Anda di halaman 1dari 15

PENCEGAHAN PENYEBARAN HOAKS DENGAN LITERASI DIGITAL

Patriot Ade Susilo Lio Nandra Saputra Siti Huda Dienina


Prodi Pendidikan Prodi Pendidikan Pancasila Prodi Pendidikan
Pancasila dan dan Kewarganegaraan, Faku Matematika, Fakultas
Kewarganegaraan, Fakulta ltas Ilmu Sosial, Universitas Matematika dan Ilmu
s Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang Pengetahuan Alam, Univers
Negeri Semarang No HP 085602911747 itas Negeri Semarang
No HP 089683041404 Email: No HP 082324831699
Email: lnandra30@students.unnes Email:
patriotade@gmail.com .ac.id sitihudadienina@students.
unnes.ac.id

ABSTRAK

Salah satu fenomena besar yang sedang terjadi adalah penyebaran hoaks yang sangat
cepat. Media sosial menjadi alat yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan
berita hoaks. Penyebaran hoaks yang pesat ini diakibatkan karena mudahnya
menyebarkan hoaks dan kurangnya literasi digital masyarakat Indonesia. Penelitian ini
bertujuan menggambarkan penggunaan literasi digital untuk mencegah penyebaran
hoaks di era disrupsi. Ciri-ciri dari era tersebut adalah banyak informasi yang beredar,
dinamika yang cepat, dan tingginya penggunaan teknologi berbasis internet. Metode
penelitian ini menggunakan metode kajian literatur. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah hoaks dapat dicegah dengan mengembangkan kemampuan literasi digital. Dalam
dunia literasi terdapat sembilan elemen penting, yakni social networking, transliteracy,
maintaining privacy, managing identity, creating content, organising and sharing
content, reusing/repurposing content, filtering and selecting content, dan self
broadcasting. Pengembangan dan penguatan literasi digital dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan di lingkungan masyarakat terutama di lembaga-lembaga pendidikan.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terkait pencegahan
hoaks melalui literasi digital.
Kata Kunci: hoaks, mencegah, literasi digital, media sosial, era disrupsi

PENDAHULUAN
Hoaks merupakan permasalahan yang sering dijumpai saat ini dan mempunyai
dampak yang besar. Berdasarkan data yang disampaikan Masyarakat Anti Fitnah
Indonesia (Mafindo), jumlah hoaks yang diklarifikasi pada paruh pertama tahun 2020
meningkat sebesar 53,5% dari 603 buah pada tahun 2019 menjadi 926 buah pada tahun
2020. Rerata hoaks bulanan meningkat dari 101/bulan pada tahun 2019 menjadi
154/bulan pada tahun 2020. Hal ini tentu menjadi suatu peringatan bagi setiap orang
akan masifnya hoaks yang tersebar dan bahayanya.
Hoaks dikenal sebagai berita palsu yang seringkali menggunakan kalimat yang
berlebihan dan membuat heboh. Seolah-olah kalimat tersebut berisi informasi yang
benar, padahal kenyataannya tidak. Ali (2017) menuliskan bahwa meningkatnya
persebaran hoaks di Indonesia adalah saat media sosial makin banyak digunakan oleh
masyarakat.
Pada paruh pertama tahun 2020 hoaks bertema kesehatan mendominasi
sebanyak 519 (56%). Peringkat kedua ditempati oleh hoaks bertema politik sebanyak
172 (18,6%), disusul hoaks bertema kriminalitas sebanyak 79 buah (8,6%). Pandemi
menyumbang jumlah hoaks kesehatan dalam periode ini..
Akhir-akhir ini hoaks sudah banyak bermunculan. Salah satu penyebabnya
adalah penggunaan internet yang makin tinggi terutama pada penggunaan media sosial.
Selain memiliki dampak positif, media sosial tentu juga membawa tantangan tersendiri.
Sebagian orang menganggap bahwa mereka bebas melakukan apa saja di media sosial.
Tidak mengherankan jika beberapa orang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian di
media sosial dengan mudah (Herawati, 2016).
Mengatasi hoaks memang tidak mudah dan membutuhkan proses yang panjang.
Ada banyak proses rumit yang menyertainya. Hoaks tidak bisa langsung dihilangkan
tetapi dapat ditekan untuk mengurangi angka penyebarannya. Tidak bisa dipungkiri
hoaks yang berkembang selama ini adalah dampak dari perkembangan teknologi
komunikasi. Mengatasi hoaks dengan menangkap pelaku memang penting, tetapi
meneliti dan mengatasi sebab semakin meningkatnya hoaks tak kalah pentingnya. Ini
sama saja saat kita mengatasi tindak kekerasan bukan hanya pada pelaku kekerasan
tetapi mengapa dan siapa yang menjadi penyebab tindak kekerasan itu. Meskipun tidak
popular tetapi ini cara yang mendasar untuk mengatasi keganasan penyebaran hoaks.
Hoaks memberikan dampak negative bagi siapa saja. Kontennya biasanya berisi
hal negatif, yang bersifat hasut dan fitnah. Hoaks akan menyasar emosi masyarakat, dan
menimbulkan opini negatif sehingga terjadi disintegrasi bangsa. Hoaks juga
memberikan provokasi dan agitasi negatif, yaitu menyulut kebencian, kemarahan,
hasutan kepada masyarakat umum (untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan, dan
sebagainya), biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivitis partai politik, pidato yang
berapi-api untuk mempengaruhi massa. Hoax juga merupakan propaganda negatif,
dimana sebuah upaya yang disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi,
memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan mempengaruhi langsung perilaku agar
memberikan respon sesuai yang dikehendaki oleh pelaku propaganda.
Masalah penyebaran hoaks ini telah dikaji oleh beberapa sumber terkemuka,
seperti dalam FGD (focus group discussion) hang diselenggarakan oleh badan siber dan
sandi negara (BSSN) bersama 40 perwakilan dari kementerian/ lembaga lainnya di
Jakarta pada tanggal 17-12-2018. Selain untuk melaksanakan fungsi BSSN sebagai
keamanan siber, kajian ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran upaya yang
telah dilakukan oleh masing-masing lembaga serta pelaksanaan koordinasi agar BSSN
dapat turut serta dalam mengendalikan penyebaran hoaks di Indonesia. Selain itu
masalah penyebaran hoaks yang kian marak juga dibahas oleh beberapa jurnal dari
kampus-kampus dari berbagai daerah di Indonesia.
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan bahwa munculnya fenomena penyebaran
berita hoaks dipengaruhi oleh rendahnya literasi informasi digital masyarakat negeri
melalui internet (Merdeka.com). Kedua lembaga tersebut lalu bekerja sama dengan
lembaga Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) untuk melakukan literasi
informasi digital bagi masyarakat. Mastel sendiri, sangat mendukung pengembangan
aplikasi yang dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat untuk menguji validitas
suatu berita. Dukungan ini termasuk dengan pengembangan aplikasi mobile Mastel
menjadi aplikasi yang terintegrasi dengan aplikasi data.turnbackhoax.id. Selanjutnya,
upaya responsif ini perlu diimbangi dengan peningkatan literasi agar hoaks tak lagi
mendapat tempat di tengah masyarakat.
Dari dampak yang ditimbulkan, penyebaran hoaks dapat merambah berbagai
aspek kehidupan dan berbagai generasi. Kemungkinan terburuknya, dampak penyebaran
berita hoaks dapat mempengaruhi keharmonisan bangsa Indonesia. Sebagai upaya
penanggulangan adanya penyebaran berita hoaks, literasi digital berperan penting dalam
menumbuhkan peningkatan pengetahuan tentang berbagai bidang kehidupan. Literasi
digital diartikan sebagai pemahaman, penganalisaan, penilaian terhadap suatu informasi
dengan akses teknologi digital. Dalam hal ini literasi digital menuntut para pengguna
internet untuk benar-benar paham akan informasi yang didapat, serta menganalisis
kebenaran dari informasi yang diterima, dan kemudian menilai apakah berita tersebut
benar adanya atau hanya karangan belaka (berita hoaks).
Literasi digital mengharuskan para penerima informasi untuk memahami
informasi bukan hanya dari satu sumber tetapi, dengan berbagai sumber terpercaya
lainnya. Selain itu, literasi digital ternyata bukan hanya membiasakan pembaca untuk
membaca informasi secara menyeluruh, tetapi juga memahami pesan yang ada pada
informasi tersebut. Dalam pemahaman pesan, pembaca seharusnya memiliki
pengendalian emosi yang baik serta moral yang matang. Dengan adanya pengendalian
emosi yang baik, maka, akan menimbulkan karakter damai dalam diri si pembaca
sehingga tidak mudah terhasut berita bohong (hoax). Selain itu, moral yang matang juga
mendukung pembaca menjadi kontributor anti hoax.
Hoaks memiliki dampak negatif yang besar sehingga perlu diatasi, apalagi hoaks
mudah menyebar. Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan, di antaranya
meningkatkan literasi masyarakat, menyediakan akses yang mudah kepada sumber
informasi yang benar atas setiap isu hoaks, melakukan edukasi yang sistematis, dan
berkesinambungan serta tindakan hukum yang efektif bagi penyebarnya (Rahadi, 2017).
Penggunaan gawai di kalangan anak muda hendaknya mendapatkan perhatian
dari keluarga. Tujuannya adalah tentu agar mereka dapat memanfaatkan gawai dengan
baik dan berdampak positif (Kurniawati & Baroroh, 2016). Para pengguna gawai
berusia muda itu diarahkan untuk menggunakan gawai untuk hal-hal yang positif. Sejak
dini mereka dibentuk untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dengan gawai
yang mereka gunakan. Sebab lingkungan keluarga punya andil dan pengaruh besar
dalam masa tumbuh kembang mereka.
Literasi media dianggap belum cukup untuk menghentikan hoaks sehingga perlu
diintegrasikan dengan meningkatkan pemahaman agama (Aliasan, 2017). Jika seseorang
memiliki pemahaman agama Islam yang cukup mendalam, seharusnya ia menghindar
dalam menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Sebab ia tahu bahwa
hoaks sama berbahayanya dengan fitnah.
Upaya penanggulangan hoaks juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang
cukup dikenal, misalnya dengan membuat komik strip (Saputro & Haryadi, 2018).
Komik strip dianggap efektif karena merupakan medium yang dekat anak muda dan
mudah disebarkan di dunia maya. Hasil penelitian menunjukkan pengguna media sosial
pada kelompok usia 15-30 tahun memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam
mengonsumsi dan mempercayai hoaks (Manalu, Pradekso, & Setyabudi, 2018). Maka,
sudah seharusnya kampanye anti hoaks dilakukan secara atraktif seiring dengan
perkembangan zaman.
Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan ikut serta dalam melawan hoaks.
Misalnya, mengadakan acara yang menampilkan karya kreatif untuk melawan hoaks.
Inisiatif lain yang dapat dilakukan adalah merancang web klarifikasi berita
(Firmansyah, 2017). Teknologi yang berpadu dengan sumber daya manusia yang
tersedia memungkinkan pengklarifikasian hoaks melalui web. Makin banyak
masyarakat terlibat dalam penangangan hoaks tentu makin baik.
Salah satu penelitian terdahulu tentang literasi digital adalah penelitian yang
menyebut bahwa literasi digital yang baik dapat berpengaruh pada kondisi psikologis
remaja dan anak-anak (Pratiwi & Pritanova, 2017). Jika literasi digital diberikan secara
tepat mungkin dapat mencegah remaja dan anak-anak melakukan hal-hal negatif di
dunia maya, seperti menghina orang lain, berbahasa tidak sopan, merundung, dengki,
menyebar hoaks, dan hal-hal negatif lain.
Literasi digital dalam arti sempit, yakni mampu mengoperasikan secara optimal
teknologi digital. Pembahasan tersebut dapat dibaca dalam penelitian mengenai
hubungan literasi digital dan self directed learning mahasiswa (Akbar & Anggaraeni,
2017). Dapat pula dibaca pada penelitian tentang literasi digital dan penggunaan media
sosial oleh anak remaja (Stefany, Nurbani, & Badarrudin, 2017). Pada dua penelitian
tersebut literasi digital berada pada ranah praktis, belum mencakup makna literasi
digital dengan semangat kritisisme di dalamnya.
Penelitian lain menemukan literasi digital telah memberikan dampak positif bagi
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan dalam menggunakan media sosial yang
kini menjadi sumber informasi khalayak, terutama generasi muda (Silvana &
Darmawan, 2018). Generasi muda dianggap sebagai generasi yang mudah
menyalahgunakan media sosial dan internet. Mereka diharapkan dapat memahami
makna dari pesan-pesan yang tersebar di media sosial. Sehingga dibutuhkan peran
literasi digital.
Literasi digital dianggap mutlak diberikan agar media baru (internet) benar-
benar menghadirkan manfaat bagi penggunanya (Rianto, 2016). Apalagi jika melihat
kenyataan bahwa generasi muda saat ini sangat aktif dalam mencari informasi. Namun,
tanpa bekal literasi digital yang memadai, mereka yang aktif mencari informasi itu
dapat tersesat. Melalui literasi digital masyarakat diharapkan berlaku kritis dalam
mengakses informasi dan tidak hanya bersandar pada satu sumber informasi (perspektif
tunggal) (Rianto, 2016).
Menurut Anisa (2018: 38) tujuan memiliki kemampuan literasi digital ialah untu
k memberikan kontrol lebih pada khalayak dalam memaknai pesan yang berlalu-lalang
di media digital. Keseluruhan pesan media memiliki makna yang terlihat, disertai denga
n banyak makna yang lebih dalam tersimpan di dalamnya. Perbedaan tingkat literasi ten
tu saja akan berdampak pada perbedaan kontrol individu dalam proses interpretasi infor
masi yang ada.
Potter (dalam Anisa, 2018: 38), individu dengan tingkat literasi yang rendah aka
n cenderung mudah menerima makna pesan yang tampak, yang dibuat dan ditentukan ol
eh media. Dengan keterbatasan perspektif, ia memiliki struktur pengetahuan yang lebih
kecil, dangkal, dan kurang terorganisir, sehingga tidak mumpuni untuk digunakan dala
m proses interpretasi makna pesan media. Akhirnya, individu tersebut akan sangat sulit
untuk mengidentifikasi keakuratan informasi, menyortir kontroversi, menyadari konten
satir, serta mengembangkan cara pandang yang lebih luas.
Sebaliknya, Potter (dalam Anisa, 2018: 38) menjelaskan bahwa pada individu de
ngan tingkat literasi media yang tinggi, ia akan secara aktif menggunakan serangkaian k
emampuan interpretasi. Individu tersebut menempatkan pesan media pada konteks struk
tur pengetahuan yang terelaborasi dengan baik. Akhirnya, ia mampu menginterpretasi p
esan apapun dari banyak dimensi yang berbeda, sehingga menyediakan lebih banyak pil
ihan makna. Ketika individu memiliki tingkat literasi tinggi, ia mengetahui bagaimana
menyeleksi semua pilihan makna dan memiliki kuasa dan kontrol lebih untuk memilih s
alah satu yang paling akurat dari beberapa sudut pandang (kognitif, emosional, estetik, d
an moral).
Apabila kita secara sadar memilih terpaan media tertentu dan secara aktif menga
tur informasi yang paling akurat dari terpaan tersebut, secara tidak langsung kita sedang
membangun dan memperkokoh struktur pengetahuan. Dengan kuatnya struktur pengeta
huan dan keahlian yang kita miliki, kita dapat meningkatkan apresiasi terhadap media b
aru. Semakin terliterasi, semakin kita memahami dan mengapresiasi media baru, pesan,
dan efeknya (Anisa, 2018:39).
Relasi literasi digital dalam memberantas berita palsu ini terletak pada peran ke
mampuan kognitif khalayak dalam proses verifikasi informasi. Bahkan, pada tingkatan
yang lebih tinggi, literasi digital dapat membantu individu memberikan informasi altern
atif atas informasi yang sudah terkonfirmasi kepalsuannya. Dalam penelitiannya, Jonas
De Keersmacker (2017:107) menyebutkan bahwa derajat pembenaran yang dilakukan in
dividu tergantung pada kemampuan kognitif mereka. Individu dengan kemampuan kogn
itif lebih rendah cenderung kurang responsif untuk mengoreksi informasi palsu dibandin
gkan mereka dengan kemampuan kognitif tinggi.
Menurut Anisa (2018: 42) pada era ini, peran literasi digital dalam konteks medi
a sosial menjadi lebih sentral. Bila kontrol konten media sosial rasanya sulit dilakukan o
leh pemilik media, pemerintah, maupun kelompok lainnya, literasi digital adalah salah s
atu solusinya. Dengan menggalakkan literasi digital, pengendalian diri terhadap penggu
naan media sosial dapat dilakukan secara optimal. Literasi digital bertujuan agar masyar
akat menguasai pemprosesan berbagai informasi di media sosial dengan lebih kritis dan
tidak mudah mengikuti arus tren informasi yang belum tentu valid.
Literasi digital yang memberi titik tekan pada kemampuan kritis individu dalam
menggunakan media digital, dalam hal ini juga termasuk media sosial, berpijak pada pe
mprosesan informasi dan melibatkan kompetensi teknologi, kognitif, dan sosial. Hal ters
ebut perlu dilakukan agar warganet lebih peka ketika menyaring informasi dan cakap da
lam membedakan informasi akurat dan tidak. Literasi digital dapat menjadi alternatif car
a yang efektif, dengan mengenalkan tanda-tanda berita palsu, prosedur verifikasi inform
asi, hingga menindak lanjuti informasi yang kiranya masuk kategori hoax.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan kecakapan literasi digital? Secara teoritis, in
dividu dengan tingkat literasi yang tinggi harus mendapatkan asupan informasi yang bai
k, kemudian mengaturnya menjadi struktur pengetahuan yang berguna. Namun dalam pr
aktiknya, meningkatkan kecakapan literasi digital perlu dilakukan sedini mungkin.
Pengenalan literasi digital pada dunia akademik dapat dimulai dari sosialisasi ku
rikulum literasi. Seperti peta kurikulum yang ditawarkan oleh UNESCO, perlu adanya li
terasi akademik yang menyasar pada guru, salah satunya agar guru dapat secara kritis m
engevaluasi konten media dan mengevaluasi informasi yang beredar (Grizzle dkk, 2011:
18).
Selain upaya tersebut, strategi personal yang dapat dilakukan untuk meningkatka
n literasi digital, yang diadopsi dari pemikiran Potter (dalam Anisa, 2018: 43) juga dapa
t diterapkan. Pertama, mengembangkan kesadaran akurat akan paparan informasi denga
n memilah sumber yang kredibel. Kedua, terus memperkaya diri dengan ilmu agar struk
tur pengetahuan yang kita bangun menjadi lebih kuat. Ketiga, membandingkan informas
i yang sama dari satu platform media ke media lainnya agar bisa mendapatkan banyak s
udut pandang. Keempat, berkaca pada opini pribadi, apakah opini tersebut sudah cukup
rasional dengan segala sumber informasi yang kita punya. Terakhir, menumbuhkan bud
aya verifikasi dan aktif mengoreksi informasi palsu yang beredar.
Literasi digital ini dapat diterapkan untuk menciptakan filter manual pada pereda
ran informasi di media sosial. Ketika permasalahan sistem dan algoritma digital tidak m
ampu memberikan iklim yang sehat pada lalu-lintas informasi media sosial, peran akun-
akun yang dijalankan oleh manusia kemudian harus bekerja secara aktif. Dengan fitur re
port, setiap akun pada media sosial akhirnya memiliki otoritas dalam melaporkan gejala
berita palsu yang mereka temukan. Sehingga, sistem yang ada dalam media sosial bisa
menindaklanjuti temuan tersebut dengan secara otomatis memblokir akun ataupun meny
ematkan simbol konten sensitif (Anisa, 2018: 44).
Fokus penelitian ini adalah tentang pemanfaatan literasi digital untuk mencegah
penyebaran hoaks di era disrupsi. Diharapkan penelitian ini dapat menambah
pengetahuan tentang literasi digital dan hoaks.
METODE PENELITIAN ATAU METODE PENULISAN
Metode penelitian ini menggunaan metode kajian pustaka. Studi kepustakaan
merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian, khususnya penelitian akademik
yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat
praktis. Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama yaitu
mencari dasar pijakan / fondasi utnuk memperoleh dan membangun landasan teori,
kerangka berpikir, dan menentukan dugaan sementara atau disebut juga dengan
hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat menggelompokkan, mengalokasikan
mengorganisasikan, dan menggunakan variasi pustaka dalam bidangnya. Dengan
melakukan studi kepustakaan, para peneliti mempunyai pendalaman yang lebih luas dan
mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti (Eka Diah Kartiningrum, 2015:3)
Metode ini dipilih karena penelitian ini fokus pada menggambarkan penggunaan
literasi digital dalam upaya mencegah penyebaran hoaks. Sumber yang digunakan yaitu
laporan, jurnal dan internet yang relevan dengan tema penelitian ini sebagai rujukan.
Penelitian ini menggunakan prosedur yaitu mencari ide selanjutnya mencari data-data
yang relevan. Setelah data yang diperoleh sudah cukup, selanjutnya data disusun dan dis
impulkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Menurut Paul Gilster literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memah
ami dan menggunakan informasi dalam bentuk yang berbeda-beda dari berbagai sumber
yang diakses melalui komputer (Kemdikbud, 2017). Hasil penelitian Bhatt (2012) meny
atakan bahwa kemampuan teknologi komunikasi dan informasi menjadi inti kompetensi
dalam literasi digital.
Salah satu karakteristik kemampuan literasi digital seperti teknologi media sosial
dengan berbagai komunitas online yang melingkupinya, kemudian penguasaan perangk
at teknologinya. Penguasaan teknologi digital tersebut dianggap sebagai tahapan untuk
kemampuan literasi digital.
Wheeler(2012) merumuskan sembilan elemen penting, yakni
1. Social Networking
Saat ini setiap individu yang terlibat dalam dunia maya selalu diarahkan pada layan
an jejaring sosial. Dalam memanfaatkan layanan tersebut perlu selektif dan hati-hati
Selain itu, pemanfaatan jejaring sosial perlu ada pengetahuan akan fungsi layanan t
ersebut serta etikanya sehingga akan lebih baik.
2. Transliteracy
Transliteracy dapat diartikan sebagai suatu kemampuan memanfaatkan variasi platf
orm seperti membuat konten, mengumpulkan, membagikan maupun mengomunika
sikan melalui media sosial atau berbagai layanan online lainnya.
3. Maintaining Privacy
Maintaining privacy dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dalam menjaga priv
asi dalam dunia maya.
4. Managing Digital Identity
Managing digital identity dapat diartikan sebagai suatu kemampuan tentang bagaim
ana cara menggunakan identitas secara tepat di berbagai jaringan sosial dan platfor
m lainnya.
5. Creating Content
Creating content dapat diartikan sebagai suatu kemampuan tentang bagaimana cara
membuat konten di berbagai aplikasi dan platform online
6. Organising and Sharing Content
Organising and sharing content adalah suatu kemampuan dalam mengatur dan me
mbagi konten agar mudah tersebarkan.
7. Reusing/repurposing Content
Reusing/repurposing content adalah suatu kemampuan tentang bagaimana membua
t konten dari berbagai macam informasi sampai menghasilkan konten baru yang da
pat digunakan kembali untuk berbagai kebutuhan.
8. Filtering and Selecting Content
Filtering and selecting content adalah suatu kemampuan dalam menyaring dan mem
ilih informasi secara tepat sesuai kebutuhan
9. Self Broadcasting
Self broadcasting bertujuan untuk membagikan ide-ide dan konten pribadi.
Sedangkan menurut Belshaw (2011) delapan elemen penting literasi digital,
yakni cultural, cognitive, constructive, communicative, confident, creative, critical, dan
civic. Elemen cultural dapat diartikan sebagai kemampuan memahami beragam konteks
digital. Cognitive diartikan sebagai suatu sikap memperluas pengetahuan berpikir.
Constructive dapat diartikan suatu kemampuan melakukan hal-hal bermanfaat dengan
perantara internet. Adapun elemen communicative, confident dan creative dapat diartika
sebagai kemampuan berkomunikasi dengan baik, bertanggung jawab, dan mampu
menghadirkan inovasi. Sedangkan, elemen critical dapat diartikan sebagai kemampuan
mensyaratkan pengguna internet mengaktifkan nalar kritisnya dalam mengoperasikan
gawai. Terakhir, civic memiliki arti internet mampu dijadikan alat untuk menciptakan
tatanan sosial masyarakat yang lebih baik.
Salah satu elemen penting literasi digital adalah kritis. Maksud dari kritis adalah
sikap dimana seseorang tidak mudah dalam menerima informasi yang diperoleh dari int
ernet, media sosial, dan aplikasi lainnya. Mereka perlu dipicu untuk bersikap kritis
terutama pada konten-konten yang terlalu heboh, kurang rasional, dan terkait kebencian
karena konten tersebut dapat mengandung hoaks.
Tingginya penggunaan media sosial telah banyak mengubah pola komunikasi da
n pengetahuan digital pada anak-anak apalagi yang tumbuh di era sekarang. Mereka
seringkali menggunakan gawai tanpa diawasi oleh orang tua. Oleh karena itu, perlu
adanya gerakan literasi digital yang mengenalkan anak-anak pada dunia maya sekaligus
mengajarkan anak-anak untuk menciptakan konten-konten kreatif dan positif.
Dalam mendukung gerakan literasi digital bagi anak sangat dibutuhkan peran
dari orang tua (Alia & Irwansyah, 2018; Sunita & Mayasari, 2018). Orang tua perlu me
nyediakan waktu khusus untuk saat mereka mengunakan gawai. Selain itu, orang tua
juga harus memberikan penjelasan tentang berbagai perilaku kreatif yang dapat dilakuka
n dan aspek yang harus dihindari dari pengunaan teknologi informasi serta terlibat aktif
dalam menerapkan proses verifikasi sebelum membagikan konten.
Selanjutnya, orang tua dapat menyisipkan pesan-pesan moral tentang kejujuran
saat mendampingi anak-anaknya (Putri, 2018). Orang tua menjelaskan kepada anak-ana
k tentang bahaya menyebarkan hoaks dan memberikan pengetahuan mengenai
bagaimana cara menyeleksi informasi sesuai kebutuhan.
Pada level yang lebih formal, literasi digital perlu dimasukkan sebagai mata pela
jaran atau mata mengingat besarnya tantangan yang akan dihadapi peserta generasi mud
a di era digital. Generasi muda akan berhadapan hoaks, ujaran kebencian, radikalisme, d
an lain-lain sehingga mereka perlu dibekal literasi digital (Silvana & Darmawan, 2018;
Wahono & Effrisanti, 2018).
Secara mendasar, literasi digital berkaitan dengan “melek internet”. Perkembang
an teknologi komunikasi dan informasi yang pesat berdampak pada penelusuran sumber
informasi berbasis digital sebagai sebuah pekerjaan yang cukup rumit bagi pengguna ya
ng belum terbiasa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Pada level nasional, pih
ak-pihak terkait semestinya mengambil bagian dalam gerakan literasi digital. Salah satu
lembaga yang bertanggung jawab mengenai gerakan literasi digital adalah Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Upaya yang dilakukan Kemenkominfo dan lembaga-lembaga pendukung
lainnya hendaknya perlu ditiru oleh lembaga lain. Medium yang dipilih tepat untuk gene
rasi muda karena sangat disukai adalah video dan infografis. Literasi digital berguna
sebagai pelindung agar hoaks tidak dapat menyerang masuk dengan harapan seseorang
mampu menyaring sebuah informasi.

KESIMPULAN
Untuk mengurangi bahkan mencegah adanya informasi hoaks yang efeknya
tentu akan membahayakan bangsa maka lerlu adanya pendidikan literasi digital, baik
dalam bidang pendidikan, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Elemen penting yang
sangat mendasar untuk dimbil dari literasi digital yaitu sikap kritis, sikap kritis yaitu
sikap dimana seseorang tidak mudah dalam menerima informasi yang diperoleh dari
internet, media sosial, dan aplikasi lainnya. Masyarakat perlu menerapkan sikap kritis
terutama pada konten-konten yang terlalu heboh, kurang rasional, dan terkait kebencian
karena konten tersebut dapat mengandung hoaks. Selanjutnya dalam lingkungan
keluarga, orang tua perlu mendukung gerakan literasi digital bagi anak, yang mana
orang tua harus mengawasi anaknya sehingga perilaku anak dalam mengakses internet
dapat dikontrol oleh orang tuanya. Dalam lingkungan pendidikan, literasi digital perlu d
imasukkan sebagai mata pelajaran atau mata mengingat besarnya tantangan yang akan d
ihadapi peserta generasi muda di era digital.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa, Rizki Sabrina. (2018). Literasi Digital Sebagai Upaya Preventif Menanggulangi
Hoax. Journal of Communication Studies, 5(2), 31-46.
Akbar, M. F., & Anggaraeni, F. D. (2017). Teknologi dalam pendidikan: Literasi digital
dan self-directed learning pada mahasiswa skripsi. Indigenous: Jurnal Ilmiah Ps
ikologi, 2(1).
Ali, M. (2017). Antara Komunikasi, Budaya, dan Hoax.
Alia, T., & Irwansyah, I. (2018). Pendampingan orang tua pada anak usia dini dalam pe
nggunaan teknologi digital [parent mentoring of young children in the use of dig
ital technology]. Polyglot: Jurnal Ilmiah, 14(1), 65-78.
Aliasan, A. (2017). Pengaruh Pemahaman Keagamaan dan Literasi Media terhadap Pen
yebaran Hoax di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Komunikasi Islam dan Kehumasa
n (JKPI), 1(2), 126-147.
Badan kepegawaian negara. 2018. Focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan
oleh BSSN. Diambil dari https://www.bkn.go.id/berita/antisipasi-penyebaran-ho
ax-dan-ujaran-kebencian-dimulai-dari-hal-kecil
Belshaw, D. A. (2012). What is' digital literacy'?: a pragmatic investigation (Doctoral d
issertation, Durham University).
Bhatt, I. (2012). Digital literacy practices and their layered multiplicity. Educational Me
dia International, 49(4), 289-301.
Diah, Eka Kartiningrum. 2015. “Panduan Penyusunan Studi Literatur disusun oleh:
Eka Diah Kartiningrum, Mkes Mojokerto 2015,”. 1-9.
Firmansyah, R. (2017). Web Klarifikasi Berita Untuk Meminimalisir Penyebaran Berita
Hoax. Jurnal Informatika, 4(2).
Grizzle, A., Wilson, C., Tuazon, R., & Cheung C.K (eds). 2011. Media and Information
Literacy. Curriculum for Teachers. UNESCO.
Herawati, D. M. (2016). Penyebaran Hoax dan Hate Speech sebagai Representasi Kebe
basan Berpendapat. Jurnal Promedia, 2(2).
Keersmacker, Jonas De & Roets, Arne. 2017. ‘Fake News’: Incorrect, but hard to corre
ct. The Role of Cognitive Ability on the Impact of False Information on Social I
mpressions. Diakses melalui Intelligence 65, p. 107-110.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Materi pendukung literasi digital. Ja
karta: Kemdikbud.
Kurniawati, J., & Baroroh, S. (2016). Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Mu
hammadiyah Bengkulu. Jurnal Komunikator, 8(2), 51-66.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia.2020. Executive Summary General Hoax Mapping
Semester 1 2020. Diambil dari https://www.mafindo.or.id/wp-
content/uploads/2020/11/Executive-Summary_General-Hoax-Mapping-
Semester-1-2020.pdf
Manalu, R., Pradekso, T., & Setyabudi, D. (2018). Understanding the tendency of media
users to consume fake news.
Maulana, M. (2015). Definisi, Manfaat, dan Elemen Penting Literasi Digital. Diunduh t
anggal, 15
Pratiwi, N., & Pritanova, N. (2017). Pengaruh literasi digital terhadap psikologis anak d
an remaja. Semantik, 6(1), 11-24.
Putri, D. P. (2018). Pendidikan Karakter pada anak sekolah dasar di era digital. AR-RIA
YAH: Jurnal Pendidikan Dasar, 2(1), 37-50.
Rahadi, D. R. (2017). Perilaku pengguna dan informasi hoax di media sosial. Jurnal M
anajemen dan Kewirausahaan, 5(1), 58-70.
Rianto, P. (2016). Media baru, visi khalayak aktif dan urgensi literasi media. Jurnal Ko
munikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1(2), 90-96.
Saputro, G. E., & Haryadi, T. (2018). Edukasi Kampanye Anti Hoax Melalui Komik Str
ip. Desain Komunikasi Visual, Manajemen Desain dan Periklanan (Demandia),
3(02), 238-255.
Silvana, H., & Darmawan, C. (2018). Pendidikan literasi digital di kalangan usia muda
di kota bandung. Pedagogia, 16(2), 146-156.
Stefany, S. (2017). LITERASI DIGITAL DAN PEMBUKAAN DIRI: Studi Korelasi Pe
nggunaan Media Sosial Pada Pelajar Remaja di Kota Medan. Sosioglobal: Jurna
l Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 2(1), 10-31.
Sunita, I., & Mayasari, E. (2018). Pengawasan orangtua terhadap dampak penggunaan g
adget pada anak. Jurnal Endurance: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 3(3), 5
10-514.
Tsaniyah, N., & Juliana, K. A. (2019). Literasi Digital Sebagai Upaya Menangkal Hoak
s di Era Disrupsi. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4(1), 121-140.
Wheeler, S. (2012). Digital literacies for engagement in emerging online cultures. eLear
n Center Research Paper Series, 14-25.

Anda mungkin juga menyukai