Adoc - Pub Universitas Indonesia
Adoc - Pub Universitas Indonesia
TESIS
PASKALIS GUNAWAN
NPM 1006766895
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JANUARI 2015
TESIS
PASKALIS GUNAWAN
NPM 1006766895
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JANUARI 2015
ii
Universitas Indonesia
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penelitian ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis-1 dalam bidang Ilmu
Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
vii
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
xii
xiii
xiv
xv
xvi
xvii
xviii
PENDAHULUAN
Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.
Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan perubahan proporsi kelompok umur
penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut
disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Diperkirakan pada
tahun 2050 nanti, populasi usia lanjut di Asia akan mencapai 1,2 milyar orang. 1
Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami
peningkatan populasi berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 414% hanya dalam
waktu 35 tahun (1990-2025).2 Peningkatan populasi usia lanjut akan mengakibatkan
dua hal, yaitu makin bertambahnya jumlah pasien geriatri dan terjadinya transisi
epidemiologi penyakit.
Mulai awal tahun 2014, telah diberdayakan suatu sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Salah satu tujuan dibentuknya sistem JKN ini adalah agar kenaikan biaya
kesehatan yang tak terelakkan dapat ditekan, namun disisi lain biaya dan mutu
pelayanan kesehatan dapat tetap dikendalikan. 8
Implikasi sistem JKN ini adalah pada pihak peserta, pelaksana dan fasilitas
pelayanan kesehatan. Pelaksana JKN yang dimaksud adalah BPJS. BPJS Kesehatan
akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu
sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA
CBG’s (Indonesia Case Based Groups) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal
ini berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN),
dimana belum terdapat keseragaman sistem pembayaran, dan sebagian besar
menggunakan sistem Fee For Service atau Cost Based. Dalam pembayaran
menggunakan sistem INA-CBG’s, penggantian biaya kesehatan oleh BPJS kepada
penyedia layanan kesehatan tidak lagi berdasar pada rincian komponen pelayanan
yang diberikan, melainkan hanya pada kelompok diagnosis dan kode CBG (Case
Base Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati
bersama antara penyedia layanan kesehatan dan BPJS, serta bersifat nasional.8
mortalitas. Sampai dengan saat ini belum ada suatu penelitian yang melihat pengaruh
penerapan sistem pembiayaan JKN di Indonesia terhadap outcome dari layanan
kesehatan. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana dampak sistem
pembiayaan JKN terhadap kesintasan dan efektivitas biaya penerapan P3G pada
pasien geriatri yang menjalani perawatan di ruang rawat di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) bila dibandingkan dengan sistem
pembiayaan kesehatan nasional sebelumnya?
Jumlah pasien geriatri yang akan terus meningkat akan membawa konsekuensi
meningkatnya penyakit-penyakit kronik degeneratif dan meningkatnya biaya
kesehatan terkait permasalahan geriatri.
Pembiayaan layanan kesehatan erat kaitannya dengan kualitas layanan kesehatan.
Sampai saat ini belum diketahui dampak dari penerapan sistem pembiayaan JKN
terhadap kesintasan dan efektivitas biaya dari penerapan P3G pada pasien geriatri
yang menjalani rawat inap di ruang rawat geriatri RSCM.
1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan kesintasan pada pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat
akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.
Terdapat perbedaan efektifitas biaya pada pasien geriatri yang dirawat di ruang
rawat akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.
Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektivitas biaya di ruang rawat inap RSCM
pada era JKN dan era sebelum JKN
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.
Perkembangan kelompok populasi ini merupakan yang tercepat bila dibandingkan
dengan yang lain.9 Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan transisi
demografis, yaitu perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan
didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka
fertilitas dan angka kematian. Pada tahun 2025, diperkirakan populasi usia lanjut
(usia lanjut) akan mencapai angka lebih dari 1,2 milyar, 840 juta diantaranya berada
di negara-negara berkembang seperti Indonesia.1
414% dalam 35 tahun. Pada tahun 2010, jumlah populasi usia lanjut di Indonesia
akan mencapai kurang lebih 19 juta.10 Transisi demografis ini akan berdampak
terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Insiden dari penyakit kronik degeneratif
dan keganasan akan meningkat. Meningkatnya angka kesakitan akan menyebabkan
meningkatnya kebutuhan usia lanjut akan layanan kesehatan.
Sebanyak kurang lebih 10 persen dari populasi usia lanjut dirawat di rumah
sakit tiap tahunnya.10 Kelompok populasi ini ditandai dengan adanya multi morbiditas
yang diartikan sebagai terdapatnya dua atau lebih penyakit kronik penyulit, disabilitas
dan kondisi-kondisi debilitatif lain seperti polifarmasi, gangguan sensorik,
inkontinensia, riwayat jatuh, gangguan kognitif dan berkurangnya partisipasi dalam
aktifitas-aktifitas sosial.9 Hampir semua populasi usia lanjut memiliki lebih dari satu
penyakit kronik.4 Kondisi akut yang menyebabkan butuhnya perawatan inap di rumah
sakit akan diperberat dengan adanya berbagai penyakit kronik tersebut. 11
Berbagai penyakit kronik yang biasanya menyertai dan memperberat kondisi akut
dari usia lanjut, yang secara langsung maupun tak langsung diakibatkan oleh proses
degeneratif disebut pula sebagai geriatric conditions. Geriatric conditions tidak boleh
dianggap remeh karena kehadirannya mencerminkan berkurangnya kapasitas
fungsional tubuh dan daya cadangan faali tubuh. 12 Kombinasi dari berbagai kondisi
akut dan geriatric’s conditions tersebut merupakan prediktor yang penting terhadap
berkurangnya fungsi kognitif, fungsional dan mortalitas. 13
Karakteristik khas pasien geriatri ini didasari oleh konsep alami yang terjadi
seiring bertambahnya usia, yaitu penuaan. Untuk menjelaskan hal ini dikenal suatu
istilah homeostenosis. Homeostenosis didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan
fisiologis untuk menghadapi suatu kondisi akut, disebabkan telah terpakainya
cadangan tersebut untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh sehari-hari.3
Dengan penuaan, kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi
homeostasis setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan
akan menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi
homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada
“precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya. 1 Fisiologi
penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu penyakit atau
kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih. Mereka juga
memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang yang berbeda
dengan usia yang lebih muda. Wang dkk16 dalam suatu telaah sistematis
menunjukkan sindrom geriatri terutama frailty, disabilitas, dan komorbiditas multipel
memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan hospitalisasi pada
pasien lanjut usia.
Keadaan kesehatan usia lanjut yang rumit, kompleks dan menantang ini
membutuhkan suatu pendekatan diagnostik khusus, yang bersifat paripurna dan
mencakup banyak disiplin. Pendekatan tersebut dikenal pula dengan Pendekatan
Paripurna Pasien Geriatri (P3G).
Dari tahun ke tahun, terdapat peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dari peningkatan ini, yang menunjukkan laju peningkatan terbesar adalah pada
kelompok usia lanjut.18 Sehubungan dengan makin besarnya tingkat rawat inap pasien
usia lanjut, perhatian terhadap isu ini semakin berkembang. Peningkatan populasi
usia lanjut yang cepat dan penggunaan sarana kesehatan yang tidak proporsional oleh
populasi ini kian hari kian menimbulkan kecemasan terhadap resiko mortalitas,
disabilitas dan efisiensi penggunaan sarana kesehatan. 19 Warren dkk mengamati
bahwa masih terdapat kekurangan dalam evaluasi pasien usia lanjut yang dirawat.
Kekurangan yang dimaksud adalah tidak dievaluasinya berbagai faktor non medis
lain, seperti fungsi sosial dan psikologis yang sebenarnya berperan penting dalam
aspek penyembuhan dan pencegahan penyakit. Inilah yang memicu adanya
pendekatan modern dari evaluasi pasien geriatri, yaitu Pendekatan Paripurna Pasien
Geriatri yang disingkat dengan P3G (Comprehensive Geriatric Assessment/CGA).
P3G tidak hanya mengevaluasi kondisi medis umum, namun juga kondisi
fisik, fungsional, medis, psikokognitif dan psikososial. Hal ini terkait dengan konsep
sehat oleh WHO22 dimana kesehatan diartikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan
fisik, mental dan sosial dan bukan hanya berarti tidak terdapatnya penyakit atau
kelemahan (“Health is a state of complete physical, mental and social well-being and
not merely the absence of disease or infirmity”). Tujuan dari pengobatan bukan lagi
hanya menyembuhkan, namun juga mencegah penyakit lain atau komplikasi terkait,
dan mempertahankan kondisi kesehatan pasien. Untuk mencapai hal ini, pendekatan
interdisiplin menjadi sangat penting untuk diimplementasikan, dan bukan pendekatan
multidisiplin.23,5
Mengingat besar dan kompleksnya masalah kesehatan usia lanjut dan dampak
yang ditimbulkan terhadap biaya kesehatan, diperlukan suatu strategi yang tepat guna
untuk mencapai pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik, efektif dan efisien. 6
Dalam menyusun suatu strategi intervensi terhadap suatu masalah kesehatan, metode
yang sebaiknya digunakan adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti dari uji-uji
klinis yang ada, disebut juga dengan literatur berbasis bukti (Evidence-based
literature). Namun masalahnya hanya sedikit sekali uji klinis yang memiliki populasi
usia lanjut didalamnya, dan lebih sedikit lagi yang memperhitungkan faktor biaya,
sehingga metode ini sulit untuk diimplementasikan. Sedikitnya partisipasi populasi
usia lanjut dalam studi-studi dikarenakan populasi usia lanjut adalah populasi yang
rentan, sehingga tidak etis untuk mengikutsertakan populasi usia tersebut dalam suatu
uji klinis yang berpotensi meningkatkan disabilitas dan mortalitasnya. Selain itu
populasi usia lanjut sulit untuk dimasukkan dalam protokol uji klinis yang biasanya
ketat dan memiliki persyaratan banyak, sehingga kalaupun diikutsertakan, sulit untuk
mencapai titik akhir uji klinis. 24 Sehingga dalam memilih suatu strategi intervensi
yang sesuai untuk populasi usia lanjut dalam kaitannya dengan pembiayaan
sebaiknya menggunakan analisis ekonomi kesehatan.
itu banyak negara lain menyelenggarakan JKN seperti Kanada (1961), Taiwan
(1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000). Saat ini penetapan pembiayaan
yang dipakai oleh asuransi kesehatan sosial adalah berdasarkan klasifikasi Diagnosis
Related Groups (DRG) atau Case Based Group (CBG).25
Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRGs sudah menjadi sistem kapitasi
utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara berpenghasilan
tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Tetapi di negara dengan penghasilan
kecil-menengah, sistem berbasis DRGs ini baru saja dikembangkan. Sistem
pembayaran DRGs sering disamakan dengan case-based atau case-mixed based,
tetapi keduanya tidak serupa meski saling bisa tumpang tindih. 29
Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke
berbagai negara untuk belajar tentang sistem JKN, pada tanggal 28 September 2004,
UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui
Rapat Pleno DPR untuk diundangkan. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Presiden
Megawati mengundangkan UU SJSN dengan upacara khusus yang dihadiri menteri-
menteri terkait dan anggota inti Tim SJSN. Dalam kelanjutannya, terdapat berbagai
benturan dan halangan dalam perwujudannya, dari segi administrasi, keputusan
politik, kesiapan sarana prasarana dan isu sosial politik medis lain, sehingga SJSN
tidak dapat segera terlaksana.25
dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan
sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam
pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.
Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri
dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9
CM). Sistem ini dihitung menggunakan beberapa variabel : diagnosis utama dan
diagnosis sekunder, usia, adanya komorbiditas dan komplikasi dan prosedur
kedokteran yang dilakukan, serta lama rawat. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan
pola pengobatan dan pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi
dianggap serupa. Sistem ini kemudian diimplementasikan oleh Kementerian
Kesehatan Indoensia sampai dengan tahun 2013, dimana tercatat penggunaan sistem
ini dalam klaim Jamkesmas telah terlaksana di 515 RS Swasta dan 747 RS
Pemerintah.30
Sampai dengan akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia yang telah memiliki
Jaminan kesehatan sebanyak 176.844.161 juta jiwa (72%) 7 terdiri dari:31
Bagi tiap peserta SJSN ini atau lebih lazim disebut dengan JKN, diwajibkan
membayar iuran jaminan kesehatan. Bagi yang mempunyai upah/gaji, besaran iuran
berdasarkan persentase upah/gaji dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi yang
tidak mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan dengan nilai nominal
tertentu, sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran, maka
iurannya dibayari pemerintah. Pembiayaan BPJS diatur dalam APBN 2013.
Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk persiapan pelaksanaan SJSN berupa
penyertaan modal negara, peningkatan kapasitas puskemas dan rumah sakit milik
pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menyediakan anggaran untuk peningkatan
kesadaran masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi,
edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan BPJS. Mulai 2014,
Pemerintah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan kurang mampu (yang
disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran atau PBI) untuk menjamin keikutsertaan
mereka dalam program ini.7
Masa berlaku JKN ditentukan oleh masih tidaknya peserta terkait membayar
iuran. Bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia maka status
kepesertaannya akan hilang. Iuran Jaminan Kesehatan merupakan sejumlah uang
yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk
program jaminan kesehatan, dan diatur berdasar Perpres No. 12 tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI. Besarnya iuran jaminan kesehatan ditetapkan
melalui Peraturan Presiden. Setiap peserta wajib membayar iuran yg besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau
suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah & PBI). Prinsip pembayaran
iuran tidak berlaku bagi peserta PBI, dimana jaminan Kesehatan dibayar oleh
Pemerintah.7
Program JKN digelar berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas, yaitu
kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis yang tak terkait
dengan besaran iuran yang dibayarkan. Hal inilah yang membedakan sistem JKN
dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya. Sistem JKN merupakan suatu asuransi
sosial yang universal. Ada dua kata kunci di sini, yaitu asuransi sosial dan universal.
Sistem asuransi berarti adanya sistem iuran, yang besarnya ditetapkan sebagai
prosentase tertentu dari upah, bagi mereka yang memiliki penghasilan. Pemerintah
akan membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin). Iuran
tersebut bersifat wajib dan bersifat sebagai dana amanat, dalam arti penggunaannya
sepenuhnya untuk pengembangan sistem JKN, dan bukan diperhitungkan sebagai
laba. Sistem JKN akan diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum
khusus, bukan lagi seperti BUMN yang berasaskan laba, sehingga memiliki
paradigma yang sepenuhnya berbeda. Universal dalam arti kedepannya hanya akan
ada satu sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia, yang mencakup seluruh rakyat
Indonesia dan berlaku di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini berbeda
dengan jaminan kesehatan sebelumnya dimana terdapat berbagai jenis jaminan
kesehatan dengan pelbagai cakupan dan iuran yang berbeda. Penetapan sistem JKN
ini bertujuan untuk tercapainya universal coverage untuk jaminan kesehatan,
sehingga tiap penduduk terpenuhi hak asasinya untuk mencapai suatu kondisi sehat. 31
Perbedaan lain dari sistem JKN ini dengan sistem jaminan kesehatan
sebelumnya adalah perbedaan sistem pembiayaannya. BPJS Kesehatan akan
membayar kepada fasilitas kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu sistem
kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA CBG’s
(Indonesia Case Based Group) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal ini
berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN),
dimana digunakan sistem Fee For Service. Dalam pembayaran menggunakan sistem
INA-CBG’s baik rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan
berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan
menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group).
Jadi, pembayaran dilakukan berdasar kelompok diagnosis, dan bukan terhadap
masing-masing komponen biayanya. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis
Berikut beberapa manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penerapan JKN
dibandingkan dengan sistem jaminan kesehatan Indonesia sebelumnya: 7
Kenaikan biaya kesehatan dapat ditekan, karena diharapkan penyedia layanan dan
fasilitas kesehatan tidak lagi berlomba-lomba menyediakan layanan kesehatan
yang membutuhkan biaya besar namun tidak efektif.
Biaya dan mutu yankes dapat dikendalikan, karena diharapkan fasilitas kesehatan
akan terpacu untuk memilih pemeriksaan dan intervensi yang tepat dan berdaya
guna dalam menangani kelompok penyakit.
Kepesertaannya bersifat wajib bagi seluruh penduduk sehingga “memaksa” tiap
penduduk mendapat perlindungan kesehatan
Pembayaran dengan sistem prospektif, sehingga memastikan adanya suatu
pemasukan tetap yang dapat digunakan sebagai dana amanat untuk meningkatkan
kualitas sistem JKN itu sendiri dan bukan untuk laba.
Adanya kepastian pembiayaan yankes berkelanjutan
Manfaat yankes komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
Portabilitas nasional: peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan
kedepannya registrasi dan penggunaan sistem JKN ini dapat bersifat elektronik
dan berbasis internet, sehingga dengan membawa kartu kepesertaan JKN
seseorang dapat memperoleh kepastian layanan kesehatan di manapun ia berada
selama masih dalam wilayah NKRI.
artinya total jumlah CBG dapat berubah sesuai keadaan. Karena terdapat 14500
macam diagnosis ICD10 dengan 7500 prosedur tindakan (ICD 9 CM) dibuat suatu
grouper yang disusun secara terkomputerisasi. Sistem ini juga telah dilakukan di
beberapa negara Asia, TImur tengah, Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, terutama
di negara-negara sedang berkembang.32
Sistem casemix yang dikembangkan oleh UNU IIGH ini juga merupakan
sistem yang terutama dibuat untuk negara-negara berkembang, menggunakan sistem
klasifikasi yang menggabungkan beberapa unsur: 33
Ilmu ekonomi kesehatan dapat diartikan sebagai aplikasi ilmu ekonomi dalam bidang
kesehatan, atau penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Menurut WHO (1975), ilmu ekonomi kesehatan adalah ilmu ekonomi untuk
perhitungan sumber daya yang digunakan bagi penyediaan pelayanan kesehatan.
Alokasi dan efisiensi penggunaan sumber daya tersebut bertujuan mencapai
pembangunan kesehatan, serta kuantifikasi dampak upaya pencegahan, pengobatan
dan rehabilitasi meliputi health care industry; health care financing; health
economics and development; utility, demand and supply; cost and cost behavior; cost
analysis and pricing; cost containment; economics evaluation.35
Penerapan prinsip ekonomi dalam bidang kesehatan tak lepas dari perannya
sebagai institusi penyedia layanan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga
tempat dokter bekerja yang hanya dapat beroperasi jika ada sumber ekonomi. Tidak
mungkin sebuah rumah sakit berjalan tanpa ada sumber keuangan yang terkelola
dengan baik. Di sisi lain, rumah sakit merupakan lembaga multiprofesional yang
menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang bermutu tetapi harus tetap
memperhatikan aspek sosialnya. Sifat rumah sakit yang unik ini perlu menggunakan
berbagai ilmu untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ekonomi merupakan salah satu
ilmu yang dapat dipergunakan. Penggunaan ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan
tidak hendak dipandang sebagai berubahnya paradigma rumah sakit menjadi sarana
dagang, namun dipandang sebagai suatu metode untuk menerangkan berbagai
perilaku rumah sakit dan kalangan kesehatan. Jika ilmu ekonomi di dunia kesehatan
dikesampingkan, dikhawatirkan akan terjadi keadaan di kalangan dokter yang justru
berlawanan dengan idealisme dalam masyarakat yang beradab. 35
Dalam kaitan ekonomi dan pengelolaan rumah sakit, dikenal dua jenis model
pendekatan yakni rumah sakit yang for profit dan non profit. Yang pertama
berorientasi laba, sedangkan yang kedua tidak. Pada umumnya rumah sakit
pemerintah berbasis non profit, sedangkan rumah sakit swasta berbasis for profit.
Walaupun tidak berorientasi mencari keuntungan semata-mata, namun rumah sakit
pemerintah tetap harus menjalankan fungsinya dan memerlukan dana untuk
operasionalisasi misinya. Di sini letak pentingnya kajian-kajian cost effectiveness
untuk berbagai jenis pelayanan bagi pasien rumah sakit yang mampu mendorong
efisiensi dalam rangka tetap menjalankan fungsi rumah sakit pemerintah tanpa harus
kehilangan mutu pelayanan yang optimal.35
Analisis biaya minimal adalah suatu analisis yang membandingkan dua atau
lebih intervensi terhadap suatu kegiatan yang menghasilkan keluaran (output) yang
sama, berdasarkan studi epidemiologi sebelumnya dalam kurun waktu tertentu. Biaya
yang dikeluarkan akan dibandingkan satu sama lain sehingga terlihatlah intervensi
mana yang paling minimal biayanya dalam menghasilkan keluaran yang sama. 37
Analisis biaya guna menilai hasil akhir dari sebuah program yang
dilaksanakan dengan mengukur kegunaannya (utilitas); yang dikaitkan pula dengan
perubahan kualitas akibat program tersebut. Analisis biaya guna dapat dititikberatkan
pada minimalisasi biaya (minimizing cost) atau memperbesar hasil (maximizing
effect), yang hasilnya dinyatakan dalam cost per quality adjusted life years (cost per
QALY’s) atau QALY per unit moneter.37
Analisis biaya manfaat akan menilai baik manfaat maupun biaya dari suatu
program, dan menetapkan apakah program tersebut bermanfaat atau tidak. Bila rasio
antara biaya dan manfaat lebih besar berarti program tersebut tidak menguntungkan.
Analisis biaya manfaat ini digunakan untuk membandingkan program dengan tujuan
keluaran yang berbeda, dengan masukan yang diukur dalam nilai moneter dan ukuran
keluarannya, yaitu manfaat yang diharapkan, juga diukur dalam nilai moneter. Di
samping itu, analisis biaya manfaat juga digunakan untuk mengetahui apakah suatu
intervensi layak diteruskan atau tidak. 37
Analisis biaya efektivitas adalah suatu analisis yang mencari bentuk intervensi
mana yang paling menguntungkan dalam mencapai suatu tujuan, dengan cara
membandingkan hasil suatu kegiatan dengan biayanya, dengan ukuran masukan yang
diukur dalam nilai moneter sedangkan keluarannya diukur dalam jumlah output yang
dihasilkan. Dengan kata lain, teknik ini menilai/ mencari cara intervensi yang paling
murah dan paling menguntungkan dalam pencapaian target/suatu tujuan yang sama,
dengan cara membandingkan hasil-hasil suatu kegiatan dengan biayanya. 37 Berbagai
tipe analisis efektivitas biaya dan perbedaannya disajikan dalam tabel 2.1.
Keluaran dari evaluasi ekonomi dinyatakan sebagai rasio dari cost (biaya)
dengan efek (E). Rasio ini disebut dengan incremental cost–effectiveness ratio
(ICER), yaitu perbedaan biaya antara intervensi baru dan lama dibagi dengan
perbedaan efek antara kedua intervensi tersebut.
Ada dua kelebihan dari analisis cost effectiveness. Kelebihan pertama adalah
kemampuannya untuk merangkum suatu program yang kompleks dalam dimensi
biaya dan efektivitasnya. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan ketepatan secara
teknis dalam menentukan unit biaya dan unit efek dari suatu program. Kelebihan
kedua adalah kemampuannya untuk menggunakan dua parameter yang sebenarnya
sederhana ini untuk membandingkan dan mengevaluasi berbagai program dengan
konteks dan waktu yang berbeda-beda. Untuk mencapai hal ini diperlukan suatu
kepatuhan pada suatu metodologi tertentu yang ditentukan sebelumnya dalam
mengestimasi biaya dan efek dari berbagai studi yang ada, supaya dapat
diperbandingkan. Supaya suatu analisis efektivitas biaya dapat memberikan informasi
yang optimal, diperlukan suatu metode pengukuran yang bukan hanya andal dalam
membandingkan berbagai program, namun juga dapat secara tepat menilai biaya dan
efek dari masing-masing pogram itu sendiri. Bila dilaksanakan dengan benar, metode
analisis ini dapat menjadi alat andal bagi penentu kebijakan organisasi-organisasi
yang bergerak di bidang pendanaan dan pengadaan kegiatan-kegiatan edukasi dan
sosial, memungkinkan mereka untuk membandingkan berbagai program yang telah
dijalankan untuk menentukan pengalokasian sumber daya dengan lebih tepat.
Organisasi yang dapat mengambil manfaat dari analisis ini dapat berupa organisasi-
organisasi swasta maupun pemerintah. 39
Menilai efektivitas dapat ditinjau dari berbagai faktor yakni lama rawat,
rehospitalisasi, ada tidaknya perbaikan status fungsional, kepuasan pasien, kepuasan
perawat dan mortalitas selama dan setelah perawatan. Setiap faktor tersebut harus
ditentukan bobotnya agar diketahui yang terbesar perannya dalam menentukan
efektivitas. Batasan setiap faktor yang digunakan untuk menentukan efektivitas tidak
seragam karena perbedaan sistem pelayanan, diagnosis pasien geriatri yang dirawat
serta berat-ringannya kondisi pasien.40
Dari tiga komponen ini, dapat dilihat terhadap komponen agent dan host,
sedikit yang bisa kita lakukan untuk memodifikasinya. Perubahan pada komponen
host sebagian besar terjadi akibat suatu proses yang fisiologis, yaitu penuaan,
sehingga tidak sepenuhnya dapat kita modifikasi. Sedangkan modifikasi komponen
agent biasanya dilakukan dengan mengoptimalkan program preventif dan promotif,
dan kedua faktor ini meskipun sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri secara
holistik, sedikit perannya pada tatalaksana pasien geriatri yang dirawat di fasilitas
kesehatan. Sehingga sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri di ruang rawat
inap untuk mengoptimalkan pula komponen kualitas layanan kesehatan, untuk
meningkatkan prognosis.40
Dalam konteks masyarakat luas, suatu layanan kesehatan dikatakan baik bila
terdapat keseimbangan antara kualitas dan biaya operasionalnya. Suatu intervensi
atau program kesehatan yang sangat baik namun sangat mahal biaya operasionalnya
mungkin ideal untuk kasus orang perorangan, namun bukan merupakan pilihan tepat
untuk diadopsi sebagai program kesehatan masyarakat luas yang skalanya besar. Hal
itu bisa menimbulkan pemborosan sumber daya kita yang terbatas. Sebaliknya suatu
program kesehatan yang hasilnya hanya cukup baik namun memiliki biaya
operasional yang lebih rendah dapat menjadi pilihan yang lebih baik sebagai program
kesehatan masyarakat luas pada umumnya. Disinilah peran analisis efektivitas biaya,
karena analisis ini dapat memperlihatkan keseimbangan dan hubungan antara efek
dan biaya dari suatu program/intervensi yang diperbandingkan.
Geriatric Giants
Imobilisasi Mortalitas
Kerangka Teori
Instabilitas
Gangguan lihat
Gangguan dengar
Demensia Rehospit
Delirium
Inkontinensia uri/alvi alisasi
Karakteristik geriatri
Ulkus dekubitus
Malnutrisi
Depresi
Gangguan kognitif Kualitas
hidup
BAB 3.
Pasien Geriatri
28
P3G Status
Acute fungsional
rawat
Rawat inap
Pembiayaan layanan
kesehatan
= Variabel yang
ERA JKN/INA CBG
diteliti
Sistem asuransi kesehatan
nasional
29
JKN Kesintasan
Efektivitas Biaya
Lama rawat Lama seseorang dirawat sejak Melihat data tanggal Numerik
masuk ke rumah sakit hingga masuk dan keluar rumah
pulang atau meninggal. Diperoleh sakit di rekam medis atau
dari hasil pengurangan tanggal EHR.
pulang/meninggal dengan tanggal
masuk rumah sakit, dalam satuan
hari.
Era Jaminan Era di mana mulai berlaku distem Melihat tanggal perawatan Kategori
Kesehatan JKN. JKN merupakan bagian dari
Nasional (JKN) Sistem Jaminan Sosial Nasional,
yang diberlakukan di Indonesia
sejak 1 Januari 2014. Prinsip
Jaminan Kesehatan Nasional adalah
asuransi sosial nasional dan ekuitas.
Era Non JKN Era sebelum diberlakukan JKN Melihat tanggal perawatan Kategori
(sebelum 1 Januari 2014), dimana
terdapat berbagai macam jaminan
kesehatan yang masing-masing
diselenggarakan oleh berbagai
pihak yaitu Askes, Jamkesmas,
Meninggal saat Kematian dengan sebab apapun (all Diperoleh dari selisih Kategorik
perawatan cause mortality) yang terjadi selama tanggal masuk rumah
masa rawat inap. sakit dengan tanggal
meninggal pasien.
Biaya perawatan Biaya total selama perawatan pasien Melihat data Bendahara Kontinyu
di ruang rawat inap berdasarkan RSCM dan HER
tagihan akhir dari rumah sakit ke
pasien. Komponennya berupa biaya
ruangan, biaya material, sarana dan
prasarana, biaya jasa medis dan
biaya penunjang.
METODE PENELITIAN
4.1 Desain
Penelitian dilaksanakan dengan desain cohort with historical control (kohort dengan
kontrol historis). Kohort pertama diambil saat sistem pembiayaan non JKN (Juli
2013-Desember 2013), kohort kedua diambil saat sistem pembiayaan JKN
diberlakukan (Januari-Juni 2014). Kohort pertama merupakan kontrol bagi kohort
kedua.
Penelitian dilakukan terhadap pasien-pasien yang dirawat di ruang rawat inap geriatri
di RSCM yang mendapatkan P3G yang berusia di atas 60 tahun. Pengumpulan data
dilakukan selama Agustus-September 2014. Data dikumpulkan dari rekam medis atau
resume medis semua pasien yang dirawat di ruang rawat inap geriatri RSCM selama
periode Juli 2013 sampai Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif
menggunakan data dari rekam medis dan electronic health record.
Populasi target adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun di
Indonesia.
Populasi terjangkau adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60
tahun yang dirawat di ruang rawat inap akut geriatri RSCM selama periode Juli
2013-Juni 2014.
Sampel penelitian adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi
penelitian
31
2
( Z α + Z β ) [ Ǿ ( λc) + Ǿ ( λi)]
2
( λc - λi)
Rekam medis
Resume medis
Catatan pembiayaan pasien
Electronic Health Record RSCM
Sampel diambil dari catatan rekam medis atau resume medis pasien di Unit Rekam
Medis RSCM dan Unit Pusat Administrasi dan Keuangan RSCM. Status pasien yang
memenuhi kriteria inklusi/eksklusi dipilih. Setelah itu dilakukan pencatatan data
demografis dasar, komorbiditas, data laboratorium dan status gizi pasien. Penelusuran
biaya rawat pasien dilakukan melalui Unit Keuangan RSCM dan catatan tagihan
pasien selama perawatan. Khusus untuk pasien-pasien yang pulang dari perawatan
Analisis data
SPSS 21
Data medis pasien dan keuangan diambil dari unit rekam medis dan pusat
administrasi dan keuangan RSCM. Tabulasi dilakukan menggunakan program
pengumpulan data elektronik Microsoft Access 2010, sedangkan analisis data
menggunakan program SPSS 21. Data karakteristisk sosio-demografik,
antropometrik, diagnosis klinis dan pengobatan pasien dijabarkan dengan
menggunakan metode statistik deskriptif. Data-data numerik dijabarkan dengan
Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor
753/UN2.F1/ETIK/2014. Semua data rekam medik yang dipergunakan dijaga
kerahasiaannya.
Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipublikasikan di dalam jurnal kedokteran
atau kesehatan nasional dan/atau internasional. Secara keseluruhan hasil akhir
penelitian dibuat dalam bentuk tesis sebagai salah satu syarat untuk mencapai sebutan
Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
HASIL
Penelitian ini merupakan penelitian kohort dengan kontrol historis, dilakukan pada
bulan Agustus-September 2014 dengan mengumpulkan data rekam medis pasien
geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri pada dua periode waktu, yaitu periode
pra JKN sebagai kontrol dan periode JKN sebagai kelompok studi. Periode pra JKN
diambil dari periode perawatan Juli-Desember 2013, dan periode JKN dari bulan
Januari-Juni 2014. Bagan pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 5.1.
Terdapat 319 pasien yang menerima P3G pada periode perawatan Juli 2014-Juni
2014. Sebanyak total 94 subjek dieksklusi, dengan rincian : 8 subjek dieksklusi
karena pindah ruangan, 13 subjek karena periode perawatan melewati saat pergantian
ke sistem pembiayaan JKN yaitu 31 Desember 2013 dan 73 subjek yang tidak
ditemukan catatan rekam medisnya. Jumlah sampel akhir yang dianalisis sebanyak
225 subjek, 100 di kelompok non JKN dan 125 di kelompok JKN.
37
Jenis kelamin pada kelompok JKN sebagian besar adalah perempuan (53,6%), setara
dengan kelompok kontrol (59%). Median usia 68 tahun (rentang 60-85 tahun) pada
kelompok JKN dan 70 (rentang 60-86 tahun) pada kelompok non JKN. Sebagian
besar subjek penelitian berstatus menikah (JKN vs non JKN = 56% vs. 55%) dengan
pendidikan terbanyak hanya mencapai SD. Sebagian besar sudah pensiun dan tidak
bekerja saat ini. Suku yang terbanyak adalah suku Jawa dan Betawi. Hampir semua
subjek di kedua kelompok memiliki gizi yang baik atau lebih, dan hanya sebagian
kecil (15,2% vs 14%) yang memiliki gizi kurang. Karakteristik demografis dapat
dilihat di tabel 5.1.
Tabel 5.1. Gambaran karakteristik demografis pada kelompok Non JKN dan
kelompok JKN
Selama perawatan, beberapa pasien menjalani prosedur atau tindakan medis sebagai
bagian dari tatalaksana penyakitnya. Prosedur atau tindakan medis tersebut akan
mempengaruhi lama rawat dan biaya perawatan, dan terkait erat dengan diagnosis
pasien. Tindakan dibagi menjadi bedah dan non bedah. Intervensi non bedah antara
lain tindakan endoskopi, kolonoskopi, ligasi varises esofagus, pemasangan catheter
double lumen dan akses vena sentral, kateterisasi jantung, dialisis, pemasangan mini
drain, aspirasi cairan asites, pleura dan abses hati, ekstraksi gigi, biopsi sumsusm
tulang, bronkoskopi, dan biopsi. Sedangkan intervensi bedah mencakup debridemant,
nefrostomi, pembuatan pintas arteriovena, STSG (split thickness skin graft), dan
pemasangan double J stent. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama
perawatan (56% pada non JKN dan 60% pada JKN).
Dari keluhan utama, 15% dan 22,4% subjek pada era non JKN dan JKN
datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini berbeda dengan diagnosis awal di ruang
rawat, karena terdapat sebanyak 34% dan 39,2% (Non JKN dan JKN) subjek yang
didiagnosis dengan sindrom delirium akut.
Tabel 5.2. Gambaran karakteristik klinis selama perawatan pada kelompok Non
JKN dan kelompok JKN
Karakterikstik Subjek Non JKN n= 100 JKN n= 125
Keluhan utama, n (%)
Penurunan kesadaran 15 (15,5) 28 (25,2)
Bukan penurunan kesadaran 84 (84,5) 90 (74,8)
Diagnosis selama rawata, n (%)
Pneumonia 67 (67) 86 (68,8)
ACS 34 (34) 49 (39,2)
Hipertensi 38 (38) 36 (28,8)
Sepsis 29 (29) 38 (30,4)
Infeksi bukan pneumonia 26 (26) 39 (31,2)
Diabetes dan komplikasi 22 (22) 24 (19,2)
Perdarahan saluran cerna 22 (22) 17 (13,6)
Malignansi 22 (22) 20 (16)
Gagal jantung 18 (18) 18 (14,4)
Aritmia 12 (12) 12 (9,6)
Stroke 9 (9) 13 (10,4)
Sindrom koroner akut 7 (7) 5 (5,6)
Fraktur 7(7) 3(2,4)
Geriatric giantsb, n (%)
Imobilisasi 54 (54) 62 (49,6)
Sindrom delirium akut 38 (38) 46 (36,8)
Instabilitas/jatuh 32 (32) 42 (33,6)
Gangguan lihat 33 (33) 29 (23,2)
Gangguan dengar 22 (22) 20 (16)
Ulkus dekubitus 18 (18) 19 (15,2)
Malnutrisi 11 (11) 10 (8)
Inkontinensia uri 11 (11) 9 (7,2)
Demensia 4 (4) 11 (8,8)
Depresi 8 (8) 6 (4,8)
Inkontinensia alvi 6 (3) 3 (2,4)
Mild cognitive impairment 4 (4) 6 (4,8)
Tindakan selama rawat, n(%)
Tidak ada tindakan 56 (56) 75 (60)
Bedah 9 (9) 17 (13,6)
Non Bedah 35 (35) 33 (26,4)
Skor APACHE II, median (min-max) 13 (5-27) 12 (5-27)
Kadar Albuminc, mean (SD) 3,08 (0,71) 2,96 (0,67)
IMTd, n(%)
<18,5 14 (14) 19(15,2)
18,5-22,9 21 (21) 23(18,4)
>23 35 (35) 29 (23,2)
biaya total. Pada gambar 5.2 dapat dilihat penggunaan jaminan kesehatan pada kedua
era sistem pembiayaan. Pada era JKN, semua subjek menggunakan JKN, tidak ada
yang menggunaan pembiayaan sendiri. Pada era Non JKN ada 8,4% subjek yang
menggunakan biaya sendiri.
120
100
100
80
60
42.1 41.1
40
20
6.3 8.4
2.1
0
Era pra JKN Era JKN
rerata biaya total era JKN – rerata biaya total era non JKN
ICER =
Kesintasan 30 hari era JKN – Kesintasan 30 hari era non JKN
(+)1.462.880
Didapatkan hasil ICER =
(-) 0,012
ICER Biaya-mortalitas
Dari gambar 5.4 dapat dilihat letak titik ICER di kuadran kiri atas. Ini menunjukkan
dengan menginvestasi biaya sebesar 1,46 juta rupiah terjadi kehilangan kesintasan 30
hari sebesar 1,2%.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terkumpul sebanyak 225 subjek, dengan distribusi 100 subjek
pada era non JKN dan 125 subjek pada era JKN. Jumlah subjek yang terkumpul telah
memenuhi perhitungan besar sampel, namun jumlah subjek pada kelompok yang
diteliti (JKN) lebih besar dibanding kelompok kontrol. Dalam melakukan analisis
membandingkan dua kelompok, secara statistik idealnya perbandingan jumlah
kelompok kontrol dan yang diteliti adalah 1:1, lebih baik bila kelompok kontrol lebih
banyak, mencapai perbandingan 2:1. Pada penelitian ini jumlah sampel kontrol lebih
sedikit dari yang diteliti, dengan perbandingan 0,8:1. Hal ini perlu dipertimbangkan
dalam menginterpretasi hasil penelitian.
Pada pengumpulan sampel penelitian ini, dilakukan eksklusi pada subjek yang
tidak memenuhi kriteria eksklusi. Terdapat 94 subjek yang dieksklusi, 45 pada era
JKN dan 49 pada era non JKN. Eksklusi ini cukup banyak, dan menyebabkan missing
data (data yang hilang) sebesar 29,4% dari total subjek. Hal ini dapat mempengaruhi
validitas penelitian ini. Hal ini akan dibahas di subbab selanjutnya.
Kelompok usia terbanyak pada sampel yang didapat adalah pada kelompok
usia 60-69 tahun (tabel 5.1). Median usia antara kedua kelompok JKN dan non JKN
47
relatif sama, yaitu 68 -70 tahun dengan rentang usia 60-86 tahun. Kelompok umur
yang mendominasi adalah pada kelompok usia 60-79 tahun, sebesar 92% dari sampel.
Hasil pada penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Soejono 5,
yang mendapatkan kelompok usia terbanyak pada populasi geriatri yang menerima
P3G di ruang rawat geriatri adalah pada kelompok 60-79 tahun, mencapai kurang
lebih 88%. Buurman dkk43, lewat suatu penelitian yang dilakukan terhadap 639
subjek berusia diatas 65 tahun yang menjalani perawatan di Belanda, mendapatkan
rerata usia pasien 78 tahun. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan selain dari
perbedaan angka harapan hidup negara-negara Eropa dengan Asia, juga dikarenakan
perbedaan kriteria usia subjek yang dikategorikan sebagai populasi geriatri (>65
tahun) sehingga lebih banyak terkumpul subjek dengan sebaran usia yang lebih
lanjut. Studi yang dilakukan oleh Chan dkk 42 di Cina mendapatkan rerata usia
populasi geriatri yang diteliti berkisar antara 80-82 tahun. Perbedaan ini selain
dikarenakan oleh kriteria usia geriatri yang digunakan berbeda (>65 tahun), juga bisa
diakibatkan perbedaan lokasi pengambilan sampel, dimana Chan dkk 42
mengumpulkan sampel dari komunitas dan panti jompo. Perbedaan lokasi ini menjadi
penting mengingat populasi lansia yang menempati panti jompo biasanya adalah
populasi dengan usia yang lebih lanjut yang memiliki tingkat kemandirian yang lebih
rendah. Soejono5 dan Buurman43 mengumpulkan sampel dari ruang perawatan di
rumah sakit, serupa dengan lokasi pengumpulan sampel penelitian ini.
Kedua kelompok, JKN dan non JKN, memiliki dominasi sebaran subjek
dengan status gizi yang baik atau lebih. Hanya sebagian kecil pada kelompok JKN
dan non JKN (15,2% dan 14%) yang memiliki gizi kurang. Hasil ini sesuai dengan
studi yang dilakukan oleh Soejono 5, dimana mayoritas subjek memiliki gizi yang baik
dengan rerata IMT 18,24. Chan dkk42 juga memperoleh nilai rerata IMT yang
dikategorikan sebagai gizi baik pada dua kelompok populasi geriatri yang diteliti,
yaitu berkisar 21,9-22,5.
Data demografis lainnya pada penelitian ini adalah suku, agama dan
pendidikan. Proporsi data demografis tersebut tidak berbeda diantara kedua kelompok
pada penelitian ini. Proporsi demografis ini sebanding dengan data demografis
populasi usia lanjut di Indonesia terutama yang berdomisili di pulau Jawa yang
didapat dari BAPPENAS 2013.6
Dari tabel 5.1 dapat dilihat sebaran karakterisitk demografis antara kelompok
JKN dan non JKN relatif sama, sehingga secara demografis dapat disimpulkan kedua
kelompok yang diteliti memiliki distribusi subjek yang serupa.
Karakteristik klinis yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah karakteristik medis
pasien yang terkait dengan mortalitas, yaitu keluhan utama saat masuk, diagnosis,
jumlah tindakan medis saat perawatan, skor APACHE dan kadar albumin serum.
Gambaran penyakit yang mendominasi pada subjek penelitian ini serupa
dengan penelitian sebelumnya oleh Soejono5, yaitu pneumonia dan sindrom delirium
akut. Pada penelitian ini, pneumonia dan sindrom delirium akut merupakan diagnosis
pada 68% dan 37% subjek, dengan distribusi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok
JKN. Penting diperhatikan di sini bahwa pada analisis data yang hilang, menunjukkan
subjek dengan diagnosis sindrom delirium akut lebih banyak dieksklusi pada
kelompok non JKN dibanding JKN sehingga dapat mempengaruhi hasil sebaran
diagnosis pada subjek yang diteliti ini. Soejono dkk,5 pada tahun 2007, menemukan
kondisi pneumonia dan sindrom delirium akut sebanyak 42,06% dan 38,79%, sebagai
dua penyakit terbanyak. Perbedaan proporsi subjek yang memiliki pneumonia dengan
studi ini menunjukkan betapa pentingnya pneumonia sebagai penyakit utama yang
menyebabkan pasien membutuhkan perawatan, dengan prevalensi yang makin
meningkat. Pada populasi geriatri di komunitas, laporan Riskesdas tahun 2013 43
menunjukkan prevalensi pneumonia semakin naik seiring usia, mencapai 7,8% pada
populasi usia lanjut diatas 75 tahun. Penelitian oleh Buurman dkk 43 di Belanda
mendapatkan pula penyakit terbanyak adalah pneumonia, menunjukkan masalah
pneumonia merupakan masalah global yang terdapat pula di negara berkembang, dan
bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia, yang oleh PBB diklasifikasikan
sebagai less developed country.2 Adanya variasi lingkungan sosial dan ekonomi dari
kedua profil negara tersebut, dimana pneumonia tetap menjadi penyebab utama
perawatan pasien geriatri semakin menekankan peran penting faktor host dalam
patogenesis terjadinya suatu penyakit. Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan
fisiologis pada seperti imunosenescence dan homeostenosis yang membuatnya rentan
terkena infeksi.5 Ciri khas geriatri ini membuatnya rentan mengalami penurunan
fungsi selama perawatan dan mempengaruhi morbiditaas dan mortalitas selama
perawatan.45
Dari tabel 5.2 dapat dilihat beberapa geriatric giants yang teridentifikasi saat
subjek masuk perawatan. Geriatric giants yang terbanyak ditemukan adalah
imobilisasi, sindrom delirium akut dan instabilitas dengan riwayat jatuh, dengan
proporsi yang relatif sama pada era non JKN dan JKN. Imobilisasi ditemukan pada
54% dan 49,6% subjek pada era non JKN dan JKN. Temuan ini serupa dengan yang
studi oleh Burmann43, dimana imobilisasi merupakan geriatric giants yang terbanyak
ditemukan, sebesar 58,5%. Hal ini dapat dimengerti karena geriatric giants sendiri
merupakan morbiditas yang timbul terkait proses penuaan, sehingga tidak berbeda
walaupun berada di lingkungan yang berbeda.
dengan nilai minimum dan maximum yang sama pada kedua kelompok. Nilai ini
lebih tinggi dari nilai yang diperoleh Soejono 5, yaitu 8,25. Perbedaan dari skor
APACHE II sangat mungkin terkait lebih tingginya prevalensi pneumonia yang
ditemukan pada penelitian ini, mengingat beberapa parameter klinis dan laboratorium
di dalam skor APACHE II sangat terkait dengan ada tidaknya infeksi.
Salah satu parameter klinis keberhasilan suatu layanan kesehatan di rumah sakit
adalah rendahnya angka mortalitas atau tingginya kesintasan pasien, selain rendahnya
lama rawat, bertambahnya kualitas hidup, rendahnya angka rehospitalisasi dan status
fungsional. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara angka
kematian saat perawatan ( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari ( 66,4%
vs 65,2 %, p = 0.086) pada kelompok JKN dan non JKN. Penelitian sebelumnya oleh
Soejono5 dilakukan terhadap pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri pada tahun
2007, menunjukkan angka kesintasan pasien yang menerima P3G sebesar 80,4% atau
angka mortalitas sebesar 19,6%. Perbedaan angka mortalitas penelitian ini dengan
penelitian Soejono5 dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, subjek pada
penelitian ini memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan
penelitian sebelumnya oleh Soejono 5. Rerata skor APACHE pada penelitian ini lebih
tinggi bila dibandingkan pada penelitian Soejono5, yang menandakan lebih beratnya
beban penyakit yang diderita dan lebih buruknya prediktor mortalitas. Jumlah subjek
yang dirawat dengan masalah utama pneumonia juga lebih banyak ditemukan pada
studi ini (68%) dengan kurang lebih 14% subjek pada kedua kelompok memiliki gizi
buruk. Karakteristik ini menunjukkan lebih beratnya kondisi penyakit subjek pada
penelitian ini dengan faktor resiko mortalitas yang lebih tinggi. Penelitian oleh Calle
dkk46 pada pasien geriatri dengan pneumonia komunitas mendapatkan angka
mortalitas sebesar 24,2%, suatu nilai yang tidak terlalu berbeda dengan angka
mortalitas pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan besarnya peran pneumonia
sebagai prediktor mortalitas pasien geriatri yang dirawat inap.
Kedua, implementasi JKN masih dalam tahap awal dan sampai penelitian ini
selesai dilaksanakan, belum mencapai 1 tahun pelaksanaan. JKN baru mulai
diimplementasikan pada 1 Januari 2014 dengan tujuan tercapainya program yang
diharapkan pada tahun 2019. Saat awal diimplementasikan terdapat banyak
perubahan yang terjadi pada layanan kesehatan di Indonesia pada umumnya, yang
secara khusus dibahas saat ini adalah perubahan pada RSCM. Perubahan-perubahan
akibat JKN tersebut terutama dirasakan dari segi non medis, bukan pada segi medis.
Hal ini karena tidak ada perubahan pada standar operasional (Standard of Procedure)
berbagai tindakan medis, clinical pathway yang digunakan serta assesment medis
yang dilakukan antara era JKN dan pra JKN.
Beberapa perubahan yang terjadi pada era JKN tidak bisa dielaborasi
seluruhnya pada tulisan ini, namun akan dipaparkan perubahan-perubahan yang
dinilai penting dan mempengaruhi kesintasan. Identifikasi perubahan-perubahan ini
didapat dari data kualitatif di lapangan. Belum ada penelitian kuantitatif mengenai hal
ini, karena penelitian ini adalah penelitian pertama yang secara kuantitatif melihat
efek dari penerapan JKN. Perubahan yang nyata terlihat adalah mengenai
ketersediaan obat, alat atau bahan medis. Tidak tersedianya obat dan peralatan medis
dapat mengakibatkan keterlambatan diagnostik dan tatalaksana , yang pada akhirnya
bisa mempengaruhi mortalitas. Ketidaktersediaan obat, alat dan bahan medis ini
terkait dengan dikeluarkannya formularium nasional. Penyedia obat dan alat medis
yang terdaftar di dalam formularium nasional diharuskan untuk memasok seluruh
rumah sakit di Indonesia yang terdaftar dalam program JKN. Perubahan supply dan
demand ini dapat menjadi penyebab sering tidak tersedianya persediaan obat dari
pemasok.
65,8% (p=0,769). Kelompok JKN tetap memiliki angka mortalitas absolut yang lebih
besar dibanding non JKN sebesar 2,4% dan kesintasan lebih rendah 2,3% namun
tidak bermakna secara statistik.
Selain biaya material, komponen biaya yang juga perlu untuk diperhatikan
adalah biaya sarana. Contoh biaya sarana yang dimaksud adalah tindakan bedah,
intervensi non bedah, hemodialisis, dan transfusi. Dari biaya total perawatan terdapat
tiga pasien yang masuk dalam outliers, karena memiliki biaya total rawat >100 juta.
Pada pengamatan lebih lanjut untuk menelaah penyebabnya, subjek dengan biaya
tertinggi (mencapai 140 juta) merupakan subjek dengan lama rawat terlama dan
selama perawatan menjalani dua kali tindakan bedah. Subjek kedua merupakan
pasien yang menjalani hemodialisa dan transfusi produk darah berulang, yang
menjelaskan biaya rawat yang besar. Subjek yang ketiga merupakan pasien dengan
comorbiditas yang banyak, yang selama perawatan menjalani prosedur non bedah
berulang dengan antibiotik jangka panjang. Prosedur atau tindakan medis, baik bedah
maupun non bedah merupakan salah satu faktor penting yang menentukan besarnya
biaya rawat. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama perawatan (56%
pada non JKN dan 60% pada JKN).
Pada kelompok non JKN terdapat 8 persen subjek yang dirawat tanpa
menggunakan jaminan kesehatan (biaya umum). Ini merupakan salah satu alasan
utama diterapkannya JKN, untuk mencapai universal coverage yaitu tiap penduduk
tanpa terkecuali memiliki jaminan kesehatan. Pada penelitian ini, dapat dilihat 100
persen subjek pada era JKN yang menjalani perawatan menggunakan JKN, tidak ada
yang menggunakan biaya sendiri. Meskipun penerapan JKN belum lama terlaksana,
namun sudah terlihat keberhasilan dari segi tujuan universal coverage tersebut.
Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, salah satu dampak
penerapan JKN adalah penyedia obat dan alat medis yang terdaftar dalam
formularium nasional diberi kepercayaan memasok obat dan alat medis ke seluruh
rumah sakit di Indonesia yang tergabung dalam program JKN. Hal ini dapat
menyebabkan beberapa perubahan dalam perusahaan-perusahaan terkait, dan salah
satu perubahan yang terjadi adalah penyesuaian harga obat. Namun mengingat era
JKN terletak di masa yang berbeda dengan era non JKN, perubahan tarif ini juga
dapat disebabkan akibat perubahan pada situasi perekonomian Indonesia, dan bukan
akibat penerapan JKN itu sendiri. Sulit untuk mengidentifikasi faktor mana yang
menyebabkan peningkatan tarif ini, karena penentuan tarif ditentukan dari berbagai
macam faktor yang berada di luar cakupan penelitian ini. Hal ini perlu
dipertimbangkan dalam menginterpretasi hasil penelitian ini yang menunjukkan biaya
rawat pada era JKN lebih besar dibanding pada era pra JKN.
biaya perawatan secara langsung lewat peningkatan biaya ruangan, biaya material
dan sarana.
Pada studi ini, terdapat 10 subjek yang memiliki biaya rawat besar, yang
menjadikan mereka outlier dalam variabel biaya. Dari 10 subjek tersebut, yang
memiliki biaya terbesar adalah subjek pada kelompok JKN, yaitu sebesar 140 juta.
Rentang biaya pada 10 subjek tersebut berkisar dari 70 juta-140 juta, sedangkan
subjek lainnya biaya perawatannya seluruhnya dibawah 65 juta. Saat dilakukan sub
group analysis pada ke 10 subjek tersebut, didapatkan bahwa semuanya memiliki
diagnosis sepsis atau pneumonia, dengan lama rawat >30 hari. Hal ini menunjukkan
adanya pengaruh yang nyata dari infeksi dan lama rawat terhadap biaya perawatan.
Dari 10 subjek tersebut, hanya ada satu subjek dengan karakteristik yang
berbeda dengan lainnya. Subjek tersebut menjalani perawatan <30 hari dan tidak
mengalami infeksi. Namun subjek tersebut dirawat dengan penyakit dasar
pansitopeni, yang menyebabkan selama perawatan dilakukan transfusi produk darah
berulang. Transfusi produk darah, termasuk albumin, merupakan komponen penting
yang mempengaruhi pembiayaan, karena besarnya biaya penyediaan produk darah
tersebut. Analisis terhadap biaya dengan menyingkirkan 10 outlier tersebut tidak
menunjukkan perbedaan hasil yang bermakna.
Analisis efektivitas biaya merupakan salah satu analisis ekonomi kesehatan yang
dilakukan dengan tujuan memperoleh hubungan antara variabel luaran suatu
intervensi atau program baru dengan biaya terkait. Hasil dinyatakan sebagai satuan
biaya per satuan efek yang terjadi. Analisis efektivitas biaya makin sering digunakan
saat ini pada studi intervensi kesehatan. 37
Pada penelitian ini dihitung hubungan antara variabel biaya rawat dan
kesintasan 30 hari antara kedua kelompok. Pada perhitungan ICER, dapat dilihat
posisi JKN berada di kuadran kiri atas. Hal ini berarti investor perlu menginvestasi
biaya sebesar 1,4 juta untuk memperoleh penurunan kesintasan sebesar 1,2%.
Kelebihan penelitian ini adalah bahwa ini merupakan penelitian pertama yang
membandingkan pengaruh penerapan sistem pembiayaan JKN terhadap luaran
tertentu. Penelitian ini merupakan suatu bentuk evaluasi awal terhadap program
pembiayaan nasional yang diimplementasikan pemerintah Indonesia, sehingga data-
data yang diperoleh dapat membantu dalam penentuan kebijakan selanjutnya.
Meskipun demikian, penelitian ini belum dapat dinilai sebagai suatu bentuk evaluasi
program yang sudah komplit.
Sistem INA CBGs terakhir yang diadopsi sebagai dasar klasifikasi dan
pembiayaan program JKN merupakan suatu sistem yang disusun berdasar penelitian
observasi selama setahun (2013-2014) terhadap bermacam-macam pembiayaan dan
kriteria diagnosis di Indonesia. Seyogyanya evaluasi terhadap program ini dilakukan
juga dengan interval satu tahun semenjak program ini dilaksanakan. Hasil yang
diperoleh tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai evaluasi akhir dari efek JKN
terhadap mortalitas pasien geriatri. Perlu dipertimbangkan adanya waktu transisi dari
era non JKN ke era JKN, dimana sangat rentan terjadi analisis terhadap era transisi,
dan bukan era murni dimana telah terimplementasi sistem JKN sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam peta jalan jaminan kesehatan nasional disebutkan bahwa
implementasi JKN sendiri dimulai tanggal 1 Januari 2014, dan akan terus
dikembangkan sampai tahun 2019, dimana diharapkan telah terimplementasi dalam
jangka waktu lebih panjang. Meskipun demikian, penelitian ini dapat dipandang
sebagai suatu penelitian pendahuluan sebagai dasar dalam mengembangkan
penelitian evaluasi program ke depannya.
Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dilakukan klasifikasi lanjut dari
diagnosis. Sebagai contoh diagnosis pneumonia, dapat diklasifikasikan lebih lanjut
menjadi pneumonia komunitas, atau yang hospital associated pneumonia, atau
klasifikasi lanjut dari sepsis seperti sepsis berat atau syok sepsis. Diagnosis seperti
pneumonia dan sepsis memiliki implikasi besar terhadap lama rawat, mortalitas dan
biaya. Klasifikasi yang lebih tajam dapat membantu melihat sebaran karakteristik
klinis yang lebih mendetail, sehingga membantu interpretasi data penelitian.
Kelemahan ini sebenarnya tidak lepas dari desain penelitian ini, yaitu kohort
retrospektif, dimana peneliti tidak dapat mengontrol data yang dikumpulkan seperti
pada penelitian prospektif. Data yang didapat adalah dari rekam medis dan catatan
elektronik rumah sakit (electronic health record), sehingga bila ada data yang tidak
ada, tidak tepat atau tidak sesuai dengan keperluan penelitian maka tidak dapat
digunakan. Pada penelitian ini terdapat kurang lebih 25% dari populasi terjangkau
yang tidak diikutsertakan dalam penelitian karena rekam medis tidak ditemukan.
Terdapat kemungkinan hasil penelitian ini tidak dapat sepenuhnya mewakili populasi
yang dituju, dan perlu menjadi perhatian sebelum menginterpolasikan data yang
diperoleh ini.
Untuk validitas eksterna I, dilihat apakah subjek yang direkrut sesuai dengan
kriteria pemilihan (intended sample) pada penelitian ini dapat mewakili populasi
7.1 Simpulan
1. Tidak ada perbedaan antara kesintasan pasien yang dirawat dengan metode P3G
di ruang rawat geriatri akut RSCM pada era non JKN dengan era JKN.
7.2 Saran
2. Ada keterkaitan erat antara biaya dan kualitas layanan kesehatan sehingga
disarankan untuk penelitian selanjutnya yang berbasis kesehatan baik segi
etiologi, diagnostik, terapi dan prognostik sebaiknya menyertakan analisis
ekonomi kesehatan.
63
Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era
JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Sebagian besar
subjek pada kedua kelompok berjenis kelamin perempuan, berada pada kelompok
usia 60-79 tahun, bersuku Jawa, dan tidak bersekolah. Terdapat kesetaraan
karakteristik demografis pada kedua kelompok. Subjek pada kelompok JKN memiliki
proporsi penyakit pneumonia, sepsis dan sindrom delirium akut yang lebih tinggi,
serta nilai albumin dan status gizi yang lebih rendah dibandingkan kelompok non
JKN, namun tidak bermakna secara statistik. Tidak ada perbedaan mortalitas selama
perawatan( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN
64
dan non JKN ( 66,4% vs 65,2 %, p = 0.086). Kurva kesintasan 30 hari antara kedua
kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (log rank = 0,831). Hasil
perhitungan ICER menunjukkan dengan investasi biaya sebesar 1,4 juta diperoleh
penurunan kesintasan sebesar 1,2%.
Dari penelitian ini disimpulkan tidak ada perbedaan kesintasan antara pasien
geriatri yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER
menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan
pada penerapan JKN, namun interpretasi hasil ini perlu mempertimbangkan
implentasi JKN yang masih dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat
implementasi JKN telah berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang.
This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject were
geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to
Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis and
determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to compare
the survival and cost effectiveness between the two group.
The result are as follows. A total of 225 subject was recruited, 100 in NHIP
era dan 125 in non NHIP era. Most of the subjects in both groups are women, in the
61-80 group of age, and didn’t attend school. The clinical and demographics
characteristics were relatively similar between the NHIP and non NHIP group. The
subject in NHIP group had higher proportion of pneumonia, sepsis, acute confusional
state and lower albumin and nutritional level compared with non NHIP group, though
not statistically significant. No difference in 30 day mortaliy rate and inhospital
mortality were found between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 29%, p = 0,721
and 31,2% vs 28%, p=0,602, respectively). No significant difference was found when
comparing the survival curve between the two group (log rank = 0,831). Calculation
of ICER shows that NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah
and 1,2 % survival lost.
66
Based on this study, we can conclude that NHIP had no impact on survival in
geriatric inpatients. ICER calculation shows NHIP implementation is associated with
higher investment cost to yield lower survival rate. Further research is needed to
evaluate this result when NHIP had been implemented for a longer duration.
68
11. DeFrances CJ, Lucas CA, Buie VC, Golosinskiy A. National Hospital Discharge
Survey. Natl Health Stat Report. 2008 Jul 30;(5):1-20.
12. Inouye SK, Zhang Y, Han L, Leo-Summers L, Jones R. Recoverable cognitive
dysfunction at hospital admission in older persons during acute illness. J Gen
Intern Med. 2006;21:1276–81.
13. Boyd CM, Landefeld CS, Counsell SR, Palmer RM, Fortinsky RH. Recovery of
activities of daily living in older adults after hospitalization for acute medical
illness. J Am Geriatr Soc. 2008;56:2171-9.
14. Lee SJ, Lindquist K, Segal MR, Covinsky KE. Development and validation of a
prognostic index for 4-year mortality in older adults. JAMA. 2006;295:801-8.
15. Rikkert O, Rigaud, Hoeyweghen, de Graaf. Geriatric syndromes: medical
misnomer or progress in geriatrics. Neth J Med. 2003;61(3):83-7.
16. Wang SY, Shamliyan TA, Talley KM, Ramakrishnan R, Kane RL. Not just
specific diseases: systematic review of the association of geriatric syndromes with
hospitalization ornursing home admission. Arch Gerontol Geriatr. 2013;57(1):16-
26.
17. Inouye SK, Tinneti ME, Gill TM, Doucette J. Shared risk factor for falls,
incontinence, and functional dependence. Unifying the approach to geriatric
syndromes. JAMA 1995;3(273(17)):1348-53.
18. Kane RL, Shamliyan, T., Talley, K. and Pacala, J. The Association Between
Geriatric Syndromes and Survival. J Am Geriatr Soc. 2012;60:896–904.
19. Wood R, Bain S. The Health and Well-being of Older People in Scotland:
Insights from National Data. Edinburgh: Information and Statistics Division;
2001.
20. Harris T, Kovar MG, Suzman R, Kleinman JC, Feldman JJ. Longitudinal study of
physical ability in the oldest-old. Am J Public Health. 1989;79(6):698–702.
21. Rubenstein LZ, Josephson KR, Wieland GD. Effectiveness of a geriatric
evaluation unit : A randomized clinical trial. N Engl J Med. 1984;311(26):1664–
70.
34. Madden R, Marshall R, Race S. ICGF and casemix models for healthcare
funding: use of the WHO family of classifications to improve casemix. Disability
& Rehabilitation. 2013;2013(13):1074-7.
35. Drummond MF. Methods for the evaluation of health care programmes. 3rd ed.
Oxford: Oxford Medical Publications; 2005.
36. Polinder S, Toet, H, Panneman M, Van beeck, editors. Methodological approach
for cost effectiveness and cost-utility analysis of injury prevention measure. 2011.
World Health Organization Regional Office For Europe.
37. Edejer TT. Making choices in health: the WHO guide to cost–effectiveness
analysis. 2003. Diunduh 1 April 2014 dari
www.who.int/choice/publications/p_2003_generalised_cea.pdf
38. Gold MR. Cost–effectiveness in health and medicine. New York: Oxford
University Press; 1996.
39. National Institute for Health and Clinical Excellence. Guide to the methods of
technology appraisal [Internet]. Diunduh dari www.nice.org.uk/ media/ B52/ A7/
TAMethodsGuideUpdatedJune2008.pdf pada 11 Mei 2014
40. Drummond MF, Jefferson TO. Guidelines for authorsand peer reviewers of
economic submissions to the BMJ. BMJ 1996;313: 275–283.
41. Ferrucci L, Weilan D. Multidimensional Geriatric Assessment: back to the future.
J Gerontol A BiolSci Med Sci. 2008;63:272-4.
42. Epriliawati M. Uji validasi Pneumonia severity index (PSI) dan curb-65 dalam
memprediksi mortalitas pada pasien usia lanjut dengan Pneumonia komunitas.
Perpustakaan FKUI; 2011.
43. Chan TC, Luk JH, Chu LW, Chan FH. Validation study of Charlson Comorbidity
Index in predicting mortality in Chinese older adults. Geriatr Gerontol Int 2014;
14: 452–457.
44. Buurman B, Hoogerduijn JG, de Haan R, Abu-Hanna A, Lagaay AM, Verhaar
HJ, et al. Geriatric Conditions in Acutely Hospitalized Older Patients: Prevalence
and One-Year Survival and Functional Decline. PLoS ONE 6(11): e26951.
doi:10.1371/journal.pone.0026951.
45. Riset kesehatan dasar: RISKESDAS 2013. In: Kesehatan BPdP, editor:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.
46. Taffet GE, editor. Physiology of Aging. 4 ed. New York: Springer, 2003;2:20-38.
47. Calle A, Márquez MA, Arellano M, Pérez LM, Pi-Figueras M, Miralles R.
Geriatric Assessment and Prognostic Factors of Mortality in Very Elderly Patients
With Community-Acquired Pneumonia . Arch Bronconeumol. 2014;50(10):429–
434.
48. Zekry D, Valle BH, Graf G, Michel JP, Gold G, Krause KH et al. Prospective
Comparison of Comorbidity Indices as Predictors of 1-Year Post-Hospital
Discharge Institutionalization, Readmission, and Mortality in Elderly Individuals.
J Biomed Inform. Jun 2013; 46(3):410-424
49. Dias A, Teixeira-Lopes F, Miranda A, Alves M, Narciso M, Mieiro L, et al..
Comorbidity burden assessment in older people admitted to a Portuguese
University Hospital. Aging Clin Exp Res DOI 10.1007/s40520-014-0280-5
50. Chan TC, Luk JH, Chu LW, Chan FH. Association between body mass index and
cause-specific mortality as well as hospitalization in frail Chinese older adults.
Geriatr Gerontol Int. 2014 Jan 12. doi: 10.1111/ggi.12230. [Epub ahead of print]
51. Ellis G, Whitehead MA, Robinson D, O'Neill D, Langhorne P. Comprehensive
geriatric assessment for older adults admitted to hospital: meta-analysis of
randomised controlled trials. BMJ 2011;343:d6553.
52. Badan Pusat Statistik. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita
Resmi Statistik No. 10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014. Diunduh pada 3 Januari
2015
73