Anda di halaman 1dari 6

PEMILU SERENTAK 2019: EVALUASI KONSTRUKTIF

PENYELENGGARAAN DEMOKRASI INDONESIA


Oleh: Khairul Umam

PENDAHULUAN
Indonesia menyelenggarakan Pemilu serentak untuk pertama kalinya
dalam sejarah pemilu di Indonesia pada tanggal 17 April 2019. Pemilu
tersebut untuk memilih Presiden/Wakil Presiden yang dilaksanakan
bersamaan dengan Pemilu Legislatif (Pemilu untuk memilih Anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota). Pemilu Serentak berawal
dari aksi Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat yang menggugat UU Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
Atas gugatan tersebut, MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-
XI/2013 yang menetapkan kebijakan tentang Pemilu Serentak, dan
menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil
Presiden dengan Pemilu Legislatif adalah inkonstitusional. Oleh sebab itu,
Pemilu harus dilaksanakan secara serentak. Meskipun demikian, penerapan
Pemilu Serentak baru akan dilaksanakan pada tahun 2019, bukan pada
Pemilu 2014 dikarenakan sedikitnya interval waktu pelaksanaan Pemilu
2014.
Alasan kuat diberlakukan Pemilu Serentak adalah biaya politik yang tinggi
dalam proses penyelenggaraan Pemilu, mengutip apa yang pernah
disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (2009-2014), yaitu 1
Trilyun Rupiah dihabiskan untuk kampanye Pilkada Jawa Timur; Politik uang
yang marak sebagai salah satu unsur dari politik transaksional tersebut
diatas, yang berimplikasi pada korupsi Politik; dan sistem pemisahan pemilu
legislatif dan eksekutif selama ini telah mengakibatkan tidak tegakkannya
atau tidak diperkuatnya sistem Presidensial. 1
Pro-kontra pun bermunculan sebelum, selang berlangsung, dan pasca
pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Beberapa alasan yang menolak adanya
Pemilu Serentak yaitu (1) sulitnya para pemilih untuk mengetahui dan
memilih para calon pejabat politik, eksekutif dan legislatif, dari begitu banyak
nama calon. Waktu yang dibutuhkan pemilih di bilik suara juga akan sangat
lama; (2) kertas suaranya (ballot paper) akan sangat tebal; (3) persiapan
1
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 hlm. 6

1
logistiknya akan sangat rumit; (4) perhitungan suaranya juga akan memakan
waktu yang cukup lama, lebih dari dua minggu.
Pada praktiknya, Pemilu serentak 2019 memang menyisihkan banyak
permasalahan. Mulai dari terlambatnya pendistribusian logistik pemilihan,
meninggalnya KPPS dan petugas lainnya yang diakibatkan kelelahan, data
pemilih fiktif hingga persoalan pemilihan warga negara Indonesia di luar
negeri, serta masih banyak lainnya. Oleh karena itu, apakah Pemilu Serentak
bersesuaian dengan kultur Indonesia, dan apa saja yang harus dievaluasi
dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 17 April 2019 agar kegagalan
beberapa aspek dalam Pemilu tersebut tidak terulang kembali.

PEMBAHASAN
Pemilu serentak (concurrent elections) secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa
pemilihan pada satu waktu secara bersamaan. 2 Pemilu serentak terdapat
beberapa klasifikasi yaitu; pertama, pemilu serentak untuk semua jabatan
legislatif dan eksekutif dari tingkat nasional, regional dan lokal, atau disebut
juga pemilu borongan; kedua, pemilu serentak untuk seluruh jabatan legislatif
yang disusul oleh pemilu serentak beberapa bulan kemudian untuk seluruh
jabatan eksekutif nasional, regional dan lokal, atau dikenal dengan clustered
concurrent elections; ketiga, pemilu serentak terpisah antara pemilu nasional
dan pemilu regional dan lokal dengan masa jeda dua atau tiga tahunan
(concurrent election with mid-term elections); keempat, pemilu serentak
legislatif dan eksekutif pada tingkatan nasional dan pemilu serentak tingkat
provinsi dan kabupaten/kota atas dasar pengelompokan wilayah; kelima,
pemilu serentak tingkat nasional yang diikuti oleh pemilu lokal serentak pada
tingkatan provinsi (concurrent national election with flexible concurrent local
elections at provincial levels); dan keenam, pemilu serentak untuk memilih
anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan
kemudian diikuti setelah selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif
bersamaan untuk satu provinsi. 3 Saat ini, model keenam inilah yang
diterapkan di Indonesia atas putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Meskipun
diputuskan tahun 2013, akan tetapi pemberlakuannya pada Pemilu 2019
bukan 2014.
2
Benny Geys, 2006, “Explaining Voter Turnout: A Review of Aggregate-Level Research”,
dalam Electoral Studies 25, hlm. 652.
3
Saldi Isra dkk, 2014, “Pemilu Nasional Serentak 2019”, Paper, Jakarta hlm. 22-23.

2
Sebagai perbandingan, Filipina adalah contoh negara di Asia Tenggara
yang mengintroduksi sistem pemilu serentak eksekutif dan legislatif pada
saat yang bersamaan (Syncronized elections), kecuali untuk jabatan
eksekutif terendah di tingkat perkotaan (urban neighbourhood) dan
pedesaan (rural villages).4
Sistem pemilu Filipina mulai diterapkan sejak diberlakukannya
Konstitusi 1987 setelah digulingkannya Presiden Marcos pada 1986. Menurut
konstitusi Filipina, Presiden dan Wakil Presiden dipilih enam tahun sekali
melalui pemilihan umum nasional dan tidak boleh dipilih kembali setelah
masa jabatannya selesai. Lembaga legislatif Filipina terdiri atas dua kamar
(bicameral), yaitu DPR beranggotakan 200 dan Senat yang beranggotakan
24 orang mewakili provinsi yang ada di Filipina. Anggota DPR dipilih melalui
sistem distrik (Single member district) dengan masa jabatan tiga tahun
ditambah dengan wakil-wakil sektoral yang diangkat oleh presiden. Senat
memiliki masa jabatan enam tahun secara nasional, separuh anggota senat
dipilih setiap tiga tahun berbarengan dengan pemilihan presiden. Para
anggota DPR hanya dapat memangku jabatannya untuk tiga periode,
sedangkan senat dua periode.
Pemilu Serentak Indonesia semula diharapkan dapat memperbaiki
pelaksanaan Pemilu menjadi lebih efisien. Pemilu Serentak akan mengurangi
pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan horizontal di
masyarakat pada masa-masa pemilu. Selain itu, Pemilu Serentak akan
membuat proses demokrasi pada pemilu menjadi lebih bersih dari
kepentingan-kepentingan tertentu, terutama kepentingan yang menyangkut
lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik
sebelum menentukan Pasangan Capres-Cawapres yang seringkali dilakukan
berdasarkan kepentingan sesaat, bukan untuk kepentingan bangsa dan
negara secara umum dan dalam jangka panjang.
Meskipun demikian, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 memunculkan
banyak permasalahan, yang paling mencuat antara lain; 5 pertama,
penanganan logistik pemilu. Secara nasional, ada 10.520 TPS yang
mengalami kekurangan logistik pemilu. Terjadi pula kasus kotak suara yang
diterima KPPS tidak tersegel, yaitu terjadi di 6.474 TPS. Selain itu, ada juga
4
Joel Rocamora, “Philippine Political Parties, Electoral System and Political Reform”,
http://www.philsol.nl/1998. Diakses 9 November 2019.
5
Aryojati Ardipandanto, “Permasalahan Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019”,
Jurnal Puslit BKD Vol. XI, No.11/I/Puslit/Juni/2019, hlm. 26-27.

3
kasus surat suara yang tertukar antar Daerah Pemilihan atau antar TPS.
Berdasarkan data Bawaslu, kasus ini terjadi di 3.411 TPS.
Kedua, terkait Penanganan Data Pemilih. Pemutakhiran Daftar Pemilih
Tetap Hasil Perbaikan Tahap 3 (DPThp 3) yang dilakukan KPU baru tuntas
pada 8 April 2019, yaitu 9 hari sebelum Hari H Pencoblosan. Ini berarti
mundur 21 hari dari jadwal yang ditetapkan KPU, yaitu 19 Maret 2019.
Beberapa pihak menyatakan bahwa kendala utama keterlambatan adalah
KPU mengalami kesulitan dalam mengurutkan Data Pemilih secara
komprehensif (yang bersinergi dengan Data Pemilih di Kemendagri),
sehingga masih terjadi kesalahan berupa terdaftar anda, terdaftar yang
sudah meninggal, dan tidak ter-updatenya Pemilih yang pindah domisili.
Bawaslu juga menyatakan bahwa Sistem Informasi Data Pemilih milik KPU
sering error sehingga mengganggu proses pengunggahan dan pengunduhan
data.
Ketiga, terkait beban kerja KPPS. Data Kementerian Kesehatan per 16
Mei 2019 menunjukkan sebanyak 527 Petugas KPPS meninggal dunia dan
11.239 jatuh sakit. Banyaknya jumlah Petugas KPPS yang meninggal dunia
dan jatuh sakit tersebut diduga karena beban kerja penyelenggaraan Pemilu
Serentak 2019 yang berat.
Keempat adalah kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan suara
Pemilu Serentak 2019. Beberapa organisasi mencatat ada 708 kasus
rekapitulasi tersebut, yaitu terutama terkait data C1 yang tertukar dan
kesalahan input data C1 ke dalam Sistem Perhitungan KPU.
Permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak
2019 di atas tidak berarti mengarah pada kesimpulan bahwa Pemilu Serentak
tidak tepat dilaksanakan di Indonesia. Putusan MK yang mengamanatkan
penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden harus dilaksanakan
secara serentak dibenarkan oleh beberapa kalangan. Prasetyoningsih
menyatakan bahwa Putusan MK tersebut merupakan putusan yang baik dan
sangat acceptable, dengan argumentasi bahwa: (1) Pemilu yang tidak
serentak akan memperlemah sistem pemerintahan presidensiil; (2) Pemilu
Serentak merupakan amanat Konstitusi; (3) Pemilu Serentak akan mengarah
pada efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu. 6

6
Aminuddin Ilmar, 2014, “Hukum Tata Pemerintahan”, Jakarta: Prenada Media Group, hlm.
254.

4
Namun, Pemilu Serentak 2019 harus dievaluasi agar permasalahan-
permasalahan yang terjadi dapat ditekan sedikit mungkin. Dari aspek sistem
keserentakannya, yang semula serentak untuk memilih anggota DPR, DPD,
dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti setelah
selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu
provinsi, diubah menjadi serentak nasional dan serentak daerah atau
serentak eksekutif dan serentak legislatif. Hal ini untuk menekan beban kerja
petugas namun tetap mempertahankan penguatan sistem presidensiil.
Pemisahan pemilu serentak nasional dan daerah ini disarankan berjarak 30
bulan atau 2,5 tahun. Tujuannya untuk merapikan jadwal pemilu dan
menghindari kejenuhan di masyarakat.
Selain itu, dari aspek kuantitas Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) yang hanya berjumlah tujuh orang menjadi paling sedikit 10
orang di setiap TPS. Karena menyangkut distribusi dan alur pekerjaan di
tingkat KPPS. Kerja KPPS harus mengemban amanah sebelum pemilu
hingga pelaksanaannya. Selain merekap laporan petugas KPPS juga harus
berhadapan dengan masyarakat, hingga DPRD kabupaten/kota. Maka dari
itu, keberadaan KPPS memang ikut memastikan TPS, sebagai tempat
pemungutan dan penghitungan suara tingkat pertama, agar
penyelenggaraannya tidak bermasalah. Kalau saja sampai muncul
permasalahan, hal itu tentu akan berdampak pada rekap suara di tingkat
selanjutnya.

PENUTUP
Sistem Pemilu Serentak 2019 merupakan pelaksanaan Pemilu Serentak
pertama kali dalam sejarah Pemilu Indonesia. Tentu saja menuai
kelebihan/keuntungan dan juga kelemahan/permasalahan. Namun
permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019
tidak berarti mengarah pada kesimpulan bahwa Pemilu Serentak tidak tepat
dilaksanakan di Indonesia. Putusan MK yang mengamanatkan
penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden harus dilaksanakan
secara serentak. Hanya saja permasalahan yang timbul dapat dicarikan
solusi seperti pelaksanaan serentak menjadi serentak nasional dan daerah,
dan penambahan KPPS untuk membagi beban kerja antar petugas.

5
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Ilmar, 2014, “Hukum Tata Pemerintahan”, Jakarta: Prenada Media


Group.
Aryojati Ardipandanto,”Permasalahan Penyelenggaraan Pemilu Serentak
Tahun 2019”, Jurnal Puslit BKD Vol. XI, No.11/I/Puslit/Juni/2019.
Saldi Isra dkk, 2014, “Pemilu Nasional Serentak 2019”, Paper, Jakarta.
Benny Geys, 2006, “Explaining Voter Turnout: A Review of Aggregate-Level
Research”, dalam Electoral Studies 25.
Joel Rocamora, “Philippine Political Parties, Electoral System and Political
Reform”, http://www.philsol.nl/1998. Diakses 9 November 2019.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013.

Anda mungkin juga menyukai