Udang Vaname
Udang Vaname
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Infraordo : Penaeidea
Superfamili : Penaeioidea
Famili : Panaeidae
Genus : Litopenaeus
kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh digunakan
6
7
dan organ sensor. Morfologi tubuh udang vannamei dapat ditunjukkan pada
gambar 2.1.
dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang
maxillipied untuk makan dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki
dihubugkan oleh coxa. Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut
disebut basis, 6 ischium, merus, carpus, dan cropus. Genus penaeus ditandai
dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum serta hilangnya bulu
cambuk (setae) pada tubuhnya. Secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi
rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Haliman dan
Adijaya, 2005).
pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai
Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI. No. 41/2001, dimana
produksi udang windu menurun sejak 1996 akibat serangan penyakit dan
dijadikan sebagai pengganti dari udang windu. Hal ini disebabkan udang windu
diantaranya yaitu dapat mencapai ukuran besar, dapat tumbuh secepat udang
windu (3 g/minggu), dapat dibudidayakan pada kisaran salinitas yang lebar (0,5-
45 ppt), kebutuhan protein yang lebih rendah (20-35%) dibanding udang windu
dan dapat ditebar dengan kepadatan tinggi hingga lebih dari 150 ekor/m2.Selain
itu udang ini mempunyai toleransi terhadap penurunan salinitas, resisten terhadap
dan data ekspor udang dari tahun 2010 hingga September 2014 ditunjukkan pada
tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Data Volume Produksi dan Ekspor Udang 2010 hingga September
2014
vannamei pada tahun 2013 dan 3.104 ton hingga September 2014. Kementerian
Indonesia pada tahun 2015 akan naik 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya
dengan target produksi sebesar 785.900 ton (Dirjen Perikanan Budidaya, 2014).
limbah udang. Udang diekspor 90% berada dalam bentuk beku tanpa kulit dan
kepala sehingga dari proses pembekuan tersebut dihasilkan limbah berupa kulit
dan kepala udang (Natsir et al., 2007; Arif dkk., 2013). Limbah ini selanjutnya
disebut bio-waste dengan perolehan rata rata 45-55% dari bobot udang
setelah selulosa. Sejarah penemuan kitin dimulai pada tahun 1811 oleh Henry
Broconnot sebagai hasil isolasi dari jamur, sedangkan kitin dari kulit serangga
diisolasi pertama kali pada tahun 1820-an (Brine, 1984). Kitin berasal dari bahasa
Yunani yaitu Kiton yang berarti baju rantai dan besi. Hal ini sesuai dengan
Kitin berada dalam bentuk terikat secara kovalen dengan protein serta
dilapisi mineral kalsium karbonat sehingga menjadi matriks yang keras. Kitin
terdapat melimpah pada kulit kepiting, kulit udang, dan dinding sel jamur serta
pada serangga. Kandungan kitin pada crustacean berkisar 20-30% (Knorr, 1984).
Berdasarkan sumber biosintesisnya kitin ditemukan pada lebih dari 106 spesies
11
yang dibedakan dalam bentuk 3 polimorfisme yaitu α-kitin, β-kitin, dan γ-kitin
gambar 2.3.
Menurut gambar 2.3 dapat dijelskan bahwa β-kitin yang dihasilkan dari
cumi-cumi dan γ-kitin dari golongan fungi sangat mudah dikonversi menjadi α-
kitin dengan perlakuan basa sehingga α-kitin yang dihasilkan oleh Crustacean
lebih banyak digunakan dalam bidang bidang industri (Noishiki et al., 2003).
kitin dari komponen yang lain dapat digunakan dengan asam dan basa. Kitin
berwarna putih, keras, tidak elastis, polisakarida yang mengandung nitrogen. Kitin
mempunyai sifat utama sangat sulit larut dalam air dan beberapa pelarut organik
sehingga reaktifitas kimianya rendah. Menurut Dutta et al. (2004), kitin dapat
kristal yang tidak berubah dari bentuk kitin mula-mula (Prasetyaningrum dkk.,
asetil menjadi amina membuat kitosan lebih aktif bereaksi sehingga lebih mudah
melarutkan kitosan dalam pelarut yang lebih aman seperti asam asetat. Adanya
gugus amino juga memberi sifat polikationik sehingga kitosan dapat digunakan
bergantung pada pH. Jika pH dibawah 6,5 maka kitosan akan mengalami
al., 2011) Spesifikasi kitosan seperti yang tertera pada tabel 2.2.
13
dekolorisasi (Hossain, 2013; Sofia dkk., 2010). Tahapan ekstraksi ini bersifat
tidak mutlak karena kualitas produk yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
metode yang digunakan dalam mengekstraksi kitin dan kitosan. Pada penelitian
dan dekolorisasi memberikan hasil rendemen kitosan tertinggi yaitu 19,3% dari
ekstraksi dibedakan menjadi 2 yaitu ekstraksi secara kimia dan biologi (Arbia et
al., 2013). Pada tahap preparasi kitin (demineralisasi dan deproteinisasi), secara
(contoh: Alkalase). Akan tetapi semua metode tersebut memerlukan kondisi yang
spesifik dan mahal. Secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan HCl
untuk demineralisasi dan NaOH sebagai deproteinisasi. Metode kimia ini penuh
dengan pengembangan metode karena sangat mudah untuk dilakukan (Khan et al.,
2001). Selain itu menurut penelitian Beaney et al. (2005) dalam Xu et al. (2013),
ditemukan bahwa kualitas kitin yang diekstraksi dengan metode kimia lebih
a. Demineralisasi
HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH, dan HCOOH akan tetapi HCl merupakan reagen
yang paling sering digunakan (Percot et al., 2003). Menurut penelitian Mahmoud
et al. (2007), asam mineral (HCl) memberikan hasil penghilangan mineral terbaik
jika dibandingkan dengan asam laktat dan asam asetat dalam proses
HNO3 dan H2SO4 ditnjau dari recovery kitin tertinggi mencapai 53,4% dari 62,5%
b. Deproteinisasi
terdapat di dalam kulit udang. Kitin berada dalam bentuk terikat secara kovalen
dengan protein serta dilapisi mineral kalsium karbonat sehingga menjadi matriks
yang keras (Younes and Rinaudo, 2015). Untuk mengekstraksi protein dilakukan
dengan perendaman dengan larutan alkali encer yang akan memutus ikatan kitin
dan protein serta melarutkan protein sehingga kitin dapat dipisahkan dengan cara
larutan basa seperti NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 (Younes and Rinaudo, 2015).
NaOH merupakan basa yang paling sering dan murah untuk digunakan. Sebagian
besar penelitian menerapkan proses ini dengan melakukannya pada suhu 60-70°C
dengan NaOH = 1:10 (gram serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 120 menit.
2008).
c. Deasetilasi
untuk digantikan dengan gugus amina (-NH2) dengan menggunakan basa kuat
awal. Pada percobaan Arifin (2012), pengurangan massa berkisar 9-26% pada
Arifin (2012) adalah konsentrasi NaOH, suhu reaksi dan waktu reaksi. Semakin
tinggi konsentrasi NaOH, suhu reaksi ataupun waktu reaksi yang semakin lama
akan memperbanyak gugus asetil yang digantikan oleh gugus amina. Pada
penelitian Purwanti dan Yusuf (2013), penggunaan NaOH 55% tidak memberikan
perbedaan nilai kelarutan kitosan dalam asam asetat yang bermakna dengan
penggunaan NaOH 50% dalam proses deasetilasi yaitu dari 95,8 dan 94,53%
deasetilasi kitin.
bobot molekul (BM) 138,12 gram/mol. Pemerian hablur ringan tidak berwarna
atau serbuk berwarna putih, hampir tidak berbau, rasa agak manis dan tajam.
Kelarutan larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%), mudah
larut dalam kloroform dan dalam eter, larut dalam larutan ammonium asetat,
Asam salisilat merupakan salah satu asam organik yang pertama kali
diisolasi dari pohon dedalu (Salix sp.). Asam organik ini memiliki kemampuan
untuk menembus sel epidermis dan menyebabkan pembengkakan sel yang disebut
dengan mekanisme keratolitik. Oleh karena itu asam salisilat sering digunakan
mengisolasi kitin dan dari limbah cangkang udang windu (Black Tiger Shrimp)
untuk memperoleh kitosan yang dapat membentuk membran plastis yang kuat dan
karakteristik kitosan yang dihasilkan. Kitin yang memiliki DD lebih dari 75%
18
Iqbal, 2014; Purwanti, 2014). Titrasi ini memiliki prinsip penetralan larutan asam
dan gugus amina dari kitosan dengan menggunakan larutan basa yang telah
et al., 2012). Kitosan dilarutkan dalam HCl akan menghasilkan warna merah
ketika ditetesi indikator metilen jingga dan selanjutnya dititrasi dengan NaOH
secara umum memiliki DD 60% sedangkan pada Hossain and Iqbal (2014)
minimal dikatakan kitosan jika DD 75%. Untuk kualitas teknis kitosan yang
2005).
2.7. Viskositas
Ridwan dkk (2008) menyatakan bahwa viskositas adalah suatu sifat yang
menentukan besarnya daya tahan terhadap gaya geser atau dapat didefinisikan
19
dengan tahanan terhadap gaya yang menggeserkan fluida pada lapisan yang satu
dengan yang lain. Alat yang digunakan untuk mengukur viskositas disebut dengan
viskometer yang terdiri dari berbagai macam contoh yaitu Viskometer Ostwald
untuk mengukur waktu yang diperlukan suatu fluida untuk mengalir melalui pipa
mengukur kecepatan bola jatuh dalam suatu fluida akibat gaya gravitasi (Bird,
1993).
brookfield tipe DV-E yang dilengkapi dengan spindel yang akan berputar sesuai
dengan kecepatan Rad per Minute (rpm) yang telah diatur. Keunggulan
menggunakan viskometer ini adalah praktis dan cepat untuk dilakukan jika
terdapat pustaka yang mendukung dalam penentuan nomor spindel dan kecepatan
putar spindel.
suatu radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia (Depkes
yang memakai sumber radiasi elektromagnetik sinar tampak (380 nm-780 nm)
A = - log T = - log It / Io = ε . b . C
...................................................... (2.1)
Dimana :
T = Transmitansi
ε = Koefisien ekstingsi
konsentrasi larutan uji maka terlebih dahulu dibuat kurva hubungan antara
absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi
2007)
21
konsentrasi. Pada kurva kalibrasi akan diperoleh suatu persamaan regresi yang
(2007) adalah dapat digunakan dalam penetapan kadar protein dalam sampel.
Metode penetapan protein ini disebut dengan metode kolorimetri yang dapat
dilakukan dengan metode biuret. Prinsip penetapan kadar protein ini adalah
dengan mereaksikan sampel yang mengandung protein dengan reagen biuret yang
salah satu komponennya yaitu CuSO4. Adanya ion Cu2+ akan bereaksi dengan
gugus amina pada protein sehingga menghasilkan warna ungu yang kemudian
dianalisis absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Kadar protein pada