Kelas : XI 9 Sosial 3
Pulau Kalimantan pernah menjadi medan perang melawan penjajah. Peristiwa ini tepatnya
terjadi di kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Perlawanan rakyat Kalimantan berlangsung
hampir selama setengah abad. Jenis perlawanannya pun terbagi menjadi dua corak, yakni
ofensif (menyerang) dan defensif (bertahan).
Pertempuran ini berlangsung pada tahun 1859 karena Belanda ikut campur tangan terhadap
pengangkatan raja di Kerajaan Banjarmasin. Hal ini pun ditentang oleh masyarakat dan juga
bangsawan hingga menyebabkan perselisihan. Diketahui, Belanda mengangkat pangeran
Tamjidillah menjadi seorang sultan. Padahal, di sisi lain ada pangeran Hidayat yang dinilai
lebih berhak namun hanya ditunjuk sebagai Mangkubumi sehingga memicu kemarahan
rakyat untuk menyerang.
Pada bulan Agustus 1859, tiga tokoh setempat, Haji Buyasin, Kyai Lang Lang, dan Kyai
Demang Loman bersama-sama menyerang benteng Belanda di Tabanio. Sayang, di tahun
1862 pangeran Hidayat ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur. Sedangkan
Pangeran Antasari diketahui meninggal dunia di tahun yang sama. Selanjutnya, tokoh
kepemimpinan dilanjutkan oleh Gusti Matsaid, Pangeran Mas Natawijaya, Tumenggung
Surapati, Tumenggung Naro, Penghulu Rasyid, Gusti Matseman, dan Pangeran Perbatasari
dengan melakukan perlawanan gerilya. Diketahui, perlawanan itu berlangsung hingga awal
abad ke-20 atau tahun 1905.
Selain Belanda, rakyat Kalimantan juga melakukan perlawanan terhadap Jepang. Hal ini
terjadi pada tahun 1940-an di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Jepang pertama
kali mendarat di Kalimantan Barat pada Februari 1942. Sekitar dua tahun kemudian terjadi
pembunuhan massal bermula dari informasi yang diterima pihak Jepang bahwa akan
muncul perlawanan.
Jepang pun mulai melakukan penangkapan pada tokoh-tokoh masyarakat. Mulai Oktober
1943 sampai Juni 1944, Jepang melakukan eksekusi orang-orang yang ditangkap. Puncaknya
terjadi pada 28 Juni 1944 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Mandor. Mandor adalah
sebuah wilayah kecil yang berjarak sekitar 88 kilometer dari Kota Pontianak. Diperkirakan
ribuan orang tewas dibantai tentara Jepang dalam periode itu. Di pihak Suku Dayak terjadi
juga konflik dengan tentara Jepang. Konflik dan pembantaian, akhirnya pada tahun 1944
orang-orang Dayak di Kalimantan Barat mulai melakukan perlawanan rakyat Kalimantan.
Namun sayang, hal itu tidak mengancam kekuasaan Jepang sama sekali.
Pada tanggal 18 November 1946, Hassan Basry mendapat tugas dari Komandan ALRI Divisi
IV di Jawa yang dipimpin Kolonel Zakaria Masdun untuk membentuk satu batalyon ALRI
Divisi IV di Kalimantan Selatan. Sementara itu dalam perjalanan sejarah diplomasi Indonesia,
pada tanggal 25 Maret 1947, ditandatangani Perundingan Linggarjati antara Pemerintah RI
dan Pemerintah Belanda. Dampak dari perundingan ini ternyata telah memutuskan
hubungan antara Hassan Basry di Kalimantan dengan Ir. Pangeran Moh. Noor yang
berkedudukan di Yogyakarta. Karena berdasarkan Perundingan Linggarjati, secara de facto
RI hanya meliputi Jawa, Madura dan Sumatera, sedangkan wilayah Indonesia lainnya
termasuk Kalimantan berada dibawah kekuasaan Belanda. Hassan Basry kemudian
membentuk dan memimpin Batalyon ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang bermarkas
di Kandangan.
Dalam rangka menyikapi hasil perundingan Linggarjati dan atas perintah dari Komandan
ALRI Divisi IV di Jawa, maka pada tahun 1947 Hassan Basry membentuk organisasi gabungan
yaitu Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) dan ALRI Divisi IV
Pertahanan Kalimantan dengan kode RX-8 dibawah pimpinannya, dengan organisasi baru ini
ia mengatur strategi gerilya dalam menghadapi Belanda dan senantiasa melakukan
hubungan dan kontak dengan para tokoh/pimpinan organisasi perjuangan di berbagai
daerah.
Namun setelah beberapa bulan berjalan dirasa terdapat kejanggalan tentang bentuk RX-8
SOPIK ini, maka akhirnya disepakati untuk mengembalikan SOPIK ke nama aslinya yakni MPK
(Markas Pertahanan Kalimantan) ALRI Divisi IV, dan Hassan Basry menjabat sebagai
pemimpinnya. Di bawah pimpinan Hassan Basry, MPK ALRI Divisi IV terus melakukan
serangan secara bertubi-tubi terhadap Belanda. Sehingga membuat Belanda kewalahan.
Akibatnya, seluruh pos Belanda dikosongkan, polisi dan tentara mereka ditarik ke kota-kota,
serta alat-alat pemerintahan juga turut mengungsi. Kesempatan ini segera dimanfaatkan
oleh MPK ALRI Divisi IV untuk melaksanakan pemerintahan.
Memasuki tahun 1949 saat kondisi politik dan keamanan masih memanas, sebaliknya
keberadaan MPK ALRI Divisi IV malah semakin kokoh, sehingga pada 17 Mei 1949 Hassan
Basry dengan berani memproklamasikan berdirinya pemerintahan Gubernur Tentara ALRI di
Kandangan, Kalimantan Selatan. Proklamasi 17 Mei 1949 yang ditandatangani oleh Hassan
Basry merupakan pernyataan sikap rakyat Kalimantan Selatan tetap setia sebagai bagian
dari RI dan tetap setia dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, serta menolak keberadaan
Kalimantan dibawah kekuasaan Belanda. Proklamasi 17 Mei 1949 dikumadangkan memiliki
dua tujuan utama yakni “merdeka” dan tetap dalam wadah “NKRI”.
Proklamasi 17 Mei 1949 menjadi momen bersejarah ketika rakyat Kalimantan Selatan
berhasil mengusir Belanda dan menyatakan “kemerdekaannya” karena telah bergabung
sepenuhnya dengan Indonesia.
Kebijakan pemerintah pada awal kemerdekaan di Kalimantan Selatan adalah Pada tanggal
14 Agustus 1950, Provinsi Kalimantan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah RIS
Nomor 21 Tahun 1950, setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan
gubernur Dokter Moerjani. Pada saat itu, Kalimantan Selatan masih menjadi bagian dari
Provinsi Kalimantan.
Provinsi Kalimantan selanjutnya dipecah menjadi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur.
C. Pengaruh Dari Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Perkembangan Politik Pada Awal
Kemerdekaan
- Sistem Presidensial
Pada saat Indonesia baru merdeka, pemerintah Indonesia saat itu masih belum
membolehkan sistem pemerintahan secara sempurna. Para pendiri Indonesia masih terus
berusaha mencari sistem pemerintahan yang tepat untuk Indonesia. Dalam catatan sejarah
politik Indonesia wilayah Soekarno-Hatta dilantik menjadi presiden dan wakil presiden pada
18 Agustus 1945. Saat itu tanggal sistem pemerintahan yang diterapkan untuk Indonesia
adalah sistem presidensial. Presiden Soekarno kemudian membentuk Kabinet Presidensial
untuk mengurus alat kelengkapan negara.
- Masa RIS
Perjanjian KMB pada saat itu dilakukan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus
sampai tanggal 2 November 1949. Hasil perjanjian KMB ini sangat penting bagi Indonesia.
Salah satunya adalah kembalinya kedaulatan Indonesia seutuhnya setelah Belanda berusaha
untuk menguasai Indonesia lagi. KMB juga menjadi babak baru sistem pemerintahan
Indonesia.
Saat itu Indonesia menjadi salah satu federasi negara yang secara langsung memiliki
hubungan dengan Kerajaan Belanda. Indonesia juga menggunakan nama baru, yaitu
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sistem kepemimpinan dan pemerintahannya juga jadi
berubah. Indonesia menjadi beberapa negara bagian.
Sistem ini malah malah akan membuat peringkat Indonesia jadi lemah, tapi pada saat itu
pemerintah Indonesia tidak memiliki cara lain. Hanya inilah satu-satunya cara yang bisa
dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Wilayah
Indonesia yang sangat besar dipecah-pecah menjadi beberapa negara bagian seperti Negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara
Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan. Setiap negara bagian
tersebut memiliki pimpinannya masing-masing.
RIS akhirnya tidak berlangsung lama, hanya sanggup bertahan selama satu tahun saja.
Banyak negara bagian yang merasa tidak puas dengan sistem negara bagian. Mereka
kemudian berubah menjadi pemerintahan agar pemerintahan kembali menjadi republik
lagi, bukan RIS. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1950, rencana mereka ini diterima oleh
Presiden Soekarno. Indonesia akhirnya kembali menjadi negara kesatuan pada tanggal 17
Agustus 1950 dengan penandatanganan Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950 (UUDS 1950) sebagai UUD RIS.
Pada masa ini Indonesia menganut sistem multipartai. Ada banyak partai politik dengan
beragam ideologi dan tujuan politik. Tapi banyaknya partai pada masa tersebut akhirnya
menciptakan dampak buruk bagi demokrasi. Karena kehidupan politik dan pemerintahan
Indonesia pada waktu itu jadi tidak stabil akibat pergantian kabinet. Pergantian kabinet ini
akhirnya membuat program-program yang dibuat pemerintah jadi tidak bisa dijalankan
dengan baik.
Oleh karena itu, UUDS 1950 dan sistem demokrasi liberal tidak cocok dan tidak sesuai
dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk. Akhirnya pada tanggal 5 Juli
1959, Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Dewan
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, serta tidak berlakunya UUDS 1950 dengan
ketatanegaraan Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kemudian menjadi penanda awal berlakunya demokrasi
terpimpin di Indonesia. Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno kemudian
memberikan amanat ke konstituante mengenai pokok-pokok demokrasi terpimpin. Ada lima
pokok demokrasi terpimpin tersebut, di antaranya adalah demokrasi terpimpin krisis
diktator dan demokrasi terpimpin cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa
Indonesia.