Anda di halaman 1dari 92

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN KESINTASAN, DAN EFEKTIVITAS BIAYA


PASIEN GERIATRI DI RUANG RAWAT INAP AKUT RSCM
PADA ERA SEBELUM DAN SELAMA JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL

TESIS

PASKALIS GUNAWAN
NPM 1006766895

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JANUARI 2015

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN KESINTASAN, DAN EFEKTIVITAS BIAYA


PASIEN GERIATRI DI RUANG RAWAT INAP AKUT RSCM
PADA ERA SEBELUM DAN SELAMA JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Spesialis-1
Ilmu Penyakit Dalam

PASKALIS GUNAWAN
NPM 1006766895

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JANUARI 2015

ii
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


iii
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


iv
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


v
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


vi
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penelitian ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis-1 dalam bidang Ilmu
Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :

 Dr.dr. Ratna Sitompul, SpM (K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia saat ini yang telah memberikan kesempatan kepada saya
untuk menjalani proses pendidikan di fakultas yang beliau pimpin.
 Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, K-EMD sebagai Kepala Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSCM sebagai Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam
atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mendapatkan pendidikan
di Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
 dr. Aida Lydia, PhD. SpPD, K-GH sebagai Ketua Program Pendidikan Profesi
Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam yang telah banyak memberi kesempatan,
petunjuk dan saran selama pendidikan.
 Dr.dr. Aru W. Sudoyo. SpPD, K-HOM sebagai Ketua Program Pendidikan
Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam terdahulu yang telah
memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta didik di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSCM.
 dr. Arya Govinda R, SpPD,K-Ger sebagai ketua divisi Geriatri yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian di divisi
Geriatri
 Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger sebagai pembimbing
penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
 Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD, K-Ger, MSc sebagai pembimbing
penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
 Siti Rizny F. Saldi Apt MSc sebagai pembimbing Metodologi Penelitian dan
Statistik atas segala bimbingannya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian
ini.
 Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D, SpPD, K-GH dan dr. Cosphiadi
Irawan, SpPD, K-HOM sebagai pembimbing akademis atas segala
bimbingannya.

vii
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


 Seluruh guru besar dan staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI /
RSCM yang telah membimbing dan mendidik saya selama pendidikan Ilmu
Penyakit Dalam.
 Para sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 di Departemen Ilmu
penyakit Dalam FKUI / RSCM, khusunya teman-teman seangkatan dr. Arshita,
dr. M. Ikhsan, dr. Hari, dr. Ika F, dr. Deka, dr. Resultanti, dr. Yusuf Aulia
R, dr. Farid K, dr. Imelda Loho, dr. Ferry Valerian, dr. Dwi Rahayu, dr.
Raden Fidiaji, dr.M. Adli, dr. Diah Martina, dr. Fandy Erlangga, dr.
Amanda Trixie, dr. Suzy Maria, semoga kebersamaan dan persaudaraan kita
terus terjalin sehingga kita semua menjadi dokter yang bermanfaat untuk
masyarakat.
 Seluruh staf pendidikan PPDS-1 Ibu Yanti, Pak Heri dan Ibu Aminah yang
telah banyak memberikan bantuan dan kerjasama selama menjalani pendidikan.
 Seluruh staf dan perawat di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di
RSCM, RS. Persahabatan, RSPAD Gatot Subroto, RS. Fatmawati, dan RSU.
Tangerang
 Terima kasih orang tua saya tercinta Ayahanda Hardi Gunawan dan Ibunda
Lenny Winata atas curahan kasih sayang, perhatian, dukungan, bantuan dan
segala pengorbanan yang telah diberikan.
 Kakak-kakak saya tercinta Paulina Novita dan Pricilla Yani serta adik saya
tercinta Patricia Yulita atas segala kasih sayang, bantuan, dukungan, semangat
dan doa yang tidak ternilai selama ini.
 Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada saya selama ini. Semoga Allah SWT memberi
rahmat dan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah diberikan.

Jakarta, 23 Januari 2014

Paskalis Andrew Gunawan

viii
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


ix
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


ABSTRAK

Nama : Paskalis Gunawan


Program studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Judul : Perbandingan kesintasan, dan efektivitas biaya pasien geriatri
di ruang rawat inap akut RSCM pada era sebelum dan selama
Jaminan Kesehatan Nasional
Latar belakang :
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G) telah menjadi standar pelayanan di
RSCM karena terbukti menghasilkan luaran perawatan geriatri yang lebih baik.
Semenjak awal tahun 2014, di Indonesia diberlakukan sistem pembiayaan Jaminan
Kesehatan Nasional. Belum diketahui apa pengaruh penerapan JKN terhadap
kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM.
Tujuan : Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri
pada era JKN dan non JKN yang dirawat di RSCM.
Metode : Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif dengan kontrol
historis. Sampel dikumpulkan dari pasien geriatri yang dirawat di RSCM selama
periode Juli 2013-Juni 2014 yang kemudian dibagi menjadi kelompok JKN dan
kelompok non JKN sebagai kontrol. Akan dinilai perbedaan kesintasan dengan kurva
kesintasan dan efektifitas biaya perawatan dengan menghitung incremental cost
effectiveness ratio (ICER).
Hasil : Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era
JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Tidak ada
perbedaan mortalitas selama perawatan dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN
dan non JKN (31,2% vs 28%, p=0,602 dan 65,2% vs 66,4%, p = 0,086). Kurva
kesintasan 30 hari antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna.
ICER memperlihatkan pada era JKN investasi biaya Rp. 1,4 juta,- terkait dengan
penurunan kesintasan 1,2% dibandingkan kelompok non JKN, namun perbedaan
tersebut tidak bermakna secara klinis dan statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan bermakna angka mortalitas antara pasien geriatri
yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER
menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan
pada penerapan JKN, namun perlu dipertimbangkan implentasi JKN yang masih
dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat implementasi JKN telah
berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang.
Kata kunci : efektifitas biaya, geriatri, JKN, kesintasan, mortalitas

x
Universitas Indonesia

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


ABSTRACT

Name : Paskalis Gunawan


Study Program : Internal medicine
Title : The comparison of survival, and cost effectiveness of
geriatric patients admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital
before and during National Health Insurance Program (NHIP)
implementation
Background : Comprehensive Geriatrics Assesment (CGA) has been proven to
improve the overall outcome of inpatient geriatric patients, and has been implemented
in RSCM as the standard geriatric medical care. Since January 2014, a new insurance
system called National Health Insurance Program (NHIP) was implemented in
Indonesia. It is unclear how NHI will affect survival and cost effectiveness of
geriatric inpatients receiving CGA.
Objectives : To compare the survival and cost effectiveness betewwn NHIP and non
NHIP era in geriatric patients admitted in RSCM.
Method : This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject
were geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli
to Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis
and determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to
compare the survival and cost effectiveness between the two group.
Result : The clinical and demographics characteristics were relatively similar
between the NHIP and non NHIP group. No difference in inhospital mortaliy rate and
30 day survival rate between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 28%, p=0,602,
65,2% vs 66,4%, p = 0,086, respectively). No significant difference was found when
comparing the survival curve between the two group. Calculation of ICER shows that
NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah and 1,2 % higher
mortality rate.
Conclusion: NHIP had no impact on survival in geriatric inpatients. ICER calculation
shows NHIP implementation is associated with higher investment cost to yield lower
survival rate. Further research is needed to evaluate this result when NHIP had been
implemented for a longer duration.
Key words : cost effectiveness, elderly, geriatric, mortality, survival

xi

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................i


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................iv
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................vi
HALAMAN PUBLIKASI ....................................................................... viii
ABSTRAK ..................................................................................................ix
ABSTRACT.................................................................................................x
DAFTAR ISI...............................................................................................xi
DAFTAR TABEL.................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................xiv
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN...................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvii
BAB 1. PENDAHULUAN .........................................................................1
1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................................1
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah ..................................................4
1.3 Pertanyaan Penelitian.......................................................................4
1.4 Hipotesis ..........................................................................................4
1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................4
1.5.1 Tujuan Umum ..................................................................................4
1.5.2 Tujuan Khusus .................................................................................4
1.6 Manfaat Penelitian ...........................................................................5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................6
2.1 Konsep Geriatri ................................................................................6
2.2 Epidemiologi ...................................................................................6
2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants......................................7
2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri..............................................8
2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di Dunia..............................................10
2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups......................11
2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia.....................................13
2.8 Perbedaan Sistem JKN dengan Sistem Sebelumnya......................16
2.9 Ekonomi Kesehatan .......................................................................19
2.10 Telaah Efektivitas Biaya ................................................................23
2.11 Mortalitas Pasien Geriatri ..............................................................25
BAB 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP .............28
3.1 Kerangka Teori ..............................................................................28
3.2 Kerangka Konsep...........................................................................29
3.3 Definisi Operasional ......................................................................29
BAB 4. METODE PENELITIAN .........................................................31
4.1 Desain Penelitian ...........................................................................31
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................31

xii

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


4.3 Populasi dan Sampel Penelitian .....................................................31
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi..........................................................31
4.4.1 Kriteria Inklusi ...............................................................................31
4.4.2 Kriteria Eksklusi.............................................................................32
4.5 Estimasi Besar Sampel...................................................................32
4.6 Identifikasi Variabel Penelitian......................................................32
4.7 Instrumen dan Tatacara Pengumpulan Data ..................................33
4.8 Cara Pengambilan Sampel .............................................................33
4.9 Alur Penelitian ...............................................................................34
4.10 Analisis Data ..................................................................................34
4.11 Masalah Etika.................................................................................35
4.12 Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian ......................................36
BAB 5. HASIL..........................................................................................37
5.1 Karakteristik Subjek.......................................................................38
5.2 Karakteristik Klinis ........................................................................39
5.3 Mortalitas dan Analisis Kesintasan................................................42
5.4 Biaya Rawat ...................................................................................43
5.5 Analisis Efektivitas Biaya..............................................................45
BAB 6. PEMBAHASAN ..........................................................................47
6.1 Proses recriutment sub jek .............................................................47
6.2 Karakteristik Demografis Subjek...................................................47
6.3 Karakteristik Klinis ........................................................................49
6.4 Mortalitas dan Analisis Kesintasan................................................51
6.5 Biaya Rawat ...................................................................................55
6.6 Analisis Efektivitas Biaya..............................................................58
6.7 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian ……………………………59
6.8 Generalisasi Penelitian ...................................................................60
BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN.........................................................63
7.1 Simpulan ........................................................................................63
7.2 Saran ..............................................................................................63
RINGKASAN ...........................................................................................64
SUMMARY ..............................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................68
LAMPIRAN .............................................................................................73

xiii

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bermacam Tipe Analisa Efektivitas Biaya 22


Tabel 3.1 Definisi Operasional 28
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Demografis pada Kelompok
Non JKN dan Kelompok JKN 38
Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Klinis selama Perawatan pada 41
Kelompok Non JKN dan Kelompok JKN
Tabel 5.3 Biaya Perawatan Era Non JKN dan JKN 44

xiv

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


DAFTAR GAMBAR

Gambar3.1 Kerangka Teori 27


Gambar 3.2 Kerangka Konsep 28
Gambar 4.1 Alur Penelitian 35
Gambar 5.1 Bagan Pengambilan Sampel 38
Gambar 5.2 Kurva Kesintasan JKN dan Non JKN 43
Gambar 5.3 Penggunaan Jaminan Kesehatan pada Perawatan 44
Gambar 5.4 Plot Nilai ICER 45

xv

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN

< Lebih Kecil Dari


> Lebih Besar Dari
≤ Lebih Kecil Atau Sama Dengan Dari
≥ Lebih Besar Atau Sama Dengan Dari
↑ Peningkatan
↓ Penurunan
ADL Activity Daily Living
AKN Asuransi Kesehatan Nasional
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ASKES Asuransi Kesehatan
Askeskin Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin
BPJS Badan Pelakasana Jaminan Sosial
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CGA Comprehensive Geriatric Assesment
DALY Daily Adjusted Life Years
DRG Diagnosis Related Group
ICD International Classification of Disease
ICER Incremental Cost Effectiveness Ratio
ICF International Classification of Functioning, disability and health
INA CBGs Indonesia Case Based Groups
Jamkesda Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KEMHAN Kementerian pertahanan
Maks Maksimum
Min Minimum
MMSE Mini Mental State Examination
NHIP National Health Insurance Program

xvi

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


P3G Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri
PBB Perserikatan Bangsa Bangsa
PBI Penerima Bantuan Iuran
PNS Pegawai Nasional swasta
POLRI Polisi Republik Indonesia
PT Perseroan Terbatas
QALY Quality Adjusted Life Years
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUPNCM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo
SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional
TNI Tentara Nasional Indonesia
UNU IIGH United Nation University International Institiute for Global Health
WHO World Health Organization

xvii

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Borang Penelitian


Lampiran 2 Formulir Etik Penelitian

xviii

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.
Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan perubahan proporsi kelompok umur
penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut
disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Diperkirakan pada
tahun 2050 nanti, populasi usia lanjut di Asia akan mencapai 1,2 milyar orang. 1
Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami
peningkatan populasi berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 414% hanya dalam
waktu 35 tahun (1990-2025).2 Peningkatan populasi usia lanjut akan mengakibatkan
dua hal, yaitu makin bertambahnya jumlah pasien geriatri dan terjadinya transisi
epidemiologi penyakit.

Geriatri diartikan sebagai usia lanjut yang memiliki kondisi multipatologi,


tanpa didukung lagi oleh cadangan faali tubuh yang adekuat. 3 Populasi usia ini
merupakan populasi yang rentan, karena adanya suatu stresor akut dapat
menyebabkan usia lanjut langsung jatuh dalam penyakit berat. Hal ini diperberat
dengan sudah terdapatnya disabilitas lain seperti gangguan fungsi kognitif, depresi,
instabilitas, imobilisasi dan inkontinensia. Seorang geriatri biasanya memiliki satu
atau lebih penyakit kronik, yang membutuhkan tatalaksana berkepanjangan dan bisa
memperberat kondisi akut saat perawatan.

Perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia akibat peningkatan


populasi geriatri menyebabkan transisi epidemiologi. Transisi epidemiologi adalah
suatu fenomena bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi
menjadi penyakit-penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, penyakit
jantung koroner.4 Faktor yang turut berperan pada transisi epidemiologi tersebut
adalah keberhasilan secara global dalam penanggulangan dan pencegahan infeksi di

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


2

bawah arahan WHO. Penyakit-penyakit kronik tersebut membutuhkan tatalaksana


yang berkepanjangan, karena tidak bisa sepenuhnya sembuh seperti penyakit infeksi.5
Dengan kata lain, transisi epidemiologi ini secara tak langsung akan menyebabkan
peningkatan biaya kesehatan secara global. 1

Mengingat kompleksnya masalah kesehatan terkait geriatri, diperlukan


pendekatan holistik dan paripurna dalam tatalaksananya. 6 Pendekatan paripurna yang
dimaksud tidaklah semata-mata dari sisi biopsikososial, namun juga harus senantiasa
dari sisi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pendekatan paripurna tersebut
dikenal dengan pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G). Pada penerapannya, P3G
terbukti memberikan luaran yang lebih baik dalam tatalaksana pasien geriatri
dibandingkan sistem konvensional non P3G, dalam hal efektivitas biaya dan
efisiensi.6

Salah satu parameter keberhasilan perawatan pasien geriatri di ruang rawat


inap akut adalah angka mortalitas.6 Mortalitas seseorang dipengaruhi oleh berbagai
faktor, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi faktor host, agent dan
environment.3 Salah satu faktor environment yang menjadi konteks pembahasan
disini adalah kualitas pelayanan kesehatan yang diperoleh, yang sangat erat kaitannya
dengan biaya. Pelayanan kesehatan yang terselenggara dengan efisien dan efektif,
diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas pasien geriatri yang menjalani rawat
inap.

Indonesia merupakan negara berkembang dengan populasi 237 juta, 19 juta


diantaranya termasuk populasi usia lanjut. 7 Seperti halnya di negara-negara
berkembang lain, usia lanjut di Indonesia memiliki tingkat prevalensi penyakit yang
tinggi. Tingginya prevalensi populasi usia lanjut di Indonesia, disertai dengan
tingginya tingkat kesakitan dan biaya kesehatan yang dihabiskan pada populasi ini,
mendorong penentu kebijakan untuk mencari solusi untuk mengupayakan suatu
sistem jaminan kesehatan nasional yang memiliki cakupan luas dan memastikan tiap
penduduknya memperoleh jaminan kesehatan. 8

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


3

Mulai awal tahun 2014, telah diberdayakan suatu sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Salah satu tujuan dibentuknya sistem JKN ini adalah agar kenaikan biaya
kesehatan yang tak terelakkan dapat ditekan, namun disisi lain biaya dan mutu
pelayanan kesehatan dapat tetap dikendalikan. 8

Implikasi sistem JKN ini adalah pada pihak peserta, pelaksana dan fasilitas
pelayanan kesehatan. Pelaksana JKN yang dimaksud adalah BPJS. BPJS Kesehatan
akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu
sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA
CBG’s (Indonesia Case Based Groups) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal
ini berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN),
dimana belum terdapat keseragaman sistem pembayaran, dan sebagian besar
menggunakan sistem Fee For Service atau Cost Based. Dalam pembayaran
menggunakan sistem INA-CBG’s, penggantian biaya kesehatan oleh BPJS kepada
penyedia layanan kesehatan tidak lagi berdasar pada rincian komponen pelayanan
yang diberikan, melainkan hanya pada kelompok diagnosis dan kode CBG (Case
Base Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati
bersama antara penyedia layanan kesehatan dan BPJS, serta bersifat nasional.8

Implementasi JKN terhadap layanan kesehatan diharapkan tidak hanya


sebagai kendali biaya, namun juga kendali mutu. Dengan adanya sistem pembayaran
cost based, diharapkan penyedia layanan kesehatan terdorong untuk mengoptimalkan
layanan kesehatan yang diselenggarakan dari segi pelaksanaan dan kendali biaya,
untuk memperoleh profit. Selain terjadinya kendali mutu, perubahan-perubahan pada
sistem layanan kesehatan di Indonesia yang diharapkan terjadi pada era JKN adalah
terjadi sistem rujukan yang baik dan tercapainya universal coverage, sehingga
mampu meningkatkan tingkat kesehatan Indonesia. 8

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pembiayaan kesehatan erat kaitannya


dengan kualitas pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


4

mortalitas. Sampai dengan saat ini belum ada suatu penelitian yang melihat pengaruh
penerapan sistem pembiayaan JKN di Indonesia terhadap outcome dari layanan
kesehatan. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana dampak sistem
pembiayaan JKN terhadap kesintasan dan efektivitas biaya penerapan P3G pada
pasien geriatri yang menjalani perawatan di ruang rawat di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) bila dibandingkan dengan sistem
pembiayaan kesehatan nasional sebelumnya?

1.2 Identifikasi dan Rumusan masalah

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan tadi, dirumuskan permasalahan


sebagai berikut :

 Jumlah pasien geriatri yang akan terus meningkat akan membawa konsekuensi
meningkatnya penyakit-penyakit kronik degeneratif dan meningkatnya biaya
kesehatan terkait permasalahan geriatri.
 Pembiayaan layanan kesehatan erat kaitannya dengan kualitas layanan kesehatan.
Sampai saat ini belum diketahui dampak dari penerapan sistem pembiayaan JKN
terhadap kesintasan dan efektivitas biaya dari penerapan P3G pada pasien geriatri
yang menjalani rawat inap di ruang rawat geriatri RSCM.

1.3 Pertanyaan penelitian

 Apakah terdapat perbedaan kesintasan antara pasien geriatri yang memperoleh


P3G di ruang rawat pada era JKN dan sebelum JKN?
 Bagaimana efektivitas biaya penerapan pembiayaan JKN pada pasien geriatri
yang mendapat P3G di ruang rawat?

1.4 Hipotesis

 Terdapat perbedaan kesintasan pada pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat
akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


5

 Terdapat perbedaan efektifitas biaya pada pasien geriatri yang dirawat di ruang
rawat akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.

1.5 Tujuan penelitian

1.5.1 Tujuan umum

Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektivitas biaya di ruang rawat inap RSCM
pada era JKN dan era sebelum JKN

1.5.2 Tujuan khusus


 Mengetahui perbandingan kesintasan di ruang rawat inap RSCM pada era JKN
dan era sebelum JKN
 Mengetahui efektivitas biaya pelaksanaan P3G di ruang rawat RSCM pada era
JKN

1.6 Manfaat penelitian

 Manfaat untuk institusi


a. Memberikan kontribusi data baru perihal kesintasan pasien geriatri
b. Dapat menjadi acuan penentuan kebijakan tentang sistem pembiayaan untuk
perawatan pasien geriatri di rumah sakit
 Manfaat untuk klinisi
a. Memberikan data sebagai dasar penelitian selanjutnya
b. Diharapkan dapat menjadi data tambahan untuk pertimbangan para tenaga
medis bahwa keputusan klinis dokter sangat berperan dalam besar-tidaknya
pembiayaan rumah sakit dan pemerintah.
 Manfaat untuk pasien
Terkait dengan penentuan kebijakan nasional, dapat memperoleh layanan
kesehatan yang tepat dan berdaya guna.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Geriatri

Kedokteran geriatri (British Geriatric Society) merupakan cabang kedokteran umum


yang mempelajari aspek klinis, preventif, remedial, dan sosial dari penyakit usia
lanjut.3 Perawatan pasien geriatri merupakan tantangan tersendiri dalam ranah medis,
karena memiliki beberapa karakteristik yang unik. Populasi ini memiliki beberapa
ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan populasi dewasa biasa. Seiring dengan
proses penuaan, terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap penyakit. Pasien geriatri juga biasanya memiliki satu atau
lebih penyakit komorbid dan kronik yang memperberat perubahan fisiologis
tersebut.3 Akibatnya pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi
komplikasi selama penyakit akut. Hal-hal inilah yang membuat perlunya suatu
pendekatan klinis yang tepat dalam menatalaksana pasien-pasien geriatri, terutama
yang menjalani perawatan.

2.2 Epidemiologi

Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.
Perkembangan kelompok populasi ini merupakan yang tercepat bila dibandingkan
dengan yang lain.9 Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan transisi
demografis, yaitu perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan
didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka
fertilitas dan angka kematian. Pada tahun 2025, diperkirakan populasi usia lanjut
(usia lanjut) akan mencapai angka lebih dari 1,2 milyar, 840 juta diantaranya berada
di negara-negara berkembang seperti Indonesia.1

Proses transisi demografis juga sedang terjadi di Indonesia. Proporsi usia


lanjut terus meningkat karena menurunnya laju fertilitas total dan laju kematian bayi.
Jumlah populasi usia lanjut diperkirakan akan meningkat secara bermakna, mencapai

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


7

414% dalam 35 tahun. Pada tahun 2010, jumlah populasi usia lanjut di Indonesia
akan mencapai kurang lebih 19 juta.10 Transisi demografis ini akan berdampak
terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Insiden dari penyakit kronik degeneratif
dan keganasan akan meningkat. Meningkatnya angka kesakitan akan menyebabkan
meningkatnya kebutuhan usia lanjut akan layanan kesehatan.

Sebanyak kurang lebih 10 persen dari populasi usia lanjut dirawat di rumah
sakit tiap tahunnya.10 Kelompok populasi ini ditandai dengan adanya multi morbiditas
yang diartikan sebagai terdapatnya dua atau lebih penyakit kronik penyulit, disabilitas
dan kondisi-kondisi debilitatif lain seperti polifarmasi, gangguan sensorik,
inkontinensia, riwayat jatuh, gangguan kognitif dan berkurangnya partisipasi dalam
aktifitas-aktifitas sosial.9 Hampir semua populasi usia lanjut memiliki lebih dari satu
penyakit kronik.4 Kondisi akut yang menyebabkan butuhnya perawatan inap di rumah
sakit akan diperberat dengan adanya berbagai penyakit kronik tersebut. 11

2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants

Berbagai penyakit kronik yang biasanya menyertai dan memperberat kondisi akut
dari usia lanjut, yang secara langsung maupun tak langsung diakibatkan oleh proses
degeneratif disebut pula sebagai geriatric conditions. Geriatric conditions tidak boleh
dianggap remeh karena kehadirannya mencerminkan berkurangnya kapasitas
fungsional tubuh dan daya cadangan faali tubuh. 12 Kombinasi dari berbagai kondisi
akut dan geriatric’s conditions tersebut merupakan prediktor yang penting terhadap
berkurangnya fungsi kognitif, fungsional dan mortalitas. 13

Istilah sindrom geriatri semakin marak digunakan di panduan klinisi dan


literatur geriatri untuk menekankan kondisi usia lanjut yang unik, yang berbeda
dengan populasi lainnya.14 Istilah ‘‘Giants of Geriatrics’’ diciptakan oleh Bernard
Isaacs untuk menekankan sindrom geriatri terpenting, yaitu empat “I” yaitu
Instabilitas, Imobilitas, gangguan Intelektual dan Inkontinensia. 15 Meskipun
demikian, konsep sindrom geriatri sampai saat ini sulit untuk didefinisikan. Istilah
tersebut lebih menekankan pada suatu kondisi multifaktorial yang terjadi akibat

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


8

akumulasi gangguan-gangguan fungsi tubuh pada berbagai sistem yang


mengakibatkan seorang individu rentan terhadap tantangan medis tertentu. 16 Sindrom
geriatri mempengaruhi kualitas hidup dan disabilitas, dan sangat erat kaitannya
dengan kesintasan. Berbagai intervensi klinis dan model pendekatan geriatri telah
didesain untuk mengatasi permasalah ini. 17

Karakteristik khas pasien geriatri ini didasari oleh konsep alami yang terjadi
seiring bertambahnya usia, yaitu penuaan. Untuk menjelaskan hal ini dikenal suatu
istilah homeostenosis. Homeostenosis didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan
fisiologis untuk menghadapi suatu kondisi akut, disebabkan telah terpakainya
cadangan tersebut untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh sehari-hari.3
Dengan penuaan, kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi
homeostasis setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan
akan menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi
homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada
“precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya. 1 Fisiologi
penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu penyakit atau
kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih. Mereka juga
memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang yang berbeda
dengan usia yang lebih muda. Wang dkk16 dalam suatu telaah sistematis
menunjukkan sindrom geriatri terutama frailty, disabilitas, dan komorbiditas multipel
memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan hospitalisasi pada
pasien lanjut usia.

Keadaan kesehatan usia lanjut yang rumit, kompleks dan menantang ini
membutuhkan suatu pendekatan diagnostik khusus, yang bersifat paripurna dan
mencakup banyak disiplin. Pendekatan tersebut dikenal pula dengan Pendekatan
Paripurna Pasien Geriatri (P3G).

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


9

2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri

Dari tahun ke tahun, terdapat peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dari peningkatan ini, yang menunjukkan laju peningkatan terbesar adalah pada
kelompok usia lanjut.18 Sehubungan dengan makin besarnya tingkat rawat inap pasien
usia lanjut, perhatian terhadap isu ini semakin berkembang. Peningkatan populasi
usia lanjut yang cepat dan penggunaan sarana kesehatan yang tidak proporsional oleh
populasi ini kian hari kian menimbulkan kecemasan terhadap resiko mortalitas,
disabilitas dan efisiensi penggunaan sarana kesehatan. 19 Warren dkk mengamati
bahwa masih terdapat kekurangan dalam evaluasi pasien usia lanjut yang dirawat.
Kekurangan yang dimaksud adalah tidak dievaluasinya berbagai faktor non medis
lain, seperti fungsi sosial dan psikologis yang sebenarnya berperan penting dalam
aspek penyembuhan dan pencegahan penyakit. Inilah yang memicu adanya
pendekatan modern dari evaluasi pasien geriatri, yaitu Pendekatan Paripurna Pasien
Geriatri yang disingkat dengan P3G (Comprehensive Geriatric Assessment/CGA).

Telaah geriatri (geriatric assessment) sebenarnya telah digunakan dalam ilmu


geriatri sejak era 1980.20 Telaah geriatri pada dasarnya bukanlah suatu intervensi,
melainkan suatu sarana untuk mengidentifikasi komponen-komponen apa yang perlu
ditatalaksana. Tujuan telaah geriatri pada populasi geriatri tradisional adalah untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan terkini yang sedang diderita dan untuk
mengarahkan tatalaksana untuk mengurangi efek samping, serta mengoptimalkan
status fungsional dari usia lanjut. 21

Pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G) merupakan suatu pendekatan


multidimensional, interdisiplin, yang bertujuan untuk memahami kondisi medis,
psikososial dan kapasitas fungsional usia lanjut, mengidentifikasi masalah yang ada
dengan tujuan memformulasikan rencana diagnostik, terapi dan follow up
selanjutnya.6 P3G terutama bermanfaat dalam menangani pasien dengan banyak
geriatric conditions, sebab pendekatan medis biasa tidak lagi memadai untuk
mengatasi begitu banyak masalah yang saling terjalin berkait dan mempersulit

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


10

pengobatan. Masalah-masalah yang saling berjalin tersebut akan lebih mudah


dipahami dan diidentifikasi melalu P3G. 6

P3G tidak hanya mengevaluasi kondisi medis umum, namun juga kondisi
fisik, fungsional, medis, psikokognitif dan psikososial. Hal ini terkait dengan konsep
sehat oleh WHO22 dimana kesehatan diartikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan
fisik, mental dan sosial dan bukan hanya berarti tidak terdapatnya penyakit atau
kelemahan (“Health is a state of complete physical, mental and social well-being and
not merely the absence of disease or infirmity”). Tujuan dari pengobatan bukan lagi
hanya menyembuhkan, namun juga mencegah penyakit lain atau komplikasi terkait,
dan mempertahankan kondisi kesehatan pasien. Untuk mencapai hal ini, pendekatan
interdisiplin menjadi sangat penting untuk diimplementasikan, dan bukan pendekatan
multidisiplin.23,5

Mengingat besar dan kompleksnya masalah kesehatan usia lanjut dan dampak
yang ditimbulkan terhadap biaya kesehatan, diperlukan suatu strategi yang tepat guna
untuk mencapai pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik, efektif dan efisien. 6
Dalam menyusun suatu strategi intervensi terhadap suatu masalah kesehatan, metode
yang sebaiknya digunakan adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti dari uji-uji
klinis yang ada, disebut juga dengan literatur berbasis bukti (Evidence-based
literature). Namun masalahnya hanya sedikit sekali uji klinis yang memiliki populasi
usia lanjut didalamnya, dan lebih sedikit lagi yang memperhitungkan faktor biaya,
sehingga metode ini sulit untuk diimplementasikan. Sedikitnya partisipasi populasi
usia lanjut dalam studi-studi dikarenakan populasi usia lanjut adalah populasi yang
rentan, sehingga tidak etis untuk mengikutsertakan populasi usia tersebut dalam suatu
uji klinis yang berpotensi meningkatkan disabilitas dan mortalitasnya. Selain itu
populasi usia lanjut sulit untuk dimasukkan dalam protokol uji klinis yang biasanya
ketat dan memiliki persyaratan banyak, sehingga kalaupun diikutsertakan, sulit untuk
mencapai titik akhir uji klinis. 24 Sehingga dalam memilih suatu strategi intervensi
yang sesuai untuk populasi usia lanjut dalam kaitannya dengan pembiayaan
sebaiknya menggunakan analisis ekonomi kesehatan.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


11

2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di dunia

Perkembangan sistem kesehatan di dunia melahirkan masalah-masalah baru.


Berkembangnya konsep tentang definisi sehat oleh WHO yang tidak hanya
menyangkut penyembuhan penyakit saja serta meluasnya lingkup kesehatan
menyebabkan peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi sehat
tersebut. Sistem pembayaran kesehatan suatu negara akan berperan penting dalam
menentukan kualitas pelayanan kesehatan dan tingkat kesehatan negara terkait. Saat
ini hampir seluruh negara maju di Eropa dan Amerika telah memiliki jaringan
asuransi kesehatan nasional yang mendanai berbagai intervensi kesehatan di berbagai
rumah sakit. Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas
pelayanan kesehatan.26

Pada awal terbentuknya suatu sistem jaminan asuransi kesehatan nasional,


digunakan konsep dasar sistem pembayaran fee for service atau cost based.26 Sistem
ini membayarkan biaya kesehatan seorang individu dengan menghitung besarnya
biaya tiap komponen yang terlibat dalam pelayanan kesehatan individu tersebut.
Dalam perkembangannya, ternyata hal ini membawa pengaruh negatif terhadap
efektivitas biaya layanan kesehatan, karena memacu fasilitas layanan kesehatan
(dalam hal ini rumah sakit) untuk tidak lagi memikirkan perlu atau tepat tidaknya
suatu prosedur atau intervensi kesehatan terhadap pasiennya, melainkan hanya
melihat aspek untung ruginya intervensi tersebut. Tentu saja hal ini menyebabkan
pemberi layanan kesehatan untuk berlomba memberikan intervensi yang belum tentu
tepat dan berdaya guna, sehingga akhirnya dapat merugikan penerima layanan
maupun penyedia dana kesehatan. Selain itu sistem ini dinilai tidak memacu
berkembangnya kualitas dan efektivitas layanan kesehatan, terutama dari segi non
terapeutik, yaitu segi promotif atau preventif.26

Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional (JKN/AKN) pertama kali


dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi
kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Setelah

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


12

itu banyak negara lain menyelenggarakan JKN seperti Kanada (1961), Taiwan
(1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000). Saat ini penetapan pembiayaan
yang dipakai oleh asuransi kesehatan sosial adalah berdasarkan klasifikasi Diagnosis
Related Groups (DRG) atau Case Based Group (CBG).25

2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups

Diagnosis-Related Groups (DRG) merupakan suatu sistem yang mengklasifikasikan


kasus-kasus kesehatan dalam berbagai grup, awalnya sejumlah 467 grup. 27 Sistem ini
pertama kali dikembangkan oleh Robert B Fetter PhD dari Yale School of
Management, dan John D. Thompson, MPH, dari Yale School of Public Health. 27
Sistem pembayaran ini dimaksudkan untuk menggantikan sistem pembayaran "cost
based" yang dinilai tidak efektif.

DRGs didesain berdasarkan ICD (International Classification of Diseases)


diagnosis, prosedur, umur, jenis kelamin, lama rawat, dan ada tidaknya komorbid.
Sistem DRGs telah digunakan di Amerika sejak tahun 1982, dalam sistem kesehatan
nasionalnya yaitu Medicare.28 Setelah itu, DRG merupakan sistem pembayaran yang
banyak di adopsi di berbagai negara industri termasuk Eropa. Eropa menggunakan
sistem klasifikasi pembayaran DRGs agar pembiayaan kesehatan lebih transparan dan
memperbaiki efisiensi. DRG dianggap transparan karena mengelompokkan pasien
dalam angka-angka yang secara ekonomi dan klinis bermakna dan dapat diukur
misalnya prosedur pemasangan dua stent untuk penyumbatan pembuluh darah
koroner secara elektif atau stroke iskemik pasien di atas 60 tahun.

Selain dinilai transparan, sistem DRG diharapkan mampu mengubah sikap


para penyedia layanan kesehatan. Pembatasan sistem “reimbursement” kepada
penyedia layanan kesehatan diharapkan dapat mendorong mereka untuk lebih kreatif,
inovatif dan efisien dalam menjalankan pelayanan kesehatannya. Fasilitas layanan
kesehatan yang dapat tepat memilih pemeriksaan diagnostik dan terapinya dapat
memperoleh laba dari selisih jumlah yang dibayarkan pemerintah dengan biaya yang

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


13

sesungguhnya dikeluarkan dalam menangani pasien dengan penyakit tertentu


tersebut.26

Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRGs sudah menjadi sistem kapitasi
utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara berpenghasilan
tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Tetapi di negara dengan penghasilan
kecil-menengah, sistem berbasis DRGs ini baru saja dikembangkan. Sistem
pembayaran DRGs sering disamakan dengan case-based atau case-mixed based,
tetapi keduanya tidak serupa meski saling bisa tumpang tindih. 29

2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia

Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke
berbagai negara untuk belajar tentang sistem JKN, pada tanggal 28 September 2004,
UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui
Rapat Pleno DPR untuk diundangkan. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Presiden
Megawati mengundangkan UU SJSN dengan upacara khusus yang dihadiri menteri-
menteri terkait dan anggota inti Tim SJSN. Dalam kelanjutannya, terdapat berbagai
benturan dan halangan dalam perwujudannya, dari segi administrasi, keputusan
politik, kesiapan sarana prasarana dan isu sosial politik medis lain, sehingga SJSN
tidak dapat segera terlaksana.25

Indonesia pertama kali diperkenalkan dengan skema community based


insurance pada tahun 2004. Melalui Asuransi Kesehatan Masyarakat miskin
(Askeskin) yang ditargetkan untuk masyarakat tidak mampu, penduduk Indonesia
mampu mendapatkan akses pelayanan yang lebih besar. Pada tahun 2008, Askeskin
berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang melindungi
sekitar 76,4 juta penduduk Indonesia. Saat itu mulai diimplementasikan sistem INA-
DRG. Pada tahun 2010, terjadi perubahan nama dari sistem INA-DRG menjadi INA-
CBG. Sistem yang baru ini dijalankan dengan menggunakan grouper dari United
Nation University Internasional Institute for Global Health(UNU - IIGH). Universal
Grouper artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


14

dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan
sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam
pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.
Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri
dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9
CM). Sistem ini dihitung menggunakan beberapa variabel : diagnosis utama dan
diagnosis sekunder, usia, adanya komorbiditas dan komplikasi dan prosedur
kedokteran yang dilakukan, serta lama rawat. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan
pola pengobatan dan pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi
dianggap serupa. Sistem ini kemudian diimplementasikan oleh Kementerian
Kesehatan Indoensia sampai dengan tahun 2013, dimana tercatat penggunaan sistem
ini dalam klaim Jamkesmas telah terlaksana di 515 RS Swasta dan 747 RS
Pemerintah.30

Pada evaluasinya, terjadi peningkatan budget menjadi tiga kali lipat


dibandingkan awal program yang menyebabkan pengeluaran anggaran untuk
kesehatan membengkak. Muncul pertanyaan yang mendasar terkait ekuitas,
kemampuan bayar, dan kelanggengan program lewat sistem asuransi kesehatan ini.
Pada akhirnya sistem ini menyebabkan banyak inefisiensi karena luasnya geografi
Indonesia, adanya ketimpangan urban-rural, dan ketidakseimbangan antara pasien
yang benar-benar tidak mampu atau pasien yang sebenarnya mampu, sampai
lemahnya pengawasan terhadap kualitas pelayanan melalui sistem ini.31

Sampai dengan akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia yang telah memiliki
Jaminan kesehatan sebanyak 176.844.161 juta jiwa (72%) 7 terdiri dari:31

a) JAMKESMAS : 86.400.000 (36,3 %)


b) JAMKESDA : 45.595.520 (16,79 %)
c) Perusahaan menjaminkan karyawannya sendiri: 16.923.644 (7,12 %)
d) ASKES PNS : 16.548.283 (6,69 %)
e) JPK JAMSOSTEK : 7.026.440 (2,96 %)

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


15

f) Commercial insurance : 2.937.627 (1,2 %)


g) TNI/POLRI/PNS KEMHAN : 1.412.647 (0,59 %)

Setelah rentang waktu kurang lebih 10 tahun sejak diputuskannya Undang-


undang terkait perwujudan SJSN, baru akhirnya pada awal Januari 2014, Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mulai diterapkan di Indonesia. 31 SJSN merupakan
amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu,
sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sistem jaminan kesehatan ini menggantikan
sistem sebelumnya, dimana tiap daerah dan atau BUMN menyelenggarakan sistem
jaminan kesehatan masing-masing sesuai ruang lingkup dan anggotanya. Jaminan
Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan badan
hukum publik milik negara yang bersifat non profit dan bertanggungjawab kepada
Presiden. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan penyatuan dari
beberapa BUMN yang ditunjuk, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT.
Asabri.7 Jaminan kesehatan yang tercakup dalam JKN ini diberikan dalam bentuk
pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan, termasuk obat dan
bahan medis dengan teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care).

Bagi tiap peserta SJSN ini atau lebih lazim disebut dengan JKN, diwajibkan
membayar iuran jaminan kesehatan. Bagi yang mempunyai upah/gaji, besaran iuran
berdasarkan persentase upah/gaji dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi yang
tidak mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan dengan nilai nominal
tertentu, sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran, maka
iurannya dibayari pemerintah. Pembiayaan BPJS diatur dalam APBN 2013.
Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk persiapan pelaksanaan SJSN berupa
penyertaan modal negara, peningkatan kapasitas puskemas dan rumah sakit milik
pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menyediakan anggaran untuk peningkatan
kesadaran masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi,
edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan BPJS. Mulai 2014,

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


16

Pemerintah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan kurang mampu (yang
disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran atau PBI) untuk menjamin keikutsertaan
mereka dalam program ini.7

Masa berlaku JKN ditentukan oleh masih tidaknya peserta terkait membayar
iuran. Bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia maka status
kepesertaannya akan hilang. Iuran Jaminan Kesehatan merupakan sejumlah uang
yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk
program jaminan kesehatan, dan diatur berdasar Perpres No. 12 tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI. Besarnya iuran jaminan kesehatan ditetapkan
melalui Peraturan Presiden. Setiap peserta wajib membayar iuran yg besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau
suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah & PBI). Prinsip pembayaran
iuran tidak berlaku bagi peserta PBI, dimana jaminan Kesehatan dibayar oleh
Pemerintah.7

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang


menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik
pemerintah, pemerintah daerah dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui
kredensialing.31

2.8 Perbedaan sistem JKN dengan sistem sebelumnya

Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan


bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory)
berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. 7

Program JKN digelar berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas, yaitu
kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis yang tak terkait

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


17

dengan besaran iuran yang dibayarkan. Hal inilah yang membedakan sistem JKN
dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya. Sistem JKN merupakan suatu asuransi
sosial yang universal. Ada dua kata kunci di sini, yaitu asuransi sosial dan universal.
Sistem asuransi berarti adanya sistem iuran, yang besarnya ditetapkan sebagai
prosentase tertentu dari upah, bagi mereka yang memiliki penghasilan. Pemerintah
akan membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin). Iuran
tersebut bersifat wajib dan bersifat sebagai dana amanat, dalam arti penggunaannya
sepenuhnya untuk pengembangan sistem JKN, dan bukan diperhitungkan sebagai
laba. Sistem JKN akan diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum
khusus, bukan lagi seperti BUMN yang berasaskan laba, sehingga memiliki
paradigma yang sepenuhnya berbeda. Universal dalam arti kedepannya hanya akan
ada satu sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia, yang mencakup seluruh rakyat
Indonesia dan berlaku di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini berbeda
dengan jaminan kesehatan sebelumnya dimana terdapat berbagai jenis jaminan
kesehatan dengan pelbagai cakupan dan iuran yang berbeda. Penetapan sistem JKN
ini bertujuan untuk tercapainya universal coverage untuk jaminan kesehatan,
sehingga tiap penduduk terpenuhi hak asasinya untuk mencapai suatu kondisi sehat. 31

Perbedaan lain dari sistem JKN ini dengan sistem jaminan kesehatan
sebelumnya adalah perbedaan sistem pembiayaannya. BPJS Kesehatan akan
membayar kepada fasilitas kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu sistem
kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA CBG’s
(Indonesia Case Based Group) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal ini
berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN),
dimana digunakan sistem Fee For Service. Dalam pembayaran menggunakan sistem
INA-CBG’s baik rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan
berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan
menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group).
Jadi, pembayaran dilakukan berdasar kelompok diagnosis, dan bukan terhadap
masing-masing komponen biayanya. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


18

tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh


pemerintah. Hal ini berbeda dengan pembayaran sistem fee for service, dimana
pembayaran masih dilakukan terhadap masing-masing komponen biaya.

Berikut beberapa manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penerapan JKN
dibandingkan dengan sistem jaminan kesehatan Indonesia sebelumnya: 7

 Kenaikan biaya kesehatan dapat ditekan, karena diharapkan penyedia layanan dan
fasilitas kesehatan tidak lagi berlomba-lomba menyediakan layanan kesehatan
yang membutuhkan biaya besar namun tidak efektif.
 Biaya dan mutu yankes dapat dikendalikan, karena diharapkan fasilitas kesehatan
akan terpacu untuk memilih pemeriksaan dan intervensi yang tepat dan berdaya
guna dalam menangani kelompok penyakit.
 Kepesertaannya bersifat wajib bagi seluruh penduduk sehingga “memaksa” tiap
penduduk mendapat perlindungan kesehatan
 Pembayaran dengan sistem prospektif, sehingga memastikan adanya suatu
pemasukan tetap yang dapat digunakan sebagai dana amanat untuk meningkatkan
kualitas sistem JKN itu sendiri dan bukan untuk laba.
 Adanya kepastian pembiayaan yankes berkelanjutan
 Manfaat yankes komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
 Portabilitas nasional: peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan
kedepannya registrasi dan penggunaan sistem JKN ini dapat bersifat elektronik
dan berbasis internet, sehingga dengan membawa kartu kepesertaan JKN
seseorang dapat memperoleh kepastian layanan kesehatan di manapun ia berada
selama masih dalam wilayah NKRI.

Berbeda dengan sistem sebelumnya, penghitungan pembiayaan asuransi


kesehatan JKN mengadaptasi sistem casemix dari United Nation University
International Institute for Global Health (UNU-IIGH). Sistem ini bersifat dinamis

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


19

artinya total jumlah CBG dapat berubah sesuai keadaan. Karena terdapat 14500
macam diagnosis ICD10 dengan 7500 prosedur tindakan (ICD 9 CM) dibuat suatu
grouper yang disusun secara terkomputerisasi. Sistem ini juga telah dilakukan di
beberapa negara Asia, TImur tengah, Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, terutama
di negara-negara sedang berkembang.32

Sistem casemix yang dikembangkan oleh UNU IIGH ini juga merupakan
sistem yang terutama dibuat untuk negara-negara berkembang, menggunakan sistem
klasifikasi yang menggabungkan beberapa unsur: 33

 Meliputi seluruh tipe perawatan: akut, subakut, kronik


 Bersifat dinamis: jumlah diagnosis dapat disesuaikan, menilai derajat berat
penyakit, klasifikasinya sangat detail
 Dapat dikembangkan bila terjadi perubahan klasifikasi prosedur dan diagnosis
(misalnya bila menggunakan ICD-11)

Sistem ini memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak diperhitungkannya faktor


status fungsional dan disabilitas, yang sebenarnya merupakan aspek penting pada
karakteristik pasien geriatri. Pada perkembangannya, WHO membuat sistem ICF
(International Classification of functioning, disability, and health), yaitu suatu sistem
klasifikasi diluar ICD 10 atau ICD 9, yang mengklasifikasikan kondisi kesehatan
terkait fungsi dan disabilitas. ICD-10 dan ICF selayaknya bersifat komplementer dan
penggunaan keduanya akan menciptakan gambaran kesehatan individu yang lebih
bermakna, terutama pada populasi pasien geriatri.34

Dengan diterapkannya sistem baru ini melalui JKN, diharapkan penyedia


layanan kesehatan makin berusaha mengembangkan metode diagnosis dan terapi
yang tepat dan berdaya guna.32 Hal ini dikarenakan, pemilihan tatalaksana yang
paling efisien menjadi kunci untuk memberi insentif pada sebuah rumah sakit. Untuk
melihat efektivitas suatu layanan kesehatan diperlukan suatu pendekatan analisis
khusus, yang berada dalam ranah ekonomi kesehatan.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


20

2.9 Ekonomi Kesehatan

Ilmu ekonomi kesehatan dapat diartikan sebagai aplikasi ilmu ekonomi dalam bidang
kesehatan, atau penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Menurut WHO (1975), ilmu ekonomi kesehatan adalah ilmu ekonomi untuk
perhitungan sumber daya yang digunakan bagi penyediaan pelayanan kesehatan.
Alokasi dan efisiensi penggunaan sumber daya tersebut bertujuan mencapai
pembangunan kesehatan, serta kuantifikasi dampak upaya pencegahan, pengobatan
dan rehabilitasi meliputi health care industry; health care financing; health
economics and development; utility, demand and supply; cost and cost behavior; cost
analysis and pricing; cost containment; economics evaluation.35

Penerapan prinsip ekonomi dalam bidang kesehatan tak lepas dari perannya
sebagai institusi penyedia layanan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga
tempat dokter bekerja yang hanya dapat beroperasi jika ada sumber ekonomi. Tidak
mungkin sebuah rumah sakit berjalan tanpa ada sumber keuangan yang terkelola
dengan baik. Di sisi lain, rumah sakit merupakan lembaga multiprofesional yang
menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang bermutu tetapi harus tetap
memperhatikan aspek sosialnya. Sifat rumah sakit yang unik ini perlu menggunakan
berbagai ilmu untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ekonomi merupakan salah satu
ilmu yang dapat dipergunakan. Penggunaan ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan
tidak hendak dipandang sebagai berubahnya paradigma rumah sakit menjadi sarana
dagang, namun dipandang sebagai suatu metode untuk menerangkan berbagai
perilaku rumah sakit dan kalangan kesehatan. Jika ilmu ekonomi di dunia kesehatan
dikesampingkan, dikhawatirkan akan terjadi keadaan di kalangan dokter yang justru
berlawanan dengan idealisme dalam masyarakat yang beradab. 35

Dalam kaitan ekonomi dan pengelolaan rumah sakit, dikenal dua jenis model
pendekatan yakni rumah sakit yang for profit dan non profit. Yang pertama
berorientasi laba, sedangkan yang kedua tidak. Pada umumnya rumah sakit

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


21

pemerintah berbasis non profit, sedangkan rumah sakit swasta berbasis for profit.
Walaupun tidak berorientasi mencari keuntungan semata-mata, namun rumah sakit
pemerintah tetap harus menjalankan fungsinya dan memerlukan dana untuk
operasionalisasi misinya. Di sini letak pentingnya kajian-kajian cost effectiveness
untuk berbagai jenis pelayanan bagi pasien rumah sakit yang mampu mendorong
efisiensi dalam rangka tetap menjalankan fungsi rumah sakit pemerintah tanpa harus
kehilangan mutu pelayanan yang optimal.35

Teknik untuk mengevaluasi keefektifan suatu program pelayanan disebut


teknik evaluasi ekonomi program kesehatan. Evaluasi ekonomi membandingkan
biaya dan efek dari dua atau lebih intervensi, dalam hal ini program kesehatan.
Tujuan utama dari evaluasi ekonomi kesehatan adalah untuk mengevaluasi keluaran
dan biaya intervensi-intervensi yang didesain untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini
ditujukan untuk memandu penentu kebijakan dengan menyajikan bukti-bukti objektif
terkait efektivitas biaya. Tujuan hal ini adalah untuk meningkatkan efektivitas biaya,
yaitu untuk mencapai efek sebesar besarnya dengan sumber daya serendah
rendahnya.36

Evaluasi ekonomi kesehatan terdiri atas: Cost Minimization Analysis (analisis


biaya minimal), cost utiliy analysis (analisis biaya guna), cost benefit analysis
(analisis biaya manfaat), dan cost effectiveness analysis (analisis biaya efektivitas).37
Prinsip dari keempat teknik tersebut adalah melakukan analisis kuantitatif dari apa
yang diharapkan/ diinginkan oleh provider (penyedia layanan kesehatan) dan pasien
(pengguna jasa pelayanan kesehatan) dalam melakukan investasi pada beberapa
alternatif program. Kegiatan pada keempat teknik tersebut intinya adalah
membandingkan masukan (input) dengan keluaran (output) maupun hasil akhir
(outcome) dengan memperhatikan masalah pilihan.37

Analisis biaya minimal adalah suatu analisis yang membandingkan dua atau
lebih intervensi terhadap suatu kegiatan yang menghasilkan keluaran (output) yang
sama, berdasarkan studi epidemiologi sebelumnya dalam kurun waktu tertentu. Biaya

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


22

yang dikeluarkan akan dibandingkan satu sama lain sehingga terlihatlah intervensi
mana yang paling minimal biayanya dalam menghasilkan keluaran yang sama. 37

Analisis biaya guna menilai hasil akhir dari sebuah program yang
dilaksanakan dengan mengukur kegunaannya (utilitas); yang dikaitkan pula dengan
perubahan kualitas akibat program tersebut. Analisis biaya guna dapat dititikberatkan
pada minimalisasi biaya (minimizing cost) atau memperbesar hasil (maximizing
effect), yang hasilnya dinyatakan dalam cost per quality adjusted life years (cost per
QALY’s) atau QALY per unit moneter.37

Analisis biaya manfaat akan menilai baik manfaat maupun biaya dari suatu
program, dan menetapkan apakah program tersebut bermanfaat atau tidak. Bila rasio
antara biaya dan manfaat lebih besar berarti program tersebut tidak menguntungkan.
Analisis biaya manfaat ini digunakan untuk membandingkan program dengan tujuan
keluaran yang berbeda, dengan masukan yang diukur dalam nilai moneter dan ukuran
keluarannya, yaitu manfaat yang diharapkan, juga diukur dalam nilai moneter. Di
samping itu, analisis biaya manfaat juga digunakan untuk mengetahui apakah suatu
intervensi layak diteruskan atau tidak. 37

Analisis biaya efektivitas adalah suatu analisis yang mencari bentuk intervensi
mana yang paling menguntungkan dalam mencapai suatu tujuan, dengan cara
membandingkan hasil suatu kegiatan dengan biayanya, dengan ukuran masukan yang
diukur dalam nilai moneter sedangkan keluarannya diukur dalam jumlah output yang
dihasilkan. Dengan kata lain, teknik ini menilai/ mencari cara intervensi yang paling
murah dan paling menguntungkan dalam pencapaian target/suatu tujuan yang sama,
dengan cara membandingkan hasil-hasil suatu kegiatan dengan biayanya. 37 Berbagai
tipe analisis efektivitas biaya dan perbedaannya disajikan dalam tabel 2.1.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


23

Tabel 2.1. Berbagai tipe analisis efektivitas biaya

Metode Biaya Efek Pertanyaan evaluasi


Analisis biaya efektivitas Unit monetari Unit alami (life- Perbandingan
years gained, luka intervensi dengan
bakar yang bisa tujuan yang sama
dicegah)
Analisis biaya guna Unit monetari Utilitas dan QALY Perbandingan
atau DALY intervensi dengan
tujuan yang berbeda
Analisis biaya manfaat Unit monetari Efek tidak diukur Biaya yang lebih
karena dianggap sedikit diantara dua
sama program dengan
luaran yang sama
Analisis keuntungan- Unit monetari Unit monetari Apakah
biaya keuntungannnya
sebanding dengan
biaya

Analisis biaya manfaat dan analisis biaya efektivitas walau mempunyai


beberapa persamaan, keduanya mempunyai beberapa prinsip yang berbeda. Analisis
biaya manfaat biasanya digunakan untuk menilai beberapa alternatif yang tujuannya
berbeda, atau menentukan apakah suatu rencana program sebaiknya dilaksanakan
atau tidak, sedangkan analisis biaya efektivitas dipergunakan untuk menilai beberapa
alternatif yang tujuannya sama. Pada pasien geriatri yang pada umumnya sudah tidak
produktif lagi secara ekonomis, loss of production tidak lagi menjadi perhatian
utama.37

Keluaran dari evaluasi ekonomi dinyatakan sebagai rasio dari cost (biaya)
dengan efek (E). Rasio ini disebut dengan incremental cost–effectiveness ratio
(ICER), yaitu perbedaan biaya antara intervensi baru dan lama dibagi dengan
perbedaan efek antara kedua intervensi tersebut.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


24

2.10 Telaah efektivitas biaya

Telaah efektivitas biaya (Cost-effectiveness analysis), dalam konsep termudah,


merupakan suatu analisis yang menghitung unit biaya yang dibutuhkan untuk
mencapai unit efek tertentu. Rasio ini, bila diterapkan dalam perhitungan berbagai
alternatif intervensi, dapat menampilkan efek dan biaya relatif dari alternatif-
alternatif tersebut dan memudahkan pemahamannya. 37

Sangat sedikit studi tentang evaluasi program kesehatan yang menampilkan


variabel biaya, dan bilapun ada, biasanya ditampilkan dalam format yang bervariasi
sehingga sulit untuk dibandingkan. Terlebih lagi terdapat kesulitan dalam
menentukan terminologi konsep biaya dan efek, karena kedua konsep ini sangat
tergantung dari sudut pandang mana analisisnya dilakukan. Apakah biaya-biaya yang
dimasukkan dalam perhitungan sama dan sebanding untuk tiap-tiap pemegang saham
atau hanya untuk pihak yang terlibat saja? Bila terdapat berbagai luaran yang
ditimbulkan oleh biaya tersebut, bagaimana cara merangkum berbagai variabel efek
tersebut menjadi satu variabel? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
penting untuk memahami konsep analisis ini dengan lebih mendalam. 38

Ada dua kelebihan dari analisis cost effectiveness. Kelebihan pertama adalah
kemampuannya untuk merangkum suatu program yang kompleks dalam dimensi
biaya dan efektivitasnya. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan ketepatan secara
teknis dalam menentukan unit biaya dan unit efek dari suatu program. Kelebihan
kedua adalah kemampuannya untuk menggunakan dua parameter yang sebenarnya
sederhana ini untuk membandingkan dan mengevaluasi berbagai program dengan
konteks dan waktu yang berbeda-beda. Untuk mencapai hal ini diperlukan suatu
kepatuhan pada suatu metodologi tertentu yang ditentukan sebelumnya dalam
mengestimasi biaya dan efek dari berbagai studi yang ada, supaya dapat
diperbandingkan. Supaya suatu analisis efektivitas biaya dapat memberikan informasi
yang optimal, diperlukan suatu metode pengukuran yang bukan hanya andal dalam
membandingkan berbagai program, namun juga dapat secara tepat menilai biaya dan

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


25

efek dari masing-masing pogram itu sendiri. Bila dilaksanakan dengan benar, metode
analisis ini dapat menjadi alat andal bagi penentu kebijakan organisasi-organisasi
yang bergerak di bidang pendanaan dan pengadaan kegiatan-kegiatan edukasi dan
sosial, memungkinkan mereka untuk membandingkan berbagai program yang telah
dijalankan untuk menentukan pengalokasian sumber daya dengan lebih tepat.
Organisasi yang dapat mengambil manfaat dari analisis ini dapat berupa organisasi-
organisasi swasta maupun pemerintah. 39

Meskipun analisis efektivitas biaya menawarkan banyak kelebihan dibanding


analisis ekonomi lain dalam pengambilan kebijakan, terdapat beberapa isu penting
yang perlu dipertimbangkan. Analisis efektivitas biaya bermanfaat dalam
menentukan program atau intervensi mana yang memberikan keefektivitasan biaya
yang terbaik, namun tidak dapat membandingkan keefektivitas antar intervensi
dengan paradigma kesehatan atau lokasi yang berbeda. Hal ini dikarenakan untuk
membandingkan suatu program dengan analisis ini, diperlukan parameter pengukuran
efek/keluaran yang sama antar intervensi atau program yang diperbandingkan.
Kualitas dari analisis efektivitas biaya sangat bergantung dari kualitas data yang
digunakan, sehingga setiap analisis efektivitas biaya sebaiknya mencantumkan
analisis sensitifitas untuk melihat seberapa besar perubahan parameter yang
digunakan dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Penting ditekankan disini,
bahwa analisis efektivitas biaya hanya merupakan salah satu dari sekian banyak
penilaian dalam menentukan apakah suatu program atau intervensi efektif atau tidak.
Hal-hal yang lain yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ketersediaan
sarana prasarana, kebutuhan masyarakat setempat, prioritas kesehatan lokal dan
lainnya.39

Menilai efektivitas dapat ditinjau dari berbagai faktor yakni lama rawat,
rehospitalisasi, ada tidaknya perbaikan status fungsional, kepuasan pasien, kepuasan
perawat dan mortalitas selama dan setelah perawatan. Setiap faktor tersebut harus
ditentukan bobotnya agar diketahui yang terbesar perannya dalam menentukan
efektivitas. Batasan setiap faktor yang digunakan untuk menentukan efektivitas tidak

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


26

seragam karena perbedaan sistem pelayanan, diagnosis pasien geriatri yang dirawat
serta berat-ringannya kondisi pasien.40

2.11 Mortalitas pasien geriatri

Mortalitas merupakan salah satu komponen penilaian efektivitas suatu layanan


kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan baik dan efektif
diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas. Tentu saja angka mortalitas pasien
geriatri tidak semata-mata hanya ditentukan oleh kualitas dari suatu layanan
kesehatan.6

Dalam membicarakan faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas suatu


populasi, penting untuk mengingat konsep dasar epidemiologi tentang terjadinya
penyakit, yaitu interaksi antara host, agent dan environment. Konsep ini dapat
diterapkan untuk melihat hubungan antara ketiga komponen penting yang
menentukan outcome dari suatu penyakit.3 Dalam konteks pasien geriatri yang
menjalani perawatan di fasilitas kesehatan, segi environment merupakan kualitas dari
layanan kesehatan tersebut. Segi agent mengacu kepada poten tidaknya suatu agen-
organik maupun non organik-dalam menimbulkan suatu kondisi sakit, dalam konteks
ini yang terbanyak bertindak sebagai agent adalah mikroba (organik). Sedangkan host
mengacu kepada kumpulan karakteristik dasar dari suatu individu yang menentukan
ketahanan tubuh menanggapi suatu tantangan dari luar. Komponen host inilah yang
sangat berpengaruh dalam populasi pasien geriatri, mengingat pada populasi ini
terjadi banyak sekali perubahan fisiologis penuaan yang berujung pada meningkatnya
kerentanan tubuh terhadap tantangan eksternal tersebut(agent).3

Dari tiga komponen ini, dapat dilihat terhadap komponen agent dan host,
sedikit yang bisa kita lakukan untuk memodifikasinya. Perubahan pada komponen
host sebagian besar terjadi akibat suatu proses yang fisiologis, yaitu penuaan,
sehingga tidak sepenuhnya dapat kita modifikasi. Sedangkan modifikasi komponen
agent biasanya dilakukan dengan mengoptimalkan program preventif dan promotif,
dan kedua faktor ini meskipun sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri secara

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


27

holistik, sedikit perannya pada tatalaksana pasien geriatri yang dirawat di fasilitas
kesehatan. Sehingga sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri di ruang rawat
inap untuk mengoptimalkan pula komponen kualitas layanan kesehatan, untuk
meningkatkan prognosis.40

Dalam konteks masyarakat luas, suatu layanan kesehatan dikatakan baik bila
terdapat keseimbangan antara kualitas dan biaya operasionalnya. Suatu intervensi
atau program kesehatan yang sangat baik namun sangat mahal biaya operasionalnya
mungkin ideal untuk kasus orang perorangan, namun bukan merupakan pilihan tepat
untuk diadopsi sebagai program kesehatan masyarakat luas yang skalanya besar. Hal
itu bisa menimbulkan pemborosan sumber daya kita yang terbatas. Sebaliknya suatu
program kesehatan yang hasilnya hanya cukup baik namun memiliki biaya
operasional yang lebih rendah dapat menjadi pilihan yang lebih baik sebagai program
kesehatan masyarakat luas pada umumnya. Disinilah peran analisis efektivitas biaya,
karena analisis ini dapat memperlihatkan keseimbangan dan hubungan antara efek
dan biaya dari suatu program/intervensi yang diperbandingkan.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


3.1
Multipel comorbidity
Polifarmasi
Frailty
Immunosenescence

Geriatric Giants
Imobilisasi Mortalitas
Kerangka Teori

Instabilitas
Gangguan lihat
Gangguan dengar
Demensia Rehospit
Delirium
Inkontinensia uri/alvi alisasi

Karakteristik geriatri
Ulkus dekubitus
Malnutrisi
Depresi
Gangguan kognitif Kualitas
hidup
BAB 3.

Pasien Geriatri

28
P3G Status
Acute fungsional

Gambar 3.1. Kerangka teori


insult(Agent
)
(Organik/No
n organik)
Lama
KERANGKA TEORI DAN KONSEP

rawat
Rawat inap

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


Biaya
Rawat

Pembiayaan layanan
kesehatan

= Variabel yang
ERA JKN/INA CBG
diteliti
Sistem asuransi kesehatan
nasional
29

3.2 Kerangka konsep

JKN Kesintasan
Efektivitas Biaya

Gambar 3.2. Kerangka konsep

3.3 Definisi operasional


Tabel 3.1. Definisi operasional

Variabel Definisi Cara pengukuran Skala

Lama rawat Lama seseorang dirawat sejak Melihat data tanggal Numerik
masuk ke rumah sakit hingga masuk dan keluar rumah
pulang atau meninggal. Diperoleh sakit di rekam medis atau
dari hasil pengurangan tanggal EHR.
pulang/meninggal dengan tanggal
masuk rumah sakit, dalam satuan
hari.

Era Jaminan Era di mana mulai berlaku distem Melihat tanggal perawatan Kategori
Kesehatan JKN. JKN merupakan bagian dari
Nasional (JKN) Sistem Jaminan Sosial Nasional,
yang diberlakukan di Indonesia
sejak 1 Januari 2014. Prinsip
Jaminan Kesehatan Nasional adalah
asuransi sosial nasional dan ekuitas.

Era Non JKN Era sebelum diberlakukan JKN Melihat tanggal perawatan Kategori
(sebelum 1 Januari 2014), dimana
terdapat berbagai macam jaminan
kesehatan yang masing-masing
diselenggarakan oleh berbagai
pihak yaitu Askes, Jamkesmas,

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


30

Jamkesda, Gakin, Kartu Jakarta


Sehat dan Jamsostek.

Meninggal saat Kematian dengan sebab apapun (all Diperoleh dari selisih Kategorik
perawatan cause mortality) yang terjadi selama tanggal masuk rumah
masa rawat inap. sakit dengan tanggal
meninggal pasien.

Kesintasan 30 Kesintasan pasien geriatri yang Diperoleh dari selisih Kategorik


hari dirawat. Dinyatakan sebagai tanggal masuk rumah
persentase subjek yang hidup atau sakit dengan tanggal
tidak mengalami event (meninggal) meninggal pasien
pada waktu tertentu dari
pengamatan. Rentang waktu
pengamatan adalah dari tanggal
awal perawatan sampai dengan 30
hari setelah itu.

Biaya perawatan Biaya total selama perawatan pasien Melihat data Bendahara Kontinyu
di ruang rawat inap berdasarkan RSCM dan HER
tagihan akhir dari rumah sakit ke
pasien. Komponennya berupa biaya
ruangan, biaya material, sarana dan
prasarana, biaya jasa medis dan
biaya penunjang.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


BAB 4.

METODE PENELITIAN

4.1 Desain

Penelitian dilaksanakan dengan desain cohort with historical control (kohort dengan
kontrol historis). Kohort pertama diambil saat sistem pembiayaan non JKN (Juli
2013-Desember 2013), kohort kedua diambil saat sistem pembiayaan JKN
diberlakukan (Januari-Juni 2014). Kohort pertama merupakan kontrol bagi kohort
kedua.

4.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan terhadap pasien-pasien yang dirawat di ruang rawat inap geriatri
di RSCM yang mendapatkan P3G yang berusia di atas 60 tahun. Pengumpulan data
dilakukan selama Agustus-September 2014. Data dikumpulkan dari rekam medis atau
resume medis semua pasien yang dirawat di ruang rawat inap geriatri RSCM selama
periode Juli 2013 sampai Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif
menggunakan data dari rekam medis dan electronic health record.

4.3 Populasi dan sampel penelitian

 Populasi target adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun di
Indonesia.
 Populasi terjangkau adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60
tahun yang dirawat di ruang rawat inap akut geriatri RSCM selama periode Juli
2013-Juni 2014.
 Sampel penelitian adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi
penelitian

31

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


32

4.4 Kriteria inklusi dan eksklusi

4.4.1 Kriteria inklusi

1. Orang usia lanjut (usia ≥60 tahun).


2. Dirawat di ruang rawat inap geriatri RSCM pada periode Juli 2013-Juni
2014
3. Dirawat dengan satu atau lebih diagnosis berikut : sindrom delirium,
instabilitas dan/atau jatuh, gangguan kognitif ringan, depresi,
inkontinensia urine dan/ atau alvi, dekubitus, imobilisasi.
4.4.2 Kriteria eksklusi
1. Pasien yang meninggal dalam 24 jam perawatan pertama di rumah sakit
2. Pasien yang pindah ke ruang rawat lain yang tidak menerapkan P3G
selama perawatan.
3. Pasien yang pada saat pergantian sistem pembayaran dari non JKN ke
JKN masih dalam perawatan. (waktu perawatan melintasi periode 31
Desember 2013-1 Januari 2014)
4. Pasien yang tidak ditemukan rekam medisnya.

4.5 Estimasi besar sampel

Untuk analisis kesintasan, digunakan perhitungan besar sampel menggunakan rumus


uji hipotesis untuk survival:

2
( Z α + Z β ) [ Ǿ ( λc) + Ǿ ( λi)]
2
( λc - λi)

Dengan menggunakan alpha : 0.05, power penelitian 80%, λi (kesintasan


kelompok intervensi) sebesar 90% dan λc (kesintasan kelompok kontrol) sebesar
75%,41 diperoleh besar sampel untuk masing-masing grup adalah 105. Sehingga total
jumlah sampel yang diperlukan untuk kedua grup adalah 210.

Untuk analisis efektivitas biaya, dilakukan total sampling dalam periode


waktu yang telah ditentukan.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


33

4.6 Identifikasi Variable Penelitian

4.6.1 Variabel dependen

Kesintasan dan efektivitas biaya

4.6.2 Variabel independen


Sistem pembiayaan JKN

4.7 Instrumen dan tatacara pengumpulan data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah:

 Data sosiodemografik pasien


 Data antropometri dan status gizi pasien
 Data komorbid dan pengobatan dari status pasien
 Data medis awal berupa keluhan utama dan diagnosis masuk dan keluar
 Data laboratorium

Instrumen yang digunakan adalah:

 Rekam medis
 Resume medis
 Catatan pembiayaan pasien
 Electronic Health Record RSCM

4.8 Cara pengambilan sampel

Sampel diambil dari catatan rekam medis atau resume medis pasien di Unit Rekam
Medis RSCM dan Unit Pusat Administrasi dan Keuangan RSCM. Status pasien yang
memenuhi kriteria inklusi/eksklusi dipilih. Setelah itu dilakukan pencatatan data
demografis dasar, komorbiditas, data laboratorium dan status gizi pasien. Penelusuran
biaya rawat pasien dilakukan melalui Unit Keuangan RSCM dan catatan tagihan
pasien selama perawatan. Khusus untuk pasien-pasien yang pulang dari perawatan

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


34

sebelum waktu pengamatan event (kematian) selesai, dilakukan penelusuran lewat


telepon atau wawancara langsung untuk melihat apakah pasien meninggal atau tidak
dan ditulis waktu dan sebab kematiannya. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode tersebut di atas sampai mencakupi semua pasien yang dirawat pada periode
waktu yang telah ditentukan.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


35

4.9 Alur penelitian

Pasienusia ≥60 tahun yang dirawat


di ruangrawatinapakutGeriatri
RSCM Data sosiodemografik
Data antropometridan status gizi
Data komorbid
Kriteria Inklusi/eksklusi Data pengobatan
Data laboratorium
Data mortalitas
Data pembiayaan
Pengumpulan data
(Total sampling)

Tabulasi data Microsoft Access 2010

Analisis data

SPSS 21

Penyusunan laporan dan publikasi

Gambar 4.1. Alur penelitian

4.10 Analisis data

Data medis pasien dan keuangan diambil dari unit rekam medis dan pusat
administrasi dan keuangan RSCM. Tabulasi dilakukan menggunakan program
pengumpulan data elektronik Microsoft Access 2010, sedangkan analisis data
menggunakan program SPSS 21. Data karakteristisk sosio-demografik,
antropometrik, diagnosis klinis dan pengobatan pasien dijabarkan dengan
menggunakan metode statistik deskriptif. Data-data numerik dijabarkan dengan

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


36

mean/median dan menyertakan deviasi standar. Data nominal dijabarkan dalam


bentuk proporsi dengan menyertakan interval kepercayaan 95% dan nilai p.
Analisis cost effectiveness menggunakan Incremental cost effectiveness ratio
(ICER). Incremental cost effectiveness ratio (ICER) dihitung untuk menilai
efektivitas intervensi yaitu sistem pembiayaan dengan efek yaitu kesintasan. ICER
dihitung dengan membagi selisih antara mean biaya yang dikeluarkan selama masa
rawat pada periode JKN dan mean biaya selama masa rawat pada periode sebelum
JKN, dengan selisih proporsi kematian pasien sebelum dan saat era JKN.

Untuk analisis kesintasan, dibuat kurva kesintasan untuk masing-masing


kelompok menggunakan analisis kaplan meier. Selanjutnya dilakukan uji log rank
untuk membandingkan kedua kurva kesintasan dari kedua kelompok tersebut dan
melihat distribusinya.

4.11 Masalah etika

Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor
753/UN2.F1/ETIK/2014. Semua data rekam medik yang dipergunakan dijaga
kerahasiaannya.

4.12 Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipublikasikan di dalam jurnal kedokteran
atau kesehatan nasional dan/atau internasional. Secara keseluruhan hasil akhir
penelitian dibuat dalam bentuk tesis sebagai salah satu syarat untuk mencapai sebutan
Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


BAB 5

HASIL

Penelitian ini merupakan penelitian kohort dengan kontrol historis, dilakukan pada
bulan Agustus-September 2014 dengan mengumpulkan data rekam medis pasien
geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri pada dua periode waktu, yaitu periode
pra JKN sebagai kontrol dan periode JKN sebagai kelompok studi. Periode pra JKN
diambil dari periode perawatan Juli-Desember 2013, dan periode JKN dari bulan
Januari-Juni 2014. Bagan pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 5.1.

Jumlah pasien geriatri yang menerima P3G


pada periode penelitian : 319 subjek

Eksklusi : 94 subjek (Pindah ruangan : 8 subjek,


Melintasi dua periode pembiayaan : 13 subjek,
rekam medis tidak ditemukan : 73 subjek)

Sampel aktual: 225


subjek

non JKN : 100 subjek JKN : 125 subjek

Gambar 5.1. Bagan pengambilan sampel

Terdapat 319 pasien yang menerima P3G pada periode perawatan Juli 2014-Juni
2014. Sebanyak total 94 subjek dieksklusi, dengan rincian : 8 subjek dieksklusi
karena pindah ruangan, 13 subjek karena periode perawatan melewati saat pergantian
ke sistem pembiayaan JKN yaitu 31 Desember 2013 dan 73 subjek yang tidak
ditemukan catatan rekam medisnya. Jumlah sampel akhir yang dianalisis sebanyak
225 subjek, 100 di kelompok non JKN dan 125 di kelompok JKN.

37

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


38

Pada subjek yang dieksklusi dilakukan analisis sensitifitas, dan tidak


ditemukan perbedaan pada karakteristik kedua kelompok. Hanya terdapat satu
perbedaan yang bermakna, yaitu perbedaan proporsi subjek yang memiliki diagnosis
rawat sindrom delirium akut.

5.1 Karakteristik Subjek

Jenis kelamin pada kelompok JKN sebagian besar adalah perempuan (53,6%), setara
dengan kelompok kontrol (59%). Median usia 68 tahun (rentang 60-85 tahun) pada
kelompok JKN dan 70 (rentang 60-86 tahun) pada kelompok non JKN. Sebagian
besar subjek penelitian berstatus menikah (JKN vs non JKN = 56% vs. 55%) dengan
pendidikan terbanyak hanya mencapai SD. Sebagian besar sudah pensiun dan tidak
bekerja saat ini. Suku yang terbanyak adalah suku Jawa dan Betawi. Hampir semua
subjek di kedua kelompok memiliki gizi yang baik atau lebih, dan hanya sebagian
kecil (15,2% vs 14%) yang memiliki gizi kurang. Karakteristik demografis dapat
dilihat di tabel 5.1.

Tabel 5.1. Gambaran karakteristik demografis pada kelompok Non JKN dan
kelompok JKN

Karakteristik Subjek Kelompok non JKN Kelompok JKN


n = 100 n = 125
Jenis kelamin, n(%)
Laki-laki 41 (41) 58 (46,4)
Perempuan 59 (59) 67 (53,6)
Usia, n(%)
60-69 tahun 48 (48) 72 (57,6)
70-79 tahun 44 (44) 42 (33,6)
80-89 tahun 8 (8) 11 (8,8)
Usia, median(min-max) 70 (60-86) 68 (60-85)
Status pernikahan, n(%)
Menikah 55 (55) 70 (56)
Janda/Duda 21 (21) 26 (20,8)
Tidak Menikah 1 (1) 0
Tidak ada data 23 (23) 29 (23,2)
Pendidikan, n(%)
Tidak sekolah-SD 28 (28) 37 (29,8)
SMP-SMA 24 (24) 29 (23,4)

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


39

Diploma-Sarjana 14 (14) 13 (10,5)


Tidak ada data 34 (34) 45 (36,3)
Suku, n(%)
Jawa 21 (21) 31 (24,8)
Betawi 21 (21) 20 (16)
Sunda 10 (10) 13 (10,4)
Lain-lain 19 (19) 36 (28,8)
Tidak ada data 29 (29) 25(20)
Agama, n(%)
Islam 65 (65) 77 (61,6)
Kristen Protestan 9 (9) 15 (12)
Kristen Katolik 2 (2) 5 (4)
Buddha 1(1) 3 (2,4)
Tidak ada data 23 (23) 25(20)
Pekerjaan, n(%)
Pegawai Negeri 3 (3) 4 (3,2)
Pegawai swasta 8 (8) 16 (12,8)
Pensiun 26 (26) 13 (10,4)
Tidak bekerja 37 (37) 55 (44)
Tidak ada data 26 (26) 37 (29,6)

5.2 Karakteristik klinis

Selama perawatan, beberapa pasien menjalani prosedur atau tindakan medis sebagai
bagian dari tatalaksana penyakitnya. Prosedur atau tindakan medis tersebut akan
mempengaruhi lama rawat dan biaya perawatan, dan terkait erat dengan diagnosis
pasien. Tindakan dibagi menjadi bedah dan non bedah. Intervensi non bedah antara
lain tindakan endoskopi, kolonoskopi, ligasi varises esofagus, pemasangan catheter
double lumen dan akses vena sentral, kateterisasi jantung, dialisis, pemasangan mini
drain, aspirasi cairan asites, pleura dan abses hati, ekstraksi gigi, biopsi sumsusm
tulang, bronkoskopi, dan biopsi. Sedangkan intervensi bedah mencakup debridemant,
nefrostomi, pembuatan pintas arteriovena, STSG (split thickness skin graft), dan
pemasangan double J stent. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama
perawatan (56% pada non JKN dan 60% pada JKN).

Dari keluhan utama, 15% dan 22,4% subjek pada era non JKN dan JKN
datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini berbeda dengan diagnosis awal di ruang

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


40

rawat, karena terdapat sebanyak 34% dan 39,2% (Non JKN dan JKN) subjek yang
didiagnosis dengan sindrom delirium akut.

Untuk diagnosis selama perawatan, kedua kelompok memiliki distribusi


penyakit dengan persentase yang kurang lebih sama. Tiga penyakit terbanyak pada
kedua kelompok secara berurutan dari yang terbesar adalah pneumonia, sindrom
delirium akut dan sepsis. Infeksi merupakan masalah utama pada kedua kelompok,
dengan infeksi terbanyak adalah pneumonia, baik pada kelompok Non JKN dan JKN
(67% dan 68,8%). Infeksi yang disertai sepsis terjadi pada 29% dan 30,4% subjek,
secara berturutan pada kelompok non JKN dan JKN.

Skor APACHE II dihitung sebagai parameter berat ringannya kondisi


morbiditas, sebagai prediktor mortalitas pasien yang dirawat. APACHE II
menggabungkan parameter klinis, laboratorium dan komobiditas untuk mendapatkan
suatu skor yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas. Didapatkan nilai
tengah skor APACHE II antara kelompok JKN dan non JKN tidak berbeda (12 dan
13).
Kadar albumin serum merupakan salah satu parameter laboratorium penting
yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas dan terkait berat ringannya kondisi
morbiditas pasien. Dapat dilihat pada tabel tidak terdapat perbedaan antara rerata
kadar albumin kelompok JKN dan non JKN (2,96 [SD=0,67]; 3,08 [SD=0,71]).
Karakteristik klinis lain dapat dilihat pada tabel 5.2.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


41

Tabel 5.2. Gambaran karakteristik klinis selama perawatan pada kelompok Non
JKN dan kelompok JKN
Karakterikstik Subjek Non JKN n= 100 JKN n= 125
Keluhan utama, n (%)
Penurunan kesadaran 15 (15,5) 28 (25,2)
Bukan penurunan kesadaran 84 (84,5) 90 (74,8)
Diagnosis selama rawata, n (%)
Pneumonia 67 (67) 86 (68,8)
ACS 34 (34) 49 (39,2)
Hipertensi 38 (38) 36 (28,8)
Sepsis 29 (29) 38 (30,4)
Infeksi bukan pneumonia 26 (26) 39 (31,2)
Diabetes dan komplikasi 22 (22) 24 (19,2)
Perdarahan saluran cerna 22 (22) 17 (13,6)
Malignansi 22 (22) 20 (16)
Gagal jantung 18 (18) 18 (14,4)
Aritmia 12 (12) 12 (9,6)
Stroke 9 (9) 13 (10,4)
Sindrom koroner akut 7 (7) 5 (5,6)
Fraktur 7(7) 3(2,4)
Geriatric giantsb, n (%)
Imobilisasi 54 (54) 62 (49,6)
Sindrom delirium akut 38 (38) 46 (36,8)
Instabilitas/jatuh 32 (32) 42 (33,6)
Gangguan lihat 33 (33) 29 (23,2)
Gangguan dengar 22 (22) 20 (16)
Ulkus dekubitus 18 (18) 19 (15,2)
Malnutrisi 11 (11) 10 (8)
Inkontinensia uri 11 (11) 9 (7,2)
Demensia 4 (4) 11 (8,8)
Depresi 8 (8) 6 (4,8)
Inkontinensia alvi 6 (3) 3 (2,4)
Mild cognitive impairment 4 (4) 6 (4,8)
Tindakan selama rawat, n(%)
Tidak ada tindakan 56 (56) 75 (60)
Bedah 9 (9) 17 (13,6)
Non Bedah 35 (35) 33 (26,4)
Skor APACHE II, median (min-max) 13 (5-27) 12 (5-27)
Kadar Albuminc, mean (SD) 3,08 (0,71) 2,96 (0,67)
IMTd, n(%)
<18,5 14 (14) 19(15,2)
18,5-22,9 21 (21) 23(18,4)
>23 35 (35) 29 (23,2)

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


42

Tidak ada data 30 (30) 54 (43,2)


a
Terdapat 10 sampel yang missing = 2 pada Non JKN, 8 pada JKN
b
Terdapat 14 subjek yang missing = 2 pada non JKN, 12 pada JKN
c
Terdapat 25 subjek yang missing = 11 pada non JKN, 14 pada JKN
d
Terdapat 84 subjek yang missing = 30 pada non JKN, 54 pada JKN

5.3 Mortalitas dan Kesintasan


Salah satu parameter keberhasilan suatu layanan kesehatan dapat dilihat dari angka
mortalitas dan kesintasan. Suatu program atau intervensi yang berhasil menurunkan
angka mortalitas dinilai baik secara klinis. Pada penelitian ini dibandingkan
mortalitas antara kelompok JKN dan non JKN. Luaran perawatan dari kedua grup
memiliki distribusi yang kurang lebih sama, dimana pasien meninggal saat perawatan
sebanyak 28% pada kelompok JKN dan 31,2% pada kelompok JKN (p=0,602). Besar
kesintasan kumulatif pada kelompok JKN dan non JKN sebesar 65,2% dan 66,4% (p
= 0,086). Sebanyak 14% pasien pulang atas permintaan sendiri pada kelompok non
JKN, dan 9,6% pada kelompok JKN.

Untuk melihat hubungan antara mortalitas dengan waktu, dilakukan analisis


kesintasan menggunakan Kaplan Meier. Waktu pengamatan terjadinya event
(kematian) adalah 30 hari. Sampel yang tidak dapat menyelesaikan waktu
pengamatan tersebut akan disensor. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna
antara kurva kesintasan JKN dan non JKN (p=0.831). Kurva kesintasan kedua
kelompok dapat dilihat pada gambar 5.2.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


43

Gambar 5.2. Kurva Kesintasan JKN dan non JKN

5.4 Biaya rawat


Biaya perawatan merupakan komponen penting dalam analisis ekonomi kesehatan,
untuk melihat suatu program bukan dari segi medis klinis namun dari segi efektivitas
biayanya. Dalam penelitian ini, biaya yang diukur adalah biaya langsung, bukan
biaya tidak langsung. Biaya langsung dibagi menjadi biaya ruang rawat, biaya
material, biaya sarana, dan biaya penunjang.
Biaya total untuk pembiayaan satu kali rawat pada era non JKN memiliki
median 19 juta (min 2 juta, maks 141 juta) dan pada era JKN yaitu 20,8 juta (min 3
juta, maks 104 juta). Biaya terbesar berasal dari biaya material dan biaya sarana.
Rincian biaya selama perawatan dapat dilihat di tabel 5.3. Tidak terdapat perbedaan
antara kelompok JKN dan non JKN dari masing-masing kategori biaya tersebut dan

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


44

biaya total. Pada gambar 5.2 dapat dilihat penggunaan jaminan kesehatan pada kedua
era sistem pembiayaan. Pada era JKN, semua subjek menggunakan JKN, tidak ada
yang menggunaan pembiayaan sendiri. Pada era Non JKN ada 8,4% subjek yang
menggunakan biaya sendiri.

Tabel 5.3. Biaya perawatan era non JKN dan JKN

Biaya Perawatan Non JKN (x106 Rupiah) JKN (x106 Rupiah)


[median(min-maks)]
Biaya ruang rawat 2,7 (0,5 – 18,6) 2,9 (0,1 – 39,5)
Biaya Material 5,6 (0,01 – 69,2) 6,4 (0,1 – 58,6)
Biaya sarana dan prasarana 5,1 (0,3 – 39,2) 5,1 (0,2 – 29,4)
Biaya penunjang 3,6 (0,05 – 29,6) 2,8 (0,2 – 28,8)
Biaya Total 19,1 (2,5 – 141,5) 20,8 (3,1 – 104)

120

100
100

80

60
42.1 41.1
40

20
6.3 8.4
2.1
0
Era pra JKN Era JKN

Askes Jamkesmas Jamkesda KJS Umum JKN

Gambar 5.3 Penggunaan Jaminan kesehatan pada perawatan

5.5 Analisis efektivitas biaya

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


45

Analisis efektivitas biaya adalah suatu analisis untuk membandingkan luaran


suatu program atau intervensi dengan mempertimbangkan komponen biaya. Dengan
menggunakan rumus ICER, dapat dilihat deskripsi biaya dan kesintasan pada era JKN
dibandingkan dengan era non JKN.

rerata biaya total era JKN – rerata biaya total era non JKN
ICER =
Kesintasan 30 hari era JKN – Kesintasan 30 hari era non JKN

(+)1.462.880
Didapatkan hasil ICER =
(-) 0,012

Selanjutnya bila kita plot ke dalam koordinat :

ICER Biaya-mortalitas

Biaya (x105 Rupiah)


10
8
6
4
2
0
-20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20
-2
-4
-6
Kesintasan (%)
-8
-10

Gambar 5.4. Plot nilai ICER

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


46

Dari gambar 5.4 dapat dilihat letak titik ICER di kuadran kiri atas. Ini menunjukkan
dengan menginvestasi biaya sebesar 1,46 juta rupiah terjadi kehilangan kesintasan 30
hari sebesar 1,2%.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Proses Recruitment Subjek

Pada penelitian ini terkumpul sebanyak 225 subjek, dengan distribusi 100 subjek
pada era non JKN dan 125 subjek pada era JKN. Jumlah subjek yang terkumpul telah
memenuhi perhitungan besar sampel, namun jumlah subjek pada kelompok yang
diteliti (JKN) lebih besar dibanding kelompok kontrol. Dalam melakukan analisis
membandingkan dua kelompok, secara statistik idealnya perbandingan jumlah
kelompok kontrol dan yang diteliti adalah 1:1, lebih baik bila kelompok kontrol lebih
banyak, mencapai perbandingan 2:1. Pada penelitian ini jumlah sampel kontrol lebih
sedikit dari yang diteliti, dengan perbandingan 0,8:1. Hal ini perlu dipertimbangkan
dalam menginterpretasi hasil penelitian.

Pada pengumpulan sampel penelitian ini, dilakukan eksklusi pada subjek yang
tidak memenuhi kriteria eksklusi. Terdapat 94 subjek yang dieksklusi, 45 pada era
JKN dan 49 pada era non JKN. Eksklusi ini cukup banyak, dan menyebabkan missing
data (data yang hilang) sebesar 29,4% dari total subjek. Hal ini dapat mempengaruhi
validitas penelitian ini. Hal ini akan dibahas di subbab selanjutnya.

6.2 Karakteristik demografis


Karakteristik demografis subjek pada penelitian ini relatif sama antara kelompok JKN
dan non JKN. Lebih dari 50 persen subjek pada kedua kelompok berjenis kelamin
perempuan, dengan rasio jenis kelamin (RJK) antara laki-laki dan perempuan adalah
0,85. Hal ini sesuai dengan data demografis dari Bappenas Indonesia tahun 2013, 6
dimana perempuan sedikit mendominasi populasi usia lanjut (RJK berkisar antara
0,68-0,96 pada kelompok umur 60-75+). Hal ini juga sesuai dengan karakteristik
demografis di Cina, dimana Chan dkk 42 mendapatkan populasi geriatri didominasi
oleh perempuan (60 %) baik di dalam komunitas atau pada ruang rawat.

Kelompok usia terbanyak pada sampel yang didapat adalah pada kelompok
usia 60-69 tahun (tabel 5.1). Median usia antara kedua kelompok JKN dan non JKN

47

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


48

relatif sama, yaitu 68 -70 tahun dengan rentang usia 60-86 tahun. Kelompok umur
yang mendominasi adalah pada kelompok usia 60-79 tahun, sebesar 92% dari sampel.
Hasil pada penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Soejono 5,
yang mendapatkan kelompok usia terbanyak pada populasi geriatri yang menerima
P3G di ruang rawat geriatri adalah pada kelompok 60-79 tahun, mencapai kurang
lebih 88%. Buurman dkk43, lewat suatu penelitian yang dilakukan terhadap 639
subjek berusia diatas 65 tahun yang menjalani perawatan di Belanda, mendapatkan
rerata usia pasien 78 tahun. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan selain dari
perbedaan angka harapan hidup negara-negara Eropa dengan Asia, juga dikarenakan
perbedaan kriteria usia subjek yang dikategorikan sebagai populasi geriatri (>65
tahun) sehingga lebih banyak terkumpul subjek dengan sebaran usia yang lebih
lanjut. Studi yang dilakukan oleh Chan dkk 42 di Cina mendapatkan rerata usia
populasi geriatri yang diteliti berkisar antara 80-82 tahun. Perbedaan ini selain
dikarenakan oleh kriteria usia geriatri yang digunakan berbeda (>65 tahun), juga bisa
diakibatkan perbedaan lokasi pengambilan sampel, dimana Chan dkk 42
mengumpulkan sampel dari komunitas dan panti jompo. Perbedaan lokasi ini menjadi
penting mengingat populasi lansia yang menempati panti jompo biasanya adalah
populasi dengan usia yang lebih lanjut yang memiliki tingkat kemandirian yang lebih
rendah. Soejono5 dan Buurman43 mengumpulkan sampel dari ruang perawatan di
rumah sakit, serupa dengan lokasi pengumpulan sampel penelitian ini.

Kedua kelompok, JKN dan non JKN, memiliki dominasi sebaran subjek
dengan status gizi yang baik atau lebih. Hanya sebagian kecil pada kelompok JKN
dan non JKN (15,2% dan 14%) yang memiliki gizi kurang. Hasil ini sesuai dengan
studi yang dilakukan oleh Soejono 5, dimana mayoritas subjek memiliki gizi yang baik
dengan rerata IMT 18,24. Chan dkk42 juga memperoleh nilai rerata IMT yang
dikategorikan sebagai gizi baik pada dua kelompok populasi geriatri yang diteliti,
yaitu berkisar 21,9-22,5.

Data demografis lainnya pada penelitian ini adalah suku, agama dan
pendidikan. Proporsi data demografis tersebut tidak berbeda diantara kedua kelompok

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


49

pada penelitian ini. Proporsi demografis ini sebanding dengan data demografis
populasi usia lanjut di Indonesia terutama yang berdomisili di pulau Jawa yang
didapat dari BAPPENAS 2013.6

Dari tabel 5.1 dapat dilihat sebaran karakterisitk demografis antara kelompok
JKN dan non JKN relatif sama, sehingga secara demografis dapat disimpulkan kedua
kelompok yang diteliti memiliki distribusi subjek yang serupa.

6.3 Karakteristik klinis

Karakteristik klinis yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah karakteristik medis
pasien yang terkait dengan mortalitas, yaitu keluhan utama saat masuk, diagnosis,
jumlah tindakan medis saat perawatan, skor APACHE dan kadar albumin serum.
Gambaran penyakit yang mendominasi pada subjek penelitian ini serupa
dengan penelitian sebelumnya oleh Soejono5, yaitu pneumonia dan sindrom delirium
akut. Pada penelitian ini, pneumonia dan sindrom delirium akut merupakan diagnosis
pada 68% dan 37% subjek, dengan distribusi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok
JKN. Penting diperhatikan di sini bahwa pada analisis data yang hilang, menunjukkan
subjek dengan diagnosis sindrom delirium akut lebih banyak dieksklusi pada
kelompok non JKN dibanding JKN sehingga dapat mempengaruhi hasil sebaran
diagnosis pada subjek yang diteliti ini. Soejono dkk,5 pada tahun 2007, menemukan
kondisi pneumonia dan sindrom delirium akut sebanyak 42,06% dan 38,79%, sebagai
dua penyakit terbanyak. Perbedaan proporsi subjek yang memiliki pneumonia dengan
studi ini menunjukkan betapa pentingnya pneumonia sebagai penyakit utama yang
menyebabkan pasien membutuhkan perawatan, dengan prevalensi yang makin
meningkat. Pada populasi geriatri di komunitas, laporan Riskesdas tahun 2013 43
menunjukkan prevalensi pneumonia semakin naik seiring usia, mencapai 7,8% pada
populasi usia lanjut diatas 75 tahun. Penelitian oleh Buurman dkk 43 di Belanda
mendapatkan pula penyakit terbanyak adalah pneumonia, menunjukkan masalah
pneumonia merupakan masalah global yang terdapat pula di negara berkembang, dan
bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia, yang oleh PBB diklasifikasikan

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


50

sebagai less developed country.2 Adanya variasi lingkungan sosial dan ekonomi dari
kedua profil negara tersebut, dimana pneumonia tetap menjadi penyebab utama
perawatan pasien geriatri semakin menekankan peran penting faktor host dalam
patogenesis terjadinya suatu penyakit. Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan
fisiologis pada seperti imunosenescence dan homeostenosis yang membuatnya rentan
terkena infeksi.5 Ciri khas geriatri ini membuatnya rentan mengalami penurunan
fungsi selama perawatan dan mempengaruhi morbiditaas dan mortalitas selama
perawatan.45

Dari tabel 5.2 dapat dilihat beberapa geriatric giants yang teridentifikasi saat
subjek masuk perawatan. Geriatric giants yang terbanyak ditemukan adalah
imobilisasi, sindrom delirium akut dan instabilitas dengan riwayat jatuh, dengan
proporsi yang relatif sama pada era non JKN dan JKN. Imobilisasi ditemukan pada
54% dan 49,6% subjek pada era non JKN dan JKN. Temuan ini serupa dengan yang
studi oleh Burmann43, dimana imobilisasi merupakan geriatric giants yang terbanyak
ditemukan, sebesar 58,5%. Hal ini dapat dimengerti karena geriatric giants sendiri
merupakan morbiditas yang timbul terkait proses penuaan, sehingga tidak berbeda
walaupun berada di lingkungan yang berbeda.

Kesetaraan beratnya penyakit saat masuk perawatan antara kedua kelompok


pembiayaan ini ditentukan dengan membandingkan skor APACHE II. APACHE II
merupakan sistem klasifikasi beratnya penyakit, awalnya banyak digunakan di setting
perawatan intensif, namun seiring perkembangan waktu, penerapannya mulai
diperluas. Sistem skoring APACHE pertama kali dikembangkan oleh Knaus et al di
tahun 1981. Dalam perkembangannya, APACHE dikembangkan menjadi APACHE
II dan APACHE III, namun skor APACHE II merupakan skoring yang paling sering
digunakan. Skor APACHE II dinilai cukup akurat dalam menilai beratnya penyakit
dan resiko kematian, terdiri dari komorbiditas, kondisi hemodinamik dan beberapa
parameter laboratorium.

Skor APACHE II pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan antara


kedua kelompok, dengan median pada era JKN adalah 12 dan pada era non JKN 13,

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


51

dengan nilai minimum dan maximum yang sama pada kedua kelompok. Nilai ini
lebih tinggi dari nilai yang diperoleh Soejono 5, yaitu 8,25. Perbedaan dari skor
APACHE II sangat mungkin terkait lebih tingginya prevalensi pneumonia yang
ditemukan pada penelitian ini, mengingat beberapa parameter klinis dan laboratorium
di dalam skor APACHE II sangat terkait dengan ada tidaknya infeksi.

6.4 Mortalitas dan Analisis kesintasan

Salah satu parameter klinis keberhasilan suatu layanan kesehatan di rumah sakit
adalah rendahnya angka mortalitas atau tingginya kesintasan pasien, selain rendahnya
lama rawat, bertambahnya kualitas hidup, rendahnya angka rehospitalisasi dan status
fungsional. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara angka
kematian saat perawatan ( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari ( 66,4%
vs 65,2 %, p = 0.086) pada kelompok JKN dan non JKN. Penelitian sebelumnya oleh
Soejono5 dilakukan terhadap pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri pada tahun
2007, menunjukkan angka kesintasan pasien yang menerima P3G sebesar 80,4% atau
angka mortalitas sebesar 19,6%. Perbedaan angka mortalitas penelitian ini dengan
penelitian Soejono5 dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, subjek pada
penelitian ini memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan
penelitian sebelumnya oleh Soejono 5. Rerata skor APACHE pada penelitian ini lebih
tinggi bila dibandingkan pada penelitian Soejono5, yang menandakan lebih beratnya
beban penyakit yang diderita dan lebih buruknya prediktor mortalitas. Jumlah subjek
yang dirawat dengan masalah utama pneumonia juga lebih banyak ditemukan pada
studi ini (68%) dengan kurang lebih 14% subjek pada kedua kelompok memiliki gizi
buruk. Karakteristik ini menunjukkan lebih beratnya kondisi penyakit subjek pada
penelitian ini dengan faktor resiko mortalitas yang lebih tinggi. Penelitian oleh Calle
dkk46 pada pasien geriatri dengan pneumonia komunitas mendapatkan angka
mortalitas sebesar 24,2%, suatu nilai yang tidak terlalu berbeda dengan angka
mortalitas pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan besarnya peran pneumonia
sebagai prediktor mortalitas pasien geriatri yang dirawat inap.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


52

Alasan kedua adalah adanya kemungkinan terdapat perubahan kualitas


pelaksanaan P3G. Angka mortalitas era non JKN pada penelitian ini adalah 28%,
sedangkan pada penelitian Seojono 5 adalah 19,6%. Kedua angka tersebut diperoleh
dari populasi geriatri yang sama-sama berada pada era non JKN, meskipun terdapat
perbedaan waktu penelitian dan karakteristik klinis penyakit. Namun bila P3G
dilaksanakan dengan prosedur dan pengendalian yang semestinya dan tidak
mengalami perubahan kualitas seiring berjalannya waktu, angka mortalitas antara dua
masa ini seharusnya tidak akan berbeda jauh. Nyatanya terdapat perbedaan angka
mortalitas 8,4%. Hal ini menunjukkan ada kemungkinan pelaksanaan P3G pada saat
penelitian ini dilaksanakan telah mengalami perubahan dibandingkan saat pertama
kali diimplementasikan di RSCM pada tahun 2008. Pelaksanaan P3G di ruang rawat
akut geriatri memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk melihat apakah telah sesuai
dengan yang diharapkan. Misalnya, apakah benar-benar sudah memenuhi syarat-
syarat seperti koordinasi interdisiplin, identifikasi dan inventarisasi menyeluruh
masalah medis, fisik, sosial, psikologi, pengambilan keputusan klinis termasuk
rehabilitasi, dan implementasi tatalaksana yang direkomendasikan, termasuk
evaluasinya.50

Pada analisis menggunakan metode Kaplan Meier untuk melihat hubungan


kesintasan dengan waktu, didapatkan tidak adanya perbedaan antara kurva kesintasan
kelompok JKN dan non JKN. (p = 0.831). Ini dapat dijelaskan karena terdapatnya
kesetaraaan relatif antara karakteristik demografis dan karakteristik klinis antara
kedua kelompok (Tabel 5.1 dan 5.2) termasuk beberapa karakteristik prognostik
untuk mortalitas. Studi oleh Zekry dkk47 dan Dias48 menunjukkan keterkaitan erat
antara mortalitas pasien geriatri yang dirawat dengan banyaknya komorbiditas yang
dimiliki. Lebih dari setengah subjek pada kedua kelompok yang diteliti memiliki
jumlah diagnosis saat masuk pada kelompok 5-10 buah (non JKN vs JKN = 69,7% vs
75,7%). Studi oleh Burrmann dkk43 mendapatkan bahwa jenis kelamin laki2,
besarnya umur, ada tidaknya komorbid seperti malnutrisi, riwayat jatuh, ulkus
dekubitus, terpasangnya kateter urine, sindrom delirium akut, rendahnya tingkat
kemandirian pasien geriatri (yang diukur dengan instrumen ADL dan IADL)

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


53

berhubungan dengan tingginya angka mortalitas saat perawatan. Karakteristik


tersebut setara antara kelompok JKN dan non JKN. Chan 49 mendapatkan bahwa IMT
yang baik (antara 24-28) merupakan faktor yang protektif terhadap mortalitas yang
disebabkan oleh infeksi, kardiovaskular dan rehospitalisasi. Pada studi ini didapatkan
nilai IMT dan kadar albumin tidak berbeda antara kelompok JKN dan non JKN.
Bila dibandingkan angka mortalitas dan kesintasan antara kelompok JKN dan
non JKN pada saat perawatan, angka mortalitas kelompok JKN (31,2%) sedikit lebih
tinggi dibandingkan non JKN (28%), sedangkan kesintasan 30 hari kelompok JKN
lebih rendah 1,2% dibanding kelompok non JKN, meskipun secara statistik tidak
bermakna. Perbedaan tersebut relatif kecil dan menurut peneliti tidaklah bermakna
secara klinis. Namun, perbedaan angka mortalitas dan kesintasan antara kedua
kelompok pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, terdapat perbedaan pada beberapa karakteristik klinis kedua


kelompok yang merupakan faktor prognostik mortalitas. Karakteristik klinis tersebut
43,47,48
diantaranya seperti status gizi, albumin, ada tidaknya pneumonia, sindrom
delirium akut dan sepsis. Faktor-faktor prognostik mortalitas tersebut ditemukan
dengan proporsi yang lebih besar pada kelompok JKN, meskipun tidak bermakna
secara statistik. Analisis menggunakan chi square pada beberapa karakteristik klinis
dan demografis dengan mortalitas menunjukkan pneumonia, sepsis, malignansi,
penyakit koroner dan sindrom delirium akut terkait dengan angka mortalitas yang
lebih tinggi pada kedua kelompok.

Analisis dengan Cox Regression menunjukkan hazard kematian yang tidak


bermakna pada penerapan JKN (hazard ratio[HR] 1,05; IK 95%, 0,65 sampai 1,7).
Dengan mempertimbangkan beberapa faktor prognostik mortalitas yang tidak
seluruhnya setara pada kedua kelompok, maka dilakukan analisis multivariat dengan
mengikutsertakan variabel diagnosis penyakit koroner, pneumonia, sindrom delirium
akut, sepsis dan keganasan. Analisis ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat
kecenderungan peningkatan hazard kematian pada kelompok JKN, tetap tidak
menunjukkan kemaknaan secara statistik. (HR 1,08; IK 95%, 0,66 sampai 1,79).

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


54

Kedua, implementasi JKN masih dalam tahap awal dan sampai penelitian ini
selesai dilaksanakan, belum mencapai 1 tahun pelaksanaan. JKN baru mulai
diimplementasikan pada 1 Januari 2014 dengan tujuan tercapainya program yang
diharapkan pada tahun 2019. Saat awal diimplementasikan terdapat banyak
perubahan yang terjadi pada layanan kesehatan di Indonesia pada umumnya, yang
secara khusus dibahas saat ini adalah perubahan pada RSCM. Perubahan-perubahan
akibat JKN tersebut terutama dirasakan dari segi non medis, bukan pada segi medis.
Hal ini karena tidak ada perubahan pada standar operasional (Standard of Procedure)
berbagai tindakan medis, clinical pathway yang digunakan serta assesment medis
yang dilakukan antara era JKN dan pra JKN.

Beberapa perubahan yang terjadi pada era JKN tidak bisa dielaborasi
seluruhnya pada tulisan ini, namun akan dipaparkan perubahan-perubahan yang
dinilai penting dan mempengaruhi kesintasan. Identifikasi perubahan-perubahan ini
didapat dari data kualitatif di lapangan. Belum ada penelitian kuantitatif mengenai hal
ini, karena penelitian ini adalah penelitian pertama yang secara kuantitatif melihat
efek dari penerapan JKN. Perubahan yang nyata terlihat adalah mengenai
ketersediaan obat, alat atau bahan medis. Tidak tersedianya obat dan peralatan medis
dapat mengakibatkan keterlambatan diagnostik dan tatalaksana , yang pada akhirnya
bisa mempengaruhi mortalitas. Ketidaktersediaan obat, alat dan bahan medis ini
terkait dengan dikeluarkannya formularium nasional. Penyedia obat dan alat medis
yang terdaftar di dalam formularium nasional diharuskan untuk memasok seluruh
rumah sakit di Indonesia yang terdaftar dalam program JKN. Perubahan supply dan
demand ini dapat menjadi penyebab sering tidak tersedianya persediaan obat dari
pemasok.

Pada analisis sensitifitas, dilakukan analisis sub grup setelah subjek-subjek


yang menjadi outlier (biaya rawat dan lama rawat) dieksklusi. Lima sampel dari
masing-masing kelompok dieksklusi dan dilakukan analisis mortalitas. Didapatkan
hasil yang tidak berbeda, dengan mortalitas saat perawatan dan kesintasan 30 hari
antara kelompok JKN dan non JKN adalah 30,8% vs 28,4%(p = 0,701) dan 63,5% vs

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


55

65,8% (p=0,769). Kelompok JKN tetap memiliki angka mortalitas absolut yang lebih
besar dibanding non JKN sebesar 2,4% dan kesintasan lebih rendah 2,3% namun
tidak bermakna secara statistik.

6.5 Biaya rawat


Biaya total perawatan antara kelompok JKN dan non JKN tidak berbeda bermakna,
dengan kelompok JKN memiliki rerata yang sedikit lebih besar dibanding non
JKN.(2,43 juta vs 2,23 juta). Biaya material yaitu obat dan alat medis menyumbang
biaya rawat terbesar. Hal ini serupa dengan penelitian analisis efektivitas biaya oleh
Soejono5 yang mendapatkan biaya rawat terbesar diperoleh dari biaya material.

Selain biaya material, komponen biaya yang juga perlu untuk diperhatikan
adalah biaya sarana. Contoh biaya sarana yang dimaksud adalah tindakan bedah,
intervensi non bedah, hemodialisis, dan transfusi. Dari biaya total perawatan terdapat
tiga pasien yang masuk dalam outliers, karena memiliki biaya total rawat >100 juta.
Pada pengamatan lebih lanjut untuk menelaah penyebabnya, subjek dengan biaya
tertinggi (mencapai 140 juta) merupakan subjek dengan lama rawat terlama dan
selama perawatan menjalani dua kali tindakan bedah. Subjek kedua merupakan
pasien yang menjalani hemodialisa dan transfusi produk darah berulang, yang
menjelaskan biaya rawat yang besar. Subjek yang ketiga merupakan pasien dengan
comorbiditas yang banyak, yang selama perawatan menjalani prosedur non bedah
berulang dengan antibiotik jangka panjang. Prosedur atau tindakan medis, baik bedah
maupun non bedah merupakan salah satu faktor penting yang menentukan besarnya
biaya rawat. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama perawatan (56%
pada non JKN dan 60% pada JKN).

Pada kelompok non JKN terdapat 8 persen subjek yang dirawat tanpa
menggunakan jaminan kesehatan (biaya umum). Ini merupakan salah satu alasan
utama diterapkannya JKN, untuk mencapai universal coverage yaitu tiap penduduk
tanpa terkecuali memiliki jaminan kesehatan. Pada penelitian ini, dapat dilihat 100
persen subjek pada era JKN yang menjalani perawatan menggunakan JKN, tidak ada

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


56

yang menggunakan biaya sendiri. Meskipun penerapan JKN belum lama terlaksana,
namun sudah terlihat keberhasilan dari segi tujuan universal coverage tersebut.

Perlu diingat bahwa biaya perawatan antara kedua kelompok tersebut


dipengaruhi oleh tingkat inflasi dan situasi perekonomian di Indonesia. Indeks Harga
Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi yang sering digunakan
untuk mengukur tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi) di tingkat konsumen,
khususnya di daerah perkotaan. Di Indonesia, tingkat inflasi diukur dari persentase
perubahan IHK dan diumumkan ke publik setiap awal bulan (hari kerja pertama) oleh
Badan Pusat Statistik (BPS).51 Pada Januari 2014 terjadi inflasi sebesar 1,07 persen
dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 110,99. Inflasi terjadi karena adanya
kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks beberapa kelompok
pengeluaran, yaitu: kelompok bahan makanan 2,77 persen; kelompok makanan jadi,
minuman, rokok, dan tembakau 0,72 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas,
dan bahan bakar 1,01 persen; kelompok sandang 0,55 persen; kelompok kesehatan
0,72 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,28 persen; dan kelompok
transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,20 persen. Pada kelompok kesehatan
hanya terjadi peningkatan harga sebesar 0,72 persen dan hanya memberikan andil
sebesar 0,03% dari inflasi nasional bulan Januari 2014 (1,07 %). Sampai dengan
bulan Juni 2014 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 1,98%, angka yang tergolong
inflasi ringan (<10%) dengan nilai IHK 112,01.

Untuk membandingkan tingkat inflasi antar kedua kelompok menjadi sulit


karena perhitungan IHK pada tahun 2014 menggunakan metode baru, dan bukan
merupakan kelanjutan tahun 2013. IHK 2013 menggunakan titik acuan 100 pada
tahun 2007, sedangkan IHK 2014 menggunakan titik acuan yang baru yaitu pada
tahun 2012. Namun bila kita melihat tingkat inflasi yang ringan pada periode
tersebut, dengan peran kelompok kesehatan yang kecil pada inflasi tersebut, nilai
inflasi dapat diabaiakan pada perhitungan biaya.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


57

Terdapat perbedaan biaya rawat antara kedua kelompok, dengan kelompok


JKN menunjukkan biaya rawat yang lebih besar dibanding kelompok non JKN. Hal
ini dapat diakibatkan karena terdapat perbedaan tarif obat-obatan dan peralatan medis
pada kedua era. Tarif beberapa obat, alat dan bahan medis habis pakai pada era JKN
berbeda dengan era pra JKN, beberapa mengalami peningkatan dan ada pula yang
mengalami penurunan. Ketika dibandingkan beberapa tarif obat, alat dan prosedur
medis yang umum penggunaannya diantara kedua era, ditemukan tarif pada era JKN
relatif lebih mahal dibanding era pra JKN. Peningkatan tarif tersebut bervariasi dari
hanya 6% sampai mencapai 200%.

Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, salah satu dampak
penerapan JKN adalah penyedia obat dan alat medis yang terdaftar dalam
formularium nasional diberi kepercayaan memasok obat dan alat medis ke seluruh
rumah sakit di Indonesia yang tergabung dalam program JKN. Hal ini dapat
menyebabkan beberapa perubahan dalam perusahaan-perusahaan terkait, dan salah
satu perubahan yang terjadi adalah penyesuaian harga obat. Namun mengingat era
JKN terletak di masa yang berbeda dengan era non JKN, perubahan tarif ini juga
dapat disebabkan akibat perubahan pada situasi perekonomian Indonesia, dan bukan
akibat penerapan JKN itu sendiri. Sulit untuk mengidentifikasi faktor mana yang
menyebabkan peningkatan tarif ini, karena penentuan tarif ditentukan dari berbagai
macam faktor yang berada di luar cakupan penelitian ini. Hal ini perlu
dipertimbangkan dalam menginterpretasi hasil penelitian ini yang menunjukkan biaya
rawat pada era JKN lebih besar dibanding pada era pra JKN.

Infeksi dan pneumonia pada geriatri merupakan penyebab utama perawatan di


berbagai negara di Asia5,42,49 dan Eropa43, dan dapat menyebabkan peningkatan biaya
akibat tatalaksananya. Tatalaksana pneumonia dan sepsis biasanya meliputi
pemberian antibiotika empirik broad spectrum, pemasangan central venous catheter
untuk pemantauan cairan, transfusi darah untuk mencukupi oksigenasi perifer dan
panel-panel laboratorium dan mikrobiologi yang ketat; kesemuanya menghabiskan
biaya yang tidak sedikit. Lama rawat yang panjang akan menyebabkan peningkatan

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


58

biaya perawatan secara langsung lewat peningkatan biaya ruangan, biaya material
dan sarana.

Pada studi ini, terdapat 10 subjek yang memiliki biaya rawat besar, yang
menjadikan mereka outlier dalam variabel biaya. Dari 10 subjek tersebut, yang
memiliki biaya terbesar adalah subjek pada kelompok JKN, yaitu sebesar 140 juta.
Rentang biaya pada 10 subjek tersebut berkisar dari 70 juta-140 juta, sedangkan
subjek lainnya biaya perawatannya seluruhnya dibawah 65 juta. Saat dilakukan sub
group analysis pada ke 10 subjek tersebut, didapatkan bahwa semuanya memiliki
diagnosis sepsis atau pneumonia, dengan lama rawat >30 hari. Hal ini menunjukkan
adanya pengaruh yang nyata dari infeksi dan lama rawat terhadap biaya perawatan.

Dari 10 subjek tersebut, hanya ada satu subjek dengan karakteristik yang
berbeda dengan lainnya. Subjek tersebut menjalani perawatan <30 hari dan tidak
mengalami infeksi. Namun subjek tersebut dirawat dengan penyakit dasar
pansitopeni, yang menyebabkan selama perawatan dilakukan transfusi produk darah
berulang. Transfusi produk darah, termasuk albumin, merupakan komponen penting
yang mempengaruhi pembiayaan, karena besarnya biaya penyediaan produk darah
tersebut. Analisis terhadap biaya dengan menyingkirkan 10 outlier tersebut tidak
menunjukkan perbedaan hasil yang bermakna.

6.6 Analisis efektivitas biaya

Analisis efektivitas biaya merupakan salah satu analisis ekonomi kesehatan yang
dilakukan dengan tujuan memperoleh hubungan antara variabel luaran suatu
intervensi atau program baru dengan biaya terkait. Hasil dinyatakan sebagai satuan
biaya per satuan efek yang terjadi. Analisis efektivitas biaya makin sering digunakan
saat ini pada studi intervensi kesehatan. 37

Pada penelitian ini dihitung hubungan antara variabel biaya rawat dan
kesintasan 30 hari antara kedua kelompok. Pada perhitungan ICER, dapat dilihat

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


59

posisi JKN berada di kuadran kiri atas. Hal ini berarti investor perlu menginvestasi
biaya sebesar 1,4 juta untuk memperoleh penurunan kesintasan sebesar 1,2%.

Penting diperhatikan di sini implementasi JKN yang belum lama di Indonesia.


Konsep JKN yaitu ekuitas dan asuransi sosial merupakan konsep yang baik dan jika
terselenggara dengan baik diharapkan mampu meningkatkan efektifitas biaya. Pada
JKN, pembayaran ke layanan kesehatan dilakukan secara prosepektif berdasarkan
INA-CBG. Dengan ini diharapkan penyedia layanan kesehatan melakukan
perubahan-perubahan pada sistem pelayanan sehingga meningkatkan efisiensi
layanannya. Perubahan yang dimaksudkan bukanlah dengan melakukan fraud, yaitu
dengan memulangkan pasien yang masih memiliki indikasi rawat, pemilihan metode
diagnostik dan terapi yang bukan tepat guna namun lebih hemat biaya atau metode-
metode lain yang tidak mementingkan kesehatan pasien. Perubahan yang diharapkan
adalah dengan membuat clinical pathway, terbentuknya sistem rujukan yang baik,
meningkatkan kesediaan tenaga layanan kesehatan, pemilihan metode terapi dan
diagnostik yang tepat dan berdaya guna. Perubahan lain yang diharapkan adalah
dibentuknya suatu formularium nasional, yaitu daftar obat-obatan dan alat medis
yang teruji efektivitasnya namun dapat diperoleh dengan biaya yang sesuai.
Perubahan-perubahan tersebut sampai saat ini belum tercapai dengan baik, yang
menandakan JKN belum terimplementasi sesuai konsep yang dicanangkan. Hal ini
perlu dipertimbangkan dalam melakukan interpretasi terhadap hasil penelitian ini.

Seperti telah dibahas sebelumnya, terdapat 10 subjek yang memiliki


karakteristik biaya berbeda dengan subjek lainnya (outliers). Untuk menyingkirkan
kemungkinan 10 subjek tersebut mempengaruhi hasil analisis, dilakukan analisis
sensitifitas tanpa memasukkan 10 subjek tersebut. Hasilnya tetap serupa dimana
perhitungan ICER terhadap kesintasan dan biaya menduduki kuadran kiri atas. Tidak
ditemukan pula perbedaan bermakna antara mortalitas pada kedua kelompok. Dapat
disimpulkan walaupun 10 subjek tersebut memiliki karakteristik yang relatif berbeda
dengan subjek lainnya, keikutsertaan mereka dalam analisis tidak mempengaruhi
hasil analisisnya.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


60

6.7 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian

Kelebihan penelitian ini adalah bahwa ini merupakan penelitian pertama yang
membandingkan pengaruh penerapan sistem pembiayaan JKN terhadap luaran
tertentu. Penelitian ini merupakan suatu bentuk evaluasi awal terhadap program
pembiayaan nasional yang diimplementasikan pemerintah Indonesia, sehingga data-
data yang diperoleh dapat membantu dalam penentuan kebijakan selanjutnya.
Meskipun demikian, penelitian ini belum dapat dinilai sebagai suatu bentuk evaluasi
program yang sudah komplit.

Sistem INA CBGs terakhir yang diadopsi sebagai dasar klasifikasi dan
pembiayaan program JKN merupakan suatu sistem yang disusun berdasar penelitian
observasi selama setahun (2013-2014) terhadap bermacam-macam pembiayaan dan
kriteria diagnosis di Indonesia. Seyogyanya evaluasi terhadap program ini dilakukan
juga dengan interval satu tahun semenjak program ini dilaksanakan. Hasil yang
diperoleh tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai evaluasi akhir dari efek JKN
terhadap mortalitas pasien geriatri. Perlu dipertimbangkan adanya waktu transisi dari
era non JKN ke era JKN, dimana sangat rentan terjadi analisis terhadap era transisi,
dan bukan era murni dimana telah terimplementasi sistem JKN sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam peta jalan jaminan kesehatan nasional disebutkan bahwa
implementasi JKN sendiri dimulai tanggal 1 Januari 2014, dan akan terus
dikembangkan sampai tahun 2019, dimana diharapkan telah terimplementasi dalam
jangka waktu lebih panjang. Meskipun demikian, penelitian ini dapat dipandang
sebagai suatu penelitian pendahuluan sebagai dasar dalam mengembangkan
penelitian evaluasi program ke depannya.

Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dilakukan klasifikasi lanjut dari
diagnosis. Sebagai contoh diagnosis pneumonia, dapat diklasifikasikan lebih lanjut
menjadi pneumonia komunitas, atau yang hospital associated pneumonia, atau
klasifikasi lanjut dari sepsis seperti sepsis berat atau syok sepsis. Diagnosis seperti

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


61

pneumonia dan sepsis memiliki implikasi besar terhadap lama rawat, mortalitas dan
biaya. Klasifikasi yang lebih tajam dapat membantu melihat sebaran karakteristik
klinis yang lebih mendetail, sehingga membantu interpretasi data penelitian.

Kelemahan ini sebenarnya tidak lepas dari desain penelitian ini, yaitu kohort
retrospektif, dimana peneliti tidak dapat mengontrol data yang dikumpulkan seperti
pada penelitian prospektif. Data yang didapat adalah dari rekam medis dan catatan
elektronik rumah sakit (electronic health record), sehingga bila ada data yang tidak
ada, tidak tepat atau tidak sesuai dengan keperluan penelitian maka tidak dapat
digunakan. Pada penelitian ini terdapat kurang lebih 25% dari populasi terjangkau
yang tidak diikutsertakan dalam penelitian karena rekam medis tidak ditemukan.
Terdapat kemungkinan hasil penelitian ini tidak dapat sepenuhnya mewakili populasi
yang dituju, dan perlu menjadi perhatian sebelum menginterpolasikan data yang
diperoleh ini.

6.8. Generalisasi Hasil Penelitian

Penelitian terhadap validitas interna dilakukan dengan memperhatikan apakah


subjek yang menyelesaikan penelitian dapat mempresentasikan sampel yang
memenuhi kriteria pemilihan subjek. Pada penelitian ini, semua subjek yang
memenuhi kriteria pemilihan menyelesaikan penelitian. Namun, terdapat 65 (28,9%)
subjek yang tidak dapat dilakukan penelusuran lanjut lewat telepon untuk melihat
apakah terjadi event (kematian) atau tidak. Dari 65 subjek tersebut, 33 subjek berada
pada kelompok non JKN dan 32 subjek pada kelompok JKN. Pada analisis
sensitifitas didapatkan tidak terdapat perbedaan karakteristik klinis, demografis dan
faktor-faktor prediktor mortalitas dari kedua kelompok subjek tersebut. Berdasarkan
hasil analisis sensitifitas tersebut, disimpulkan data yang hilang tersebut terjadi secara
acak (missing at random), dan tidak mempengaruhi validitas interna. Validitias
interna dari penelitian ini dapat dikatakan baik.

Untuk validitas eksterna I, dilihat apakah subjek yang direkrut sesuai dengan
kriteria pemilihan (intended sample) pada penelitian ini dapat mewakili populasi

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


62

terjangkau (accesible population). Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah


pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun yang dirawat di ruang rawat
inap akut geriatri RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014. Dilakukan total
sampling pada seluruh subjek yang memenuhi kriteria pemilihan pada periode
tersebut. Dari 319 subjek yang berada pada periode waktu tertentu, terdapat 94 subjek
yang dieksklusi; 45 pada era JKN dan 49 pada era non JKN. Eksklusi ini cukup
banyak, dan menyebabkan missing data (data yang hilang) sebesar 29,4% dari total
subjek. Dilakukan analisis sensitifitas terhadap karakteristik subjek yang dieksklusi,
untuk melihat apakah data yang hilang terjadi secara acak. Pada analisis terhadap
karakteristik demografis dan klinis, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara data
yang hilang pada kelompok JKN dan non JKN. Terdapat satu diagnosis yang tersebar
tidak merata pada kedua kelompok data yang hilang, yaitu sindrom delirium akut.
(20% pada kelompok non JKN dan 5% pada kelompok JKN). Namun, perbedaan
pada proporsi sindrom delirium akut ini tidaklah menyebabkan terjadinya missing
data. Berdasarkan hal tersebut, validitas eksterna I penelitian ini masih diragukan.

Untuk validitas eksterna II, dilihat apakah populasi terjangkau pada


penelitian ini dapat mewakili populasi target penelitian ini. Populasi target penelitian
ini adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun di Indonesia.
RSCM merupakan rumah sakit rujukan nasional, sehingga pasien-pasien yang datang
berobat ke RSCM merupakan rujukan dari berbagai daerah di Indonesia. Hal ini
menyebabkan populasi geriatri yang ada di RSCM memiliki karakteristik penyakit
yang lebih kompleks dibandingkan dengan populasi geriatri di luar RSCM.
Pengambilan sampel pada penelitian ini juga dilakukan pada pasien geriatri di ruang
rawat, sehingga tidak mewakili populasi geriatri di komunitas. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, validitas eksterna II dari penelitian ini dianggap kurang baik.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Tidak ada perbedaan antara kesintasan pasien yang dirawat dengan metode P3G
di ruang rawat geriatri akut RSCM pada era non JKN dengan era JKN.

2. Berdasarkan perhitungan incremental cost effectiveness ratio, dibutuhkan


investasi biaya tertentu untuk mencapai penurunan kesintasan pada penerapan
JKN. Analisis terhadap masing-masing komponen dari ICER (kesintasan dan
biaya) antara kedua kelompok tidak menberikan perbedaan yang bermakna secara
statistik dan dinilai tidak bermakna secara klinis.

7.2 Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan yang mengevaluasi program JKN saat telah


terimplentasi dalam jangka waktu yang lebih panjang, untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya era transisi non JKN ke JKN yang dapat merancukan hasil
penelitian.

2. Ada keterkaitan erat antara biaya dan kualitas layanan kesehatan sehingga
disarankan untuk penelitian selanjutnya yang berbasis kesehatan baik segi
etiologi, diagnostik, terapi dan prognostik sebaiknya menyertakan analisis
ekonomi kesehatan.

3. Diperlukan suatu evaluasi berkala terhadap pelaksanaan P3G, untuk memastikan


terpeliharanya kualitas layanan sesuai yang dimaksudkan, yang tidak terpengaruh
oleh sistem pembiayaan dan faktor eksternal lain.

63

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


RINGKASAN

Populasi geriatri makin berkembang seiring waktu. Geriatri memiliki karakteristik


yang khas sehingga memerlukan pendekatan khusus dalam penatalaksanaan masalah
kesehatannya, yang dikenal dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G). P3G
telah menjadi standar pelayanan di RSCM dan terbukti menghasilkan luaran
perawatan yang lebih baik, dari segi mortalitas, rehospitalisasi, lama masa rawat,
perbauikan kualitas hidup dan lebih efektif biaya. Semenjak awal tahun 2014, di
Indonesia mulai diberlakukan sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional,
menggantikan sistem jaminan kesehatan sebelumnya yang masih sangat bervariasi.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah terdapat perbedaan kesintasan dan efektifitas
biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM pada era JKN dibanding era non JKN.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kesintasan


dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM antara era JKN dan non
JKN.

Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif dengan kontrol


historis. Sampel dikumpulkan dari pasien geriatri yang dirawat di RSCM selama
periode Juli 2013-Juni 2014 yang kemudian dibagi menjadi kelompok JKN dan
kelompok non JKN sebagai kontrol. Akan dinilai perbedaan angka mortalitas, kurva
kesintasan dan efektivitas biaya perawatan dengan menghitung incremental cost
effectivitveness ratio (ICER).

Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era
JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Sebagian besar
subjek pada kedua kelompok berjenis kelamin perempuan, berada pada kelompok
usia 60-79 tahun, bersuku Jawa, dan tidak bersekolah. Terdapat kesetaraan
karakteristik demografis pada kedua kelompok. Subjek pada kelompok JKN memiliki
proporsi penyakit pneumonia, sepsis dan sindrom delirium akut yang lebih tinggi,
serta nilai albumin dan status gizi yang lebih rendah dibandingkan kelompok non
JKN, namun tidak bermakna secara statistik. Tidak ada perbedaan mortalitas selama
perawatan( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN

64

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


65

dan non JKN ( 66,4% vs 65,2 %, p = 0.086). Kurva kesintasan 30 hari antara kedua
kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (log rank = 0,831). Hasil
perhitungan ICER menunjukkan dengan investasi biaya sebesar 1,4 juta diperoleh
penurunan kesintasan sebesar 1,2%.

Dari penelitian ini disimpulkan tidak ada perbedaan kesintasan antara pasien
geriatri yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER
menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan
pada penerapan JKN, namun interpretasi hasil ini perlu mempertimbangkan
implentasi JKN yang masih dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat
implementasi JKN telah berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


SUMMARY

Geriatrics is a growing population with special characteristics and medical


problems. Comprehensive Geriatrics Assesment (CGA) has been proven to improve
the overall outcome of inpatient geriatric patients, including mortality,
rehospitalization, quality of life, length of stay dan more cost effective. CGA has
been implemented in RSCM as the standard geriatric medical care. Since January
2014, a new insurance system called National Health Insurance Program (NHIP) was
implemented in Indonesia. It is unclear how NHI will affect the mortality rate and
cost effectiveness of geriatric inpatients receiving CGA.

The objectives of this study is to determine the difference between cost


effectiveness and survival of geriatric patients between NHIP and non NHIP era in
RSCM acute geriatric ward inpatients.

This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject were
geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to
Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis and
determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to compare
the survival and cost effectiveness between the two group.

The result are as follows. A total of 225 subject was recruited, 100 in NHIP
era dan 125 in non NHIP era. Most of the subjects in both groups are women, in the
61-80 group of age, and didn’t attend school. The clinical and demographics
characteristics were relatively similar between the NHIP and non NHIP group. The
subject in NHIP group had higher proportion of pneumonia, sepsis, acute confusional
state and lower albumin and nutritional level compared with non NHIP group, though
not statistically significant. No difference in 30 day mortaliy rate and inhospital
mortality were found between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 29%, p = 0,721
and 31,2% vs 28%, p=0,602, respectively). No significant difference was found when
comparing the survival curve between the two group (log rank = 0,831). Calculation
of ICER shows that NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah
and 1,2 % survival lost.

66

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


67

Based on this study, we can conclude that NHIP had no impact on survival in
geriatric inpatients. ICER calculation shows NHIP implementation is associated with
higher investment cost to yield lower survival rate. Further research is needed to
evaluate this result when NHIP had been implemented for a longer duration.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, Tufts University School of Nutrition and Policy,


editors. Keepfit for life: Meeting the nutritional needs of older persons [Internet].
Geneva: WHO publications; 2002. Diunduh pada 24 April 2014 di
http://whqlibdoc.who.int/publications/9241562102.pdf
2. United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division
2013. World Population Prospects: The 2012 Revision, Highlights and Advance
Tables. Working Paper No. ESA/P/WP.228.
3. Mulley G. Geriatric Medicine Defined [Internet]. United Kingdom British
Geriatrics Society. 2010. Diunduh pada 9 Juli 2014 di
http://www.bgs.org.uk/index.php?option=com_content&view=article&id=87&Ite
mid=72
4. Freedman VA, Martin LG. Contribution of chronic conditions to aggregate
changes in old-age functioning. Am J Public Health. 2000;90:1755-60.
5. Vogeli C, Shields AE, Lee TA, Gibson TB, Marder WD, Weiss KB, et al.
Multiple chronic conditions: prevalence, health consequences, and implications
for quality, care management and costs. JGIM. 2007; 22:391-5.
6. Soejono CH. The Impact of ‘Comprehensive Geriatric Assessment (CGA)’
Implementation on The Effectiveness and Cost (CEA) of Healthcare in an Acute
Geriatric Ward. Indonesia J Intern Med. 2008;40(1) :3-10.
7. BAPPENAS, BPS, UNFPA. Proyeksi penduduk Indonesia (Indonesia population
projection) 2010-2035. Jakarta: Bappenas; Juli 2013.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Tim penyusun bahan sosialisasi dan
advokasi JKN. Buku pegangan sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Indonesia: 2014.
9. Freedman VA, Martin LG. Contribution of chronic conditions to aggregate
changes in old-age functioning. Am J Public Health. 2000;90:1755-60.
10. Cavalli A, Del Vecchio L, Locatelli F. Geriatric nephrology. J Nephrol
2010;23:11-5.

68

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


69

11. DeFrances CJ, Lucas CA, Buie VC, Golosinskiy A. National Hospital Discharge
Survey. Natl Health Stat Report. 2008 Jul 30;(5):1-20.
12. Inouye SK, Zhang Y, Han L, Leo-Summers L, Jones R. Recoverable cognitive
dysfunction at hospital admission in older persons during acute illness. J Gen
Intern Med. 2006;21:1276–81.
13. Boyd CM, Landefeld CS, Counsell SR, Palmer RM, Fortinsky RH. Recovery of
activities of daily living in older adults after hospitalization for acute medical
illness. J Am Geriatr Soc. 2008;56:2171-9.
14. Lee SJ, Lindquist K, Segal MR, Covinsky KE. Development and validation of a
prognostic index for 4-year mortality in older adults. JAMA. 2006;295:801-8.
15. Rikkert O, Rigaud, Hoeyweghen, de Graaf. Geriatric syndromes: medical
misnomer or progress in geriatrics. Neth J Med. 2003;61(3):83-7.
16. Wang SY, Shamliyan TA, Talley KM, Ramakrishnan R, Kane RL. Not just
specific diseases: systematic review of the association of geriatric syndromes with
hospitalization ornursing home admission. Arch Gerontol Geriatr. 2013;57(1):16-
26.
17. Inouye SK, Tinneti ME, Gill TM, Doucette J. Shared risk factor for falls,
incontinence, and functional dependence. Unifying the approach to geriatric
syndromes. JAMA 1995;3(273(17)):1348-53.
18. Kane RL, Shamliyan, T., Talley, K. and Pacala, J. The Association Between
Geriatric Syndromes and Survival. J Am Geriatr Soc. 2012;60:896–904.
19. Wood R, Bain S. The Health and Well-being of Older People in Scotland:
Insights from National Data. Edinburgh: Information and Statistics Division;
2001.
20. Harris T, Kovar MG, Suzman R, Kleinman JC, Feldman JJ. Longitudinal study of
physical ability in the oldest-old. Am J Public Health. 1989;79(6):698–702.
21. Rubenstein LZ, Josephson KR, Wieland GD. Effectiveness of a geriatric
evaluation unit : A randomized clinical trial. N Engl J Med. 1984;311(26):1664–
70.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


70

22. Wieland D, Ferrucci L. Multidimensional geriatric assessment: back to the future.


J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2008;63(3):272-4.
23. Preamble to the Constitution of the World Health Organization International
Health Conference; 19-22 June; New York: WHO; 1946. p. 100.
24. Supartondo. Pendekatan klinik pasien geriatri di rawat jalan dan rawat inap.
Prosiding simposium “Temu Ilmiah Geriatri 2002”: Penatalaksanaan pasien
geriatri/usia lanjut secara terpadu dan paripurna. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2002. p. 18-21.
25. Cameron HJ. Clinical trials in the elderly: Should we do more. Drugs Aging.
1996;9(9):307-10.
26. Thabrany H. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional: sebuah policy
paper dalam analisis kesesuaian tujuan dan struktur BPJS. Jakarta 2009.
27. Busse R, Geissler A, Aaviksoo A, Cots F, Hakkinen U, Kobel C. Diagnosis
related groups in Europe: moving towards transparency, efficiency, and quality in
hospitals. BMJ. 2013;346:f3197.
28. Fetter RB SY, Freeman JL, Averill RF, Thompson JD. Case mix definition by
diagnosis related groups. Medical Care. 1980;18(2):1-53.
29. Fetter RB, Freeman JL. Diagnosis related groups: product linemanagement within
hospitals. Academy of Management Review. 1986;11(1):41-54.
30. O'Reilly J, Lowson K, Young J, Forster A, Green J, Small N. A cost effectiveness
analysis within a randomised controlled trial of post-acute care of older people in
a community hospital. BMJ. 2006;333(7561):228.
31. Bambang W. Tarif INA-CBG untuk JKN 2014. Case-mix Indonesia: PERSI-
Jakarta; 2013.
32. Rokx C, Schieber G, Harimurti P, Tandon A, Somanathan A. Health financing in
Indonesia: a reform road map. 2009. Indonesia: The World Bank.
33. Aljunid SM. Introduction to Casemix/DRG system: The need for a computerized
processing environment. International Institute for Global Health (UNU-IIGH),
Information technology for universal health coverage (ITUHC); 25-27
September; Manila, Filipina 2013.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


71

34. Madden R, Marshall R, Race S. ICGF and casemix models for healthcare
funding: use of the WHO family of classifications to improve casemix. Disability
& Rehabilitation. 2013;2013(13):1074-7.
35. Drummond MF. Methods for the evaluation of health care programmes. 3rd ed.
Oxford: Oxford Medical Publications; 2005.
36. Polinder S, Toet, H, Panneman M, Van beeck, editors. Methodological approach
for cost effectiveness and cost-utility analysis of injury prevention measure. 2011.
World Health Organization Regional Office For Europe.
37. Edejer TT. Making choices in health: the WHO guide to cost–effectiveness
analysis. 2003. Diunduh 1 April 2014 dari
www.who.int/choice/publications/p_2003_generalised_cea.pdf
38. Gold MR. Cost–effectiveness in health and medicine. New York: Oxford
University Press; 1996.
39. National Institute for Health and Clinical Excellence. Guide to the methods of
technology appraisal [Internet]. Diunduh dari www.nice.org.uk/ media/ B52/ A7/
TAMethodsGuideUpdatedJune2008.pdf pada 11 Mei 2014
40. Drummond MF, Jefferson TO. Guidelines for authorsand peer reviewers of
economic submissions to the BMJ. BMJ 1996;313: 275–283.
41. Ferrucci L, Weilan D. Multidimensional Geriatric Assessment: back to the future.
J Gerontol A BiolSci Med Sci. 2008;63:272-4.
42. Epriliawati M. Uji validasi Pneumonia severity index (PSI) dan curb-65 dalam
memprediksi mortalitas pada pasien usia lanjut dengan Pneumonia komunitas.
Perpustakaan FKUI; 2011.
43. Chan TC, Luk JH, Chu LW, Chan FH. Validation study of Charlson Comorbidity
Index in predicting mortality in Chinese older adults. Geriatr Gerontol Int 2014;
14: 452–457.
44. Buurman B, Hoogerduijn JG, de Haan R, Abu-Hanna A, Lagaay AM, Verhaar
HJ, et al. Geriatric Conditions in Acutely Hospitalized Older Patients: Prevalence
and One-Year Survival and Functional Decline. PLoS ONE 6(11): e26951.
doi:10.1371/journal.pone.0026951.

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


72

45. Riset kesehatan dasar: RISKESDAS 2013. In: Kesehatan BPdP, editor:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.
46. Taffet GE, editor. Physiology of Aging. 4 ed. New York: Springer, 2003;2:20-38.
47. Calle A, Márquez MA, Arellano M, Pérez LM, Pi-Figueras M, Miralles R.
Geriatric Assessment and Prognostic Factors of Mortality in Very Elderly Patients
With Community-Acquired Pneumonia . Arch Bronconeumol. 2014;50(10):429–
434.
48. Zekry D, Valle BH, Graf G, Michel JP, Gold G, Krause KH et al. Prospective
Comparison of Comorbidity Indices as Predictors of 1-Year Post-Hospital
Discharge Institutionalization, Readmission, and Mortality in Elderly Individuals.
J Biomed Inform. Jun 2013; 46(3):410-424
49. Dias A, Teixeira-Lopes F, Miranda A, Alves M, Narciso M, Mieiro L, et al..
Comorbidity burden assessment in older people admitted to a Portuguese
University Hospital. Aging Clin Exp Res DOI 10.1007/s40520-014-0280-5
50. Chan TC, Luk JH, Chu LW, Chan FH. Association between body mass index and
cause-specific mortality as well as hospitalization in frail Chinese older adults.
Geriatr Gerontol Int. 2014 Jan 12. doi: 10.1111/ggi.12230. [Epub ahead of print]
51. Ellis G, Whitehead MA, Robinson D, O'Neill D, Langhorne P. Comprehensive
geriatric assessment for older adults admitted to hospital: meta-analysis of
randomised controlled trials. BMJ 2011;343:d6553.
52. Badan Pusat Statistik. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita
Resmi Statistik No. 10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014. Diunduh pada 3 Januari
2015

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


LAMPIRAN
Cost-effectiveness Analysis of National Health Insurance for Geriatric Patients
Receiving CGA
dr. Hari Sutanto/ dr. Ika Fitriana/ dr. Paskalis LAMPIRAN
LAMPIRAN 12
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Departemen Ilmu Penyakit Dalam NO.
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
FORMULIR PENELITIAN
Identitas Pasien
1. Nama : Tn/ Ny. ______________ No RM :______________________
2. Tanggal lahir : _____________________ Usia : ______________________
3. Alamat : _______________________________________________________
4. Suku : _____________________ No telp : ______________________
5. Agama : _____________________ Status : ______________________
6. Pekerjaan : PNS/ Swasta/ Pensiun/ Tidak bekerja
7. Pendidikan : Tidak Sekolah / SD / SMP / SMU / S1 / S2 / S3
8. Tanggal masuk : _______________________________________________________
9. Penghasilan : < 1juta / 1-3 juta / 3-5 juta / > 5 juta
Pembiayaan
□ Era non JKN □ Era JKN
□ Askes □ Jamkesda □ Umum
□ Jamkesmas □ KJS □ Lain2: ____________
===========================================================================================================

Keluhan Utama Masuk_________________________________________________________


Pemeriksaan Fisik Awal
1. GCS : ___________________ 5. Laju napas : ___________________
2. TD sistole : ___________________ 6. Suhu : ___________________
3. TD diastole : ___________________ 7. BB : ___________________
4. Nadi : ___________________ 8. TB : ___________________
Laboratorium
Hb SGOT pH
Ht SGPT pCO2
Leuko GDS PO2
Trombo Albumin HCO3
Ur Na FiO2
Cr K

73

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015


74

Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai