebenarnya dengan status tersebut
terjadi pembagian kewajiban yang cukup merata karena kedua belah pihak memiliki andil,
yakni si penyewa wajib membayar zakat dan di sisi lain si pemilik tanah membayar pajak
tanah, maka pendapat pertama ini dipandang lebih adil dan tidak memberatkan kedua-
belah pihak.
Solusi lain yang juga dapat dipandang bijak dalam pemerataan pengeluarkan zakat
adalah pendapat yang ditawarkan oleh Abu Zahra. Menurutnya, kedua-duanya baik si
5
pemilik tanah maupun si penyewa sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Hal ini demi
memenuhi keadilan dalam pemungutan zakat, dengan ketentuan pihak penyewa
mengeluarkan zakat tanaman setelah dikurangi harga sewa yang ia bayar kepada pemilik
tanah. Dan si pemilik tanah mengeluarkan zakat atas dasar harga sewa yang ia terima dari
si penyewa yang berarti ia mengeluarkan zakat uang, dengan demikian kedua-duanya
terkena beban untuk mengeluarkan zakat.
Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah jika memang kedua belah pihak
sebelum transaksi telah bersepakat yang bertujuan agar keduanya tidak terlalu terbebani,
maka zakat itu dapat dilakukan secara patungan antara kedua belah pihak berdasarkan
kesepakatan itu.
6
dapat dikatakan profesi karena keahliannya diperoleh melalui proses pendidikan yang
cukup lama.
Gagasan zakat profesi ini adalah Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az
Zakah, yang cetakan pertamanya terbit tahun 1969. Namun tampaknya Yusuf Qardhawi
dalam hal ini mendapat pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab
Khallaf dan Syeikh Abu Zahrah. Dalil keumuman ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi
zakat profesi yaitu QS. al-Baqarah. 267, nampaknya pekerjaan yang termasuk profesi itu
bersifat umum, tidak terbatas oleh keahlian yang dipeoleh dari pendidikan tapi semua jenis
pekerjaan yang baik, ayat tersebut berbunyi:
ٌ ٌسبتُم
َ ت َما َك َ ٌيَاأَيُّ َها الَّذِينٌَ َءا َمنُوا أَن ِفقُوا ِمن
ٌِ ط ِيبَا
Artinya: “Nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik.” (QS. al-Baqarah: 267)
7
B. Cara Mengeluarkan dan Nisabnya
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat cara mengeluarkan zakat profesi seperti
dokter, pengacara, pilot, dosen, artis dan sebagainya. Semua pekerja ini dapat
mengeluarkan zakat profesinya dengan cara ta’jil, yaitu mempercepat ketika mereka
menerima honor atau gaji. Berapa nisab (batas minimal) dan prosentase yang harus
dikeluarkan? Terjadi perbedaan pendapat para ulama terhadap penetapan nisabnya:
1. Abdurrahman Hasan, Imam Abu Zahra, dan Abdul Wahab Khallaf, mereka
berpendapat bahwa nisab zakat profesi sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha
sekitar 930 liter atau 653 Kg. sehingga prosentase zakatnya disamakan (diqiyaskan)
dengan zakat pertanian yang pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5
% setiap mendapatkan gaji atau honor.
2. Jumhur ulama berijtihad bahwa nisab zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas
murni yang diambil dari penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup.
Kelebihan inilah yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak
2,5 % setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah
ditetapkan oleh Hadits.
3. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat
rikaz (barang temuan) maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada saat
menerimanya.
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa MUI 7 Juni tahun 2003 menyebutkan
bahwa Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah
mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Zakat penghasilan dapat
dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Jika tidak mencapai nishab,
maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan
jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab. Fatwa MUI ini menarik dikaji dan
setidaknya ada dua catatan Pertama : Nishabnya mengikuti zakat emas bukan pertanian
dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Kalau
kita bandingkan dengan fatwa Dr. Yusuf Al-Qardhawi, nishabnya bukan kepada emas 85
gram, melainkan kepada hasil pertanian 653 kg gabah kering atau 520 kg beras. Kedua,
MUI tidak mensyaratkan harus ada masa kepemilikan selama setahun. Pokoknya kalau
jumlah penghasilan itu mencapai nisab emas, maka wajib langsung dikeluarkan
zakatnya. Ini adalah doktrin dasar zakat profesi. Padahal kalau mengacu kepada fiqih
8
zakat yang original, harta itu harus dimiliki dan disimpan selama setahun penuh (haul)
sejak awal hingga akhir tahun. Kalau belum dimiliki setahun, belum terkena zakat.
C. Contoh Kasus
Ali adalah seorang dosen PTN golongan IV/a dengan masa kerja selama 20 tahun. Ia
memiliki seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya tiap bulan pada tahun 2015 sebagai
berikut:
a. Gaji dari Negara Rp. 4.300.000
c. Honor dari beberapa PTS Rp. 2.500.000
d. Honor dari yang lain Rp. 2.000.000
9
adanya zakat profesi di mana belum pernah ada pada zaman klasik Islam perlu direspons
secara positif. Hukum Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sekarang adalah
zaman yang syarat dengan profesi (keahlian) yang dapat menghasilkan uang. Maka adanya
zakat profesi sebagai hasil ijtihad sejalan dengan prinsip hukum Islam yang memberikan
pintu kemudahan, dalam hal ini penunaian zakat secara ta’jil (disegerakan) dapat
menghilangkan kealfaan seseorang dalam penunaian zakat.
3. ZAKAT PRODUKTIF
Kemunculan istilah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap
penyaluran zakat kepada mustahiq yang pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang
diterima oleh mustahiq yang tersebut terakhir ini biasanya bersifat konvensional yaitu
sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”.
Namun di sisi lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari tenaga,
ilmu dan ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang tersebut terakhir ini zakat dapat
diarahkan menjadi modal usaha untuk pengembangan kemampuan yang dimilikinya.
Permasalahannya yang kemuidan muncul bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal
usaha, berikut bahasannya.
10
mustahiq zakat pada point 2 sampai point empat keberadaan zakat bagi penrimanya
berpotensi untuk membangun dan meningkatkan perekonomian. Keberadaannya dapat
mengentaskan kemiskinan dan kemelaratan..
Ide untuk mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika fokus perhatian
dilakukan secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang
yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik namun di antara mereka terdapat banyak yang
memiliki kesehatan fisik dan keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak
memiliki modal, sehingga keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa
dijadikan sebagai modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus
mengembangkan keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan dalam
zakat produktif ini adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat sebagai modal yang
terus dikembangkan.
11
mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut. Selain itu di masyarakat
terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang tergolong mustahiq yang
tampaknya diperoleh tanpa melalui latihan khusus seperti pedagang kaki lima, sopir,
pengrajin tangan, tukang kuli batu, dan lain sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan
dengan baik serta penggunaannya terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan
taraf ekonomi mereka yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan
mereka tidak bergantung kepada zakat. Untuk mereka, zakat hanya modal pertama saja
selanjutnya mereka tidak lagi sebagai mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib
mengeluarkan zakat (muzakki).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu dapat
dibenarkan selain itu masalah teknis saja, pemberian modal kepada mustahiq zakat sebagai
modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq untuk hidup lebih layak,
hal ini merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh al-Qur’an:
Arif Mufraini dalam Buku Akuntansi dan Manajemen Zakat (2006:147) telah
mengemas bentuk inovasi pendistribusian zakat yang dikategorikan dalam empat bentuk:
Pertama, distribusi bersifat “konsumtif tradisional,” yaitu zakat dibagikan kepada mustahik
untuk dimanfaatkan secara langsung, seperti zakat fitrah, atau zakat mal yang dibagikan
kepada para korban bencana alam. Kedua, distribusi bersifat “konsumtif kreatif.” yaitu
zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam
bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa. Ketiga, distribusi bersifat “produktif tradisional,”
yaitu zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif seperti kambing, sapi,
dan lain sebagainya. Pemberian dalam bentuk ini dapat menciptakan usaha yang membuka
lapangan kerja bagi fakir miskin. Keempat, distribusi dalam bentuk “produktif kreatif,”
yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan baik untuk menambah modal pedagang
pengusaha kecil ataupun membangun proyek sosial dan proyek ekonomis.
12
Dengan demikian, zakat produktif adalah zakat yang didistribusikan kepada mustahik
dengan dikelola dan dikembangkan melalui perilaku-perilaku bisnis. Indikasinya adalah
harta tersebut dimanfaatkan sebagai modal yang diharapkan dapat meningkatkan taraf
ekonomi mustahik. Termasuk juga dalam pengertian zakat produktif jika harta zakat
dikelola dan dikembangkan oleh amil yang hasilnya disalurkan kepada mustahik secara
berkala. Lebih tegasnya zakat produktif adalah zakat yang disalurkan kepada mustahik
dengan cara yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan
produktif, sesuai dengan pesan syariat dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Hikmah yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi
komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si kaya.
Efek yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan merasa puas dan
senang karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan mustahiq tidak menjadi
mental pengemis dan tersalurkan kemampuannya. Dengan demikian terjadi hubungan yang
signifikan antara keberadaan zakat produktif dengan peningkatan sumber daya manusia.
Dan yang terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap pembiaran terhadap
fakir miskin dan telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran yang dapat menjadikan
seorang menjadi kafir, sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi:
13
ٌََار ِمين
ِ ب ٌَوالغ ِ علَي َها َوال ُم َؤلَّفَ ٌِة قُلُوبُ ُهمٌ َوفِي
ٌِ الرقَا َ ٌَام ِلين
ِ ين َوال َع
ٌِ سا ِك
َ اء َوال َم ٌِ الصَدَقَاتٌُ ِللفُقَ َر
َّ ِإنَّ َما
ٌع ِليمٌ َح ِكيم ٌَّ ّللاِ َو
َ ُّللا ٌَّ ٌَضةٌ ِمن َ ل فَ ِري ٌِ سبِي
َّ ن ال ٌَّ ل
ٌِ ّللاِ َواِب ٌِ سبِي
َ َوفِي
Artinya: “Shadaqah adalah hak untuk faqir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang
yang terlilit hutang, di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan (musafir). Sebagai
kewajiban yang datang dari Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
(QS. at-Taubah: 60)
14
bersifat umum. Terkait dengan makna yang tersebut terakhir ini, para ulama memiliki
penafsiran yang beraneka ragam.
Menurut Mahmud Syaltut, istilah sabilillah memiliki arti kemaslahatan ummat yang
manfaatnya kembali kepada kaum muslimin seperti pembangunan mesjid, rumah sakit,
perlengkapan pendidikan, dan sebagainya. Memperkuat pendapatnya, Syaltut mengutip
pendapat Imam Al-Razi yang mengatakan bahwa kata sabilillah tidak terbatas pada arti
tentara. Syaltut juga mengutip pendapat al-Qaffal yang berpendapat bahwa boleh
menyalurkan zakat ke semua bentuk kebaikan seperti untuk mengurus mayat, membangun
benteng, dan pembangunan mesjid. Tetapi Syaltut memberikan catatan bahwa zakat yang
diperbolehkan untuk pembangunan mesjid dengan syarat mesjid itu hanya satu-satunya di
suatu desa, atau untuk pembangunan mesjid baru karena mesjid yang tersedia tidak cukup
lagi untuk menampung jamaah. Menurut Syaltut, arti sabilillah dapat disimpulkan
menyangkut pemeliharaan posisi materi dan spritual suatu bangsa termasuk di dalamnya
mesjid.
Menurut al-Maraghi, istilah sabilillah adalah semua perkara yang berhubungan dengan
kemaslahatan ummat dapat dimasukkan ke dalam sabilillah, seperti perkara yang
menyangkut masalah agama dan pemerintahan, seperti masalah pelayanan haji.
M. Rasyid Ridha berpendapat bahwa, istilah sabilillah mencakup semua kepentingan
syariah secara umum yang berkenaan dengan masalah agama dan negara dan yang
terpenting, untuk persiapan kepentingan perang dengan membeli persenjataan.
Menurut Yusuf Qardhawi, istilah sabilillah memiliki arti yang lentur, yaitu semua
sarana yang dapat dipergunakan untuk memperjuangkan kemajuan ummat Islam dan
melawan semua bentuk serangan orang-orang kafir, semuanya termasuk sabilillah. Lebih
rinci, beliau menyebutkan usaha pembebasan Islam dari kekuasaan dengan memerangi
kaum kafir, sarana pendidikan dan pengajaran serta lembaga da’wah, surat kabar islami,
penerbitan buku-buku islami dan para da’i, semua yang disebutkan di atas dapat
dimasukkan ke dalam cakupan makna sabilillah.
Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa istilah sabilillah adalah semua jalan yang dapat
menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu atau amal.
Mencermati pendapat-pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian
sabilillah secara umum (mazaj) dapat mencakup semua jalan kebaikan yang manfaatnya
kembali kepada ummat Islam termasuk di dalamya adalah masjid, penyebutan sarana
15
ibadah yang disebutkan terakhir ini secara jelas disebut oleh Mahmud Syaltut pada point
pertama. Pengertian mazaj semacam ini dalam hukum Islam dapat ditolelir selama tidak
bertentangan dengan kaidah agama. Keberadaan mesjid dalam masyarakat memiliki
peranan strategis, fungsinya bukan hanya sebagai tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat
pendidikan, da’wah, serta sosial kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah
swt. Dengan demikian, zakat boleh disalurkan untuk pembangunan mesjid karena mesjid
termasuk sabilillah yang mengandung manfaat bagi umat Islam.
Selanjutnya menurut hemat penulis, skala prioritas harus diutamakan. Terlebih
sekarang ini, keberadaan mesjid di masyarakat begitu banyak dan pesat, sehingga jarak
mesjid sangat berdekatan dan relatif jamaahnya di beberapa mesjid ditemukan sangat
sedikit. Mengingat hal itu, penulis sejalan dengan Mahmud Syaltut yang berpendapat
bahwa penyaluran zakat untuk mesjid itu harus diutamakan untuk mesjid baru yang
dibangun karena mesjid yang berdekatan sudah tidak mampu lagi untuk menampung
jamaah atau untuk agenda perluasan mesjid karena daya tampungnya tidak lagi
mencukupi untuk menampung jamaah.
Terdapat fatwa MUI Nomor 001 Tahun 2015 tentang pendayagunaan dana zakat, infaq,
shadaqah dan wakaf untuk pengadaan sarana yang bermanfaat dan mendesak untuk
kemasalahatan masyarakat seperti sarana air bersih dan sanitasi. Fatwa tersebut merupakan
produk hukum baru terkait pendistribusian dana zakat. Hal ini berlandaskan
pengambilan mashlahah demi kepentingan umat dan menghindari kemudharatan yang
telah terjadi di berbagai daerah. Tujuan utama kehadiran hukum syari’ agar dijadikan
pedoman utama dalam kehidupannya tidak lain agar manusia meraih kebaikan
(mashlahah), atau dengan kata lain untuk mewujudkan kemashlahahatan umat.
16