Anda di halaman 1dari 11

Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.

3: 28-38 P-ISSN : 2722-3167


https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205

Tinjauan Pustaka

Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi


Post-Craniotomy Acute Pain Management

Razi Ageng Pratama1, Buyung Hartiyo Laksono2, Arie Zainul Fatoni2


1
PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya / RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia
2
Konsultan Intensive Care Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya/ RSUD dr. Saiful Anwar, Malang,

Indonesia

SUMMARY

A craniotomy is a standard neurosurgical procedure that involves drilling a sufficient hole in the skull
(cranium) for optimal access to the intracranial. Post-craniotomy pain is a frequent complication of
neurosurgical procedures and is difficult to manage. Pain management is essential to avoid chronic
pain and complications such as hypertension and vomiting, increasing intracranial pressure or causing
intracranial bleeding, unfavorable patient outcomes, and increasing the length of hospitalization. The
selection of drugs in acute pain management for post-craniotomy patients is essential to determine
patient morbidity and mortality.

Keywords: craniotomy, pain management

RANGKUMAN

Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan pembuatan
lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke
Korespondensi: intrakranial. Nyeri pasca kraniotomi adalah komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf dan sulit
untuk dikelola. Manajemen nyeri akut sangat penting untuk menghindari terjadinya nyeri kronik
dr. Razi Ageng serta komplikasi seperti hipertensi dan muntah, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
Pratama* intrakranial maupun perdarahan intrakranial, outcome pasien yang tidak baik, dan perpanjangan
PPDS Program Studi masa rawat inap. Pemilihan obat dalam manajemen nyeri akut pasien pasca kraniotomi merupakan
Anestesiologi dan Terapi Intensif,
FKUB, Malang Indonesia hal yang sangat penting dikarenakan dapat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien.
e-mail: ziianestesi@gmail.com

Kata kunci: kraniotomi, manajemen nyeri

PENDAHULUAN
Nyeri akut pasca kraniotomi sering Proses sayatan fisik, traksi dan hemostasis yang
diasumsikan memiliki tingkat nyeri yang lebih digunakan dalam kraniotomi merangsang
rendah dibandingan tindakan operasi lainnya. penghentian saraf dan nosiseptor spesifik yang
Beberapa alasan yang mendasari yakni sedikitnya menyebabkan nyeri pasca operasi. Dilaporkan 60-
jumlah reseptor nyeri dalam dura, ketidakpekaan 84% pasien yang menjalani kraniotomi mengalami
nyeri pada otak, berkurangnya densitas serat nyeri nyeri bervariasi dari ringan hingga berat.3 Lebih
di sepanjang garis sayatan operasi, dan spesifik lagi, Tsaori tahun 2016 menjabarkan sekitar
berkembangnya autoanalgesia. Oleh karena itu, 60% pasien pasca kraniotomi yang mengalami nyeri
1,2
nyeri pasca kraniotomi sering kali diabaikan. sedang atau berat berada pada periode akut pasca

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 28


operasi. Mordhorst tahun 2010 menunjukkan bahwa pembuatan lubang yang cukup pada tempurung
dalam 24 jam pasca kraniotomi terdapat 87% pasien kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses
yang melaporkan nyeri. Flexman tahun 2010 optimal ke intrakranial. Kraniotomi dinamakan
menjabarkan 80% pasien mengalami nyeri akut sesuai dengan area tempurung kepala (cranium)
2,4,5
pasca kraniotomi. yang dibuka, dapat dilakukan secara intratentorial
Nyeri pasca kraniotomi merupakan maupun supratentorial, atau kombinasi dari
komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf yang keduanya. Tindakan ini dilakukan sebagai terapi
sulit untuk ditangani. Perbedaan lokasi dan teknik pada tumor otak, hematoma, aneurisma, maupun
bedah dapat menyebabkan nyeri pasca kraniotomi infeksi otak. Ukuran lebar kraniotomi bervariasi dari
3,6
dengan intensitas yang berbeda. Manajemen nyeri beberapa milimeter (burr holes) sampai beberapa
yang tidak adekuat mengakibatkan pasien sentimeter (keyhole), bergantung pada masalah dan
mengalami rasa sakit (seringkali parah) terus terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi dilakukan
menerus terutama pada jam pertama pasca operasi menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang
yang dapat terjadi berkepanjangan hingga hari telah dipotong (bone flap) dibuka agar pelindung
pertama atau kedua pasca operasi. Selain itu, otak (dura) terlihat, dura kemudian juga dibuka
beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti untuk mengekspos bagian otak. Di akhir prosedur,
agitasi, muntah, maupun hipertensi dapat bone flap diletakkan kembali dan ‘direkatkan’ pada
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan cranium menggunakan alat khusus.7
berpotensi mengakibatkan perdarahan intrakranial
sehingga outcome pasien menjadi tidak baik ,nyeri 1.2 Nyeri akut pasca kraniotomi
1,5,6
kronik dan masa rawat inap yang lebih lama. Berdasarkan the International Headache
Di sisi lain, upaya pengendalian nyeri Society (IHS) nyeri pasca kraniotomi dibagi menjadi
berlebihan dapat disertai dengan sedasi berlebihan acute postcraniotomy pain (ACP) dan chronic
yang menyamarkan defisit neurologis onset baru postcraniotomy pain (CCP), tergantung durasi nyeri
dan menghambat pemantauan respons neurologis. yang dirasakan (lebih dari 3 bulan atau tidak). Acute
Respirasi yang tertekan dapat menyebabkan postcraniotomy pain / nyeri akut pasca kraniotomi
hiperkarbia yang meningkatkan volume darah otak sebagian besar dirasakan terlokalisir pada area
berakibat meningkatnya tekanan intrakranial (TIK). insisi, sekitar regio oksipital dan leher, dan terutama
Dengan tidak adanya pedoman berbasis bukti yang melibatkan otot perikranial serta jaringan lunak.
kuat, manajemen nyeri pasca operasi yang tepat Intensitas waktu nyeri pasca kraniotomi paling berat
pada kasus pasca kraniotomi sampai saat ini masih dirasakan dalam 48 jam pasca operasi.8,9 Adapun
sulit dilakukan. Sejumlah penelitian berbasis bukti kriteria nyeri akut pasca kraniotomi sesuai dengan
sering memberikan hasil kontradiktif sehingga tabel 1.
menyebabkan penggunaan tindakan terapeutik Nyeri pasca kraniotomi biasanya berdenyut
tidak konsisten dan mengarah ke perawatan atau pounding mirip dengan sakit kepala karena
suboptimal. Oleh karena itu, ulasan ini mencoba tegang, terkadang bisa stabil dan berkelanjutan.
untuk mengeksplorasi literatur yang relevan dan Kraniotomi infratentorial dikaitkan dengan penilaian
berbagai pilihan terapeutik yang tersedia terkait nyeri yang lebih tinggi dibandingkan pendekatan
1,5
manajemen nyeri akut pasca kraniotomi. supratentorial. Pada 25% kasus nyeri kepala pasca
kraniotomi berlanjut menjadi persisten dan biasanya
1. Definisi terletak di lokasi sayatan bedah (55%-79%),
1.1 Kraniotomi meskipun beberapa menggambarkan nyeri bilateral
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi (36% -55%).1,9
umum divisi bedah saraf yang melibatkan

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 29


Tabel 1. Klasifikasi nyeri pasca kraniotomi (Iturri dkk., intervaskuler. Oleh karena itu, serabut saraf
2020) katekolaminergik diduga terlibat dalam sakit
Sakit kepala akut disebabkan oleh kraniotomi: Sakit 3,10,11
kepala.
kepala bertahan kurang dari 3 bulan disebabkan
operasi kraniotomi Dalam bentuk akut, sekitar 73% kasus
Kriteria diagnostik berupa nyeri superfisial, sedangkan 14% kasus
A. Semua sakit kepala yang memenuhi kriteria C berupa nyeri superfisial dan dalam. Nyeri yang
dan D
bersifat superfisial diduga karena kurangnya
B. Telah dilakukan operasi kraniotomi
sebelumnya reseptor nyeri pada parenkim otak. Sehingga nyeri
C. Sakit kepala yang dilaporkan berkembang pasca kraniotomi pasti berasal dari struktur
dalam 7 hari setelah salah satu kejadian superfisial yaitu jaringan lunak dan jaringan
berikut:
muskuler perikranial. Teori ini dibuktikan secara kuat
 Kraniotomi
 Kesadaran kembali setelah kraniotomi bahwa bagian subtemporal dan suboccipital
 Penghentian obat-obatan berhubungan dengan insiden tertinggi dari nyeri,
mengganggu kemampuan untuk karena tekanan diberikan pada splenius capitis,
merasakan atau membuat sakit kepala
yang dilaporkan setelah kraniotomi
temporal, dan jaringan otot cervicis selama operasi.
D. Salah satu dari: Nyeri pasca kraniotomi termasuk nyeri nosiseptif
 Sakit kepala sembuh dalam 3 bulan dan diinduksi oleh insisi dan refleksi dari otot
setelah onset
perikranial.8,11,12
 Sakit kepala tidak membaik tapi belum
melewati 3 bulan setelah onset
E. Tercatat tidak lebih baik dari diagnosis lain
pada International classification of headeache
Disorder (ICHD-3)

2. Anatomi dan persarafan tempurung otak


(cranium)
Tengkorak terdiri dari kerangka wajah dan
calvarium. Dasar tengkorak terbuka setelah
calvarium diangkat. Bagian dalam tengkorak terdiri
dari selaput fibrosa dan endokranium, yang
menyusun bagian luar dura yang berkelanjutan
dengan periosteum di permukaan luar tengkorak
dan menjadi perikranium. Kulit kepala terdiri dari
lima lapisan: kulit, jaringan subkutan, epikranium,
jaringan subaponeurotik areolar dan perikranium
(Gambar 1). Persarafan kulit kepala dan dura
meliputi: saraf trigeminal termasuk ganglionnya,
tiga divisi utama, dan cabang-cabangnya; tiga saraf
cervical bagian atas; batang simpatis cervical; (Lutman dkk., 2018)
cabang minor dari vagus; cabang minor dari Gambar 1. (a) potongan melintang dari kepala
(lapisan kulit kepala); (b) persarafan kulit kepala; (c)
hipoglosus dan beberapa saraf wajah serta
pembuluh darah kulit kepala.
glosofaring. Serabut saraf katekolaminergik terdapat
dalam duramater cranium. Bagian basal lebih kaya Beberapa variasi nyeri pasca kraniotomi
saraf dibandingkan calvarial (bagian atas dari dapat dimengerti dengan memahami struktur
cranium). Selain itu, serabut saraf jauh lebih banyak anatomi yang berkaitan. Suplai saraf yang mengarah
pada zona dural perivaskular dibandingkan zona ke kulit kepala berasal dari cabang saraf pleksus

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 30


cervical dan nervus trigeminal. Pada supraorbital nosiseptor ini yang bertanggung jawab terhadap
dan supratrochlear saraf yang melewatinya adalah nyeri. Nyeri pada kraniotomi adalah nyeri somatik
dari nervus frontal (bagian dari saraf trigeminal) primer dan berasal dari kulit kepala, otot-otot
yang menginervasi bagian anterior dari kulit kepala. prekranial dan jaringan lunak. Manipulasi yang
Pada zygomaticotemporal (bagian maxila dari dilakukan pada duramater selama proses operasi
nervus trigeminal), saraf temporomandibular dan mengaktivasi jalur nyeri. Stimulasi fisik yang
saraf auriculotemporal (bagian mandibula dari saraf disebabkan oleh insisi dan traksi yang digunakan
trigeminal) mensuplai kulit kepala sisi temporal. dalam kraniotomi menstimulasi saraf terminal dan
Cabang pleksus cervical, termasuk saraf auricular nosiseptor spesifik mengakibatkan nyeri pasca
yang lebih besar dan saraf yang lebih kecil, dan operasi. Nyeri pasca kraniotomi biasanya terkolalisir
lebih sedikit, dan sedikit bagian dari saraf oksipital pada tempat sayatan dan jaringan lunak di
menginervasi kulit kepala oksipital. Percabangan sekitarnya, sedangkan yang bersifat generalisata
tersebut mendampingi arteri-arteri meningeal yang berasal dari dura.11,12
menginervasi dura mater. Ujung saraf bebas dan

Perioperatif Pendekatan Intraoperatif Pendekatan Pascaoperasi

Pregabalin Box 1 Infiltrasi


intradermal scalp Cryotherapy*
Potensi
Box 1 dengan tromboemboli
Pregabalin 150 mg tiap bipuvacaine 0,5% atau hematoma Tidak
atau lidocaine 2% intracranial? Gunakan NSAID
hari,
atau 300 mg pada kasus
refraktori dan Acetaminophen dan
pertimbangkan obat
Ya
dipyrone (lihat box 2)
kedua. Misalnya
gabapentin, Gunakan Opioid
carbamazepine, Tanpa perbaikan,
duloxetine pertimbangkan box 1

Moderate pain Severe pain


Box 2
PO Acetaminophen: 1 g tiap 6-8 jam
(maks. 4 g/hari) Codeine 30 – 60 mg Morfin 10 mg Mempertimbangka
setiap 4-6 jam + setiap 4 jam, dapat n pemeriksaan
IV acetaminophen: <50 kg , 15 mg/kg tramadol 50-100 disesuaikan dengan psikologi dan
tiap 6 jam dan ≥ 50 kg 1g tiap 6 jam mg setiap 4 – 6 jam intensitas nyeri rehabilitasi
Atau fisioterapi
PO atau IV dipyrone: 500-1000 mg
tiap 6-8 jam

(Santos dkk., 2020)

Gambar 2. Manajemen nyeri akut pasca kraniotomi

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 31


3. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi
Manajemen nyeri akut yang ideal pasca 1.1.1 Parenteral
tindakan bedah saraf harus mampu meredakan a. Morfin
nyeri, memiliki kemampuan anti-inflamasi, tidak Morfin merupakan opioid yang memiliki efek
mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat, tidak analgesik lebih baik dibanding opioid lainnya
menghambat kesadaran maupun penilaian dengan dosis lebih rendah. Morfin dapat diberikan
neurologis, tidak menyebabkan depresi jantung dan secara intravena (termasuk PCA (patient controlled
pernafasan, tidak membuat ketagihan dan tidak analgesia)) atau intramuskular. PCA memfasilitasi
memiliki efek samping seperti muntah, mual, pasien untuk mengontrol rasa sakit sendiri dan juga
epilepsi, atau perdarahan lokal. Sayangnya, tidak mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan.
ada obat yang sesuai dengan kategori ini. Dalam Penurunan penilaian nyeri, kepuasan pasien yang
sebuah studi dari Inggris ditemukan bahwa hanya lebih tinggi, dan tidak adanya efek samping
65% dari pusat bedah saraf yang memiliki protokol (pemberian bersamaan dengan antiemetik dan
analgesik dan selama beberapa dekade morfin observasi) adalah keuntungan yang diperoleh
merupakan analgesik lini pertama yang digunakan, dengan analgesia ini. Akan tetapi kebutuhan akan
diikuti oleh parasetamol (84%) dan nonsteroidal sensorium dan kewaspadaan yang utuh adalah
anti-inflammatory drugs (NSAID) (52%). batasan yang menghalangi aplikasi ekstensif
Penggunaan kodein berkurang dari 90% menjadi perangkat PCA. Dosis yang direkomendasikan
13
70% selama periode waktu yang sama. Santos dalam 4 jam tidak melebihi 40 mg. Pemberian
dalam publikasinya tahun 2020 menyajikan diagram morfin berupa intramuskular memiliki kekurangan
yang dapat dijadikan pertimbangan dalam berupa onset yang lebih lambat, penyerapan
pemilihan tatalaksana nyeri akut pasca kraniotomi sistemik yang berbeda, dan nyeri di tempat
3
(Gambar 2). Adapun tatalaksana nyeri akut pasca suntikan.1,3
kraniotomi dapat dibagi menjadi enam kelompok,
yakni: b. Fentanil
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
1.1 Opioid kontrol nyeri lebih baik ketika fentanil digunakan
Opioid yang umum digunakan pada melalui PCA baik sendiri atau digunakan bersamaan
manajemen nyeri pasca kraniotomi adalah morfin, dengan NSAID.1
kodein, fentanil, dan tramadol. Mekanisme
farmakologis dimediasi melalui reseptor opioid c. Tramadol
spesifik di sistem saraf pusat dan perifer. Efek Pemberian berulang tidak menyebabkan
samping yang dapat terjadi yakni depresi ketergantungan maupun depresi pernapasan.
pernapasan, sedasi, hiperkarbia, peningkatan Penambahan tramadol bersama dengan narkotika
tekanan intrakranial, dan penundaan penyapihan lain dalam rejimen analgesia pasca operasi telah
dari ventilator. Meskipun demikian, opioid sistemik terbukti mengurangi nyeri pasca operasi dan
seringkali dibutuhkan untuk meredakan nyeri secara mengurangi efek samping opioid lain.1,3,13
adekuat setelah kraniotomi. Pemberian opioid dapat
berupa parenteral maupun enteral. Adapun 1.1.2 Enteral
beberapa penelitian pendahuluan yang menilai a. Codein
penggunaan opioid sebagai manajemen nyeri akut Tidak menyebabkan depresi pernapasan dan
pasca kraniotomi dirangkum pada tabel 2. tidak mengganggu evaluasi neurologis, tetapi
Sementara panduan dosis opioid sebagai memberikan manajemen nyeri yang kurang
9
manajemen nyeri pasca kraniotomi disajikan oleh optimal.
1,3,7,13
Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 32


1.2 Non-opioid dari aksi analgesiknya mungkin disebabkan oleh aksi
Golongan non-opioid yang umum digunakan pada sentral lainnya, seperti penghambatan hiperalgesia
manajemen nyeri pasca kraniotomi yakni spinal yang disebabkan oleh aktivasi reseptor
parasetamol, nonsteroidal anti-inflammatory drugs NMDA; aktivasi jalur serotonergik yang
(NSAID), dan cyclooxygenase (COX). Adapun menghambat transmisi nyeri; atau aktivasi
beberapa penelitian pendahuluan yang mekanisme hipoalgesik yang dimediasi oleh oksida
membandingkan efektivitas non-opioid sebagai nitrat. Parasetamol memiliki manfaat potensial yang
manajemen nyeri akut pasca kraniotomi ditampilkan cukup besar dalam pengobatan nyeri pasca
pada tabel 4, sedangkan panduan dosis pemberian kraniotomi, karena tidak menghasilkan sedasi atau
non-opioid pada nyeri pasca kraniotomi disajikan depresi pernapasan. Meskipun parasetamol dapat
13
oleh Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3. mengurangi penggunaan opioid namun tidak efektif
bila digunakan tunggal sebagai pengendali nyeri.
a. Parasetamol Penggunaannya bersama dengan opioid dan NSAID
Mekanisme kerja parasetamol dengan lain sangat mengurangi skor nyeri.1,3,9
menghambat pusat sintesis prostaglandin. Bagian

Tabel 2. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi
Goldsack et al., 1996 Morfin dan Double membandingkan penggunaan morfin intramuskular 10mg
kodein blind trial dan kodein intramuskular 60mg : morfin lebih efektif
disbanding kodein dalam hal meredakan nyeri, dosis
morfin yang digunakan lebih rendah, dan tidak ada pasien
yang mengalami depresi napas, sedasi, konstriksi pupil
14
maupun efek cardiovascular yang tidak diinginkan .

Hassani et al., 2015 Fentanil, RCT Satu kelompok diberikan infus sufentanil (0,0015 µg / kg /
Paracetamol menit), kelompok kedua diberikan infus parasetamol
dan Morfin intermiten (15 mg / kg setiap 6 jam), dan kelompok ketiga
diberikan 5 mg morfin subkutan. Temuan menunjukkan
bahwa sufentanil adalah agen yang tepat untuk mengatasi
manajemen nyeri pasca kraniotomi. Pasien dalam
kelompok yang diberikan parasetamol melaporkan skor
nyeri terbesar dari skala analog visual dan detak jantung
dengan kejadian mual dan muntah terendah.
Tingkat mual dan muntah tertinggi pada pasien kelompok
morfin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa sufentanil
memberikan hasil yang lebih baik untuk mengurangi mual
dan muntah, pengendalian nyeri, dan stabilitas
15
emodinamik relatif terhadap morfin .
Rahimi et al., 2010 Tramadol dan RCT Membandingkan penggunaan tramadol dan obat narkotik:
kodein tramadol dapat menurunkan durasi rawat inap,
mengurangi nyeri (sesuai penilaian visual analog scale
(VAS)), dan kebutuhan terhadap morfin dibandingkan
kelompok yang tidak menggunakan tramadol (kelompok
kontrol: pada penelitian ini menggunakan narkotik dan
16
parasetamol) .
Sudheer et al., 2007 Morfin, Efek penghilang nyeri lebih baik pada kelompok yang
tramadol dan diberikan morfin dibanding kodein dan tramadol serta
kodein tidak terdapat perbedaan bermakna terkait lama sedasi
17
maupun depresi pernapasan .

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 33


b. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs disebabkan oleh agen ini mengurangi rasa sakit dan
(NSAID). peradangan. NSAID mengurangi agregasi trombosit
Obat NSAID merupakan pilihan dalam dan penggunaannya menimbulkan risiko hematoma
manajemen nyeri pasca kraniotomi karena intrakranial pasca operasi. Dosis 100 mg Diklofenak
mengurangi nyeri dan penggunaan morfin hingga rektal dapat digunakan setiap 18 jam jika ada
25-50% dan mengurangi efek samping yang masalah perdarahan atau insufisiensi ginjal.3
diinduksi opioid. Penghambatan prostaglandin yang

Tabel 3. Dosis obat non-opioid untuk nyeri pasca kraniotomi (Roka dkk., 2012)
Dosis awal dan interval
Obat
<50 kg (mg/kg) > 50 kg dan dewasa (mg dosis tetap)
Ketorolac 0,5mg/kg IM/IV setiap 6jam maximal bisa mencapai 72 15-30mg tiap 6 jam, tidak boleh melebihi
jam 120mg/hari, maximal bisa mencapai 72jam
Ibuprofen 5-10mg/kg per oral, tidak boleh melebihi 40mg/hari 200-800mg per oral tiap 6jam
Acetaminofen Oral Oral
Neonatus 325mg per oral setiap 4-6jam
Dosis : 10-15mg/kg Per oral setiap 6-8jam atau
Maksimal : 60mg/kg/hari 500mg per oral setiap 6-8jam
Bayi/anak atau
Dosis : 10-15mg/kg per oral setiap 6-8jam 625mg per oral setiap 8jam
Maksimal : 75mg/kg/hari sampai 1gr/4 tidak melebihi 4g/hari
jam atau 4gr/hari
>12tahun
Dosis : 325-650mg per oral setiap 4-6jam
Maksimal : 1gr/4jam dan 4gr/hari
IV IV
12,5mg/kg IV setiap 4jam 650mg IV setiap 4jam
atau atau
15mg/kg IV setiap 6jam 1000mg IV setiap 6jam tidak melebihi 4gr/hari
tidak melebihi 750mg/dosis dan
80mg/kg/hari
Clonidine Oral dan Transdermal Oral dan Transdermal
1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral 1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral
Diazepam Oral Oral
0,25-0,3mg/kg setiap 6-8jam 2-10mg/kg/hari setiap 6-8jam
IV IV
0,05-0,1mg/kg setiap 4-6jam 2-10mg IV/IM setiap 3-4jam
tidak lebih dari 30mg setiap 8jam
Gabapentin 3-12tahun 300mg per oral sebelum tidur, bertahan dan
10-15mg/kg/hari terbagi tiap 8jam yang biasa ditoleransi mencapai 300mg setiap
>12tahun 8jam
300mg per oral setiap 8jam ,bisa mencapai 600mg
per oral tiap 8jam
Amitriptyline Load Load
0,1mg/kg per oral sebelum tidur, 75mg/hari per oral
peningkatan dosis dapat ditoleransi sampai
2-3minggu
Maintenance Maintenance
0,5-2mg/kg per oral sebelum tidur 150-300mg/hari per oral dalam dosis tunggal
atau terbagi
Keamanan penggunaan obat NSAID seperti ketorolak dan ibuprofen pada anak dibawah usia 3-6 bulan belum dapat ditentukan

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 34


Tabel 4. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi
Verchere et al., 2002 Paracetamol, RCT Memberikan penilaian nyeri yang sama dengan
Tramadol pemberian tramadol, namun kejadian mual muntah
18
pasca operasi lebih tinggi pada kelompok tramadol.

Molnar et al., 2015 Diklofenak, RCT Konsumsi diklofenak mengurangi skor nyeri dan
placebo konsumsi opioid secara signifikan pada 5 hari
pertama pasca operasi. Pemberian diklofenak tidak
berbuhungan dengan komplikasi saluran cerna,
19
disfungsi ginjal, maupun perdarahan.

Wiliam et al., 2011 Parecoxib dan RCT Tidak ada perbedaan dalam intensitas nyeri, kejadian
placebo mual muntah pasca operasi dan penggunaan
20
morfin.

Dilmen et al., 2016 Morfin, Double Pemberian morfin mencegah nyeri berat pasca
dexketoprofen, blind kraniotomi supratentorial dibandingkan pemberian
21
metamizol trial dexketoprofen dan metamizol.

c. Cyclooxygenase (COX) yang menjalani kraniotomi, didapatkan skor nyeri


Obat-obatan ini mampu mengurangi nyeri berkurang pada 1 jam pasca operasi dan konsumsi
kraniotomi pasca operasi tanpa peningkatan risiko opioid berkurang pada 24 jam pasca operasi.22
perdarahan pasca operasi. Cyclooxygenase-2 Hansen tahun 2011 menunjukkan bahwa infiltrasi
inhibitors (COXIB) efektif dalam analgesik kulit kepala dapat menurunkan skor nyeri yang
perioperatif untuk berbagai prosedur pembedahan signifikan, tetapi hanya segera setelah operasi
dan menimbulkan efek sparring morfin dari 30% selesai. Meskipun infiltrasi kulit kepala tampaknya
hingga 50%. Kekurangan penggunaan obat ini tidak efektif untuk pengobatan nyeri pasca
terkait dengan peningkatan risiko penyakit kraniotomi akut setelah beberapa jam namun
3
kardiovaskular akibat kejadian tromboemboli. bermanfaat untuk rehabilitasi pasien bedah saraf
dan meningkatkan kualitas hidup karena dapat
3.3 Anestesi lokal membatasi perkembangan nyeri menjadi persisten,
Anestesi lokal secara rutin digunakan untuk terutama nyeri neuropatik.23
infiltrasi kulit intraoperatif dan blokade kulit kepala.
Analgesia dapat dicapai dengan blokade enam 3.4 Gabapentin
saraf: saraf supraorbital, saraf supratroklear, saraf Merupakan antiepilepsi generasi baru yang
auriculotemporal, saraf zygomaticotemporal, saraf memiliki sifat antinosiseptif dan antihiperalgesik.
oksipital mayor, dan saraf oksipital minor. Blok kulit Penelitian dilakukan oleh Ture tahun 2009,
kepala dapat dilakukan sebelum operasi untuk menunjukkan bahwa pemberian gabapentin
menumpulkan respon hemodinamik terhadap (3x400mg), 7 hari sebelum operasi memiliki hasil
rangsangan bedah, termasuk menjepit kepala dan pasca operasi yang menguntungkan dalam bentuk
sayatan kulit, serta memberikan analgesia pasca penurunan skor nyeri, konsumsi opioid yang lebih
operasi tanpa risiko sedasi atau depresi pernapasan. rendah, dan insiden mual dan muntah yang lebih
Komplikasi blok kulit kepala jarang terjadi; namun, rendah. Namun pada sisi lain, memberikan efek
injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas samping berupa tingkat sedasi yang lebih tinggi
anestesi lokal, termasuk gejala neurologis, disritmia dan ekstubasi trakea yang tertunda. Ada literatur
7
jantung, atau henti jantung. yang menunjukkan bahwa antiepilepsi memiliki sifat
Guilfolye tahun 2013 meneliti penggunaan antinosiseptif dan antihiperalgesik.1,24
scalp block atau skin infiltration pada 302 pasien

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 35


3.5 NMDA Receptor Antagonist Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan
Reseptor n-methyl-d-aspartate (NMDA) efek menguntungkan obat tersebut pada nyeri akut
adalah saluran ion channel yang memungkinkan pasca kraniotomi dengan pengendalian nyeri yang
masuk dan keluarnya kalsium, natrium, kalium ke baik, pengurangan penggunaan morfin pasca
dalam sel. Reseptor ini terlibat dalam modulasi nyeri operasi meskipun waktu ekstubasi tidak berbeda.
di tingkat sumsum tulang belakang dan sensitisasi Bradikardia merupakan efek samping signifikan dari
nosiseptor. Antagonis reseptor NMDA memiliki sifat penggunaan obat ini.9,10
analgesik intrinsik yang sedikit, namun efek
analgesiknya dimediasi melalui penghambatan 3.7 Cryotherapy
sensitisasi sentral. Tinjauan sebelumnya telah Metode terapi ini masih sangat baru,
menunjukkan penurunan nyeri pasca operasi dan dilakukan oleh Shin et al pada tahun 2009
kebutuhan analgesik menggunakan menunjukkan bahwa cryotherapy berguna untuk
dekstrometorfan dan ketamin. Ketamin merupakan mengontrol nyeri pasca kraniotomi melalui
antagonis reseptor NMDA yang memodulasi nyeri pemberian kantong es pada luka operasi dan
tulang belakang dan sensitisasi nosiseptor, sehingga kantong gel dingin pada area periorbital, dimulai 3
mengurangi nyeri pasca operasi dan kebutuhan jam setelah operasi, selama 3 hari, selama 20 menit
opioid. Namun, memiliki kecenderungannya untuk per jam. Studi ini memperhitungkan 97 pasien yang
meningkatkan aliran darah otak dan tekanan menjalani kraniotomi supratentorial elektif,
intrakranial, serta terkait dengan gangguan kognitif, dipisahkan dalam kelompok cryotherapy dan
pengalaman negatif, dan gangguan penglihatan kontrol. Tingkat nyeri (skor VAS) 3 jam setelah
(penglihatan kabur dan pusing), yang dapat kraniotomi sama pada kedua kelompok, tetapi
mengubah penilaian neurologis pasca operasi. cryotherapy secara signifikan mengurangi nyeri 3
Meskipun ketamin secara tradisional diyakini dapat hari setelah operasi.3,25
meningkatkan tekanan intrakranial dan oleh karena
itu mengubah hemodinamik otak, penelitian terbaru KESIMPULAN
menunjukkan bahwa ketamin bahkan dapat Nyeri akut pasca kraniotomi adalah masalah
meningkatkan perfusi otak. Namun, karena yang yang sulit dikelola dan harus dimanajemen
kontroversi ini dan ketersediaan analgesik lain yang dengan baik untuk mencegah morbiditas,
tidak mempengaruhi perfusi otak, ketamin tidak mortalitas, serta pemanjangan masa inap.
1,10
dianjurkan dalam bedah saraf. Berdasarkan beberapa literatur, tatalaksana nyeri
akut dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu
3.6 𝛼-2 Adrenoreceptor Agonist opioid, non-opioid, cyclooxygenase, anestesi lokal,
Dexmedetomidine merupakan atagonis NMDA receptor antagonist, 𝛼-2 adrenoreceptor
adrenoreseptor 𝛼-2 presinaptik kuat yang agonist, dan cryotheraphy. Dengan pemberian terapi
memberikan sedasi tanpa mempengaruhi dan dosis serta kombinasi yang tepat diharapkan
pernapasan. Investigasi yang melibatkan komplikasi dapat diminimalkan dan outcome pasca
dexmedetomidine mengklaim pengurangan operasi kraniotomi menjadi lebih baik.
konsumsi opioid pasca operasi sebanyak 60%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava S, Singh PK. Pain following Craniotomy: Reassessment of the Available
Options. Biomed Res Int. 2015;2015. doi:10.1155/2015/509164
2. Tsaousi GG, Logan SW, Bilotta F. Postoperative Pain Control Following Craniotomy: A Systematic Review of
Recent Clinical Literature. Pain Pract. 2017;17(7):968-981. doi:10.1111/papr.12548
3. Santos CMT, Pereira CU, Chaves PHS, Tôrres PTR de L, Oliveira DM da P, Rabelo NN. Options to manage
postcraniotomy acute pain in neurosurgery: no protocol available. Br J Neurosurg. 2020;0(0):1-8.

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 36


doi:10.1080/02688697.2020.1817852
4. Mordhorst C, Latz B, Kerz T, et al. Prospective assessment of postoperative pain after craniotomy. J Neurosurg
Anesthesiol. 2010;22(3):202-206. doi:10.1097/ANA.0b013e3181df0600
5. Flexman AM, Ng JL, Gelb AW. Acute and chronic pain following craniotomy. Curr Opin Anaesthesiol.
2010;23(5):551-557. doi:10.1097/ACO.0b013e32833e15b9
6. Shah A, Jung H. Management of post-operative pain after craniotomy. Acta Neurochir (Wien).
2015;157(12):2125-2126. doi:10.1007/s00701-015-2524-3
7. Dunn LK, Naik BI, Nemergut EC, Durieux ME. Post-Craniotomy Pain Management: Beyond Opioids. Curr Neurol
Neurosci Rep. 2016;16(10). doi:10.1007/s11910-016-0693-y
8. Giammalva GR, Iacopino DG, Graziano F, Gulì C, Pino MA, Maugeri R. Clinical and radiological features of
Forestier’s disease presenting with dysphagia. Surg Neurol Int. 2018;9(1). doi:10.4103/sni.sni
9. Iturri F, Valencia L, Honorato C, Martínez A, Valero R, Fàbregas N. Narrative review of acute post-craniotomy
pain. Concept and strategies for prevention and treatment of pain. Rev Española Anestesiol y Reanim (English
Ed. 2020;67(2):90-98. doi:10.1016/j.redare.2019.09.004
10. de Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain following craniotomy: A review. Anaesthesia. 2005;60(7):693-704.
doi:10.1111/j.1365-2044.2005.03997.x
11. Lutman B, Bloom J, Nussenblatt B, Romo V. A Contemporary Perspective on the Management of Post-
Craniotomy Headache and Pain. Curr Pain Headache Rep. 2018;22(10). doi:10.1007/s11916-018-0722-4
12. Chowdhury T, Garg R, Sheshadri V, et al. Perioperative factors contributing the post-craniotomy pain: A
synthesis of concepts. Front Med. 2017;4(MAR):1-5. doi:10.3389/fmed.2017.00023
13. Roka YB. Review in The Management of Post-Craniotomy Pain. Nepal J Neurosci. 2019;16(1):3-9.
doi:10.3126/njn.v16i1.24423
14. Goldsack C, Scuplak SM, Smith M. A double-blind comparison of codeine and morphine for postoperative
analgesia following intracranial surgery. Anaesthesia. 1996;51(11):1029-1032. doi:10.1111/j.1365-
2044.1996.tb14997.x
15. Sane S, Tolumehr A, Hassani E, Mahoori A. Comparison the effects of paracetamol with sufentanil infusion on
postoperative pain control after craniotomy in patients with brain tumor. Adv Biomed Res. 2015;4(1):64.
doi:10.4103/2277-9175.152610
16. Rahimi SY, Alleyne CH, Vernier E, Witcher MR, Vender JR. Postoperative pain management with tramadol after
craniotomy: Evaluation and cost analysis: Clinical article. J Neurosurg. 2010;112(2):268-272.
doi:10.3171/2008.9.17689
17. Sudheer PS, Logan SW, Terblanche C, Ateleanu B, Hall JE. Comparison of the analgesic efficacy and respiratory
effects of morphine, tramadol and codeine after craniotomy. Anaesthesia. 2007;62(6):555-560.
doi:10.1111/j.1365-2044.2007.05038.x
18. Verchère E, Grenier B, Mesli A, Siao D, Sesay M, Maurette P. Postoperative pain management after
supratentorial craniotomy. J Neurosurg Anesthesiol. 2002;14(2):96-101. doi:10.1097/00008506-200204000-
00002
19. Molnár C, Simon É, Kazup Á, et al. A single preoperative dose of diclofenac reduces the intensity of acute
postcraniotomy headache and decreases analgesic requirements over five postoperative days in adults: A single
center, randomized, blinded trial. J Neurol Sci. 2015;353(1-2):70-73. doi:10.1016/j.jns.2015.04.005
20. Williams DL, Pemberton E, Leslie K. Effect of intravenous parecoxib on post-craniotomy pain. Br J Anaesth.
2011;107(3):398-403. doi:10.1093/bja/aer223
21. Dilmen OK, Akcil EF, Tunali Y, et al. Postoperative analgesia for supratentorial craniotomy. Clin Neurol
Neurosurg. 2016;146:90-95. doi:10.1016/j.clineuro.2016.04.026
22. Guilfoyle MR, Helmy A, Duane D, Hutchinson PJA. Systematic Review and Meta-Analysis. 2013;116(5):1093-
1102. doi:10.1213/ANE.0b013e3182863c22
23. Hansen MS, Brennum J, Moltke FB, Dahl JB. Pain treatment after craniotomy: Where is the (procedure-specific)
evidence? A qualitative systematic review. Eur J Anaesthesiol. 2011;28(12):821-829.
doi:10.1097/EJA.0b013e32834a0255
24. Anesthesiology N, Tu H, Sayin M, Karlikaya G, Bingol CA, Aykac B. The Analgesic Effect of Gabapentin as a

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 37


Prophylactic Anticonvulsant Drug on Postcraniotomy Pain : 2009;109(5):1625-1631.
doi:10.1213/ane.0b013e3181b0f18b
25. Shin YS, Lim NY, Yun SC, Park KO. A randomised controlled trial of the effects of cryotherapy on pain, eyelid
oedema and facial ecchymosis after craniotomy. J Clin Nurs. 2009;18(21):3029-3036. doi:10.1111/j.1365-
2702.2008.02652.x

Untuk menyitir artikel ini: Pratama, RA, BH Laksono, AZ Fatoni. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal of
Anaesthesia and Pain. 2020;1(3):28-38. doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.04

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 38

Anda mungkin juga menyukai