Tinjauan Pustaka
Indonesia
SUMMARY
A craniotomy is a standard neurosurgical procedure that involves drilling a sufficient hole in the skull
(cranium) for optimal access to the intracranial. Post-craniotomy pain is a frequent complication of
neurosurgical procedures and is difficult to manage. Pain management is essential to avoid chronic
pain and complications such as hypertension and vomiting, increasing intracranial pressure or causing
intracranial bleeding, unfavorable patient outcomes, and increasing the length of hospitalization. The
selection of drugs in acute pain management for post-craniotomy patients is essential to determine
patient morbidity and mortality.
RANGKUMAN
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan pembuatan
lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke
Korespondensi: intrakranial. Nyeri pasca kraniotomi adalah komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf dan sulit
untuk dikelola. Manajemen nyeri akut sangat penting untuk menghindari terjadinya nyeri kronik
dr. Razi Ageng serta komplikasi seperti hipertensi dan muntah, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
Pratama* intrakranial maupun perdarahan intrakranial, outcome pasien yang tidak baik, dan perpanjangan
PPDS Program Studi masa rawat inap. Pemilihan obat dalam manajemen nyeri akut pasien pasca kraniotomi merupakan
Anestesiologi dan Terapi Intensif,
FKUB, Malang Indonesia hal yang sangat penting dikarenakan dapat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien.
e-mail: ziianestesi@gmail.com
PENDAHULUAN
Nyeri akut pasca kraniotomi sering Proses sayatan fisik, traksi dan hemostasis yang
diasumsikan memiliki tingkat nyeri yang lebih digunakan dalam kraniotomi merangsang
rendah dibandingan tindakan operasi lainnya. penghentian saraf dan nosiseptor spesifik yang
Beberapa alasan yang mendasari yakni sedikitnya menyebabkan nyeri pasca operasi. Dilaporkan 60-
jumlah reseptor nyeri dalam dura, ketidakpekaan 84% pasien yang menjalani kraniotomi mengalami
nyeri pada otak, berkurangnya densitas serat nyeri nyeri bervariasi dari ringan hingga berat.3 Lebih
di sepanjang garis sayatan operasi, dan spesifik lagi, Tsaori tahun 2016 menjabarkan sekitar
berkembangnya autoanalgesia. Oleh karena itu, 60% pasien pasca kraniotomi yang mengalami nyeri
1,2
nyeri pasca kraniotomi sering kali diabaikan. sedang atau berat berada pada periode akut pasca
Tabel 2. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi
Goldsack et al., 1996 Morfin dan Double membandingkan penggunaan morfin intramuskular 10mg
kodein blind trial dan kodein intramuskular 60mg : morfin lebih efektif
disbanding kodein dalam hal meredakan nyeri, dosis
morfin yang digunakan lebih rendah, dan tidak ada pasien
yang mengalami depresi napas, sedasi, konstriksi pupil
14
maupun efek cardiovascular yang tidak diinginkan .
Hassani et al., 2015 Fentanil, RCT Satu kelompok diberikan infus sufentanil (0,0015 µg / kg /
Paracetamol menit), kelompok kedua diberikan infus parasetamol
dan Morfin intermiten (15 mg / kg setiap 6 jam), dan kelompok ketiga
diberikan 5 mg morfin subkutan. Temuan menunjukkan
bahwa sufentanil adalah agen yang tepat untuk mengatasi
manajemen nyeri pasca kraniotomi. Pasien dalam
kelompok yang diberikan parasetamol melaporkan skor
nyeri terbesar dari skala analog visual dan detak jantung
dengan kejadian mual dan muntah terendah.
Tingkat mual dan muntah tertinggi pada pasien kelompok
morfin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa sufentanil
memberikan hasil yang lebih baik untuk mengurangi mual
dan muntah, pengendalian nyeri, dan stabilitas
15
emodinamik relatif terhadap morfin .
Rahimi et al., 2010 Tramadol dan RCT Membandingkan penggunaan tramadol dan obat narkotik:
kodein tramadol dapat menurunkan durasi rawat inap,
mengurangi nyeri (sesuai penilaian visual analog scale
(VAS)), dan kebutuhan terhadap morfin dibandingkan
kelompok yang tidak menggunakan tramadol (kelompok
kontrol: pada penelitian ini menggunakan narkotik dan
16
parasetamol) .
Sudheer et al., 2007 Morfin, Efek penghilang nyeri lebih baik pada kelompok yang
tramadol dan diberikan morfin dibanding kodein dan tramadol serta
kodein tidak terdapat perbedaan bermakna terkait lama sedasi
17
maupun depresi pernapasan .
Tabel 3. Dosis obat non-opioid untuk nyeri pasca kraniotomi (Roka dkk., 2012)
Dosis awal dan interval
Obat
<50 kg (mg/kg) > 50 kg dan dewasa (mg dosis tetap)
Ketorolac 0,5mg/kg IM/IV setiap 6jam maximal bisa mencapai 72 15-30mg tiap 6 jam, tidak boleh melebihi
jam 120mg/hari, maximal bisa mencapai 72jam
Ibuprofen 5-10mg/kg per oral, tidak boleh melebihi 40mg/hari 200-800mg per oral tiap 6jam
Acetaminofen Oral Oral
Neonatus 325mg per oral setiap 4-6jam
Dosis : 10-15mg/kg Per oral setiap 6-8jam atau
Maksimal : 60mg/kg/hari 500mg per oral setiap 6-8jam
Bayi/anak atau
Dosis : 10-15mg/kg per oral setiap 6-8jam 625mg per oral setiap 8jam
Maksimal : 75mg/kg/hari sampai 1gr/4 tidak melebihi 4g/hari
jam atau 4gr/hari
>12tahun
Dosis : 325-650mg per oral setiap 4-6jam
Maksimal : 1gr/4jam dan 4gr/hari
IV IV
12,5mg/kg IV setiap 4jam 650mg IV setiap 4jam
atau atau
15mg/kg IV setiap 6jam 1000mg IV setiap 6jam tidak melebihi 4gr/hari
tidak melebihi 750mg/dosis dan
80mg/kg/hari
Clonidine Oral dan Transdermal Oral dan Transdermal
1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral 1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral
Diazepam Oral Oral
0,25-0,3mg/kg setiap 6-8jam 2-10mg/kg/hari setiap 6-8jam
IV IV
0,05-0,1mg/kg setiap 4-6jam 2-10mg IV/IM setiap 3-4jam
tidak lebih dari 30mg setiap 8jam
Gabapentin 3-12tahun 300mg per oral sebelum tidur, bertahan dan
10-15mg/kg/hari terbagi tiap 8jam yang biasa ditoleransi mencapai 300mg setiap
>12tahun 8jam
300mg per oral setiap 8jam ,bisa mencapai 600mg
per oral tiap 8jam
Amitriptyline Load Load
0,1mg/kg per oral sebelum tidur, 75mg/hari per oral
peningkatan dosis dapat ditoleransi sampai
2-3minggu
Maintenance Maintenance
0,5-2mg/kg per oral sebelum tidur 150-300mg/hari per oral dalam dosis tunggal
atau terbagi
Keamanan penggunaan obat NSAID seperti ketorolak dan ibuprofen pada anak dibawah usia 3-6 bulan belum dapat ditentukan
Molnar et al., 2015 Diklofenak, RCT Konsumsi diklofenak mengurangi skor nyeri dan
placebo konsumsi opioid secara signifikan pada 5 hari
pertama pasca operasi. Pemberian diklofenak tidak
berbuhungan dengan komplikasi saluran cerna,
19
disfungsi ginjal, maupun perdarahan.
Wiliam et al., 2011 Parecoxib dan RCT Tidak ada perbedaan dalam intensitas nyeri, kejadian
placebo mual muntah pasca operasi dan penggunaan
20
morfin.
Dilmen et al., 2016 Morfin, Double Pemberian morfin mencegah nyeri berat pasca
dexketoprofen, blind kraniotomi supratentorial dibandingkan pemberian
21
metamizol trial dexketoprofen dan metamizol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava S, Singh PK. Pain following Craniotomy: Reassessment of the Available
Options. Biomed Res Int. 2015;2015. doi:10.1155/2015/509164
2. Tsaousi GG, Logan SW, Bilotta F. Postoperative Pain Control Following Craniotomy: A Systematic Review of
Recent Clinical Literature. Pain Pract. 2017;17(7):968-981. doi:10.1111/papr.12548
3. Santos CMT, Pereira CU, Chaves PHS, Tôrres PTR de L, Oliveira DM da P, Rabelo NN. Options to manage
postcraniotomy acute pain in neurosurgery: no protocol available. Br J Neurosurg. 2020;0(0):1-8.
Untuk menyitir artikel ini: Pratama, RA, BH Laksono, AZ Fatoni. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal of
Anaesthesia and Pain. 2020;1(3):28-38. doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.04