Anda di halaman 1dari 52

PENENTUAN SANKSI PIDANA DALAM SUATU

UNDANG-UNDANG

Oleh: Suhariyono AR
(Naskah masuk: 9 Nopember 2009, Revisi: 10 Nopember 2009, Revisi Terakhir: 14 Desember
2009)

Abstract
Criminal sanction as a suffering or pain (for the criminals) must be carefully
considered by the lawmakers to fix or determine a kind and the quantity of
sentence in a bill, especially for criminalization concerning maladministration
or civil action. Actually, up to now, there is no completely guideline for the
criminalization, however the lawmakers should consider realistically and
proportionally in determining the asking of criminal policy, whether it is
retaliation or construction. The sanction measures should compare to another
bills or the bills in another countries. So, a fairness value is not only belongs
to the judges, but also belongs to the lawmakers (legislators).

Keywords: criminal sanction, maladministration or civil action, guide-line


for the criminalization

Abstrak
Pidana sebagai suatu derita atau nestapa harus dipertimbangkan
secara matang oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan
jenis dan lama/banyaknya pidana dalam suatu undang-undang,
terutama dalam melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan
yang semula hanya merupakan perbuatan administratif atau
keperdataan. Pada dasarnya, ukuran atau pedoman pemidanaan belum
secara lengkap diatur, namun pembentuk undang-undang seyogyanya
berpikir secara realistik dan proporsional mengenai penentuan pidana
yang diinginkan (criminal policy), dengan cara melihat apakah
penentuan pidana dimaksudkan untuk pembalasan atau pembinaan?
Ukuran pidana juga bisa diperbandingkan dengan undang-undang lain
atau undang-undang di negara lain. Jadi, rasa keadilan tidak hanya
dimiliki oleh hakim, tetapi juga oleh pembentuk undang-undang.

Kata kunci: pidana, perbuatan administratif atau keperdataan, ukuran


atau pedoman pemidanaan

A. Pendahuluan
Sebelum membahas mengenai ketentuan pidana dalam
suatu undang-undang, perlu disinggung dalam tulisan ini
mengenai makna pidana untuk lebih memudahkan
pemahaman mengenai makna pidana itu sendiri dan dari

615
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

makna tersebut dapat ditarik pemahaman lebih jauh apakah


dalam suatu undang-undang tersebut harus selalu
dicantumkan sanksi pidana untuk menegakkan undang-
undang itu sendiri atau tidak perlu dicantumkan, yang
keduanya merupakan kebijakan kriminal (criminal policy) atau
kebijakan penentuan pidana oleh pembentuk undang-undang.
Menurut Simon, pidana atau straf itu adalah suatu
penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah. 1 Van Hamel mengartikan pidana sebagai suatu
penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggung jawab dari keterlibatan
hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan
hukum yang harus ditegakkan oleh negara.2
Makna pidana sering pula disinonimkan orang dengan
istilah hukuman, walaupun ada sedikit perbedaan
penggunaannya. Istilah hukuman dapat digunakan orang di
luar hukum pidana. Hukuman adalah penamaan umum bagi
semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum.
Apabila yang dilanggar norma hukum disiplin, ganjarannya
adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata,
ganjarannya adalah hukuman perdata, demikian juga untuk
pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran hukuman
administrasi. Kadangkala orang menyebut hukuman diartikan
juga sebagai sanksi, walaupun sedikit berbeda maknanya
karena istilah sanksi dimaknai sebagai ancaman atau risiko.
Di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan
bahwa sanksi mempunyai beberapa makna, antara lain, makna
negatif dan makna positif. Makna negatif yaitu imbalan yang
berupa pembebanan atau penderitaan, sedangkan makna
positif yaitu imbalan yang berupa hadiah atau anugerah yang

1
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm.
35.
2
Ibid, P.A.F, Lamintang, hlm. 34.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka, Edisi Kedua, 1993, hlm. 878.

616
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

ditentukan dalam hukum.3 Di dalam kehidupan sehari-hari,


makna sanksi sering diartikan sebagai imbalan yang negatif.
Dalam undang-undang, istilah sanksi kadangkala di
tempatkan untuk mengelompokkan bagian-bagian hukuman
untuk menegakkan undang-undang itu sendiri yakni berupa
sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana dalam
satu bab atau bagian. Istilah “sanksi pidana” agak sulit
dipahami jika istilah sanksi diartikan sebagai “hukuman”
karena akan bermakna “hukuman pidana”, dan akan lebih
rumit lagi jika istilah pidana dimaknai sebagai hukuman
sehingga menjadi “hukuman hukuman”. Sanksi atau sanction
dalam bahasa hukum Inggris diartikan “the penalty or punishment
provided as a means of enforcing obedience to law”.4 Sanctie dalam
bahasa Belanda diartikan “persetujuan” dan “alat pemaksa
sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian”.5
Makna pidana tidak dapat dilepaskan dari istilah hukum
pidana itu sendiri karena pidana menjadi kekuatan utama
dari hukum pidana. Hukum pidana, menurut Moeljatno, adalah
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:6
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut;
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat
dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;

4
Osborn’s Concise Law Dictionary, Edited by Leslie Rutherford and Sheila Bone,
Eighth Edition, Sweet & Maxwel, London, 1993.
5
Wojowasito, Kamus Umum Belanda – Indonesia, Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta,
1978.
6
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cetakan Kelima, Jakarta, 1993,
hlm. 1.

617
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana


itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka
telah melanggar larangan tersebut.
Jan Remmelink menyatakan bahwa hukum pidana
pertama-tama digunakan untuk menunjuk pada keseluruhan
ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang
mengikat negara, bila negara tersebut berkehendak untuk
memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan
yang merumuskan pidana macam apa saja yang
diperkenankan. Hukum pidana dalam artian ini adalah hukum
pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang juga
sering disebut jus poenale. Hukum pidana demikian mencakup:7
1) perintah dan larangan atas pelanggaran terhadapnya oleh
organ-organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-
undang dikaitkan (ancaman) pidana; norma-norma yang
harus ditaati oleh siapa pun juga;
2) ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa
yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap
pelanggaran norma-norma itu; hukum penitensier atau
lebih luas, hukum tentang sanksi;
3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka
telah melanggar larangan tersebut.
Herbert L Packer menyatakan bahwa hukum pidana,
secara rasional, bersandar pada tiga konsep yakni pelanggaran,
kesalahan, dan pidana. Ketiga konsep tersebut merupakan
simbol dari tiga dasar substansi hukum pidana yakni: (1)
perbuatan apa yang harus ditentukan sebagai tindak pidana
(kejahatan); (2) ketentuan apa yang harus ditetapkan
seseorang dapat diketahui (diduga) terkait dengan suatu
tindak pidana; (3) apa yang harus dilakukan terhadap seseorang
yang diketahui terkait dengan tindak pidana.8
Untuk melengkapi makna-makna di atas, makna “tindak
pidana” perlu pula dikemukakan karena dalam pembahasan
selanjutnya–di samping makna pidana, hukuman, sanksi, dan
hukum yang diuraikan di atas–makna “tindak pidana” sering
7
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP
Belanda dan Pidananya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003, hlm. 1.
8
Herbert L Packer, The Limits of The Criminal Sanction, California, Stanford
University Press, 1968, p. 17.

618
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

disebut. Dalam RUU KUHP, tindak pidana diartikan sebagai


perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Dalam Pasal 11 RUU KUHP, makna tindak pidana
dirumuskan secara lengkap sebagai berikut:
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan
tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum
atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan
hukum, kecuali ada alasan pembenar.
KUHP (WvS) membagi tindak pidana ke dalam dua bentuk
atau kualifikasi tindak pidana yaitu berupa kejahatan
(ditempatkan dalam Buku II) dan pelanggaran (ditempatkan
dalam Buku III). Dalam KUHP itu sendiri tidak dijelaskan
mengenai makna tindak pidana, yang oleh orang Belanda
disebut sebagai “strafbaar feit” atau “delict”. Hazewinkel Suringa
mengartikan strafbaar feit (yang ditentukan dalam 13
strafbaarstelling) antara lain sebagai suatu perilaku manusia
yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang
harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan
sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di
dalamnya.9
Jan Remmelink mengartikan tindak pidana dengan
mengawali pernyataan bahwa untuk dapat menghukum
seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan
kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada
pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa
9
D. Hazewinkel–Suringa, Inleiding tot De Studie van Het Nederlandse Strafrecht, H.D.
Tjeenk Willink B.V. Groningen, 1975, hlm 25–26. Periksa pula rangkuman
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, p. 172–173.
10
Op.cit, Jan Remmelink, hlm. 85.

619
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat


dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar).10
Berbagai cuplikan pendapat di atas pada dasarnya telah
diserap oleh pembentuk RUU KUHP yang dituangkan dalam
substansi Pasal 11 RUU KUHP, walaupun di dalamnya
diperluas dengan tambahan satu frase yakni “bertentangan
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”, yang di dalam
penjelasan pasal diuraikan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “perbuatan yang bertentangan
dengan hukum” adalah perbuatan yang dinilai oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum,
didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana
pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak
bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Oleh karena itu
untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus
menentukan apakah perbuatan yang dilakukan itu secara
formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan
apakah perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan
dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal
ini wajib dipertimbangkan dalam putusan.
Pembentuk Undang-Undang dalam menentukan perbuatan
yang dapat dipidana, harus memperhatikan keselarasannya
dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh
karena itu perbuatan tersebut nantinya tidak hanya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi
juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Pada
umumnya setiap tindak pidana dipandang bertentangan
dengan hukum, namun dalam keadaan khusus menurut
kejadian-kejadian konkrit, tidak menutup kemungkinan
perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Dalam
hal demikian pembuat tindak pidana membuktikan bahwa
perbuatannya tidak bertentangan dengan hukum.
Sebelum menguraikan mengenai tujuan pidana dan
pemidanaan, perlu dikemukakan mengenai sistem aturan
umum pemidanaan yang dianut RUU KUHP yang tampaknya
berangkat dari simbol yang dikemukakan Herbert L. Packer

620
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

di atas. Barda Nawawi Arif, salah satu anggota Tim RUU KUHP,
mengemukakan bahwa terdapat 3 masalah pokok dalam
hukum pidana, yaitu “tindak pidana”, “pertanggungjawaban”,
dan “pidana dan pemidanaan”, yang masing-masing
merupakan subsistem dan sekaligus pilar-pilar dari
keseluruhan bangunan sistem pemidanaan.11
Pidana, pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai
tujuan dan bagaimana merumuskan tujuan tersebut dalam
konsep atau materi suatu undang-undang yang oleh
pembentuknya ingin ditegakkan dengan mencantumkan
pidana. Selain ditegakkan, di dalamnya juga terdapat tujuan
pemidanaan dan syarat pemidanaan. Tujuan pemidanaan
terdapat perlindungan masyarakat dan perlindungan/
pembinaan individu pelakunya. Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan
alat untuk mencapai tujuan yang bertolak dari keseimbangan
dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan
perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana.
Bertolak dari keseimbangan tersebut, syarat pemidanaan
menurut konsep juga bertolak dari pokok pemikiran
keseimbangan mono-dualistik antara kepentingan masyarakat
dan kepentingan individu, antara faktor objektif dan faktor
subjektif.12 Lebih lanjut dikatakan bahwa syarat pemidanaan
bertolak dari 2 (dua) pilar yang sangat fundamental di dalam
hukum pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas
kemasyarakatan) dan “asas kesalahan atau asas kulpabilitas”
(yang merupakan asas kemanusiaan).
Permasalahan pidana terkait dengan kebijakan mengenai
penetapan sanksi dan pandangan tentang tujuan pemidanaan.
Kebijakan penetapan sanksi juga tidak terlepas dari masalah
tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal (criminal
policy) secara keseluruhan.
Pada umumnya, pembentuk undang-undang selalu
mengatakan bahwa salah satu usaha penanggulangan
kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan

11
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka, Semarang, 2007, hlm. 26.
12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2002, hlm. 88.

621
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

sanksinya berupa pidana. Namun demikian, tujuan yang


bagaimana yang ingin dicapai orang dengan suatu pidana itu,
sampai sekarang belum terdapat kesamaan pendapat di antara
para sarjana. Dalam praktik pemidanaan di Indonesia, dapat
diketahui bahwa pemikiran orang mengenai pidana dan
pemidanaan dewasa ini sedikit banyak masih dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran pada beberapa abad yang lalu, walaupun
sekarang ini sudah mulai berubah sesuai dengan
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan yang baru, terutama
ilmu kriminologi, dan adanya pembaruan-pembaruan dalam
sistem pemidanaan di berbagai negara.

B. Undang-undang dan Pidana


Permasalahan mengenai penanggulangan tindak pidana
dengan menggunakan sarana sanksi pidana telah banyak
dibicarakan oleh para ahli hukum pidana karena hal ini sangat
menarik, terkait dengan sifat sanksi pidana tersebut yang
ultimum remedium. Penentuan pidana yang ditetapkan oleh
pembentuk undang-undang merupakan suatu kebijakan yang
di dalamnya terkait dengan kriminalisasi atau penalisasi suatu
perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana
(kejahatan). Permasalahan yang lain adalah terkait dengan
subjek hukum pidana yang diancam dengan pidana denda yang
saat ini telah berkembang atau berubah tidak hanya pada
individu (orang perseorangan), melainkan juga pada korporasi.
Persoalan tidak hanya pada penerapannya, tetapi juga pada
persoalan pertanggungjawaban pidana dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya jika korporasi dipidana dengan pidana denda
yang relatif berat atau dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan izin. Pemberatan terhadapnya memang beralasan
karena akibat yang ditimbulkan korporasi yang melakukan
tindak pidana pada umumnya sangat merugikan masyarakat.
Ukuran dan pola serta perumusan pidana denda yang
ditentukan dalam RUU KUHP dan yang ditentukan dalam
undang-undang di luar KUHP akan menimbulkan kesulitan
tersendiri terkait dengan pembenahan ketentuan-ketentuan
pidana yang selama ini sedang atau telah diterapkan
berdasarkan undang-undang di luar KUHP.

622
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

Jan Remmelink menyatakan bahwa mengapa negara


bertindak tatkala terjadi kejahatan dan mengapa negara
bertindak dengan menjatuhkan penderitaan. Hal ini
dimaksudkan sebagai sarana yang tepat karena mendorong
negara untuk bertindak secara adil dan menghindari
ketidakadilan. Hukum pidana di sini difungsikan sebagai
mekanisme ancaman sosial dan psikis.13
Kaum konsekuensialis berpendapat bahwa adanya pidana
dibenarkan apabila pidana itu membawa kebaikan, pidana
mencegah kejadian yang lebih buruk, dan tidak ada alternatif
lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya (atau
buruknya).14
Dalam falsafah pemidanaan, orang selalu mencari
pembenaran pidana (justification of criminal punishment). Di dalam
perbincangan teoritis mengenai pemidanaan itu sendiri,
Herbert L. Packer berupaya melibatkan diri pada dua
pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai
implikasi moral yang berbeda. 15 Yang pertama adalah
pandangan retributif (retributive view) yang mengandaikan
pidana sebagai ganjaran negatif terhadap setiap perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat. Yang
kedua adalah pandangan utilitarian (utilitarian view) yang lebih
melihat pidana itu dari segi manfaat atau kegunaannya.
Pandangan yang pertama beranggapan bahwa setiap orang
bertanggung jawab atas pilihan-pilihan moralnya masing-
masing. Jika pilihannya itu benar, maka ia mendapat ganjaran
positif seperti pujian, sanjungan, penghargaan, dan lain-lain.
Tetapi jika salah, ia harus bertanggung jawab dengan diberi
hukuman (ganjaran negatif). Jadi, alasan rasional untuk
dilakukannya pemidanaan itu terletak pada asumsi dasarnya
bahwa pidana itu merupakan imbalan negatif terhadap
tanggung jawab akan kesalahan. Pandangan ini hanya melihat
pidana itu sebagai hukuman dan pemidanaan sebagai

13
Op.cit, Jan Remmelink, hlm. 604.
14
Antony Duff and David Garland, A Reader on Punishment, Oxford University Press,
New York, 1994, p. 6-8.
15
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, California, Stanford
University Press, 1968, hlm. 11–12.

623
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar


tanggung jawab moral masing-masing orang. Pandangan
pertama ini dikatakan bersifat backward-looking yakni melihat
ke belakang terhadap kesalahan yang dilakukan sehingga
dijatuhkannya pidana dan karena orientasinya ke belakang,
pemidanaan dalam pandangan ini juga cenderung bersifat
korektif dan represif.
Pandangan kedua (utilitarian), yang dilihat adalah situasi
atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya
pidana dan penjatuhan pidana tersebut harus dilihat dari segi
tujuan, manfaat, atau kegunaannya untuk perbaikan dan
pencegahan. Jadi, di satu sisi pemidanaan dimaksudkan
untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana
sehingga kelak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang
sama. Di sisi lain, pemidanaan dimaksudkan untuk mencegah
orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang
serupa. Pandangan yang kedua ini berorientasi ke depan
(forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan.
Pada umumnya, pandangan yang kedua tersebut yang
justru dianggap lebih ideal dalam rangka penerapan gagasan
pemidanaan. Pandangan yang bersifat preventif dan
pembinaan, dewasa ini dianggap lebih modern dan karena itu
banyak mempengaruhi kebijakan politik kriminal di berbagai
negara di dunia. Packer mengemukakan bahwa dewasa ini
berkembang pula pandangan ketiga yang disebut dengan
pandangan behavioral yang merupakan variasi saja dari
pandangan utilitarian klasik. Dalam pandangan ketiga ini,
konsep mengenai tanggung jawab moral dan kehendak bebas
dianggap hanyalah ilusi atau angan-angan belaka karena
perilaku manusia pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan
yang berada di luar kekuasaan setiap individu dalam hubungan
sebab akibat. Di samping itu, fungsi hukum itu sendiri menurut
pandangan ketiga, seperti dikatakan Packer, secara sederhana
diharapkan menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian
pada diri yang bersangkutan. Pada dasarnya, behaviorial ini
juga berorientasi ke depan, artinya pidana tidak dilihat sebagai
pembalasan kepada penjahat, tetapi dilihat sebagai sarana
untuk memperbaiki tingkah laku terpidana. Hanya saja,

624
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

berbeda dengan pandangan utilitarian, pandangan kaum


behaviorist ini didasari oleh paham determinisme yang
ekstrem. Individu manusia dianggap sama sekali tidak
mempunyai kehendak bebas dan karenanya tidak mungkin
dituntut pertanggungjawaban moral yang tegas. Setiap
perbuatan anti sosial yang dilakukan disebabkan oleh banyak
faktor yang berada di luar kekuasaan individu itu sendiri.
Konsep pemidanaan di Indonesia, sampai saat ini masih
berorientasi pada pandangan yang bersifat preventif dan
pembinaan, yang dewasa ini dianggap lebih modern dan karena
itu banyak mempengaruhi kebijakan politik kriminal di
Indonesia, termasuk penentuan pidana dalam suatu undang-
undang. Namun pandangan tersebut berubah manakala timbul
kecenderungan pembentuk undang-undang untuk selalu
memidana seseorang dengan pidana yang tinggi dan
menerapkan pidana minimum khusus bagi yang melanggar
ketentuan undang-undang. Pemidanaan tidak cukup bagi
pelanggar, tetapi juga bagi penentu kebijakan (pemerintah)
dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan. Kondisi yang
demikian ini yang membuat penentu kebijakan takut
menjalankan tugasnya. Padahal di negara-negara Eropa, pada
umumnya, lebih senang menerapkan pidana denda atau sanksi
administratif atau ganti rugi daripada pidana penjara.
Pembentuk undang-undang sering terbawa ke arah
emosional yang tinggi dengan melihat kasus perkasus dalam
penegakan hukum yang selama ini terjadi yang pada umumnya
jauh dari rasa keadilan dalam masyarakat. Sebagai bahan
perbandingan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana menentukan pidananya secara
minimum khusus tanpa memperhatikan proporsionalitas jarak
antara minimum khusus dan maksimumnya sehingga hakim
kesulitan untuk memberikan atau menjatuhkan pidana sesuai
dengan keyakinannya atau berdasarkan keadilan masyarakat.
Ketentuan tersebut menentukan ancaman pidana dengan
gradasi sebagai berikut:
1) pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

625
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

2) pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun atau paling


lama 8 (delapan) tahun dan denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);
3) pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah);
4) pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00
(duabelas miliar rupiah).

Jarak antara ancaman pidana minimum khusus dan pidana


maksimum begitu dekat (pendek) sehingga hakim hanya
mempunyai pilihan yang terbatas untuk menjatuhkan pidana.
Jarak perbedaan 2 tahun antara pidana penjara paling singkat
6 (enam) tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun akan
mempersulit hakim untuk memutus atas dasar keyakinan atau
pengamatannya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
berdasarkan keadilan sesuai dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

C. Tujuan dan Konsekuensi Pidana


Barda Nawawi Arif, salah satu anggota Tim RUU KUHP,
mengemukakan bahwa terdapat 3 masalah pokok dalam
hukum pidana, yaitu “tindak pidana”, “pertanggungjawaban”,
dan “pidana dan pemidanaan”, yang masing-masing
merupakan subsistem dan sekaligus pilar-pilar dari
keseluruhan bangunan sistem pemidanaan.16
Pidana, pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai
tujuan dan bagaimana merumuskan tujuan tersebut dalam
konsep atau materi suatu undang-undang yang oleh
pembentuknya ingin ditegakkan dengan mencantumkan

16
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem
Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka, Semarang, 2007, hlm. 26. Buku ini juga
dijadikan acuan dan pedoman tim perumus (tim kecil) penyusunan RUU KUHP,
2005.

626
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

pidana. Selain ditegakkan, di dalamnya juga terdapat tujuan


pemidanaan dan syarat pemidanaan. Tujuan pemidanaan
terdapat perlindungan masyarakat dan perlindungan/
pembinaan individu pelakunya. Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan
alat untuk mencapai tujuan yang bertolak dari keseimbangan
dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan
perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana.
Bertolak dari keseimbangan tersebut, syarat pemidanaan
menurut konsep juga bertolak dari pokok pemikiran
keseimbangan mono-dualistik antara kepentingan masyarakat
dan kepentingan individu, antara faktor objektif dan faktor
subjektif.17 Lebih lanjut dikatakan bahwa syarat pemidanaan
bertolak dari 2 (dua) pilar yang sangat fundamental di dalam
hukum pidana, yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas
kemasyarakatan) dan “asas kesalahan atau asas kulpabilitas”
(yang merupakan asas kemanusiaan).
Permasalahan pidana terkait dengan kebijakan mengenai
penetapan sanksi dan pandangan tentang tujuan pemidanaan.
Kebijakan penetapan sanksi juga tidak terlepas dari masalah
tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal (criminal
policy) secara keseluruhan.
Pada umumnya, pembentuk undang-undang selalu
mengatakan bahwa salah satu usaha penanggulangan
kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana dengan
sanksinya berupa pidana. Namun demikian, tujuan yang
bagaimana yang ingin dicapai orang dengan suatu pidana itu,
sampai sekarang belum terdapat kesamaan pendapat di antara
para sarjana. Dalam praktik pemidanaan di Indonesia, dapat
diketahui bahwa pemikiran orang mengenai pidana dan
pemidanaan dewasa ini sedikit banyak masih dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran pada beberapa abad yang lalu, walaupun
sekarang ini sudah mulai berubah sesuai dengan
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan yang baru, terutama
ilmu kriminologi, dan adanya pembaruan-pembaruan dalam
sistem pemidanaan di berbagai negara.

17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung 2002, hlm. 88.

627
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Tujuan pemidanaan yang dikembangkan oleh pembentuk


RUU KUHP tampaknya merupakan gabungan dari teori tujuan
itu sendiri yakni pencegahan umum (generale preventie)
terutama teori paksaan secara psikologis (psychologische
dwang) dan pencegahan khusus (speciale preventie) yang
mempunyai tujuan agar penjahat tidak mengulangi
perbuatannya. Pelaku tindak pidana di kemudian hari akan
menahan diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi karena
pelaku merasakan bahwa pidana merupakan penderitaan
sehingga pidana itu berfungsi mendidik dan memperbaiki.
Di dalam Rancangan KUHP, tujuan pemidanaan ditentukan
sebagai berikut:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.18

Ancaman hukuman yang ditentukan dalam suatu undang-


undang pada umumnya menimbulkan pemaksaan psikologis
bagi mereka yang akan atau telah melakukan pelanggaran
pidana. Pemaksaan secara psikologis tersebut dapat dilakukan

18
Pasal 54 RUU KUHP, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2006/2008.
19
Op.cit, Jan Remmelink, hlm. 605. Bandingkan dengan Andi Hamzah, Sistem
Pidana dan Pemidanaan Indonesia dan P.A.F. Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia, menjelaskan bahwa menurut Anselm von Veuerbach tujuan
yang terutama dari hukum pidana itu adalah memaksa penduduk secara psikologis
agar mereka itu jangan sampai melakukan tindakan-tindakan yang bersifat melanggar
hukum. Pemaksanaan secara psikologis tersebut dapat dilakukan dengan cara
memberikan ancaman-ancaman hukum bagi mereka yang ternyata telah melakukan
pelanggaran dan dengan cara menjatuhkan hukuman-hukuman kepada para
pelanggarnya.

628
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

dengan cara memberikan ancaman-ancaman sanksi pidana


bagi mereka yang ternyata telah melakukan pelanggaran dan
dengan cara menjatuhkan hukuman-hukuman kepada para
pelanggarnya. 19
Teori pemaksaan psikologis dimaksudkan bahwa ancaman
hukuman itu harus dapat mencegah niat orang untuk
melakukan kejahatan, dalam arti orang harus menyadari
bahwa jika melakukan suatu kejahatan itu mereka pasti akan
dipidana. Jadi, tujuan utama pidana adalah memaksa
penduduk secara psikologis agar mereka itu jangan sampai
melakukan tindakan yang bersifat melanggar hukum.
Berdasarkan hal tersebut, Anselm von Feuerbach
berpendapat bahwa asas yang penting bagi pemberian ancaman
pidana yakni setiap penjatuhan pidana oleh hakim haruslah
merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan
menurut undang-undang dengan maksud menjamin hak-hak
yang ada pada setiap orang. Undang-undang harus
memberikan suatu ancaman pidana berupa suatu penderitaan
kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum.20
Berdasarkan ketentuan di atas, menurut von Feurbach ada
tiga hal yang penting dikaitkan dengan pemidanaan:21
• nulla poena sine lege (setiap penjatuhan pidana haruslah
didasarkan undang-undang);
• nulla poena sine crimine (suatu penjatuhan pidana hanyalah
dapat dilakukan jika perbuatan yang bersangkutan telah
diancam dengan suatu pidana oleh undang-undang);
• nullum crimen sine poena legali (perbuatan yang telah diancam
dengan pidana oleh undang-undang dan jika dilanggar
dapat berakibat dijatuhkannya pidana seperti yang
diancamkan oleh undang-undang terhadap pelanggarnya).

20
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1983 hlm.127-128.
21
Op.cit, Jan Remmelink, hal. 605 yang menyebut adanya adagium “nullum delictum,
nulla poena sine praevia legi poenali. Lihat pula Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,
hlm. 134-135 dan P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, hlm.127-
128.

629
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Berdasarkan tiga hal tersebut, von Feuerbach


mengharapkan bahwa orang akan menahan diri untuk
melakukan pelanggaran hukum atau dengan kata lain
ketentuan di atas dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat
mencegah secara umum (generale preventie).
Dari teori di atas, beberapa pandangan para ahli mengenai
pemidanaan dapat dijadikan bahan untuk memperbandingkan
pendapat mengapa pemidanaan masih diperlukan. Jan
Remmelink mengatakan bahwa “kita harus mengakui bahwa
kadar keseriusan pelaku, sifat perilaku yang merugikan atau
membahayakan, termasuk situasi kondisi yang meliputi
perbuatan tersebut, memaksa kita menarik kesimpulan bahwa
sistem-sistem sanksi lainnya (perdata dan administratif,
penulis), demi alasan teknis murni, kurang bermanfaat untuk
menanggulangi atau mencegah dilakukannya tindakan
kriminal”. 22 Namun demikian, Remmelink mengingatkan
bahwa “pidana adalah dan akan tetap harus dipandang sebagai
ultimum remedium. Dalam hal ini, tidak dapat diharapkan bahwa
hukum pidana harus mengisi seluruh kekosongan yang ada.
Muladi mengemukakan bahwa dewasa ini masalah
pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari
usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang
menyangkut hak-hak asasi manusia serta menjadikan pidana
bersifat operasional dan fungsional. 23 Dengan demikian,
diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat
mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang
menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak
yang bersifat sosial. Pendekatan semacam ini mengakibatkan
adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang
tujuan pemidanaan yang dapat memenuhi fungsinya dalam
rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh
tindak pidana (individual and social damages). 24 Tujuan

22
Ibid, Jan Remmelink, hlm. 27-28.
23
Op.cit, Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, hlm. 53. Pendapat ini sebagaimana
telah dikutip penulis dalam bab sebelumnya sebagai dasar teori pemidanaan.
24
Ibid, Muladi, hlm. 53–54.

630
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

pemidanaan bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum


pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan
(“purposive system”atau “teleological system”) dan pidana hanya
merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka RUU
KUHP merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada
keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu “perlindungan
masyarakat” (general prevention) dan “perlindungan/pembinaan
individu” (special prevention).25
Antony Duff dan David Garland mengemukakan bahwa
tujuan penal adalah termasuk di dalamnya retribusi
(retribution), penjeraan (deterrence), perbaikan (reform),
penghukuman(denunciation/condemnation), dan kekurang
mampuan/pembatasan untuk bertindak melakukan kejahatan
lagi (incapacitation) atau perlindungan masyarakat (social
defence). 26 Kelima tujuan tersebut sampai sekarang masih
menjadi perdebatan dalam filsafat pemidanaan.
Herbert L. Packer, setelah mengkaji mengenai ketiga
pandangan, yakni pandangan retributif, utilitarian, dan
behavioral, merinci teori yang berusaha memberikan
pembenaran pemidanaan yakni Integrated Theory of Criminal
Punishment yang meliputi:27
1) retribution;
2) utilitarian prevention;
3) special deterrence (intimidation);
4) behavioral prevention (incapacitation);
5) behavioral prevention (rehabilitation).
Pandangan retribution (pengimbalan/pembalasan), menurut
Packer, didasarkan atas gagasan bahwa terhadap kejahatan
dapat dibenarkan untuk dipidana, sebab manusia bertanggung
jawab atas perbuatannya. Dia harus menerima ganjaran yang
selayaknya. Pandangan ini dapat dibagi atas dua bagian utama,
yakni teori pembalasan (revenge theory) dan teori penderitaan

25
Keterangan Pemerintah yang disertakan pada RUU KUHP yang diserahkan kepada
Presiden. Keterangan pemerintah merupakan rangkuman dari Penjelasan Umum
RUU KUHP.
26
Op.cit, Antony Duff and David Garland, p. 16. dalam bagian lain, dikatakan bahwa
yang ideal adalah bahwa pemidanaan harus berorientasi ke depan (forward looking)
yakni mengacu kepada cara yang lebih edukatif atau komunikatif yang pada umumnya
mempunyai sifat pencegahan (hlm. 8).
27
Op.cit, Herbert L. Packer, p. 37–61.

631
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

dan penebusan dosa (expiation/atonement theory). Pidana


dianggap sebagai pembalasan atas perbuatan jahat yang telah
dilakukan atas dasar tanggung jawab penuh dari individu
pelakunya, misalnya melalui lembaga lex talionis dengan
pembalasan yang setimpal (mati dibalas mati). Pidana dianggap
penebusan dosa dilakukan dengan cara membuat si pelaku
kejahatan mengalami penderitaan tertentu sehingga ia
merasa terbebas dari rasa berdosa dan bersalah.
Pandangan utilitarian ini dapat dianggap sebagai reaksi
terhadap pandangan klasik yang bersifat retributif. Pandangan
kedua ini melihat punishment sebagai cara untuk mencegah
atau mengurangi kejahatan. Premisnya adalah bahwa
pemidanaan sebagai derita bagi terpidana, hanya dapat
dianggap sah jika terbukti dengan dijatuhkannya pidana,
penderitaan itu memang lebih baik daripada tidak dijatuhkan
pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek
pencegahan terhadap pihak-pihak yang terlibat. Teori ini,
sebagaimana Packer sebutkan, bahwa gagasan deterrence
sebagai sebuah model dari pencegahan sering dikritik atas
dasar psikologis. Para penjahat, menurut pendapat ini, tidak
akan merenungkan tentang akibat hukum sebelum mereka
melakukan kejahatan. Mereka melakukan kejahatan atas
dorongan nafsu yang tidak dapat dikendalikan. Contoh,
seorang aktor yang hedonistik dan rasional yang benar-benar
sempurna dengan tujuan memaksimalkan kesenangan dan
meminimalkan kesakitan akan berpikir sampai seberapa jauh
ia akan dapat untung melakukan hal itu dan seberapa jauh ia
tahan menderita kerugian jika tertangkap dan seberapa jauh
ia dapat meluputkan diri dari hal itu.
Para kritikus psikologis menolak realitas model ini karena
kemungkinan pembunuhan terjadi bukan karena mencari
keuntungan, melainkan karena nafsu, maka pidana yang
dijatuhkan harus berbeda jika seseorang membunuh karena
memperoleh keuntungan dan membunuh karena nafsu. Jadi,
ancaman hukuman terhadap tingkah laku yang dikendalikan
oleh motivasi bawah sadar. ancamannya menjadi lebih sedikit
dan menciptakan pola-pola penyesuaian tingkah laku secara
rasional.

632
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

Kebijakan penentuan pidana menyangkut pula


permasalahan apakah kriminalisasi dalam setiap undang-
undang diperlukan atau dengan kata lain apakah masih
diperlukan pidana dalam suatu undang-undang sebagai salah
satu penanggulangan kejahatan? Penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang
paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula
yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control.28
Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan
atau pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan
pidana. Menurut pendapat ini, pidana merupakan “peninggalan
dari kebiadaban kita masa lalu yang seharusnya dihindari.29
Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandangan bahwa
pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan
penderitaan yang kejam.
Dasar pemikiran lainnya adalah adanya faham
determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai
kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena
dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan
faktor lingkungan masyarakatnya. Kejahatan sebenarnya
merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang
abnormal. Oleh karena itu, pembuat kejahatan tidak dapat
dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan
pidana. Pada dasarnya seorang penjahat merupakan jenis
manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan
mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan
kepadanya, melainkan yang diperlukan adalah tindakan
perawatan yang bertujuan memperbaiki. Pandangan
determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat
mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan
tokohnya, antara lain, Cesare Lombroso dan A.M. Guerry (1802-
1866), serta E. Ferri (1856-1929).30 Walaupun mereka tidak
pernah dengan jelas memisahkan diri dari kehendak bebas
dari perseorangan, bertentangan dengan manusia rata-rata

28
Ibid, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara. hlm. 18.
29
Loc.cit, hlm. 18.
30
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 2 Hukum Penitentier, Binacipta Cetakan Kedua,
1991, hlm. 11.

633
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

menurut statistik mereka, ketiga sarjana ini toh merupakan


pemuka dari aliran determinisme bagian kedua dari abad ke-
19. Pengikut aliran ini tergolong dalam berbagai mazhab.
Pendiri mazhab pertama adalah Cesare Lombroso, yang
berdasarkan pemeriksaan biologis menurut ilmu urai, dalam
karyanya “I’Uomo delinquente” menarik kesimpulan bahwa
penjahat adalah manusia yang dilahirkan sebagai penjahat,
yang karena degenerasi keturunan tetap tinggal pada tingkat
manusia primitif. Menurut pemeriksaan yang dilakukannya
sesudah itu, 2/5 dari para penjahat adalah penjahat karena
keturunan, sedangkan 3/5 lagi, faktor lingkunganlah
yang memainkan peranan di samping telah ditentukan
secara biologis. E. Ferri kemudian menengahi dengan
menggabungkan faktor di atas bahwa selain keadaan
antropologis, keadaan alami dan sosial juga dapat
mempengaruhi orang menjadi jahat.31
Dari pandangan yang pro bahwa penanggulangan kejahatan
dengan sanksi pidana dikemukakan oleh Van Bemmelen 32
sebagai berikut: Jika kita mendekati hukum pidana bukan
dari sudut pidananya, tetapi dari sudut ketentuan-ketentuan
perintah dan larangan serta dari sudut penegakan ketentuan-
ketentuan itu (yakni penegakan hukum), dan khususnya dari
sudut hukum acara pidana, maka kita tidak lagi begitu
condong untuk membuang hukum pidana. Jika kita mendekati
hukum pidana dari sudut ketentuan-ketentuan perintah dan
larangan, kita sadar bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu
yang melawan hukum yang tidak mungkin diterima oleh
masyarakat. Makar terhadap kepala negara tidak mungkin
diterima oleh negara. Begitupun masyarakat tidak mungkin
dapat menerima bahwa manusia yang satu secara bebas
membunuh orang lain atau dengan sengaja merusak,
menghilangkan atau mengambil suatu benda milik orang lain
tanpa izin pemiliknya.
Sudarto berpendapat bahwa tujuan pemidanaan dapat
dibedakan sebagai berikut: a. pembalasan, pengimbalan atau
retribusi; b. mempengaruhi tindak-laku orang demi
31
Ibid. van Bemmelen, Hukum Pidana 2 Hukum Penitentier, hlm. 12.
32
Op.cit, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, hlm. 20-21.
33
Op.cit, Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, hlm. 81–82.

634
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

perlindungan masyarakat. 33 Lebih lanjut dikatakan bahwa


pembalasan adalah sebagai tujuan pemidanaan dijumpai pada
apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Di dalam
kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan,
terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan
karena ada pelanggaran hukum.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan mengenai
perkembangan tujuan pemidanaan sebagai berikut. Diawali
oleh aliran klasik yang menyatakan bahwa tujuan pidana
bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran
ini muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme
mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan
kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah
hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht). Sistem pidana dan
pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan
terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem
pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence).
Penetapan sanksi pidana tidak menggunakan sistem
peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor
usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan yang dilakukan atau
keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan, dalam arti
tidak digunakan sistem individualisasi pidana (dader/tertuju
pada pelaku pidana, bukan perbuatannya).34
Pada abad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab
kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud
untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat
secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak
belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern
memandang kebebasan kehendak manusia banyak
dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak
dapat dipersalahkan dan dipidana. Walaupun digunakan istilah
pidana, aliran modern ini tetap berorientasi pada sifat-sifat si
pelaku. Aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme
dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang
bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku
kejahatan.

34
Arahan Barda Nawawi Arief kepada Tim Perumus RUU KUHP 2005 dan hasil
wawancara dengan Barda Nawawi Arief di Jakarta pada tanggal 25 April 2008.
Secara lengkap juga dituangkan dalam buku Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana – Perkembangan Penyusunan Konsep RUU KUHP, hlm. 118.

635
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Tujuan pemidanaan kemudian berkembang dari aliran


modern ke aliran neo-klasik yang juga menitikberatkan
konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia telah
berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan
kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku
tindak pidana. Ciri aliran neo-klasik yang relevan dengan
prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin
kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban
pidana yakni antara lain diterimanya keadaan yang
meringankan baik fisik mapun mental, termasuk keadaan lain
dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada
waktu terjadinya kejahatan dan dibolehkannya saksi ahli
untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pidana.
Bermuara dari konsep kedua aliran hukum pidana di atas,
lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa
karakteristik, yakni: 35
a. pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/perseorangan
(asas personal);
b. pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas
kulpabilitas: tiada pidana tanpa kesalahan);
c. pidana harus disesuaikan dengan karakteriktik dan
kondisi si pelaku. Ini berarti harus ada kelonggaran atau
fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis
atau berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan
modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam
pelaksanaannya.
Sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana (dader),
maka sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern pada
gilirannya berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-dader
strafrecht). Hal ini kemudian oleh pembentuk RUU KUHP
dijadikan acuan dasar penyusunan konsep pemidanaan.
Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP diuraikan secara runtut
mengenai orientasi terhadap pelaku dan perbuatan tersebut
sebagai berikut:
Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Belanda
(Wetboek van Strafrecht) dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Baru adalah filosofi yang mendasarinya.

35
Op.cit, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, hlm. 43.

636
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

KUHP Warisan Belanda secara keseluruhan dilandasi oleh


pemikiran Aliran Klasik (Classical School) yang berkembang
pada Abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum
pidana pada perbuatan atau tindak pidana (Daad- Strafrecht).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru mendasarkan
diri pada pemikiran Aliran Neo-Klasik (Neo-Classical School)
yang menjaga keseimbangan antara faktor obyektif
(perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/batiniah/
sikap batin). Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang
memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan
atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-
aspek individual si pelaku tindak pidana (Daad-dader
Strafrecht). Pemikiran mendasar lain yang mempengaruhi
penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru
adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban
kejahatan (victimology) yang berkembang setelah Perang
Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan
yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan. Baik falsafah “Daad-dader Strafrecht” maupun
viktimologi akan mempengaruhi perumusan 3 (tiga)
permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu perumusan
perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggung
jawaban pidana atau kesalahan dan sanksi (pidana dan
tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas-asas hukum
pidana yang mendasarinya.
Karakter “Daad-dader Strafrecht” yang lebih manusiawi
tersebut secara sistemik mewarnai Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana baru, yang antara lain juga tersurat dan
tersirat dari adanya pelbagai pengaturan yang berusaha
menjaga kesimbangan antara unsur/faktor obyektif
(perbuatan/lahiriah) dan unsur/faktor subyektif (manusia/
batiniah/sikap batin). Hal ini antara lain tercermin dari
pelbagai pengaturan tentang tujuan pemidanaan, syarat
pemidanaan, pasangan sanksi berupa pidana dan tindakan,
pengembangan alternatif pidana kemerdekaan jangka
pendek, pedoman atau aturan pemidanaan, pidana mati

637
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

bersyarat, dan pengaturan batas minimum umum


pertanggungjawaban pidana, pidana serta tindakan bagi
anak.

D. Parameter dan Pola Penentuan Pidana


Walaupun berbagai literatur mengupas secara mendalam
mengenai tujuan dan filsafat pemidanaan dalam mencari
pembenaran pidana, namun sampai sekarang, belum ada suatu
peraturan atau literatur yang memberikan pedoman baku yang
lengkap mengenai parameter penentuan pidana. Dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa hanya
undang-undang dan perda yang dapat mencantumkan
ketentuan pidana. Dalam lampiran disebutkan bahwa:
a. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan
penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan
yang berisi norma larangan atau perintah.
b. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan
asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam
Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena
ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan
yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang-
undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang
ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana).
c. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda
perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan
oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur
kesalahan pelaku.
d. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara
tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan
menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut.
Dengan demikian, perlu dihindari:
1) pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan perundang-
undangan lain;
2) pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak
sama; atau

638
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

3) penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak


terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal
(pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang tindak
pidana khusus.
Dalam menentukan pidana, di samping mempertimbang
kan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana
dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku, juga harus
mempertimbangkan sifat jahatnya perbuatan. Apakah pegawai
negeri yang tidak melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang menjadi kewajibannya patut dipidana
(dianggap jahat)? Hukum administrasi menyatakan bahwa
tindakan yang dilakukan aparatur pemerintahan untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan atau suatu
perintah jabatan tidak bersifat onrechtmatig (bertentangan
dengan hukum) sehingga tidak menyebabkan penjatuhan
pidana. Hal ini sejalan dengan asas hukum administrasi bahwa
setiap tindakan pemerintahan selalu harus dianggap rechtmatig
sampai ada pembatalannya (praesumptio iustae causa). Dalam
perkembangan penyusunan RUU di DPR, pembentuk undang-
undang berkecenderungan memidana pejabat publik yang
menjalankan tugas dan fungsi administratif atau dalam
kewenangan penentuan kebijakan. Dampak ancaman pidana
terhadap pejabat publik tersebut pada akhirnya menghambat
pelaksanaan tugas dan fungsi pejabat publik sehingga tujuan
pemidanaan tidak tercapai. Hal ini harus dibedakan jika pejabat
publik melakukan tindak pidana korupsi dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, artinya harus dibedakan antara
pelanggaran administratif (disiplin) dan pelanggaran pidana.
Berbagai undang-undang (di luar KUHP), penentuan
pidananya beragam dan sebagian menyimpang dari ketentuan
Pasal 10 KUHP. Dalam menentukan pidana di luar KUHP,
Andi Hamzah mengemukakan dalam bukunya “Pemberantasan
Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”
bahwa:
“Kata kunci untuk hal ini ialah Pasal 103 KUHP yang
mengatakan bahwa ketentuan umum KUHP, kecuali Bab
IX (interpretasi istilah) berlaku juga terhadap perbuatan
(feiten) yang menurut undang-undang dan peraturan lain
diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Maksudnya ialah Pasal 1 sampai dengan

639
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Pasal 85 Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum (atau


asas-asas) berlaku juga bagi perbuatan yang diancam
dengan pidana berdasarkan undang-undang atau
peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau
peraturan itu menyimpang. Peraturan hukum pidana yang
tercantum di luar KUHP itu dapat disebut undang-undang
(pidana) tersendiri [afzonderlijke (straf) wetten] atau disebut
juga hukum pidana di luar kodifikasi atau nonkodifikasi.
Terlebih di Indonesia, dengan berkembang suburnya
undang-undang tersendiri di luar KUHP, seperti Undang-
Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan banyak
perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana,
yang kadang-kadang pidananya sangat berat, sampai ada
pidana mati (Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang
Psikotropika). Mempelajari hukum pidana dalam undang-
undang tersendiri itu memerlukan waktu dan pikiran yang
banyak. Perkembangan lainnya di Indonesia yang berbeda
dengan Belanda ialah semakin banyak perundang-
undangan administrasi yang bersanksi pidana dengan
ancaman pidana penjara sangat berat, sepuluh, lima belas
tahun sampai seumur hidup, bahkan ada sampai pidana
mati. Undang-undang administrasi seperti narkotika,
psikotropika, perbankan, lingkungan hidup, dan lain-lain
mengandung pidana yang sangat berat, yang mestinya
khusus untuk rumusan deliknya dibuat undang-undang
pidana tersendiri. Di Belanda untuk pidana penjara yang
berat itu harus dituangkan dalam undang-undang pidana
bukan administrasi. Undang-undang administrasi
sanksinya mestinya hanya berupa kurungan atau denda.
Untuk ancaman pidana penjara yang berat, harus
diciptakan undang-undang pidana tersendiri, misalnya
WED (Wet op Economische Delicten).36
Pembentuk undang-undang di luar KUHP dalam
menentukan ancaman pidana denda berdasarkan Pasal 103
di atas pada dasarnya diberi kebebasan untuk menetapkan
36
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1-3.

640
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

jumlah ancaman pidana denda. Selain jumlah ancaman,


pembentuk undang-undang di luar KUHP juga bebas
menentukan apakah pidana denda sebagai alternatif atau
sebagai pemberatan dengan perumusan kumulatif atau
ditentukan secara alternatif dan/atau kumulatif untuk
memberikan lebih kebebasan kepada hakim dalam
menjatuhkan pidana, walaupun hal ini menyimpang dari KUHP
itu sendiri yang hanya menganut faham penentuan pidana
alternatif untuk penjara atau denda atau kurungan atau
denda.
Dalam undang-undang yang pernah ada, diawali dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk, pencantuman pidana telah diterapkan
dalam Undang-Undang tersebut berdasarkan Pasal 103 KUHP
di atas.37 Mengkriminalisasi suatu perbuatan atau tindakan
yang merupakan pelanggaran administratif pada masa itu
tampaknya diperlukan dalam rangka menegakkan peraturan
itu sendiri melalui pidana (straf), bukan dengan sanksi
administratif.
Berangkat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tersebut dan diikuti oleh undang-undang berikutnya sampai
dengan undang-undang hasil pembahasan DPR-RI dan
Pemerintah masa sekarang (2008), penentuan pidana dalam
undang-undang di luar KUHP berkembang dan beragam tanpa
adanya kriteria, pola, atau standar penentuan pidana dalam
undang-undang di luar KUHP.
Untuk lebih memudahkan penentuan parameter
penentuan pidana dalam undang-undang, sebaiknya diketahui
terlebih dahulu mengenai macam undang-undang yang ada
di dunia ini. Penentuan pidana pada umumnya didasarkan
pada macam undang-undang. Dalam ilmu perundang-
undangan, dikenal ada 7 macam undang-undang, yakni:
a) undang-undang hukum pidana (seperti KUHP/UU Korupsi/
UU Terorisme);
b) undang-undang hukum perdata (KUHPerdata/UU
Perkawinan);
37
Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa “barangsiapa yang melakukan akad nikah
atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang
dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya
Rp. 50 (lima puluh rupiah).

641
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

c) undang-undang hukum administrasi (mengatur perizinan/


kepegawaian);
d) undang-undang organik (pembentukan institusi dan
susunan organisasinya);
e ) undang-undang pengesahan (ratifikasi);
f) undang-undang penetapan (APBN);
g) undang-undang arahan atau pedoman (UU Tata Ruang/
Lingkungan Hidup).
Dari macam undang-undang di atas, dengan mudah
bagaimana pembentuk undang-undang memilah-milah, mana
suatu perbuatan dianggap jahat atau tidak, dan mana
perbuatan tersebut bersifat administratif atau keperdataan
serta perbuatan mana yang ditujukan untuk penentuan
kebijakan dalam kepemerintahan.
Dalam penentuan maksimum, penyusun undang-undang
selalu dihadapkan pada masalah pemberian bobot dengan
menetapkan kuantifikasi ancaman pidana maksimumnya.
Penetapan maksimum pidana untuk menunjukkan tingkat
keseriusan atau kualitas suatu tindak pidana, bukanlah
pekerjaan yang mudah dan sederhana. Untuk itu, diperlukan
pengetahuan yang cukup mengenai urut-urutan tingkat atau
gradasi nilai dari norma sentral masyarakat dan kepentingan-
kepentingan hukum yang akan dilindungi itu. Menentukan
gradasi nilai kepentingan hukum yang akan dilindungi itu
jelas bukan pekerjaan yang mudah.
Dari bobot di atas, dimungkinkan adanya penyimpangan,
yakni:
ƒ untuk beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan
masyarakat, ancaman pidananya ditingkatkan secara
khusus dan sebaliknya dengan alasan khusus dapat
diturunkan ancaman pidananya;
ƒ untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat
menimbulkan keuntungan ekonomi (yang tinggi), pidana
penjara yang diancamkan dapat cukup tinggi, pidana
penjara yang diancamkan dapat dialternatifkan dan
dikumulatifkan dengan pidana denda;
ƒ untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat
menimbulkan disparitas pidana dan meresahkan

642
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

masyarakat, pidana penjara dan pidana denda dapat


diancamkan secara minimum khusus.
Pola pemidanaan harus mengandung aspek perlindungan
masyarakat dengan menentukan ukuran objektif berupa
maksimum pidana sebagai simbol kualitas norma sentral
masyarakat yang ingin dilindungi dalam perumusan tindak
pidana yang bersangkutan. Selain aspek perlindungan
masyarakat, diperhatikan juga aspek perlindungan individu
dengan menentukan batas-batas kewenangan penegak hukum
menjatuhkan pidana.
Kriminalisasi terhadap pelanggaran undang-undang
diperlukan karena pemerintah (dan pembentuk undang-
undang) memang menghendaki agar tercipta ketertiban hukum
melalui penjeraan dengan menentukan pidana di dalamnya.
Anggapan bahwa sanksi administrasi atau perdata kurang
memberikan penjeraan, didasarkan pada ketidakpercayaan
pembentuk undang-undang terhadap penegakan hukum berupa
sanksi administrasi atau perdata yang dilaksanakan oleh
pajabat yang berwenang kurang memberikan penjeraan dan
kadangkala tidak diterapkan secara konsekuen oleh pimpinan.
Pola pemidanaan yang digunakan selama ini pada
umumnya dengan mengacu pada KUHP atau pendapat para
ahli hukum pidana yang telah melakukan pengelompokan atau
penggolongan tindak pidana. Wirjono Prodjodikoro, misalnya,
telah mengelompokkan tindak pidana yang ditentukan dalam
KUHP secara kualitatif dengan melihat pelanggaran berbagai
kepentingan yang dilindungi. Menurut Wirjono Prodjodikoro,
cara penggolongan tindak pidana dilihat dari kepentingan yang
dilindungi, meliputi:
1) kepentingan oknum/pribadi;
2) kepentingan masyarakat;
3) kepentingan negara.
Kejahatan terhadap kepentingan pribadi/oknum: (Bab XIII
s.d. Bab XXVII dan Bab XXX KUHP) dibagi ke dalam: tindak
pidana terhadap kekayaan orang (Bab XXII s.d. Bab XXVII dan
Bab XXX); tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh orang
(Bab XV, Bab XVII, Bab XIX, Bab XX, Bab XXI); tindak pidana
terhadap kehormatan orang (Bab XIII, Bab XVI, Bab XVII); dan
tindak pidana kesopanan (kesusilaan) (Bab XIV). Kejahatan
terhadap kepentingan masyarakat (Bab V, VI, VII, IX, X, XI,
XII dan XXIX KUHP) dibagi ke dalam: membahayakan keadaan
643
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

(V, VI, VII, XXIX) dan pemalsuan (IX, X, XI, XII). Kejahatan
terhadap kepentingan negara (Bab I, II, III, IV, VIII dan XXVIII
KUHP) dibagi ke dalam: kedudukan negara (I, II, III, IV) dan
tindakan-tindakan alat negara (VIII, XXVIII).
Dalam skema yang disusun oleh Zamhari Abidin,
dikemukakan bahwa tugas hukum pidana adalah melindungi
kepentingan hukum (rechtsbelangen) yang digolongkan ke
dalam perlindungan terhadap nyawa, badan, kehormatan,
kebebasan, dan kekayaan. Di Jerman kepentingan hukum
terdiri atas hak-hak (rechten), keadaan hak (rechtstoestand),
hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan (maatschappelijke instellingen).
Satochid Kartanegara mengartikan kepentingan hukum
sebagai berikut: Kepentingan hukum adalah kepentingan yang
harus dijaga agar supaya tidak dilanggar, dan yang
kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Jadi tiap kepentingan masyarakat tidak dapat dibiarkan
diganggu. Satochid lebih lanjut mengatakan bahwa ada tiga
macam kepentingan hukum (rechtsbelangen) yang harus
dilindungi, yakni kepentingan perseorangan (individuele
belangen), kepentingan masyarakat (maatschappelijke belangen),
dan kepentingan negara (staatsbelangen). Menurut Satochid,
sekalipun dikenal 3 penggolongan kepentingan hukum, akan
tetapi sebenarnya kepentingan hukum itu tidak dapat dipisah-
pisahkan. Hal ini disebabkan karena suatu kepentingan
hukum baru dapat dianggap sebagai kepentingan
perseorangan, jika kepentingan itu juga merupakan
kepentingan masyarakat (het belang van het individu zal slechts
als een rechtsbelang erkend worden, indien het tevens het belang
van de maatschappij betekent). Kepentingan hukum yang
demikian itu adalah kepentingan:
a. jiwa (leven);
b. badan (lijf);
c. kehormatan (eer);
d. kemerdekaan (vrijheid); dan
e . harta benda (vermogen).
Adapun kepentingan hukum bagi masyarakat adalah
ketenteraman dan keamanan (rust en orde) dan kepentingan
hukum bagi negara adalah keamanan negara. Dari ketiga

644
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

kepentingan hukum di atas yang tidak dapat dipisah-pisahkan,


Satochid memberikan gambaran bahwa unsur hukum
mengandung pula beberapa kepentingan, misalnya
‘perkawinan’ yang merupakan lembaga (bangunan) masyarakat
yang di dalamnya tersimpul kepentingan masyarakat yaitu
sifat yang agung dari perkawinan itu, juga adanya kepentingan
suami istri. Jika kita meninjau kepentingan negara yakni
keamanan negara, maka kepentingan ini merupakan
kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan juga,
misalnya nachtrust (istirahat malam) merupakan kepentingan
perseorangan, namun juga kepentingan masyarakat. Satochid
menambahkan bahwa sungguhpun kepentingan itu tidak dapat
dipisah-pisahkan, akan tetapi perpindahan dari accent-nya
tidak lah khusus karena “sesaat adalah merupakan
kepentingan perseorangan, pada saat lainnya merupakan
kepentingan masyarakat”. Pada dasarnya, tiap-tiap negara
mempunyai kepentingan hukumnya sendiri-sendiri, meskipun
pada umumnya kepentingan hukum itu sama, yaitu jiwa,
badan, kehormatan, kemerdekaan, dan harta benda yang
kesemuanya itu harus dijaga agar tidak dilanggar. Ancaman
dapat ditentukan penjara saja, penjara atau denda, atau
denda saja, hal ini tergantung dari penggolongannya.
Penggolongan yang ditentukan dalam 5 bobot di atas harus
melihat kepentingan hukum apa yang dilindungi. Misalnya
mengenai “zina” antara dua orang bujang atau kumpul kebo.
Apakah zina atau kumpul kebo itu berat atau tidak? Jika zina
yang salah satunya terikat perkawinan, kepentingan hukum
apa yang dilindungi? Seperti tindak pidana korupsi,
kepentingan hukum apa yang harus dilindungi, tidak sekadar
aset negara, tetapi lebih daripada itu, misalnya nilai-nilai
koruptif yang telah berbudaya di masyarakat. Remmelink
berpendapat bahwa ada kepentingan hukum yang ingin
dilindungi karena merupakan immediatly danger (bahaya yang
segera) yang berbeda dengan kepentingan yang ingin dilindungi
karena expective danger (gevaarzetting delicten/membahayakan
di masa yang akan datang), misalnya pembunuhan,
pemerkosaan, pencurian, penyebaran pornografi atau riot (huru-
hara dengan merusak barang atau membahayakan nyawa).
Remmelink mengingatkan, sebelum menentukan kategorisasi

645
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

tindak pidana dan ancamannya, harus memahami makna


tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana adalah perilaku yang
pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap
tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan
mendayagunakan sarana yang disediakan oleh hukum pidana.
Lebih lanjut Remmelink menyatakan bahwa perilaku atau
perbuatan tersebut dapat berupa gangguan atau menimbulkan
bahaya terhadap kepentingan sehingga kepentingan tersebut
harus dilindungi. Dalam rangka melindungi kepentingan
hukum, pembuat undang-undang perlu memfokuskan pada
tindakan-tindakan yang bersifat, misalnya, menyakiti,
merugikan, dan tindakan yang membayakan lainnya.
Barda Nawawi Arief, salah satu anggota Panitia
Penyusunan RUU KUHP, dalam membahas RUU KUHP (2004
– 2006) menentukan patokan-patokan sebagai pedoman bagi
tim perumus RUU KUHP. Pola Pemidanaan tersebut sebagai
model, acuan, pegangan untuk membuat atau menyusun
ketentuan (perumusan) pidana dalam Buku II. Hal ini berbeda
dengan pedoman pemidanaan sebagai istilah guidence of
sentencing yakni pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau
menetapkan pemidanaan. Pola pemidanaan harus mengandung
aspek perlindungan masyarakat dengan menentukan ukuran
objektif berupa maksimum pidana sebagai simbol kualitas
norma sentral masyarakat yang ingin dilindungi dalam
perumusan tindak pidana yang bersangkutan. Selain aspek
perlindungan masyarakat, diperhatikan juga aspek
perlindungan individu dengan menentukan batas-batas
kewenangan penegak hukum menjatuhkan pidana.
Pendekatan imajinatif dengan menetapkan maksimum
pidana yang menggambarkan keseriusan relatif dari
bermacam-macam tindak pidana, sering mendapatkan kritik
karena akan memberikan kebijaksanaan yang sangat luas
kepada hakim. Karena kritikan tersebut, untuk maksimum
pidana yang akan ditetapkan sebaiknya disesuaikan dengan
pidana maksimum yang dijatuhkan secara nyata dalam praktik
pengadilan.
Pola jenis sanksi dikaitkan dengan bobot: (konsep anggota
Tim RUU KUHP, lihat pula Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana):

646
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

Bobot Delik Jenis Pidana Keterangan


Sangat ringan Denda - perumusan tunggal
- denda ringan (kategori I dan
II)
- penjara di bawah 1 tahun
Berat Penjara atau Denda - perumusan alternatif
- penjara berkisar 1 – 7
tahun
- denda lebih berat (kategori
III – IV)
Sangat serius - penjara saja - perumusan tunggal atau
- penjara seumur alternatif
hidup - dapat dikumulasikan
- mati dengan pidana denda
(pemberatan)

Dari bobot di atas, dimungkinkan adanya penyimpangan,


yakni:
- untuk beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan
masyarakat, ancaman pidananya ditingkatkan secara
khusus dan sebaliknya dengan alasan khusus dapat
diturunkan ancaman pidananya;
- untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat
menimbulkan keuntungan ekonomi (yang tinggi), pidana
penjara yang diancamkan dapat cukup tinggi, pidana
penjara yang diancamkan dapat dialternatifkan dan
dikumulatifkan dengan pidana denda;
- untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat
menimbulkan disparitas pidana dan meresahkan
masyarakat, pidana penjara dan pidana denda dapat
diancamkan secara minimum khusus.
Pola Berat danPola
Umum
Minimum
Ringan Khusus
Pola Maksimum
Pidana Penjara
Umum
(untuk waktu
Khusus
tertentu)
KUHP (konsep
1 hari anggota Tim- RUU KUHP,
15/20 lihat pula Barda
Bervariasi
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan tahun sesuai dengan
Hukum Pidana):
deliknya
RUU KUHP 1 hari Bervariasi antara 1 15/20 Bervariasi
– 5 tahun tahun sesuai dengan
deliknya

Pola Minimum Khusus


Bobot Delik Ancaman Maksimum Ancaman Minimum
Berat 4 – 7 tahun 1 tahun
Sangat Serius 7 – 10 tahun 2 tahun
12 – 15 tahuni 3 tahun
20 tahun/seumur 5 tahun
hidup/ mati

647
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Penentuan minimum khusus di atas harus dipertimbangkan


akibat dari tindak pidana yang bersangkutan terhadap
masyarakat luas (misalnya: menimbulkan bahaya keresahan
umum, bahaya bagi kesehatan/lingkungan atau menimbulkan
akibat mati) atau faktor pengulangan tindak pidana.
Di bawah ini pola penentuan pidana yang ditentukan secara
kualitatif dan kuantitatif dengan mendasarkan kepentingan
hukum yang dilindungi berdasarkan gradasi dari yang terberat
sampai yang teringan dan pola-pola yang ditentukan terhadap
subjek hukum pidana tertentu serta pola penentuan pidana
dalam undang-undang di luar KUHP dan peraturan daerah
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. pidana penjara tunggal tanpa pidana denda (tindak pidana
serius/sangat berat);
b. pidana penjara dan pidana denda sebagai kumulatif
pemberatan (berat);
c. pidana denda sebagai alternatif pidana penjara (ringan);
d. pidana denda tunggal (sangat ringan);
e . pola pidana denda peraturan daerah (sangat ringan dan
bersifat pelanggaran);
f. pola pidana denda untuk korporasi (hanya denda dan
biasanya pemberatan);
g. pola pidana denda untuk anak (pada umumnya separuh
dari ancaman orang dewasa);
h. pola pidana denda undang-undang di luar KUHP
(pelanggaran administratif yang dikriminalisasi yang
pidananya relatif sangat ringan);
i. pola pidana untuk kejahatan tanpa korban (ringan dan
dimaksudkan sebagai pencegahan umum serta
rehabilitatif).
Untuk memberikan gambaran secara umum bagaimana
mengukur secara pantas ancaman pidana yang dituangkan
dalam undang-undang atau perda, di bawah ini tambahan
pedoman yang perlu diperhatikan oleh pembentuk peraturan.

648
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

Untuk penyusunan perda, telah ditentukan dalam Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yakni maksimum (paling lama) pidana kurungan 6 (enam) bulan
dan denda paling banyak Rp.50 juta rupiah. Perancang perda
tinggal menentukan dari mulai 1 hari sampai 6 bulan
kurungan atau dari Rp.1 rupiah sampai 50 juta rupiah untuk
denda. Hal ini sudah barang tentu dikaitkan dengan ukuran
berat dan ringannya pelanggaran.
Untuk undang-undang, pilihan ditentukan pada jenis
pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Hal ini didasarkan
pada Pasal 103 KUHP.
Jenis pidana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP adalah:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. kurungan;
4. denda.
b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Pembentuk undang-undang dapat pula menyimpangi dari
jenis pidana yang ditentukan di atas. Hal ini juga didasarkan
pada Pasal 103 KUHP karena di dalamnya memberikan
kebebasan kepada pembentuk undang-undang (di luar KUHP)
untuk menyimpanginya. Penyimpangan pada umumnya hanya
pada pidana tambahan, misalnya, pidana tambahan
pencabutan izin bagi pengemudi kendaraan bermotor.
Di dalam KUHP tidak dikenal adanya minimum khusus
atau pidana kumulatif. Pembentuk undang-undang di luar
KUHP sering pula menyimpangi dengan menentukan pidana
penjara atau denda dengan minimum khusus. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi disparitas pidana dan lebih
memberikan pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang
sangat membahayakan atau merugikan orang, misalnya
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme atau korupsi.

649
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Penentuan pidana terhadap korporasi juga merupakan


penyimpangan karena KUHP hanya mengenal pemidanaan
terhadap individu/perseorangan. Asas-asas yang dikenal
dalam Buku I KUHP, juga sering disimpangi oleh undang-
undang, misalnya, percobaan tindak pidana yang pada
dasarnya dikurangi seperti pidananya, namun dalam undang-
undang bisa ditentukan pidana yang sama dengan tindak
pidana selesai/tuntas (bukan percobaan). Demikian pula untuk
tindak pidana pembantuan.
Untuk ukuran pidana, perancang bisa membandingkan
dengan ancaman pidana yang ditentukan dalam KUHP,
undang-undang lain, atau konvensi internasional. Klasifikasi
ancaman pidana dapat dilakukan dengan memilah-milah
macam tindak pidana, seperti tindak pidana terhadap nyawa,
badan, dan barang.
Sekadar untuk diperbandingkan dengan KUHP oleh
perancang, jika menentukan pidana dalam suatu undang-
undang (di luar KUHP):
1. makar = 15 tahun – seumur hidup – mati;
2. pemberontakan = 15 tahun;
3. pembubaran rapat resmi negara = 9 tahun;
4. tindak pidana ketertiban umum = 6 bulan – 7 tahun;
5. tindak pidana membahayakan keamanan umum
(membakar, meledakkan) = 12 tahun – seumur hidup;
6. tindak pidana terhadap penguasa umum (penghinaan) = 1
tahun;
7. sumpah palsu atau keteranan palsu = 7 tahun;
8. pemalsuan mata uang dan uang kertas = 15 tahun;
9. pemalsuan materai dan merek = 7 tahun;
10. pemalsuan surat = 6 tahun;
11. melanggar kesusilaan di muka umum = 2 tahun 8 bulan;
12. pemerkosaan = 9 tahun;
13. memaksa berbuat cabul = 9 tahun;
14. menelantarkan orang yang perlu ditolong = 2 tahun 8
bulan;
15. penghinaan = 9 bulan – 1 tahun 4 bulan;
16. membuka rahasia = 9 bulan;

650
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

17. tindak pidana terhadap kebebasan orang (perbudakan)=


12 tahun;
18. tindak pidana terhadap nyawa = 15 tahun – seumur hidup
– mati;
19. penganiayaan = 2 tahun 8 bulan – 10 tahun;
20. pencurian = 5 tahun – 7 tahun;
21. pemerasan dan pengancaman = 9 bulan – 4 tahun;
22. penggelapan = 4 tahun;
23. penipuan = 4 tahun;
24. pemalsuan = 6 tahun;
25. penghancuran atau perusakan barang = 2 tahun 8 bulan;
26. tindak pidana jabatan (penyalahgunaan wewenang) = 4
tahun – 7 tahun.
Untuk pidana kurungan, telah ditentukan pengaturannya
oleh KUHP (Pasal 18-Pasal 23). Pidana kurungan diancamkan
1 hari – 1 tahun dan pada umumnya untuk tindak pidana
pelanggaran/bukan kejahatan (tindak pidana ringan). Orang
yang dijatuhi pidana kurungan dapat memperbaiki nasibnya
dengan biaya sendiri, misalnya membawa tempat tidur sendiri.
Pidana kurungan merupakan pengganti pidana denda, begitu
sebaliknya. Dalam undang-undang tindak pidana khusus,
pengganti denda bisa dijatuhi pidana penjara (pengecualian).
Untuk pidana denda, ukuran jumlah yang akan diancamkan
digunakan rupiah, bukan mas atau dolar. Jika ada pembentuk
undang-undang yang berkeinginan atau menyatakan dirinya
lex specialis, misalnya undang-undang mengenai keimigrasian
yang menentukan sanksi pidana bagi pemalsu paspor, maka
setidak-tidaknya disamakan dengan ancaman pidana yang
ditentukan dalam KUHP.

E. Pola Pidana untuk Korporasi.


Pada dasarnya, korporasi sebagai subjek hukum pidana
yang melakukan tindak pidana, hanya dapat diancam dan
dijatuhi pidana denda, di samping pidana tambahan lainnya,
misalnya pembekuan atau pencabutan izin. Pidana denda
paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana

651
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

denda Kategori V. Jika disamakan dengan pidana mati, pidana


penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun bagi orang, maka untuk korporasi disamakan
dengan pidana denda Kategori VI. Pidana denda paling sedikit
untuk korporasi adalah pidana denda Kategori IV.
Dalam hal penentuan pidana untuk korporasi disamakan
dengan pidana tunggal untuk setiap orang, maka pidana denda
tunggal untuk korporasi dapat dilipatkan sampai maksimal 3
kali dari ancaman untuk setiap orang tersebut. Jika
dimungkinkan suatu peraturan daerah menentukan ancaman
untuk korporasi, maka ancaman pidana untuk korporasi dapat
dilipatkan sampai maksimal 3 kali dari ancaman untuk setiap
orang yang melakukan pelanggaran.
Dalam hal diperlukan pengaturan mengenai siapa yang
bertanggung jawab dalam korporasi, maka pola yang dianut
adalah:
a) Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain,
dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-
sendiri atau bersama-sama.
b) Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggung
jawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
c) Korporasi dapat dipertanggung-jawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau
atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk
dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi
korporasi yang bersangkutan.
d) Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi
sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi.
e ) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah
memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada

652
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.


Pertimbangan tersebut harus dinyatakan dalam putusan
hakim.
f) Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan
oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan
tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi.
g) Pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban
individu pengurusnya adalah berbeda sehingga
dimungkinkan adanya dua tuntutan pidana yang sama
yakni yang satu kepada pengurus dan yang satu kepada
korporasinya.

F. Pola Pidana untuk Anak


Pola pidana sebagaimana disebutkan di atas pada dasarnya
berlaku juga bagi anak. Pidana bagi anak hanya dapat
dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16 (enam belas)
tahun. Pidana yang dijatuhkan terhadap anak, paling banyak
1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan
terhadap orang dewasa. Minimum khusus pidana tidak berlaku
terhadap anak. Pidana tidak berlaku bagi anak yang berumur
12 tahun sampai 16 tahun. Pidana yang dijatuhkan terhadap
anak, paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana
yang diancamkan terhadap orang dewasa. Pidana paling banyak
untuk anak ditetapkan berdasarkan setengah dari kategori
masing-masing untuk orang dewasa.
Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana penjara
untuk anak paling lama 10 (sepuluh) tahun dianggap telah
cukup untuk membina anak demi kehidupan selanjutnya.
Selain memperhatikan pola di atas, pola yang ditentukan
dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadilan

653
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

anak dan perlindungan anak serta konvensi-konvensi


mengenai hak-hak anak harus diperhatikan pula oleh
pembentuk undang-undang dan para penegak hukum. Pola
restorative justice dan diversi perlu juga dijadikan
pertimbangan dalam proses pemidanaan anak.
G. Pola Pidana dalam Undang-undang di Luar KUHP
Dalam menentukan banyaknya pidana perlu
dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh
tindak pidana dalam masyarakat dan unsur kesalahan pelaku
(pembuat). Dalam merumuskan ketentuan pidana undang-
undang di luar KUHP perlu diperhatikan asas-asas umum
ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu KUHP
karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi
perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-
undangan lain, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 103 KUHP atau Pasal
211 RUU KUHP.
Jarak kualitatif penentuan pidana yang akan ditetapkan
perlu memperhatikan apakah tindak pidana tersebut dapat
dialternatifkan atau ditentukan secara tunggal. Untuk itu,
harus dipahami apakah kualifikasi tindak pidana tersebut
suatu kejahatan berat dan kejahatan ringan (between felony
and misdemeanor) sebagai perbandingan. Jika menentukan
suatu perbuatan yang semula bukan kriminal, namun
dijadikan kriminal, maka yang perlu diperhatikan adalah
apakah perbuatan asal tersebut merupakan tindakan
administratif (menjalankan tugas dan fungsi kepemerintahan)
atau tingkah laku keperdataan yang dikriminalisasi.
Kualifikasi untuk tindak pidana dalam undang-undang di
luar KUHP, perlu dilakukan pembedaan, dengan terlebih
dahulu mengamati apakah undang-undang tersebut
dikategorikan sebagai undang-undang hukum pidana (tindak
pidana khusus atau serious crime) atau undang-undang yang
mengatur hukum administrasi, keperdataan, atau undang-
undang arahan/pedoman. Untuk tindak pidana khusus atau
serious crime, bobot dan polanya mengikuti pidana penjara
tunggal tanpa pidana denda atau pola pemberatan yakni pidana
penjara dan pidana denda sebagai pidana kumulatif. Untuk

654
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

kriminalisasi terhadap perbuatan administrasi atau


keperdataan, pola yang digunakan adalah pidana denda
tunggal. Hal ini dapat dilihat dari contoh denda Kategori I
sebagai pidana tunggal yang pada umumnya bobotnya dianggap
sangat ringan. Dalam hal perbuatan administrasi tersebut
mengakibatkan kerugian yang besar (baik barang atau harta
benda yang lain), maka pola yang digunakan adalah pidana
penjara dengan alternatif pidana denda antara Ketegori II
sampai V.
Ukuran-ukuran kualifikasi tindak pidana dalam undang-
undang di luar KUHP dapat dipolakan berdasarkan kualifikasi
tindak pidana yang disebut di atas dengan membandingkan
atau menyamakan unsur-unsur tindak pidana. Dengan
pembandingan atau penyamaan kualifikasi di atas dapat
ditentukan apakah perbuatan tersebut diancamkan pidana
tunggal, pidana dengan alternatif, atau pidana dengan
pemberatan. Jarak kualifikasi antara perbuatan jahat dan
pelanggaran atau antara kejahatan yang berat dan kejahatan
yang ringan atau kejahatan yang materiel dan kejahatan
formil, dapat ditentukan atau dihitung secara proporsional.
Wirjono Prodjodikoro menyinggung hubungan kualitatif dan
kuantitatif antara tindak pidana yang termuat dalam KUHP
dan di luar KUHP. Hubungan kualitatif dengan KUHP terkait
dengan kodifikasi yakni pengumpulan semua ketentuan
hukum pidana dalam satu kitab undang-undang. Jadi, jika
tercipta suatu tindak pidana baru, maka pada prinsipnya harus
dimasukkan dalam KUHP. 38 Lebih lanjut Wirjono
mengharapkan bahwa tindak pidana baru yang dimasukkan
dalam KUHP hanya dilakukan jika tindak pidana baru tersebut
ada hubungan secara kualitatif dengan jenis tindak pidana
yang terkumpul dalam masing-masing bab dalam KUHP. Dalam
praktik hal ini jarang terjadi, karena tindak pidana baru
tersebut berhubungan dengan persoalan administrasi negara
tertentu yang diatur dalam undang-undang khusus. Biasanya
dalam bagian terakhir dalam undang-undang tersebut diatur
mengenai ketentuan pidana dan ditentukan pula mengenai
tindak pidana mana yang kejahatan dan tindak pidana mana

38
Op.cit, Wirjono Prodjodikoro, hlm. 9.

655
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

yang pelanggaran. Mengenai kuantitas, ternyata tindak pidana


di luar KUHP ini berjumlah banyak sehingga mengaburkan
makna atau prinsip kodifikasi hukum pidana itu sendiri. Dalam
praktik, ternyata, tindak pidana yang diproses di pengadilan
kebanyakan berupa tindak pidana yang termuat dalam KUHP.
Andi Hamzah mengingatkan kembali bahwa perkembangan
lainnya di Indonesia ialah semakin banyak perundang-
undangan administrasi yang bersanksi pidana dengan
ancaman pidana penjara sangat berat, sepuluh, lima belas
tahun sampai seumur hidup, bahkan ada sampai pidana mati.
Undang-undang administrasi seperti narkotika, psikotropika,
perbankan, lingkungan hidup, dan lain-lain mengandung
pidana yang sangat berat, yang mestinya khusus untuk
rumusan deliknya dibuat undang-undang pidana tersendiri.
Di Belanda untuk pidana penjara yang berat itu harus
dituangkan dalam undang-undang pidana bukan administrasi.
Undang-undang administrasi sanksinya mestinya hanya
berupa kurungan atau denda. Untuk ancaman pidana penjara
yang berat, harus diciptakan undang-undang pidana
tersendiri, misalnya WED (Wet op Economische Delicten).39 Andi
Hamzah lebih lanjut mengingatkan bahwa perbuatan yang
diancam dengan pidana ada yang bersifat netral dalam arti
semua negara sama (misalnya, pencurian, pembunuhan,
penipuan, termasuk tindak pidana komputer dan cyber crime,
dan lain-lain). Perbuatan yang tidak netral yang berbeda antara
satu negara dengan negara lain, misalnya delik agama,
kesusilaan, dan ideologi. Di Indonesia diatur mengenai delik
agama dan delik ideologi, tetapi di China tidak diatur dan
justru merongrong komunisme dianggap delik serius. Tindak
pidana kesusilaan 40 di Indonesia diatur secara ketat dan
tambah berat pidananya, sedangkan di Belanda dan negara-
negara di Eropa semakin lama semakin lunak.
Pola yang ajeg untuk penentuan pidana dalam undang-
undang di luar KUHP harus diperhatikan adanya delik
bergantung yakni ketentuan pidana yang tidak boleh berdiri
sendiri jika tidak disebutkan terlebih dahulu dalam pasal
39
Op.cit, Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
internasional, hlm. 1-3.
40
Yang dimaksud Prof. Andi Hamzah adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi.

656
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

sebelumnya yang mewajibkan atau melarang perbuatan


tertentu. Jika terdapat ketentuan yang mandiri atau delik
yang tidak bergantung, maka ketentuan pidana secara
kualitatif adalah bagian dari atau termasuk substansi KUHP.

H. Pola Pidana untuk Kejahatan Tanpa Korban


Untuk kejahatan tanpa korban (crime without victim), pada
dasarnya tidak ada kepentingan hukum orang lain yang
dilindungi, kecuali untuk diri pelaku yang oleh hukum
dianggap suatu kejahatan. Sengaja penulis tidak
menggunakan ‘tindak pidana” melainkan ‘kejahatan’ karena
makna kejahatan dapat diartikan lebih luas yakni kejahatan
baik yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
maupun hukum tidak tertulis (hukum adat/agama). Kejahatan
jenis ini pada umumnya pembuat merasa senang dan tidak
ada yang dirugikan karena perbuatan tersebut. Kejahatan ini
pada umumnya juga terjadi di lingkungan privat. Kejahatan
ini secara umum dikategorikan menjadi beberapa macam,
antara lain perbuatan minum minuman keras (mabuk) atau
pengguna narkotika dan psikotropika, perbuatan prostitusi,
pornografi (untuk orang dewasa), berjudi (gambling) termasuk
undian (raffle) dan lotere (lottery) dan bentuk-bentuk perjudian
yang dilegalisasi untuk mencari dana atau keuntungan.41
Jika pelaku kejahatan tanpa korban di atas didekriminalisasikan,
maka pengkriminalisasian tersebut pada dasarnya berhadapan
dengan tembok-tembok seperti nilai-nilai agama, etika moral
masyarakat, atau antisosial lainnya, dalam arti tiadanya
kepentingan hukum digantikan dengan perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika moral
masyarakat, atau antisosial bagi individu yang melanggar.42
Pada umumnya kejahatan tanpa korban hanya menimbulkan
kerugian pada diri pelaku sendiri atas dasar pilihannya sendiri
walaupun perbuatan tersebut dapat merusak diri dan
mentalnya. Ada tiga tipe pembedaan kejahatan tanpa korban
yang dikenal, yakni:

41
Ibid, Edwin M. Schur.
42
Crime Without Victims, www.speedylook.com. Diunduh tanggal 15 Februari 2009.

657
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

a. tindakan yang mengakibatkan kerugian untuk dirinya


sendiri;
b. tindakan yang mengakibatkan kerugian untuk pihak lain,
namun pihak lain tersebut setuju atas kerugian yang
ditimbulkannya;
c. tindakan-tindakan yang membawa ke arah yang abstrak
(acts carrying reached with abstract entities).43
Pembahasan RUU tentang Narkotika (sudah menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), masih disepakati
adanya ketentuan kriminalisasi bagi pengguna dengan
beberapa persyaratan. Ketentuan dalam RUU tersebut pada
dasarnya hampir sama dengan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika.
Di dalam RUU KUHP diadopsi ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan RUU tentang
Narkotika dengan mengatur secara umum, yang berbunyi:
Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum
menggunakan narkotika bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (Pasal 512)
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa kepentingan
hukum yang dilindungi adalah selain diri sendiri (untuk tidak
menjadi ketergantungan), juga keluarga pengguna, terutama
keluarga (orang tua) bagi orang yang belum dewasa pengguna
narkotika, dan secara langsung kepentingan masyarakat.
Keputusan kebijakan kriminalisasi ini, dalam risalah rapat
antardepartemen di lingkungan pemerintah, dikehendaki
sebagai tindakan preventif dan sekaligus represif. Tindakan
preventif di sini dimaksudkan agar di kemudian hari tidak
ada lagi calon pengguna yang mencoba-coba menggunakan
narkotika dan tindakan represif dimaksudkan untuk dilakukan
rehabilitasi yang sekaligus memberikan penderitaan bagi
pengguna.44 Di lingkungan kedokteran, yakni beberapa dokter
anggota Ikatan Dokter Indonesia yang tergabung dalam tim

43
Edwin M. Schur, Crime Without Victims: Deviant Behavior and Public Policy, Prentice
Hall, Inc. Englewood Cliffs, NJ, www.questia.com. Diunduh tanggal 15 Februari
2009.
44
Hasil rapat Panitia Antardepartemen Penyusunan RUU tentang Narkotika
Departemen Hukum dan HAM, tahun anggaran 2004/2005.

658
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

penyusunan RUU tentang Narkotika, masih belum sependapat


jika pengguna narkotika dipidana karena pengguna harus
dilindungi dan disembuhkan (direhabilitasi) secara medis.
Di dalam Pasal 492 KUHP, perbuatan mabuk, merupakan
pelanggaran jika mabuk tersebut merintangi lalu lintas,
mengganggu ketertiban, mengancam keamanan orang lain,
atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-
hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu
lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau
kesehatan orang lain. Pidana yang diancamkan adalah pidana
kurungan paling lama 6 hari atau denda paling banyak Rp.375,-
Pidana kurungan tersebut dapat diperberat jika pelaku
mengulangi perbuatannya belum lewat 1 tahun sejak
dijatuhkan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Pidana yang diancamkan adalah pidana kurungan paling
lama 2 minggu. Ketentuan di atas tidak berlaku jika pelaku
mabok (pemabok) tanpa melakukan perbuatan di atas,
misalnya, mabok di rumah atau pekarangannya sendiri tanpa
terganggunya orang lain. Pasal 536 KUHP juga mengatur
mengenai larangan mabuk di tempat umum. Ketentuan
tersebut berbunyi: Barangsiapa terang dalam keadaan mabuk
berada di jalan umum, dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp.225,-. Pelanggaran ini diperberat jika belum lewat
1 tahun mengulangi lagi yakni dengan mengganti pidana denda
tersebut dengan pidana kurungan paling lama 3 hari. Jika
terjadi pengulangan kedua, pidananya diperberat menjadi
pidana kurungan paling lama dua minggu. Jika terjadi
pengulangan ketiga, pidananya diperberat menjadi pidana
kurungan paling lama 3 bulan.
Ketentuan di atas diadopsi oleh RUU KUHP (Pasal 357)
yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang mabuk di tempat umum merintangi
lalu lin-tas, mengganggu ketertiban, mengancam
keselamatan orang lain, atau pada waktu mabuk
melakukan pekerjaan yang harus dijalan-kan dengan

45
RUU KUHP 2006/2008.

659
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

sangat hati hati untuk tidak menimbulkan bahaya bagi


nyawa atau kesehatan orang lain, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Kategori I.45
Untuk tindak pidana pelacuran, dalam KUHP yang dilarang
adalah yang menyediakan tempat pelacuran. Pasal 296 KUHP
menentukan bahwa:
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang
lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau
kebiasaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.15.000,-

Pasal 506, dalam Buku III, KUHP menyebutkan bahwa:

Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul


seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun.
Dari kedua ketentuan di atas, pada dasarnya pelaku
pencabulan/pelacuran itu sendiri tidak dipidana, termasuk
penggunanya.

Terkait dengan perjudian, Pasal 303 dan 303 bis KUHP,


menentukan bahwa:
Pasal 303
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau
denda paling banyak Rp.25.000.000,-, barangsiapa tanpa
izin:

d. dengan sengaja menawarkan atau memberikan


kesempatan untuk permainan judi46 dan menjadikannya
sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam
suatu perusahaan untuk itu;

46
Permainan judi adalah tiap-tiap permainan yang pada umumnya kemungkinan
mendapat untung bergantung kepada peruntungan belaka, juga karena permainannya
lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut
berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lain-lainnya. (Pasal 303
ayat 3 KUHP).

660
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

e . dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan


kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan
sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan
tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan
adanya suatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.

Jika tindak pidana di atas dilakukan dalam menjalankan


pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencarian tersebut (Pasal 303 ayat 2). Ketentuan di atas
melarang seseorang yang tidak berizin dalam penyelenggaraan
permainan judi. Dalam ketentuan di atas tidak ada unsur-
unsur tindak pidana yang melarang seseorang secara pribadi
bermain judi, baik di dalam perusahaan yang berizin maupun
di luar perusahaan.
Pasal 303 bis:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun
atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,-:
a. barangsiapa menggunakan kesempatan main judi
yang diadakan dengan melanggara ketentuan Pasal
303;
b. barangsiapa ikut serta main judi di jalan umum
atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang
dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari
penguasa yang berwenang yang telah memberi izin
untuk mengadakan perjudian itu.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua
tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap
karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat
dikenakan pidana penjara paling 6 tahun atau pidana
denda paling banyak Rp.15.000.000,-
Dari ketentuan di atas menunjukkan bahwa yang dilarang
adalah permainan judi yang diselenggarakan di jalan umum
atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat
dikunjungi umum tanpa izin. Jadi, permainan judi yang
diselenggarakan di rumah sendiri, walaupun tanpa izin, tidak
dilarang, atau permainan judi diperbolehkan di jalan umum
atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat
dikunjungi umum yang berizin. Dalam RUU KUHP, ketentuan
Pasal 303 dan Pasal 303 bis diadopsi dengan modifikasi yang

661
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 2


(dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun (Pasal 504
RUU KUHP). Pasal 505 RUU KUHP menentukan bahwa: Setiap
orang yang menggunakan kesempatan main judi, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.
Untuk pornografi, kejahatan berupa membuat pornografi
untuk dirinya sendiri atau kepentingan sendiri, tidak dipidana.
Ketentuan pengecualian juga berlaku bagi orang yang memiliki
atau menyimpan pornografi untuk dirinya sendiri.47 Tindakan
yang dilarang berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi adalah memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi.48
Dari kejahatan tanpa korban di atas, kriminalisasi
perbuatan hanya diberlakukan terhadap kejahatan pengguna
narkotika. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar setiap
orang jangan mencoba-coba atau terjebak untuk menggunakan
narkotika. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentan
Psikotropika juga memidana bagi pengguna psikotropika
Golongan 1 selain yang digunakan untuk pelayanan kesehatan
dan/atau ilmu kesehatan. Pidana yang diancamkan adalah
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah),
dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Pengguna psikotropika yang menderita sindroma
ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus

47
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi yang pengecualiannya ditempatkan dalam Penjelasan pasal.
48
Kata “membuat” di sini yang dilarang adalah bukan untuk diri sendiri atau
kepentingan sendiri, melainkan untuk orang lain. Ketentuan ini menyimpangi tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memberikan pengecualian
dekriminalisasi dalam penjelasan pasal.

662
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau


perawatan. Pengguna selain psikotropika di atas, dapat
memiliki, menyimpan, atau membawa psikotropika yang
diperoleh secara sah dari apotik, rumah sakit, balai kesehatan,
dan dokter. Penggunaan psikotropika tersebut hanya dalam
rangka pengobatan dan/atau perawatan yang difasilitasi oleh
instansi yang melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi bagi
pengguna psikoterapi yang menderita sindroma
ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau
mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.

I. Penutup
Tulisan di atas pada dasarnya merupakan rangkuman
pendapat para ahli hukum pidana, terutama pembentuk RUU
KUHP, dan pengalaman penulis selama dalam penyusunan
dan pembahasan RUU, baik di tingkat antardepartemen
maupun di DPR. Semoga tulisan ini dapat dijadikan acuan
dalam penyusunan RUU, terutama dalam merumuskan
ketentuan pidana. Tulisan ini mungkin juga dapat dijadikan
acuan untuk merumuskan ulang terkait dengan adanya
keinginan mengamandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pidana merupakan penderitaan atau nestapa bagi pembuat
tindak pidana sehingga penggunaannya (criminal policy) yang
dituangkan dalam ketentuan pidana harus hati-hati.
Masyarakat modern telah meninggalkan pidana mati, dan
kemudian di Eropa berkembang untuk meninggalkan pidana
penjara dengan menggantikan pidana denda (yang cukup tinggi
sesuai dengan berat dan ringannya perbuatan pidananya),
maka pada masa depan Indonesia harus mengarah pada

663
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

pembinaan terhadap pembuat tindak pidana, bukan semata-


mata untuk pembalasan. Belum ada penelitian yang akurat
apakah pidana penjara di Indonesia itu efektif atau tidak efektif
untuk menelorkan manusia yang kemudian taat hukum dan
kembali normal. Kita tunggu.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan


Perkembangan Kriminalitas dan Perkembangan Delik delik
Khusus dalam Masyarakat Modern, BPHN Dep.
Kehakiman, 1980.
———, Pemidanaan, Masalah-masalah Hukum, Nomor 16, FH
Undip Semarang, 1974.
———, Masalah Pemidanaan sehubungan dengan Perkembangan
Kriminalitas dan Perkembangan Delik-delik khusus dalam
Masyarakat Modern, BPHN, Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1980.
———, Bunga Rampai, Kehijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002.
———, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
———, RUU KUHP Baru, sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi
Sistem Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Program
Magister Ilmu Hukum Pancasarjana Undip, 2007.
———, Kebijakan Hukum Pidana, Bunga Rampai, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media
Grup, Jakarta, 2008.
Bemmelen, J.M. van, Ons Strafrecht 2, het penitentiaire recht,
vierde herziene, H.D. Tjeenk Willink Alphen aan den
Rijn, 1980 (Hukum Pidana 2 – Hukum Penitentier, Alih
Bahasa Hasnan, Binacipta, Bandung, 1991).
———, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum,
Penerjemah Hasnan, Bina Cipta, 1984.
Duff, Antony Restoration and Retribution, Studies in Penal Theory
and Penal Ethics dalam kumpulan karangan “Restorative

664
Penentuan Sanksi Pidana dalam suatu undang-undang

Justice & Criminal Justice: Competing or Reconcilable


Paradigms, Hart Publishing, Oxford, 2002.
Duff, Antony and David Garland, A Reader on Punishment, Oxford
University Press, New York, 1994.
Hamzah, Andi, Delik delik Tersebar di Luar KUHP dengan
Komentar, Jakarta: Pradnya Paramita, 1988 ,KUHP dan
KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
———, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT Pradnya
Paramita, Jakarta, 1993.
———, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Armico
Bandung, Edisi Pertama, Tahun 1985.
———, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1983.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992.
Packer, Herbert L. The Limit of The Criminal Sanction, California,
Stanford University Press, 1968.
Prodjodikoro, Wiryono, Azaz-azas Hukum Perdata, Bale Bandung
“Sumur Bandung”, Bandung, 1990.
———,Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Jakarta
– Bandung, 1980.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana – Komentar atas Pasal-pasal
Terpenting dari KUHP Belanda dan Pidananya dalam KUHP
Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Penerbit Politea,
Bogor.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni 1981,
Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni Cetakan
ke-2, 1986, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, dalam
Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam
Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, BPHN,
Binacipta, 1980.
Suringa, D. Hazewinkel –, Inleiding tot De Studie van Het
Nederlandse Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink B.V.
Groningen, 1975.
Kamus, mengunduh, dan undang-undang.

665
Vol. 6 No. 4 - Desember 2009

Osborn’s Concise Law Dictionary, Edited by Leslie Rutherford


and Sheila Bone, Eighth Edition, Sweet & Maxwel,
London, 1993.
Schur, Edwin M., Crime Without Victims: Deviant Behavior and
Public Policy, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, NJ,
www.questia.com.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Edisi Kedua, 1993.
Barnet, Randy, The Justice of Restitution, American Journal of
Jurisprudence (diambil dari www. randybarnet.com/
25amer 117.htm).
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, versi
2002–2005.
Crime Without Victims, www.speedylook.com.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Keterangan Pemerintah yang disertakan pada RUU KUHP yang
diserahkan kepada Presiden. Keterangan pemerintah
merupakan rangkuman dari Penjelasan Umum RUU
KUHP.

666

Anda mungkin juga menyukai