Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
YESSI
NIM: 2019.C.11A.1071
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Yessi
Nim : 2019.C.11a.1071
Program Studi : S1 Keperawatan
Judul : Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada
Ny.A
Dengan Diagnosa Medis Kebutuhan rasa aman dan
nyaman
: Cedera Kepala Ringan
Pembimbing Akademik
Kristinawati,S.Kep.,Ners
2
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
hikmah kesehatan dan kebijaksanaan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan dengan
Judul Laporan Pendahuluan Keperawatan Pada Dengan Diagnosa Medis “
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan disusun dalam rangka
untuk memenuhi ataupun melengkapi tugas mata Kuliah Parktik Praklinik
Keperawata I.
Pada kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes. selaku Ketua STIKes
Yayasan Eka Harap Palangka Raya
2. Ibu Melitha Carolina, Ners., M.Kep. selaku Ketua Prodi S1
Keperawatan Ners STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Meida Sinta Araini, S.Kep.,Ners selaku penanggung jawab mata
Kuliah Praktik Praklinik Keperawatan I
4. Kristinawati,S.Kep.,Ners Selaku dosen pembimbing Akademik
5. Secara Khusus Kepada Pihak Dari Rumah Sakit Doris Sylvanus yang
telah memberi izin tempat
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan dan juga asuhan
keperawatan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan dan juga asuhan
keperawatan ini dapat mencapai sasaran yang diharapakan sehingga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Yessi
4
5
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................
BAB I TINJAUAN TEORITIS...............................................................................
1.1 Konsep Penyakit Cedera Kepala Ringan.........................................................
1.1.1 Definisi..............................................................................................................
1.1.2 Etiologi Cedera Kepala Ringan ........................................................................
1.1.3 Klasifikasi Cedera Kepala Ringan....................................................................
1.1.4 Patofosiologi (WOC ).......................................................................................
1.1.5 Manifestasi Klinis.............................................................................................
1.1.6 Komplikasi........................................................................................................
1.1.7 Penatalaksanaan Penunjang .............................................................................
1.1.8 Pemeriksaan medis............................................................................................
1.2 Konsep Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman.................................................
1.2.1 Definisi..............................................................................................................
1.2.2 Anatomi Fisiologi..............................................................................................
1.2.3 Etiologi Cedera Kepala Ringan ........................................................................
1.2.4 Klasifikasi Cedera Kepala Ringan....................................................................
1.2.5 Patofosiologi (WOC ).......................................................................................
1.2.6 Manifestasi Klinis.............................................................................................
1.2.7 Komplikasi........................................................................................................
1.2.8 Penatalaksanaan Penunjang .............................................................................
1.2.9 Pemeriksaan medis...........................................................................................
1.3 Pengkajian Keperawatan..................................................................................
1.3.1 Diagnosa Keperawatan......................................................................................
1.3.2 Rencana Tindakan Keperawatan.......................................................................
1.3.3 Pelaksanaan.......................................................................................................
1.3.4 Evaluasi............................................................................................................
6
BAB II TINJAUAN KASUS...................................................................................
2.1 Pengkajian Keperawatan......................................................................................
2.2 Daftar Diagnosa Keperawatan.............................................................................
2.3 Rencana Tindakan Keperawatan.........................................................................
2.4 Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.....................................................
2.5 Implementasi dan Evaluasi................................................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................
3.2 Saran...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
7
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1.1 Definisi
1.1.2 Etiologi
8
Berdasarkan Hurst (2016) penyebab umum cedera otak traumatic adalah :
9
(cedera contrecoup)
10
1. (B1) Breathing
Pada tinjauan pustaka didapatkan data klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi klavikula/dada, pengembangan
paru tidak simetris. Ekspansi dada : di nilai penuh dan kesimetrisannya.
Pola nafas ini dapat terjadi jika otot-otot intercostal tidak mampu
menggerakan dinding dada, fremitus menurun di banding dengan sisi yang
lain akan di dapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga
thoraks,adanya suara redup sampaipekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks/hematothoraks, bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun sering di dapatkan pada klien cedera
kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma (Brunner & Suddart,
2013).
2. (B2) Blood
Pada tinjauan pustaka didapatkan data pengkajian pada sistem
karidiovaskuler di dapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering
terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.Hasil pemeriksaan
kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa keadaan dapat di
temukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia
dan aritmia, kulit kelihatan pucat, hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok (Brunner
& Suddart, 2013).
3. (B3) Brain
Pada tinjauan pustaka didapatkan data tingkat kesadaran klien menurun
dan responterhadap lingkungan adalah indicator paling sensitif untuk
menilai disfungsi sistem persarafan.Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma (Brunner & Suddart, 2013).
4. (B4) Bladder
11
Pada tinjauan pustaka didapatkan data kaji keadaan urine meliputi warna,
jumlah, dan karakeristik urine, termasuk berat jenis urine. Setelah cedera
kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
(Brunner & Suddart, 2013).
5. (B5) Bowel
Pada tinjauan pustaka didapatkan data Didapatkan adanya keluhan
kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual, dan muntah pada fase
akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan tekanan
intrakranial sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi.Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas (Brunner & Suddart, 2013).
6. (B6) Bone
Pada tinjauan pustaka didapatkan data adanya perubahan warna kulit,
warna kebiruan menunjukakan adanya sianosis ( ujung kuku,
ekstermitas,telinga, hidung, bibir dan membram mukosa).Pucat pada
wajah dan membram mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
haemoglobin atau syok,pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada
kulit dapat menunjukkan adanya demam, dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi,mudah
lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat (Brunner &
Suddart, 2013).
12
kesadaran yang dimodifikasi dari GCS (ICNA, 2020). Skor GCS
tersebut meliputi: cedera kepala ringan (GCS 13–15), cedera kepala
sedang (GCS 9–12), dan cedera berat (GCS <8) (Allen et al., 2013).
13
Trauma tembus adalah bentuk cedera yang meliputi luka
pada kepala akibat benda asing (misalnya pisau atau peluru) atau
akibat dari fragmen tulang dan fraktur tengkorak. Kerusakan yang
disebabkan oleh cedera tembus sering kali berkaitan dengan
kecepatan objek tersebut menembus tengkorak dan otak. Fragmen
tulang dari fraktur tengkorak dapat menyebabkan cedera otak local
akibat laserasi jaringan otak dan merusak struktur lainnya
(misalnya saraf dan pembuluh darah). Jika pembuluh darah utama
mengalami kerusakan atau rupture, gumpalan besar (hematoma)
dapat terbentuk dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan otak
yang luas.
3. Cedera kulit kepala
Cedera kulit kepala dapat menyebabkan laserasi,
hematoma, dan kontusi atau abrasi pada kulit. Cedera kulit kepala
yang paling ringan adalah abrasi/kontusio, yang pada umumnya
membaik dengan terapi lokal (yaitu, membersihkan luka dan
penggunaan antibiotic topikal dan kompres dingin). Pukulan yang
lebih kuat dapat menyebabkan perdarahan pada rongga subgaleal
(perdarahan diantara aponeurosis dan periosteum) atau
subperiosteal (perdarahan diantara periosteum dan tulang
tengkorak), dengan pembentukan sefal hematoma.
4. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak sering disebabkan oleh kekuatan yang
cukup keras menimbulkan fraktur pada tengkorak dan
menyebabkan cedera otak. Fraktur tengkorak depresi mencederai
otak dengan menimbulkan memar (mengakibatkan kontusi) atau
dengan mengarahkan fragment tulang ke dalamnya (menyebabkan
laserasi).
5. Cedera otak
Cedera otak sering menggunakan istilah terbuka, tertutup, konkusi
dan kontusi. Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus
tengkorak, sedangkan cedera tertutup berasal dari trauma tumpul.
14
a. Konkusi
Konkusi diklasifikasikan berdasarkan hebatnya derajat cedera
primer dan hasil disfungsi neurologis. Lesi grade I
menyebabkan kebingungan (confusion) sementara, lalu segera
kembali ke kesadaran normal dan tanpa amnesia; grade II,
kebingungan yang sedikit lebih berat dan sedikit amnesia
(hanya postraumatik), grade III, kebingungan yang sangat
berat pada awalnya, dengan amnesia postraumatik dan
retrograde; grade IV (konkusi klasik), kehilangan kesadaran
singkat, periode kebingungan yang bervariasi, dan amnesia
postraumatik dan retrograde.
b. Kontusi
Kontusi berhubungan dengan kerusakan yang lebih luas
daripada konkusi. Pada kontusi, otak itu sendiri mengalami
kerusakan, sering kali disertai dengan beberapa area
perdarahan kecil dan area memar di jaringan otak.
c. Cedera aksonal yang menyebar
Cedera aksonal yang menyebar adalah bentuk cedera kepala
yang palig parah karena tidak ada lesi fokal yang dihilangkan.
Cedera ini melibatkan seluruh jaringan otak. Cedera aksonal
yang menyebar diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, atau
berat. Cedera aksonal yang menyebar dimulai dengan
hilangnya kesadaran dengan cepat, koma berkepanjangan,
postur fleksi atau ekstensi yang abnormal, hipertensi, dan
demam.
6. Cedera fokal
a. Epidural hematoma (hematoma ekstradural)
Hematoma ini terjadi pada sekitar 10% dari cedera
kepala yang parah dan biasanya berhubungan dengan fraktur
tengkorak. Hematoma epidural terjadi akibat cedera pada
pembuluh darah serebral (arteri
15
membentuk bekuan besar yang memisahkan dura dari
tengkorak. Hematoma epidural tercatat sebanyak 1% sampai
3% dari semua kasus cedera kepala mayor. Kecelakaan
berkendara menjadi penyebab utama, tetapi kejadian kecil,
seperti terpeleset dan cedera olahraga, bisa menjadi pencetus
yang fatal. Sumber permasalahan umumnya berasal dari
arterial (85%), tetapi epidural hematoma juga dapat
melibatkan vena meningeal atau sinus dural. Lokasi-lokasi
epidural hematoma paling umum termasuk fosa temporal,
regio subfrontal dan area oksipital-suboksipital.
1) Epidural hematoma fosa temporal
Hematoma epidural fosa temporal, yang menyebabkan
cedera arteri meningeal media, adalah epidural hematoma
yang paling sering dijumpai. Fraktur tulang temporal
menjadi penyebab pada setidaknya 80% kasus. Tanda-
tanda klinis klasik dan rangkaian kejadian yang panjang
pada hematoma tipe ini hanya ditemukan pada sebagian
kecil pasien saja. Pada dasarnya, konkusi menyebabkan
periode awal penurunan kesadaran, kemudian, karena
dura cukup erat dengan tulang tengkorak, akumulasi
darah terhambat dan interval lucid menyusul, pada saat
fungsi neurologis pasien relatif normal. Akhirnya, ketika
lesi semakin membesar, kesadaran menurun secara
drastis. Kejadian ini menggambarkan karakteristik yang
disebut "talk and die patient" (pasien berbicara lalu
meninggal).
2) Epidural hematoma region subfrontal
Hematoma epidrual frontal atau subfrontal paling sering
terjadi pada anak-anak atau orang tua, dan dikaitkan
dengan pukulan langsung pada bagian frontal. Cedera ini
dapat melibatkan cabang anterior arteri
16
venosus. Gejala dan tanda yang umum termasuk sakit
kepala, perubahan kepribadian dan anisokoria.
3) Epidural hematoma oksipital-suboksipital
Hematoma epidural fosa posterior biasanya disebabkan
oleh pukulan pada bagianvoksipital, dan dikaitkan dengan
fraktur yang melewati sinus transversus. Presentasi klinis
bisa akut atau kronis. Gejala dan tanda yang umum
termasuk sakit kepala, meningismus, dysmetria, ataxia
dan defisit nervus kranialis. Herniasi fosa posterior
melalui foramen magnum dapat menyebabkan trias
Cushing─depresi pernafasan, tekanan darah yang tinggi,
dan denyut nadi yang rendah.
b. Subdural hematoma
Subdural hematoma adalah kumpulan darah di ruang subdural
(antara duramater dan arachnoid). Hematoma subdural pada
umumnya merupakan hasil dari hemorrhagik vena akut yang
diakibatkan oleh ruptur bridging veins. Robeknya pembuluh
darah penghubung pada otak adalah penyebab utama
hematoma subdural. Subdural hematoma diklasifikasikan
sebagai akut, subakut, dan kronis (Black & Hawks, 2014)
17
berkaitan dengan fraktur tulang tengkorak; kecelakaan
bermotor merupakan penyebab utama. Sering disertai
oleh kontusi serebral atau batang otak yang sangat berat,
atau keduanya, menghasilkan mortalitas yang tinggi
(50%). Tanda-tanda umum termasuk penurunan
kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiparesis
kontralateral. Seperti hematoma epidural, hemiparesis
pada kasus ini jarang ipsilateral. Tanda-tanda lain yang
disebut sebagai lokalisasi palsu termasuk homonimus
hemianopia akibat dari trombosis arteri serebral posterior
pada herniasi unkal, tatapan/pandangan abnormal yang
disebabkan oleh cedera batang otak, dan, kadang-kadang,
dilatasi pupil kontralateral karena kompresi nervus
okulomotor terhadap tentorium. Hematoma subdural akut
hampir selalu terletak pada konveksitas serebral dan
ditemukan bilateral pada 15% sampai 20% pasien.
Hematoma subdural subakut biasanya terjadi di
dalam 7 sampai 10 hari setelah cedera. Gejala dan
tandanya mirip dengan hematoma subdural akut, tetapi
perjalanannya lebih lambat dan mortalitasnya lebih
rendah.
2) Subdural hematoma kronis
Subdural hematoma kronis paling banyak terjadi
pada orang tua dan pasien alkoholik. Pasien mengalami
atrofi otak, yang mengakibatkan peregangan pembuluh
darah dan peningkatan ukuran ruang subdural. Vena-vena
yang meregang ini mudah rupture pada insiden jatuh,
sekalipun insiden jatuh tersebut tidak menyebabkan
cedera lainnya. Secara bertahap bekuan darah yang
membesar menimbulkan tekanan pada otak.pada pasien
yang telah menjalani evakuasi subdural hematoma kronis
biasanya dipasang saluran di
18
dalam ronggga tengkorak untuk mencegah akumulasi
ulang cairan dan darah.
c. Intraserebral hematoma
Intraserebral hematoma disebabkan oleh perdarahan langsung
ke jaringan otak dan dapat terjadi di area cedera. Hematoma
menyebabkan masalah dengan peningkatan tekanan intra
kranial (TIK).
1.1.6 Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma
intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan
TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak
pembengkakan yang terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera.
TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan
otak diakibatkan trauma.
b. Defisit neurologic dan psikologic
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal
seperti anosmia(tidak dapat mencium bau-bauan) atau
abnormalitas gerakan mata, dan deficit neurologic seperti
afasia,efek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy
19
informasi tambahan yang bisa digunakan untuk menentukan kondisi
pasien menggunakan teknologi imaging. CT scan memperlihatkan
perbedaan densitas antara struktur-struktur intrakranial. Densitas
serebrum pada CT adalah isodens. Hematoma epidural dan subdural
keduanya hiperdens tetapi seringkali memiliki bentuk yang berbeda.
Hematoma epidural berbentuk lentikular karena kerekatan dura mater
dengan tabula dalam tulang tengkorak pada kedua tepi/ujung lesi.
Hematoma epidural dapat menggeser sistem ventrikuler dan kelenjar
pineal.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pemeriksaan structural yang paling
sensitive. MRI, sesuai yang diindikasikan oleh namanya,
penggunaan bidang magnet untuk menggambarkan jaringan otak,
yang bertentangan dengan radiasi sinar-X dari pemindaian CT.
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang
terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menegakkan diagnosis.
3. EEG (elektroensafa-logram)
20
memiliki tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera
kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin
sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Terapi medikamentosa
pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi
ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian
manitol, steroid, furosemid, barbiturat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan
operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi (Nasution,
2014).
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan traumatic brain
injury menurut Dash & Chavali (2018), dijelaskan sebagai berikut:
a. Manajemen cairan
Saline adalah kristaloid yang paling umum digunakan pada pasien
cedera kepala, dan yang paling sering menjadi alternatif adalah
Ringer Laktat. Solusi kristaloid seimbang mungkin merupakan
alternatif yang baik. Namun, pemberian cairan ini perlu
diperhatikan, karena pemberian dalam normal salin dalam jumlah
volume besar dapat menyebabkan asidosis metabolik
hiperkloremik yang merugikan pasien.
b. Osmoterapi
Osmoterapi dengan manitol telah digunakan sejak tahun
1960-an sebagai pengobatan utama untuk peningkatan ICP dan
tetap menjadi komponen pedoman manajemen TBI. Manitol
meningkatkan CBF (cerebral blood
21
Setelah mengalami cedera kepala, aktivitas kejang menghasilkan
peningkatan ICP dan pasokan oksigen yang berubah ke otak yang
terluka. Untuk mencegah cedera otak sekunder, profilaksis kejang
perlu diketahui. Pengobatan dengan phenytoin efektif dalam
menurunkan tingkat kejang pasca trauma dalam 7 hari pertama
cedera, tetapi tidak peran penting dalam pencegahan kejang pasca
trauma setelah.
1.2 Konsep Dasar Rasa Aman Dan Nyaman
22
tanda pada pasien (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
23
1.2.4 Klasifikasi nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.
Tabel 2.1 Klasifikasi Nyeri
24
psikologis, seksual)
13) Riwayat
penyalahgunaan
obat/zat.
25
menjadi rasa marah atau frustasi. Sebaliknya, bagi klien
yang memiliki presepsi yang “positif” cenderung
menerima nyeri yang dialaminya (Zakiyah, 2015).
3. Respons perilaku
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan
tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan
nyeri dapat ditunjukkan oleh pasien sebagai respons
perilaku terhadap nyeri. Respons tersebut seperti:
menkerutkan dahi, gelisah, memalingkan wajah ketika
diajak bicara (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
26
2) Tampak merintih/menangis
3) Pola eleminasi berubah
4) Postur tubuh berubah
5) Iritabilitas
d. Kondisi klinis terkait:
1) Penyakit kronis dan Keganasan
2) Distres psikologis, Kehamilan (SDKI PPNI, 2016).
1.2.7 Komplikasi
1. Usia
2. Jenis kelamin
27
mempengaruhi presepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons nyeri yang
menurun.
5. Makna nyeri
Individu akan mempresepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan
tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
6. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan presepsi nyeri tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas
tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah
penatalaksanaan nyeri yang serius.
7. Gaya koping
28
terhadap klien dapat memengaruhi respons nyeri. Pasien dengan
nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun
nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
b. Nyeri akut
c. Nyeri kronis
29
3. Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah
dan gerakan tubuh yang khas dan berespons secara vokal serta
mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali
meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah,
imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan
melindungi bagian tubuh sampai dengan menghindari percakapan,
menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas
menghilangkan nyeri (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
4. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari
Pasien mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi
dalam aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan dalam
melakukan tindakan higiene normal dan dapat mengganggu
aktivitas sosial dan hubungan seksual (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
1.2.9 Penatalaksanaan Medis
1. Penanganan nyeri farmakologis
a. Analgesik narkotik
30
paling umum terjadi adalah gangguan pencernaan seperti adanya
ulkus gaster dan perdarahan gaster (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
a. Distraksi
31
meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik relaksasi yang
sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas
dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
b. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (<15), konvulsi, muntah, dispnea /
takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di
kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang
berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit
sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau
keluarga sebagai data subjektif. Data-data ini sangat berarti
karena dapat mempengaruhi prognosa pasien.
c. Pengkajian persistem Keadaan umum
Tingkat kesadaran : composmentis, apatis, somnolen, sopor,
koma TTV
32
1) Sistem pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun
frekuensi, nafas bunyi ronchi.
2) Sistem kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat,
denyut nadi bradikardi kemuadian takikardi
3) Sistem perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
4) Sistem gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan
mengalami perubahan selera
5) Sistem muskuloskletal Kelemahan otot, deformasi
6) Sistem persyarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope,
tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
gangguan pengecapan
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan
status mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan,
kejang, kehilangan sensasi sebagai tubuh
33
3) Sirkulasi
Gejala : normal atau perubahan tekanan darah
Tanda : perubahan frekuensi jantung ( bradikardia,
takikardia yang diselingi disritmia )
4) Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku kepribadian ( terang atau
dramatis ) Tanda : cemas mudah tersinggung , delirium,
agitasi, bingung, depresi dan impulsive
5) Eliminasi
Gejala : inkontinensia kandung kemih / usus atau
mengalami gangguan fungsi
6) Nyeri dan kenyamanan
1.3.2 intervensi keperawatan
Berdasarkan perencanaan keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses
keperawatan. Diharapkan perawat mampu memprioritaskan masalah,
merumuskan tujuan/hasil yang diharapkan, memilih intervensi yang paling
tepat, menulis dan mendokumentasikan rencana keperawatan. Prioritas
pertama di artikan bahwa masalah ini perlu mendapat perhatian, karena dapat
mempengaruhi status kesehatan pasien secara umum dan memperlambat
penyelesaian masalah yang lain. dengan cedera kelapa ringan (CKR), tiga (3)
masalah keperawatan yang berurutan sesuai dengan prioritas masalah
keperawatan yaitu ketidakefektifanperfusi jaringan serebral, nyeri akut dan
hambatan mobilitas fisik. (Rohmah&Walid,2012)
1.3.3 Implementasi
adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta
menilai data yang baru (Rohmah&Walid, 2012)
34
interpersonal dan psikomotor (tekhnis). Dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien cedera cedera kepala, pada prinsipnya adalah
menganjurkan pasien untuk banyak minum, mengobservasi tanda-tanda vital,
mengawasi pemasukan dan pengeluaran cairan, mengajarkan Teknik relaksasi
untuk mengatasi nyeri.
1.1.4 Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan (Rohmah&Walid,2012)
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang
menentukan apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu
rencana tindakan untuk meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus
mengevaluasi keberhasilan rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari
ungkapan secara subjektif oleh klien dan objektif didapatkan langsung dari
hasil pengamatan.
35
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
Jl. Beliang No.110 Telp/Fax (0536) 3227707
B. RIWAYAT KESEHATAN/PERAWATAN
1. Keluhan Utama :
Pasien datang ke IGD Dr. Achmad Mocthar Bukittinggi pada tanggal 30 juni
2021 dengan keluhan hidung berdarah, telinga berdarah, pasien sempat pingsan
36
saat kecelakaan, bengkak di belakang kepala bagian kanan, lecet di batang
hidung.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Riwayat kesehatan sekarangPada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 30
Juni 2021, pasien mengatakan sudah hari ke 6 dirawat di ruang ambun suri
lantai 2, pasien mengatakan nyeri pada bagian kepala belakang. nyeri seperti di
tusuk-tusuk. Skala nyeri 4, pasien mengatakan tidak ada mandi selama dirawat
di RS, rambut pasien tampak kotor ditandai dengan adanya ketombe, mulut dan
gigi pasien kotor ditandai dengan mulut berbau dan telinga pasien tampak
kotor ditandai dengan adanya serumen, pasien mengatakan badan terasa lemas,
pasien mengatakan BB sebelum sakit 57 kg dan Lingkar lengan atas 2,35 cm,
pasien mengatakan nafsu makan menurun dan menghabiskan porsi makan
sebanyak ½ saja, pasien mengatakan tidur tidak nyenyak, mata pasien tampak
cekung, Tidur siang selama 3-5 jam, sedangkan malam hari hanya 2-4 jam
karena nyeri pada kepala bagian belakang tersebut sering dirasakan pada malam
hari.
GENOGRAM KELUARGA
37
: laki laki
: Perempuan
: Klien
38
1. Pemeriksaan fisik
b. GCS : E4 V5 M6 = 15
N = 80x/i
Rr = 22x/i
S = 36 º C
a. Kepala
b. Mata
Simetris kiri dan kanan, konjungtiva anemis, sklera normal tidak ada
c. Telinga
Simetris kiri dan kanan, telinga pasien tampak kotor ditandai dengan
39
d. Hidung
pasien
Mukosa bibir tampak kering, keadaan mulut dan gigi tampak kotor
Leher
Simetris kiri dan kanan, vena jugularis tidak terlihat tapi teraba, dan tidak
3. Thorax
a. Paru-paru
dan lesi, tidak ada terdapat sianosis, tidak ada penarikan dinding
dada ( retraksi ), tidak ada bekas luka lecet, tidak ada menggunakan
b. Jantung
I : dada simetris kiri dan kanan, iktus kordis tidak tampak, tidak ada
40
P : bunyi jantung redup pada batas jantung
A : bunyi jantung I (lup) dan bunyi jantung II (dup), tidak ada bunyi
tambahan
c. Abdomen
I : Simetris kiri dan kanan, tidak ada bekas operasi, tidak ada terdapat
lesi
d. Punggung
Tidak teraba bengkak, simetris kiri dan kanan, dan tidak ada lesi pada
e. Ekstermitas
Bagian atas : Tangan sebelah kiri dan kanan masih bisa bergerak
normal, terpasang infus sebelah kiri Nacl 0,9 20 tetes . keadaan selang
infus bersih
41
Kekuatan otot
5555 5555
5555 5555
f. Genetalia
genetalia bersih
g. Integumen
Kulit tampak kotor, kulit pasien sawo matang, turgor kulit kering,
42
TABEL 3.1
DATA AKTIVITAS
b. Minuman
1. Jumlah 5 gelas 3 gelas
2. Pantangan Tidak ada Tidak ada
2 Eliminasi
a. BAB
1. Frekuensi 1x dalam sehari 1x dalam sehari
2. Warna Kuning Coklat
3. Bau Khas Khas
4. Konsistensi Lembab Lembab
5. Kesulitan Tidak ada Tidak ada
b. BAK
1. Frekuensi 5-6 x sehari 4-5 x sehari
2. Warna Kuning Coklat
3. Bau Pesing Pesing
4. Konsistensi Cair Cair
5. Kesulitan Tidak ada Tidak ada
3 Istirahat dan tidur
a. waktu tidur siang dan malam malam
b. lama tidur 8 jam 4 jam
c. hal yang mempermudah Tidak ada Ada, karna nyeri
Bangun Dibelakang
d. kesulitan tidur Tidak ada kepala sebelah
Kanan
4 Personal hygine
a. mandi 2x sehari Di lap saja
b. cuci rambut 2x sehari Tidak ada
c. gosok gigi 2 kali sehari Tidak ada
d. potong kuku 1 x seminggu Tidak ada
43
5. Riwayat alergi
6. Data psikologis
b. Perilaku verbal
ditanya
jelas
a. Pola komunikasi
e. Data spiritual
Pasien yakin terhadap tuhan dan percaya penyakit ini adalah ujian dari
sakit sholat 5 waktu sehari semalam, saat ini pasien belum ada
melakukan ibadah
44
h. Data penunjang
Tanggal : 18-06-
2019
45
T BEL 3.2
A HEMATOLOGI
46
i. Data pengobatan
TABEL 3.3
PENGOBATAN
No Obat non Dosis/Satuan Indikasi Kontra Tanggal
Parenteral Indikasi
1 Ceftriaxon 2x1 Mengobati Hipersensitif 18-06-2019
berbagai macam Terhadap
infeksi bakteri cephalosporin dan
Penicillin
2 Ranitidin 2x1 Mengobati ulkus Harus digunakan 18-06-2019
lambung dan dengan hati-hati
duodenum pada kondisi
lansia, ibu, hamil,
ibu menyusui dll
3 Tramadol 2x1 Pengobatan nyeri 18-06-2019
drip akut dan kronik Di stop
yang berat
47
j. Data fokus
a) Data subjektif
b) Data objektif
6. Gigi dan mulut pasien tampak kotor ditandai dengan mulut berbau
8. Skala nyeri 4
- Pasien mengatakan
lemas Resiko defisit nutrisi Peningkatan
3 DS
- Pasien mengatakan nafsu kebutuhan
makan menurun
metabolisme
DO
50
- Pasien tampak lemas
- Pasien tampak
menghabiskan makanan
½ saja
51
PEORITAS MASALAH
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (pre operasi )
Defisit perawatan diri berhubungan dengan rasa aman dan nyaman
A. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Edukasi :
Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian analgetik
53
2 Defisit perawatan diri b.d Setelah dilakukan intervensi Observasi :
kelemahan d.d tidak keperawatan selama 1x24 jam Identifikasi kebiasaan aktivitas
mampu maka defisit perawatan diri perawatan diri sesuai usia
mandi/mengenakan membaik dengan kriteria hasil : Monitor tingkat kemandirian
pakaian ke toilet/ berhias 1. Kemampuan mandi
secara mandiri meningkat Teraupetik :
2. Kemampuan mengenakan Sediakan lingkungan yang
pakaian meningkat teraupetik
3. Kemampuan makan Damping dalam melakukan
meningkat perawatan diri sampai mandiri
4. Kemampuan toilet
(BAB/BAK) meningkat Edukasi :
Anjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
kemampuan
3 Resiko defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan intervensi Observasi :
peningkatan kebutuhan Keperawatan selama 1x24 jam monitor asupan dan keluarnya
metabolisme maka resiko defisit nutrisi membaik makanan dan cairan serta
55
C. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
S:
1. Rabu,19 juni 2019 172 11.00 Obseravsi :
Pasien mengatakan
nyeri pada kepala
Mengidentifikasi skala nyeri bagian belakang
sebelah kanan
Mengidentifikasi respon nyeri non verbal sedikit berkurang
Mengidentifikasi faktor yang memperberat Pasien mengatakan
dan memperingan nyeri nyeri seperti ditusuk-
Teraupetik : tusuk
O:
Memberikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri yaitu dengan cara teknik Pasien tampak
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada bab ini, penulis akan menyimpulkan hasil dari asuhan keperawatan pada Ny.
A dengan cedera kepala ringan yang dirawat di ruang ambun suri lantai 2 RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, mulai dari konsep dasar cedera kepala hingga
yang dilaksanakan pada tanggal 19 juni 2019 sampai dengan 21 juni 2019.
ketombe, mulut dan gigi pasien kotor ditandai dengan mulut berbau dan
tidak nyenyak.
d. Intervensi yang dilakukan pada Ny. A yaitu pada diagnosa nyeri akut yaitu
timbang berat badan secara rutin, ajarkan pengaturan diet yang tepat, pada
diagnosa gangguan pola tidur yaitu identifikasi pola aktivitas dan tidur.
f. Evaluasi pada diagnosa nyeri pada kepala bagian belakang sebelah kanan
memperingan nyeri
Evaluasi pada diagnosa defisit perawatan diri : pasien sudah bisa mandi sendiri,
ruangan, evaluasi pada diagnosa nyeri akut :, evaluasi pada diagnosa resiko defisit
nutrisi : pasien sudah nafsu makan, masalah teratasi dan dilanjutkan dengan
menimbang berat badan secara rutin, mengajarkan pengaturan diet yang tepat,
evaluasi pada gangguan pola tidur : pasien sudah tidur nyenyak, masalah teratasi
3.2 Saran
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.
Judha, M. 2011. Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Mansjoer, Arif. 2011. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapis.
Margareth, T.H. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.