Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. IUFD (Intra Uterin Fetal Death

A. DEFINISI1,2

Intrauterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical

Classification of Disease and Related Health Problems adalah kematian fetal

atau janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu. World Heatlh Organization dan

American College of Obstetricians and Gynecologist mendefinisikan IUFD

sebagai janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih

atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. The US

National Center for Health Statistics menyatakan bahwa IUFD adalah

kematian pada fetus dengan berat badan 350 gram atau lebih dengan usia

kehamilan 20 minggu atau lebih.

Menurut United States National Center for Health Statistic, kematian janin

atau fetal death dibagi menjadi Early Fetal Death, kematian janin yang terjadi

pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, Intermediate Fetal Death,

kematian janin yang berlangsung antara usia kehamilan 20-28 minggu dan

Late Fetal Death, kematian janin yang berlangsung pada usia lebih dari 28

minggu.

B. EPIDEMIOLOGI

Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini melaporkan sejumlah

faktor risiko kematian fetal, khususnya IUFD. Peningkatan usia maternal akan
meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35 tahun memiliki risiko 40-

50% lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada usia

20-29 tahun. Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien primipara

dibanding multipara. Selain itu, kebiasaan buruk (merokok), berat maternal,

kunjungan antenatal care, faktor sosioekonomi juga mempengaruhi resiko

terjadinya IUFD.3

Berat maternal pada kunjungan antenatal care juga mempengaruhi risiko

IUFD. Hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan IUFD telah dilaporkan

oleh Little dan Cnattingius. Stephansson dkk dalam studi kasus kontrol

terhadap 700 primipara dengan IUFD dan 700 kontrol melaporkan bahwa

primipara yang mengalami kelebihan berat badan (IMT 25-29,9) ternyata

memiliki risiko dua kali lipat akan terjadinya IUFD dibandingkan wanita

dengan IMT ≤ 19,9. Risiko ini akan jauh berlipat pada primipara obesitas (IMT

≥ 30). Kenaikan berat badan yang terjadi selama kehamilan tampaknya tidak

memperngaruhi risiko IUFD.1

Di Negara berkembang, angka lahir mati ini telah menurun dari 15-16 per

1000 kelahiran total pada tahun 1960-an menjadi 7-8 per 1000 kelahiran pada

tahun 1990.4 Dari data the National Vital Statistics Report tahun 2005

menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kematian janin dalam kandungan terjadi

sekitar 6.2 per 1000 kelahiran5.


Tabel 1. Insiden terjadinya kematian janin berdasarkan usia kehamilan5

Gestation (weeks) Mean incidence fetal death (%)


5-7 17.5
8-11 50.6
12-15 47.0
16-19 32.8
20-27 10.7
Total 5-27 33.0

C. ETIOLOGI & PATOFISIOLOGI

Pemahaman kausa IUFD yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk

perencanaan kesehatan yang adekuat dan penentuan prioritas dalam kesehatan

perinatal.1

Tabel 2. Penyebab IUFD6

Faktor – faktor yang menybabkan IUFD:3,7

1. Faktor maternal

a. Kehamilan post-term (≥ 42 minggu)

b. Diabetes Mellitus tidak terkontrol

c. Systemic lupus erythematosus

d. Infeksi

e. Hipertensi
f. Pre-eklampsia

g. Eklampsia

h. Hemoglobinopati

i. Penyakit rhesus

j. Ruptura uteri

k. Antiphospholipid sindrom

l. Hipotensi akut ibu

m. Kematian ibu

n. Umur ibu tua

2. Faktor fetal

a. Kehamilan ganda

b. Intrauterine growth restriction (Perkembangan Janin Terhambat)

c. Kelainan kongenital

d. Anomali kromosom

e. Infeksi (Parvovirus B-19, CMV, listeria)

3. Faktor plasenta

a. Cord accident (kelainan tali pusat)

b. Solutio Plasenta (lepasnya plasenta)

c. Insufisiensi plasenta

d. Ketuban pecah dini

e. Vasa previa

f. Perdarahan Feto-maternal
Telah dilakukan beberapa studi pada untuk mengetahui etiologi spesifik dari

kasus IUFD, beberapa diantaranya yaitu:

1. Intrauterine Growth Restriction (IUGR)1

Hubungan berat badan kelahiran rendah dan kematian perinatal juga telah

ditegaskan. Janin IUFD juga rata-rata memiliki berat badan yang kurang

dibanding janin normal pada tingkat usia gestasional yang sama. Hal ini

disebabkan karena proses restriksi pertumbuhan yang mungkin berbagi

kausa yang sama dengan insufisiensi plasenta.2

IUGR adalah penyebab penting IUFD. IUGR diketahui berhubungan

dengan kehamilan multipel, malformasi kongenital, kelainan kromosom

fetal dan preeklampsia. Dalam studi Gardosi dkk, dilaporkan bahwa 41%

kasus IUFD adalah janin yang kecil untuk usia gestasional dan kelompok ini

juga sangat berisiko memicu terjadinya persalinan prematur. Pada

kehamilan postterm, atau usia gestasi lebih dari 41 minggu, risiko IUFD

juga semakin meningkat.

2. Penyakit Medis Maternal1

Diabetes melitus tipe 1 dan 2 dapat meningkatkan risiko IUFD. Risiko

IUFD pada wanita diabetes tipe 1 dilaporkan 4-5 kali lebih tinggi

dibandingkan populasi non diabetik. Sebagian besar IUFD terkait diabetes

terjadi akibat kendali glukosa yang tidak baik dan komplikasi makrosomia,

polihidramnion, restriksi pertumbuhan janin intrauterine dan pre-eklampsia.

Faktor maternal (pada ibu) yang berkaitan dengan peningkatan angka

kejadian makrosomia adalah obesitas, hiperglikemia, usia tua, dan


multiparitas (jumlah kehamilan >4). Makrosomia memiliki risiko kematian

janin saat dilahirkan karena ketika melahirkan, bahu janin dapat nyangkut.

Penyakit hipertensif (hipertensi gestasional, preeklampsia, hipertensi

kronis dan superimposed pre-eklampsia) merupakan komplikasi medis yang

sering dijumpai pada kehamilan dan memicu morbiditas dan mortalitas yang

bermakna. Peningkatan IUFD juga dilaporkan pada wanita dengan

defisiensi antitrombin herediter, resistensi protein C teraktivasi dan

defisiensi protein C dan protein S. Sindrom antibodi fosfolipid dengan

antibodi fosfolipid didapat juga berhubungan erat dan IUFD terkait dengan

gangguan implantasi, trombosis dan infark pada plasenta. Sindrom

fosfolipid ini dapat terjadi dalam hubungannya dengan penyakit lain

misalnya SLE.

Hipotiroidism dan hipertiroidism juga dilaporkan sebagai faktor kausatif

pada IUFD. Kolestasis intrahepatik pada kehamilan dengan pruritus dan

peningkatan kadar asam empedu juga berhubungan erat dengan risiko

mortalitas janin. Hingga saat ini, masih diperdebatkan apakah outcome

perinatal dapat ditingkatkan dengan intervensi aktif atau tatalaksana.

3. Kelainan kromosom dan Kelainan Kongenital Janin1

Aberasi kromosom meningkatkan risiko terjadinya IUFD. Kuleshov dkk

melaporkan bahwa sekitar 14% IUFD terjadi akibat kelainan kariotipe.

Sejumlah kelainan yang paling sering dijumpai memicu IUFD ialah trisomi

autosom 21, 18 dan 13 sedangkan kelainan kariotipe yang paling sering

ialah 45x.
Walaupun aberasi kromosom mendominasi, sejumlah janin dapat

meninggal akibat malformasi atau sindrom dari etiologi lainnya. Sebagian

besar janin dengan malformasi letal mengalami IUFD akibat defek jantung

kongenital, hipoplasia paru, dan penyakit genetik lethal seperti sindrom

Potter, anensefali dan hernia diafragmatika.

4. Komplikasi Plasenta dan Tali pusat

a. Plasenta6

Pada kehamilan, janin yang normal mendapatkan sirkulasi dari

pembuluh darah umbilikal dengan jumlah 350 – 400 ml/menit.

b. Tali pusat6

Terdiri dari 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis allantois dan

mesoderm primer. Panjang tali pusat normal ialah 50 – 60 cm dengan

diameter 12 mm. Hal ini berkaitan dengan aktivitas janin di dalam dua

trimeter pertama. Tali pusat abnormal dibagi menjadi tali pusat panjang >

100 cm dan tali pusat pendek < 30 cm.

Sejumlah kelainan plasenta berhubungan dengan IUFD misalnya

inflamasi membran, kompresi tali pusat, lesi akibat insufisiensi vaskular

uteroplasental yang tampak sebagai infark dan arteriopati desidua dan

tanda adanya solusio. Komplikasi tali pusat juga dilaporkan memicu

IUFD secara langsung.1 Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran

darah dan oksigen ke janin, sehingga dapat menyebabkan iskemik,

hipoksia dan kematian.8


Gambar 2. Kompresi tali pusat8
Lilitan tali pusat juga pernah dilaporkan sebagai salah satu penyebab

kematian pada janin. Gambar di bawah ini menunjukkan perubahan

warna pada tubuh janin yang berhubungan dengan keadaan hipoksia

janin yaitu kekurangan oksigen akibat tertekannya arteri umbilikalis.8

Gambar 3. Lilitan tali pusat8


Perdarahan fetomaternal masif (FMH) juga berhubungan dengan

IUFD dan anomali fetal. Samadi dkk melaporkan angka kejadian IUFD

akibat FMH sebesar 4%.2 Trauma terhadap uterus dan solusio plasenta

dapat memicu terjadinya transfusi fetomaternal.


Solusio plasenta atau disebut juga ablasio placenta adalah separasi

prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus, dilaporkan

sebanyak 12 % menyebabkan IUFD.9

Gambar 4. Solutio Plasenta9


1,8
5. Infeki

Plasenta dan janin dapat terinfeksi baik melalui transmisi transplasental

(hematogen) maupun melalui ascending infection dari vagina. Proporsi

IUFD terkait infeksi dilaporkan berkisar 6-15 % dari seluruh kasus IUFD.

Beberapa agen yang dipertimbangkan berperan penting terhadap kematian

janin seperti infeksi virus kongenital oleh parvovirus B19 dan

cytomegalovirus (CMV) juga sering dilaporkan sebagai pemicu kematian

janin. Infeksi beberapa enterovirus juga dilaporkan berhubungan dengan

IUFD walaupun lebih jarang. Rubela maternal pada awal kehamilan juga

dapat memicu IUFD. Pada kasus yang jarang, IUFD juga dapat disebabkan

oleh infeksi intrauterine dari herpes simpleks. Infeksi maternal primer oleh

Toxoplasma gondii juga dapat ditransmisikan menuju janin dan memicu

toksoplasmosis kongenital bahkan kematian janin. Beberapa agen bakterial


yang berhubungan dengan mortalitas perinatal ialah Streptococcus grup B,

Escherichia coli, Listeria monocytogenes, lues, mycoplasma genital dan

Ureaplasma urealyticum. Korioamnionitis akibat infeksi kandida juga

dipertimbangkan dapat memicu IUFD.

Malaria juga terkenal dapat memicu IUFD. Kematian janin intrauterin

dapat terjadi akibat hiperpireksi, anemi berat, penimbunan parasit di dalam

plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat infeksi trans-

plasental. Kematian janin akibat sepsis maternal berat dengan trombosis

pada plasenta dan IUFD juga sering dilaporkan. Infeksi dapat memicu

pecahnya ketuban sebelum waktunya yang mengakibatkan persalinan pre-

term bahkan dapat berakhir dengan kematian janin.

6. Penyebab lain yang tidak dapat dijelaskan.1

Proporsi IUFD yang tidak dapat diidentifikasi kausanya diperkirakan

berkisar 12-50%. Faktor risiko pada kematian yang tidak dapat dijelaskan

ini juga berbeda dibandingkan dengan IUFD dengan kausa yang spesifik.

Menurut Froen dkk, IUFD mendadak ini cenderung meningkat seiring usia

gestasional, usia maternal, pemakaian rokok yang tinggi, edukasi yang

rendah dan obesitas. Asap rokok telah terbukti menyebabkan bayi lahir

dengan berat badan rendah, meningkatkan risiko sindrom kematian bayi

mendadak atau sudden infant death syndrome, serta mengakibatkan bibir

sumbing, kelainan jantung dan gangguan lainnya. Primipara dan riwayat

IUFD sebelumnya tidak berhubungan dengan IUFD ini dalam studi tersebut.
D. KLASIFIKASI

Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin

dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: 2,4

1. Golongan I: kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu

penuh (early fetal death)

2. Golongan II: kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal

death)

3. Golongan III: kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal

death)

4. Golongan IV: kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan

di atas.

Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahan -

perubahan sebagai berikut: 2,4

1. Rigor mortis (tegang mati)  Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian

lemas kembali.

2. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam)  Kulit kemerahan ‘setengah matang’

3. Maserasi grade I (durasi > 8 jam)  Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-

mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah dan mulai

mengelupas.

4. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari)  Kulit mengelupas luas, efusi cairan

serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air

ketuban menjadi merah coklat.


5. Maserasi grade III (durasi >8 hari)  Hepar kuning kecoklatan, efusi cairan

keruh, mungkin terjadi mumifikasi. Badan janin sangat lemas, hubungan

antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat oedem dibawah kulit.

E. MANIFESTASI KLINIS10

Gejala adanya IUFD dapat diketahui antara lain dengan:

1. Tidak adanya denyut jantung janin (Funandoskop, doppler, maupun USG)

2. Rahim tidak membesar, malahan mengecil

3. Palpasi janin oleh pemeriksa tidak begitu jelas.

4. Gerak janin tidak dapat dirasakan terutama oleh ibu sendiri.

5. Test kehamilan menjadi negatif (-), terutama setelah janin mati 10 hari.

F. DIAGNOSIS2,11,12

1. Anamnesis

a. Pasien mengaku tidak lagi merasakan gerakan janinnya.

b. Perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil (kehamilan

tidak seperti biasanya )

c. Perut sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti ingin melahirkan

d. Penurunan berat badan

2. Pemeriksaan fisik.

a. Inspeksi

Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih rendah dari usia

kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang biasanya dapat

terlihat pada ibu yang kurus.


b. Palpasi

Tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid. Tidak teraba gerakan-

gerakan janin.

c. Auskultasi

Tidak terdengarnya denyut jantung janin setelah usia kehamilan 10-12

minggu pada pemeriksaan ultrasonic doppler merupakan bukti kematian

janin yang kuat.

3. Pemeriksaan radiologi (USG)

a. Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi (tanda Spalding)

Tumpang tindih (overlapping) secara ireguler tulang tengkorak, yang

terjadi akibat likuefaksi massa otak dan melemahnya struktur

ligamentosa yang membentuk tengkorak. Biasanya tanda ini muncul 7

hari setelah kematian. Namun ciri-ciri yang sama dapat ditemukan pada

kehamilan ekstrauterin dengan janin hidup.

Gambar 5. Spalding’s sign.


b. Punggung janin sangat melengkung (tanda Naujokes)

c. Hiperekstensi kepala tulang leher janin (tanda Gerhard)

d. Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin (tanda Robert)

e. Femur length yang tidak sesuai dengan usia kehamilan

G. PENATALAKSANAAN 4,13,14,15

Kematian janin dapat terjadi akibat gangguan pertumbuhan janin, gawat

janin atau kelainan bawaan atau akibat infeksi yang tidak terdiagnosis

sebelumnya sehingga tidak diobati. Jika pemeriksaan Radiologik (USG)

tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tanda-tandanya berupa

overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi columna vertebralis, gelembung

udara didalam jantung dan edema scalp. USG merupakan sarana penunjang

diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin dimana gambarannya

menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan, tidak ada denyut jantung janin,

ukuran kepala janin dan cairan ketuban berkurang.

Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun

ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum

keputusan diambil. Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu

persalinan spontan hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan

spontan akan terjadi tanpa komplikasi. Sekitar 90% perempuan akan

melahirkan spontan pada minggu ketiga setelah janin meninggal dalam

kandungan. Jika kelahiran spontan tidak terjadi dalam 3-4 minggu resiko

Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) meningkat.


Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan

penanganan aktif. Penanganan aktif dapat dilakukan dengan induksi persalinan.

Jika servik matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau

prostaglandin. Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil

yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang

timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Indikasi induksi

persalinan antara lain:

1. Indikasi janin

a. Kehamilan lewat waktu

b. Ketuban pecah dini

c. Janin mati

2. Indikasi Ibu

a. Kehamilan dengan hipertensi

b. Kehamilan dengan diabetes mellitus

Kontraindikasi induksi persalinan antara lain:

1. Malposisi janin

2. Insufisisensi plasenta

3. Disporposi sefalopelvik

4. Cacat rahim, misalnya pernah megalami seksio sesarea, enukleasi miom.

5. Grande multipara

6. Gemelli

7. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion

8. Plasenta previa
Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi,

diantaranya:

1. Hendaknya serviks uteri sudah “matang”, yaitu serviks sudah mendatar dan

menipis dan sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, sumbu serviks

menghadap ke depan.

2. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)

3. Tidak ada kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan

4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.

Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop. Jika skor Bishop

kurang atau sama dengan 3 maka angka kegagalan induksi mencapai lebih dari

20% dan berakhir pada seksio sesaria. Bila nilai lebih dari 8 induksi persalinan

kemungkinan akan berhasil. Angka yang tinggi menunjukkan kematangan

serviks.

Tabel 3. Skor Bishop untuk menilai kematangan serviks untk


induksi persalinan

Jika bishop skor kurang dari 6 direkomendasikan menggunakan agen

pematangan servik sebelum induksi persalinan. Jika ada tanda infeksi, berikan

antibiotika untuk metritis. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit

atau bekuan mudah pecah, waspada koagulopati. Pemeriksaan patologi

plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi plasenta dan infeksi.


SKEMA PENATALAKSANAAN IUFD1

Non-Interferensi

2 minggu

Kasus refrakter atau kasus Partus Spontan


dimana terminasi kehamilan dalam 2 minggu
diindikasikan (80%)
 Psikologis
 Infeksi
 Penurunan kadar fibrinogen
 Retensi janin lebih dari 2 minggu

Rawat di RS, Induksi persalinan

Servik matang Servik belum matang

Infus Oksitosin Prostaglandin gel

Diulang setelah 6-8 jam

Gagal gagal

Oksitosin diulang dengan Ditambah dengan infus Oksitosin


Ditambah Prostaglandin/vaginam
Metode-Metode Terminasi :

1. Terminasi dengan induksi, yaitu :

a. Infus Oksitosin

Cara ini sering dilakukan dan efektif pada kasus-kasus dimana telah

terjadi pematangan serviks. Pemberian dimulai dengan 5-10 unit oksitosin

dalam 500 ml larutan Dextrose 5% melalui tetesan infus intravena. Dua

botol infus dapat diberikan dalam waktu yang bersamaan. Pada kasus yang

induksinya gagal, pemberian dilakukan dengan dosis oksitosin dinaikkan

pada hari berikutnya. Infus dimulai dengan 20 unit oksitosin dalam 500 ml

larutan Dextrose 5% dengan kecepatan 30 tetes per menit.

Bila tidak terjadi kontraksi setelah botol infus pertama, dosis dinaikkan

menjadi 40 unit. Resiko efek antidiuretik pada dosis oksitosin yang tinggi

harus dipikirkan, oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih dari dua botol

pada waktu yang sama. Pemberian larutan ringer laktat dalam volume yang

kecil dapat menurunkan resiko tersebut. Apabila uterus masih refrakter,

langkah yang dapat diulang setelah pemberian prostaglandin per vaginam.

Kemungkinan terdapat kehamilan sekunder harus disingkirkan bila upaya

berulang tetap gagal menginduksi persalinan.

b. Prostaglandin

Pemberian gel prostaglandin (PGE2) per vaginam di daerah forniks

posterior sangat efektif untuk induksi pada keadaan dimana serviks belum

matang. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit

menurun dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol:


1) Tempatkan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina, dapat diulang sesudah

6 jam

2) Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol, naikkan dosis

menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali

dan jangan melebihi 4 dosis.

Pemberian dapat diulang setelah 6-8 jam. Langkah induksi ini dapat

ditambah dengan pemberian oksitosin.

2. Operasi Sectio Caesaria (SC)

Pada kasus IUFD jarang dilakukan. Operasi ini hanya dilakukan pada kasus

yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC ( dua atau lebih) dan letak

lintang.

3. Embriotomi

Embriotomi adalah suatu persalinan buatan dengan cara merusak atau

memotong bagian-bagian tubuh janin agar dapat lahir pervaginam, tanpa

melukai ibu. Embriotomi diindikasikan kepada janin mati dimana ibu dalam

keadaaan bahaya ataupun janin mati yang tak mungkin lahir pervaginam.

H. PENCEGAHAN2,4

Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati

aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau

gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan USG. Perhatikan

adanya solusio plasenta. Pada gemelli dengan T+T (twin to twin transfusion)

percegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.


Resiko kematian janin dapat sepenuhnya dihindari dengan antenatal care

yang baik. Ibu perlu menjauhkan diri dari penyakit infeksi, merokok, minuman

beralkohol atau penggunaan obat-obatan. Tes-tes antepartum misalnya USG,

tes darah alfa-fetoprotein, dan non-stress test fetal elektronik dapat digunakan

untuk mengevaluasi kegawatan janin sebelum terjadi kematian dan terminasi

kehamilan dapat segera dilakukan bila terjadi gawat janin.

I. KOMPLIKASI

1. Disseminated intrvascular coagulation (DIC)16

Kematian janin akan mengakibatkan desidua plasenta menjadi rusak.

Plasenta yang rusak akan menghasilkan tromboplastin. Tromboplastin

masuk ke dalam peredaran darah ibu yang mengakibatkan pembekuan

intravaskular yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit

sehingga terjadi pembekuan darah yang meluas (DIC).

Dampak dari adanya DIC tersebut adalah terjadinya hipofibrinogenemia

(kada fibrinogen < 100 mg%), biasa pada 4-5 minggu sesudah IUFD. Kadar

normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akbat

kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi perdarahan post partum.

Perdarahan postpartum biasanya berlangsung 2 – 3 minggu setelah janin

mati.

2. Ensefalomalasia multikistik17

Hal ini dapat terjadi pada kehamilan kembar, terutama kehamilan

monozigotik dimana memiliki sirkulasi bersama antara janin kembar yang

masih hidup dengan yang salah satu janinnya meninggal. Dalam hal ini
sering kali mengakibatkan kematian segera janin lainnya. Jika janin kedua

masih dapat bertahan hidup, maka janin tersebut memiliki risiko tinggi

terkena ensefalomalasia multikistik. Bila salah satu bayi kembar ada yang

meninggal dapat terjadi embolisasi bahan tromboplastik dari janin yang

meninggal melalui komunikasi vaskular plasenta ke janin yang masih hidup

dengan atau tanpa perubahan hemodinamik (hipotensi) pada saat kematian

janin seingga terjadi infark cedera selular pada otak (ensefalomalasia

multikistik, yang diagnosisnya dikonfirmasi dengan ekoensefalografi), usus,

ginjal, dan paru.3


SOLUSIO PLASENTA

Anda mungkin juga menyukai