Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Nefrotik

2.1.1 Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang terdiri

dari proteinuria masif ( ≥40 mg/m2 LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam atau

dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 g/dl), udem, dan

hiperkolesterolemia >200 mg/dL (Trihono dkk, 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalens SN idiopatik pada anak-anak berkisar 16 kasus per 100.000 anak

dengan rata-rata 2-7 kasus baru per 100.000 anak (McBryde dkk., 2001) Insidens

dan tipe histologi berbeda sesuai lokasi geografi dan etnis. Penelitian di Inggris

menyebutkan anak yang berasal dari Asia yang tinggal di Inggris enam kali lebih

sering mengalami sindrom nefrotik idiopatik dibandingkan anak Eropa yang

tinggal di Inggris. Kejadian sindrom nefrotik di Amerika Serikat hampir seimbang

antara berbagai latar belakang etnis. Usia berhubungan dengan frekuensi dan

hasil biopsi sindrom nefrotik, dimana usia yang paling sering yaitu 2 tahun dan

70-80% kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun. Sindrom Nefrotik Kelainan

Minimal (SNKM) mencapai 79,6%, Fokal Segmental Glomerulosklerosis (FSGS)

50% dan hanya 2,6% yang dengan Membranoproliferatif Glomerulonefritis

(MPGN). Usia yang semakin besar menurunkan kejadian SNKM, sebaliknya

meningkatkan kejadian FSGS dan MPGN (Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

7
Insiden SN pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per

tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1. Kasus terbanyak

didapatkan pada anak kurang dari 14 tahun (Alatas dkk., 2005; Wirya, 2002).

Angka kejadian sindrom nefrotik di Bagian Anak RSUP Sanglah Denpasar,

sekitar 68 anak selama periode 2001-2007. Usia berkisar 6 bulan sampai dengan

11 tahun, dimana rasio lelaki dibandingkan perempuan adalah 2,7 : 1 (Nilawati,

2012).

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan

bahwa 78,1% anak yang didiagnosis SN berespon terhadap terapi inisial

prednison selama 8 minggu. Berdasarkan histopatologi, ISKDC melaporkan

39,9% anak dengan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) adalah

perempuan (Wirya, 2002).

2.1.3 Etiologi

Sindrom nefrotik biasanya terjadi akibat dari perjalanan penyakit glomerular

primer dan sekunder. Kelainan primer ini dapat berupa sindrom nefrotik kelainan

minimal, sklerosis segmental fokal, glomerulonefritis membranoproliferatif,

glomerulonefritis membranosa, nefritis proliferatif mesangium, glomerulonefritis

proliferatif dan nefrosis kongenital. Sindrom nefrotik sekunder berhubungan

dengan penyakit yang telah terdiagnosis dengan jelas yaitu sistemik lupus

eritematosus, purpura anafilaktoid, diabetes mellitus, dan lain-lain (Travis, 2002;

Haycock, 2003).

Etiologi sindrom nefrotik juga tergantung pada usia, dimana bila terjadi pada

tiga bulan pertama kehidupan maka disebut sindrom nefrotik kongenital. Sindrom

8
nefrotik yang terjadi di atas 1 tahun, kasus terbanyak disebabkan oleh sindrom

nefrotik primer atau idiopatik, sedangkan sindrom nefrotik sekunder lebih sering

terjadi pada usia di atas 10 tahun (Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

2.1.4 Patogenesis

Kelainan utama pada semua kasus sindrom nefrotik adalah proteinuria masif.

Mekanisme terjadinya sindrom nefrotik melalui beberapa cara (Gbadegesin dan

Smoyer, 2008):

a. Defek glomerulus primer

Fungsi ginjal yang paling penting adalah filtrasi darah oleh glomerulus,

dimana menyebabkan ekskresi cairan dan produk sisa, sambil menyisakan

protein pada darah yang banyak dan semua sel darah dalam vaskular. Proses

filtrasi ini dimungkinkan oleh barier filtrasi glomerulus yang disusun oleh sel

endotel, basal membran glomerulus dan sel epitel glomerulus (podosit).

Podosit-podosit saling terhubung membentuk diafragma. Basal membran

glomerulus memiliki proteoglikan heparin sulfat bermuatan negatif yang

menyebabkan molekul yang bermuatan negatif relatif lebih sulit melewatinya

dibandingkan molekul bermuatan positif dengan ukuran molekul yang sama.

Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan muatan negatif pada basal membran

glomerulus. Pada podosit juga terjadi pembengkakan, retraksi, penyebaran

podosit, pembentukan vakuola, perpindahan diafragma dan lepasnya podosit

dari basal membran glomerulus.

9
b. Faktor sirkulasi

Data eksperimental yang menunjukkan adanya mediator terlarut yang dapat

mengubah permeabilitas dinding kapiler pada sindrom nefrotik. Bukti-bukti

tersebut antara lain:

1. Berkembangnya sindrom nefrotik pada bayi bari lahir dari ibu yang

menderita sindrom nefrotik dimana terjadi perpindahan faktor terlarut dari

ibu ke anak saat dalam uterus.

2. Turunnya tingkat proteinuri dengan pengobatan imunoadsorpsi protein A

pada berbagai sindrom nefrotik primer.

3. Terjadinya FSGS berulang pada transplantasi ginjal pasien dengan FSGS

primer.

4. Induksi peningkatan permeabilitas glomerulus pada binatang percobaan

disuntikkan serum pasien dengan FSGS berulang.

c. Kelainan imunologi

Banyak laporan kelainan respon imun humoral maupun selular selama

sindrom nefrotik relaps. Sindrom nefrotik dapat juga disebabkan oleh

disregulasi fungsi T limfosit yang dibuktikan oleh:

1. Beresponnya sebagian besar bentuk sindrom nefrotik primer terhadap

kortikosteroid, alkylating agent, inhibitor calcineurin, dan mikofenolat

mofetil yang merupakan penghambat fungsi limfosit T.

2. Induksi remisi sindrom nefrotik setelah infeksi campak dan malaria,

dimana penyakit tersebut menurunkan imunitas yang dimediasi sel.

10
3. Identifikasi SNKM sebagai manifestasi penyakit Hodgkin dan keganasan

limforetikular lainnya.

2.1.5 Patofisiologi

Akumulasi cairan dalam ruang interstisial yang terlihat pada wajah atau udem

anasarka, merupakan gejala kardinal pada anak dengan sindrom nefrotik. Udem

pada sindrom nefrotik umumnya akibat dari proteinuria masif yang kemudian

menyebabkan hipoalbuminemia, retensi natrium dan air untuk mengkompensasi

kekurangan volume intravaskular (Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

Hipoalbuminemia terjadi pada sindrom nefrotik ketika kadar protein yang

hilang pada urin melebihi kemampuan hepar mensintesis albumin. Resultan

hipoalbuminemia menyebabkan rendahnya tekanan onkotik kapiler yang

meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler sehingga terbentuk udem. Pembentukan

udem kemudian menyebabkan volume di intravaskular berkurang sehingga

mencetuskan mekanisme kompensasi neurohumoral. Mekanisme tersebut

dimediasi oleh sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA)

dan vasopressin arginin, dengan hasilnya retensi natrium dan air oleh ginjal

(Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

Dua hipotesis yang menjelaskan keadaan intravaskular pada sindrom

nefrotik yaitu hipotesis underfill dan hipotesis overfill (Gbadegesin dan Smoyer,

2008):

1. Hipotesis underfill

Hipotesis ini menyebutkan adanya penurunan sirkulasi efektif volume darah

pada sindrom nefrotik. Hal ini didukung dengan ditemukannya kadar natrium

11
urin yang rendah, dimana sering disebabkan oleh aktivasi SRAA dengan

resultan peningkatan aldosteron dan ekskresi natrium pada urin. Selanjutnya,

supresi atrial natriuretik peptide (ANP) juga berkontribusi pada rendahnya

natrium urin.

2. Hipotesis overfill

Hipotesis ini menyebutkan banyaknya volume intravaskular pada sindrom

nefrotik. Hal ini disebabkan oleh kelainan pada ekskresi natrium dari

tubulus distal yang kemudian menyebabkan supresi SRAA. Reabsorpsi

natrium juga dipertahankan oleh ANP.

2.1.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

2.1.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan fisis

Pada umumnya sindrom nefrotik mengenai pasien berumur kurang dari 6

tahun pada waktu onset pertama kalinya. Gejala yang timbul influenza-like

syndrome, pembengkakan periorbita dan oligouria atau anuria. Selama beberapa

hari, udem akan bertambah jelas pada seluruh tubuh (anasarka). Adanya distensi

abdomen dapat disebabkan oleh asites. Ketidaknyamanan pada perut, nyeri pada

perut yang menetap perlu dipikirkan adanya peritonitis bakteri sebagai komplikasi

yang mengancam nyawa. Adanya riwayat batuk dan sesak napas dapat

diindikasikan adanya efusi pleura (Trihono dkk, 2012).

Gejala sistemik seperti demam, penurunan berat badan, berkeringat pada

malam hari, poliuri, polidipsi, rambut rontok, ulkus pada mulut, rash, nyeri

abdomen, nyeri sendi yang mengarah kepada penyakit sistemik seperti Lupus

Eritematosus Sistemik, Henoch-schonlein purpura atau diabetes mellitus yang

12
juga menyebabkan sindrom nefrotik perlu ditanyakan pada pasien. Riwayat

pengobatan NSAID, penisilamin juga menyebabkan sindrom nefrotik. Pada

anamnesis perlu disingkirkan penyebab lain udem seperti gagal hati kronis, gagal

jantung, dan malnutrisi (Trihono dkk, 2012).

Pada pemeriksaan fisis, tekanan darah sebaiknya diukur, dimana dapat

menurun sebagai akibat dari penurunan volume intravaskular atau meningkat

akibat dari respon neurohumoral terhadap hipovolemia atau trombosis venous

ginjal. Hipertensi dilaporkan mencapai 21% pada anak di bawah 6 tahun. Pada

ekstremitas sebaiknya diperiksa adanya nyeri tekan, hangat yang mengacu pada

trombosis vena. Riwayat keluarga juga penting ditanyakan karena sindrom

nefrotik bersifat familial (Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

2.1.6.2 Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan oleh adanya udem, proteinuria (>2+

pada dipstik atau rasio protein urin/ kreatinin > 2 mg/mg) dan hipoalbuminemia

(serum albumin <2,5 g/dl), serta hiperkolesterolemia (Trihono dkk, 2012).

Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk mencari hematuri selain

proteinuria. Pada pasien dengan manifestasi tidak khas, maka sebaiknya dilakukan

pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, ureum dan kreatinin serta albumin. Pada

usia yang lebih besar dapat dipertimbangkan pemeriksaan kadar komplemen C3

dan C4, antinuklear antibodi, antibodi HIV, atau serologi hepatitis A,B,C

(Trihono dkk, 2012).

13
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan pada anak sindrom nefrotik yang

dengan hematuri, trombositopenia, hipertensi persisten yang tidak jelas untuk

menyingkirkan terjadinya trombosis vena ginjal (Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

2.1.6.3 Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal dipertimbangkan pada : 1) usia saat onset (kurang dari 1

tahun atau lebih dari 10 tahun); 2) SNDS atau SNRS; 3) Hematuri makroskopis

atau persisten; 4) serologi abnormal; 5) gagal ginjal persisten bermakna

(Gbadegesin dan Smoyer, 2008).

2.1.7 Tata Laksana

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah

sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

2.1.7.1 Diitetik

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena

akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein

(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah

protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan

pertumbuhan anak, diet yang diberikan protein normal sesuai dengan RDA

(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2

g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita udem.

2.1.7.2 Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada udem berat. Loop diuretic seperti

furosemid 1-3 mg/kgbb/hari diberikan, bila perlu dikombinasikan dengan

14
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.

Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada

pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit

kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (udem refrakter),

terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat

diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk

menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid

intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan

plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah

terjadinya komplikasi dekompensasi jantung (Trihono dkk, 2012).

2.1.7.3 Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/

hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien

imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah

obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated

polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan

vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak

dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi

pneumokokus dan varisela (Trihono dkk, 2012).

2.1.7.4 Pengobatan dengan Kortikosteroid

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila

ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau

prednisolon.

15
A. Terapi inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison

60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis

terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat

badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)

inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,

dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 LPB (2/3 dosis awal)

atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan

pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,

pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Trihono dkk, 2012).

B. Pengobatan SN Relaps

Pengobatan SN Relaps yaitu dengan diberikan prednison dosis penuh

sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama

4 minggu. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ +2 disertai udem, maka

diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan (Alatas, dkk.,

2002).

C. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

Penatalaksanaan pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid terdiri dari

4 pilihan yaitu (Trihono dkk, 2012):

1. Steroid jangka panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah

16
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5

mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap

0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai

dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1–0,5 mg/kgbb

alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama

6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb

alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam

dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka

prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,

kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2

mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya

atau relaps yang terakhir.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-

ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat,

dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb

selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan

dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan.

Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash,

dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika

17
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak

adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari

dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. Siklofosfamid puls

diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml

larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7

dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6

bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang,

alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat

menyebabkan keganasan. Pemantauan pemeriksaan darah tepi diperlukan

seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila

jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit

<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah

leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total

kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan

mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8

minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek

toksik berupa kejang dan infeksi.

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5

18
2
mg/kgbb/hari (100 -150 mg/m LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan

kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering

atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,

sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA

dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek

samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan

SN resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik

dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB

atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 -

24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

D. Pengobatan SN Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada

pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal

untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi

memengaruhi prognosis (Trihono dkk, 2012).

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan

remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian

CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN

yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Bila pada pemberian

steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi

19
dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping

CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan

juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh

karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL

2. Kadar kreatinin darah berkala

3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Sindrom nefrotik episode pertama


(Tanpa kontra indikasi steroid)

Prednison 2 mg/kgbb setiap hari selama 4 minggu


1,5 mg/kgbb alternating selama 4 minggu

Relaps jarang Relaps sering Resisten steroid


Dependen steroid

Prednison 2 mg/kgbb Dirujuk untuk evaluasi lanjutan Dirujuk untuk evaluasi


setiap hari sampai Steroid jangka panjang lanjutan dan biopsi
remisi, kemudian 1,5 (tentukan dosis threshold)
mg/kg alternating
selama 4 minggu

Dosis threshold <0,5 mg/kgbb Dosis threshold >0,5 mg/kgbb


Atau efek samping steroid
yang berat

Teruskan prednison alternating Levamisol,


Selama 9-18 bulan Siklofosfamid
Siklosporin A
MMF

20
Gambar 2.1. Tata Laksana Sindrom Nefrotik. (Trihono,dkk.2012)

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam

literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau

sangat selektif (Alatas, dkk., 2002).

2.2 Sindrom Nefrotik Relaps dan Faktor Risiko Relaps

Sindrom nefrotik dalam perjalanan penyakitnya, 76-93% akan mengalami

relaps, 30% diantaranya akan mengalami relaps sering/frekuen, 10-20% akan

mengalami relaps jarang, sedangkan 40-50% sisanya akan mengalami dependen

steroid (Wirya, 2002). Kekambuhan (relaps) pada sindrom nefrotik ditandai

dengan terjadinya proteinuria setelah mengalami remisi. Kekambuhan

dikategorikan menjadi 2 tipe yaitu relaps jarang yang didasari dari timbulnya

kambuh <2 kali dalam setahun dan relaps sering jika ditemukan terjadinya

kambuh ≥ 2 kali dalam setahun (Bagga dan Mantan, 2005).

Pasien dengan relaps sering memiliki risiko yang tinggi terhadap

terjadinya efek toksis dari pengobatan akibat pemakaian prednison dengan dosis

tinggi dalam jangka waktu lama (Wang, 2005). Beberapa penelitian menemukan

faktor risiko seperti riwayat atopi, usia saat serangan pertama, jenis kelamin dan

infeksi saluran pernapasan akut menyertai atau mendahului terjadinya relaps

(Ajayan dkk, 2013). Penelitian di RSUP Sanglah menemukan bahwa kekambuhan

anak dengan sindrom nefrotik dipengaruhi oleh lamanya respon terhadap terapi

steroid saat terapi inisial, adanya infeksi baik pada saat terdiagnosis maupun saat

21
kekambuhan dan juga ditemukannya hematuria saat anak terdiagnosis sindrom

nefrotik (Purnami dan Nilawati, 2013).

Penelitian oleh Subandiyah (2004) menemukan pada penderita sindrom

nefrotik sensitif steroid sekitar 65% mengalami relaps dengan median waktu

relaps sebesar 22 minggu (rentang 1-50 minggu). Pada penelitian tersebut,

terdapat sekitar 31,9% anak dengan sindrom nefrotik relaps jarang, 17% sindrom

nefrotik relaps sering dan sisanya sindrom nefrotik dependen steroid. Pada

sindrom nefrotik anak, terutama sindrom nefrotik resisten steroid lebih mudah

terjadi infeksi. Beberapa faktor yang memudahkan anak dengan sindrom nefrotik

mengalami infeksi kuman adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak

sempurna, disamping itu pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif

menambah risiko infeksi (Niaudet, 2004).

2.3 Kualitas Hidup

Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya

dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat

dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya

yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik

maupun psikologis pengobatan (Eiser C. dan Morse R., 2001).

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (Health-related quality

of life) menggambarkan komponen sehat dan fungsional multidimensi seperti

fisik, emosi, mental, sosial dan perilaku yang dipersepsikan oleh pasien atau

orang lain di sekitar pasien (orangtua atau pengasuh). Pengukuran kualitas hidup

mempunyai manfaat yaitu sebagai perbandingan beberapa alternatif pengelolaan,

22
penilaian manfaat suatu intervensi klinis, uji tapis dalam mengidentifikasi anak-

anak dengan kesulitan tertentu dan membutuhkan tindakan perbaikan secara

medis ataupun bantuan konseling dan dapat dipakai untuk pengenalan dini

sehingga dapat diberikan intervensi tambahan (non medis yang diperlukan),

maupun prediktor untuk memperkirakan biaya perawatan kesehatan (Varni

JW,dkk., 1999).

Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara

lain:

1. Kondisi global, yaitu lingkungan makro yang berupa kebijakan pemerintah

dan asas-asas dalam masyarakat yang memberikan perlindungan anak.

2. Kondisi eksternal, yaitu lingkungan tempat tinggal (musim, cuaca,

kepadatan penduduk), status sosial ekonomi, pelayanan kesehatan dan

pendidikan orangtua.

3. Kondisi interpersonal, yaitu hubungan sosial dalam keluarga (orangtua,

saudara kandung, saudara lain serumah dan teman sebaya)

4. Kondisi personal yaitu fisik, mental dan spiritual pada diri anak sendiri

seperti genetik, umur, kelamin, ras, gizi, hormonal, stres, motivasi, belajar

dan pendidikan anak serta pengajaran agama.

Pemilihan instrumen pengukur kualitas hidup anak berdasarkan atas konsep,

keandalan, kesahihan dan kepraktisan instrumen tersebut (Varni dkk, 1999). Salah

satu instrumen pengukur kualitas hidup anak yaitu Pediatric Quality of Life

InventoryTM (PedsQLTM) yang dikembangkan oleh Varni dkk dan dipublikasikan

tahun 1998. Pediatric Quality of Life InventoryTM (PedsQLTM) mempunyai 2

23
modul yaitu generik dan spesifik penyakit. Instrumen generik dibuat untuk

mengukur semua aspek kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup pada

berbagai macam penyakit dan populasi, untuk anak usia 2-18 tahun. Instrumen ini

dapat membedakan kualitas hidup sehat dengan anak yang menderita suatu

penyakit akut atau kronik. Pediatric Quality of Life InventoryTM (PedsQLTM)

spesifik penyakit antara lain untuk penyakit keganasan, asma, arthritis, diabetes

anak, fibrosis kistik, cerebal palsi, kardiologi dan penyakit sickle cell (Varni dkk,

1999 dan Skar D, 2002).

Pediatric Quality of Life InventoryTM (PedsQLTM) generik mempunyai

konsep untuk menilai kualitas hidup sesuai dengan persepsi penderita terhadap

dampak penyakit dan pengelolaannya pada berbagai bidang kualitas hidup anak

yang terdiri dari 4 bidang dengan 23 pertanyaan, yaitu: fisik (8 pertanyaan), emosi

(5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan). Instrumen ini

mempunyai keandalan yang ditunjukkan dengan konsistensi internal yang baik,

koefisisen alpha berkisar 0,70–0,92. Kesahihan ditunjukkan pada analisis tingkat

bidang maupun tingkat pertanyaan yang memberikan penurunan nilai sesuai

dengan beratnya penyakit dan tingkat pengelolaannya. Pengisian PedsQLTM hanya

membutuhkan waktu kurang dari 5 menit, dimana rasio missing data hanya sekitar

0,01%. Penilaiannya dengan memberi nilai 0-4 pada setiap jawaban dan

dikonversikan dalam skala 0-100. Nilai 0 = tidak pernah ada masalah; 1 = hampir

tidak pernah ada masalah; 2 = kadang-kadang ada masalah; 3 = sering ada

masalah; 4 = selalu ada masalah. Masing-masing nilai yaitu 0 = 100; 1 = 75; 2 =

50; 3 = 25; 4 = 0. Nilai total kualitas hidup penderita dihitung dengan

24
menjumlahkan semua nilai pertanyaan yang mendapat jawaban dibagi jumlah

pertanyaan yang mendapat jawaban (Varni dkk, 1999 dan Skar D, 2002).

Pengisian kuesioner PedsQLTM dapat dilakukan oleh penderita sendiri (child

self report) atau diwakili orangtua (parent proxy report). Instrumen ini telah diuji

di Inggris, Spanyol dan Jerman dimana terbukti memiliki validitas dan reabilitas

yang baik dan saat ini telah diadaptasi secara internasional. Berdasarkan

penelitian Varni dkk, 2002 nilai total kualitas hidup anak sehat secara umum

adalah 81,38 ± 15,9. Anak dengan nilai total PedsQLTM berada di bawah satu

standar deviasi (< - 1 SD) merupakan anak dengan risiko gangguan kualitas hidup

yang harus dipertimbangkan untuk mendapatkan pemantauan ataupun intervensi

segera (Varni dkk, 1999 dan Skar D, 2002).

2.4 Kualitas Hidup Anak Sindrom Nefrotik Relaps

Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit kronis yang sering

menimbulkan morbiditas dab efek samping jangka panjang. Kondisi klinis lain

yang menyertai penyakit sindrom nefrotik dapat menurunkan kualitas hidup

penderita. Kondisi seperti penyakit kritis, disabilitas intelektual, dan kelainan

kongenital mayor dapat memperberat kondisi klinis dan fungsi penderita sehari-

hari. Penderita sindrom nefrotik yang disertai kondisi tersebut memerlukan

perhatian yang lebih khusus terutama pendampingan keluarga pada masa

perawatan.

Penyakit kronik pada masa anak memiliki pola yang kompleks dan

dinamis. Penyakit kronik akan berlangsung lama, dengan dampak pengobatan

yang lama pula. Pengobatan peyakit kronik dapat menghabiskan waktu beberapa

25
bulan, bahkan sampai beberapa tahun (Wise, 2007). Menurut American Academy

of Pediatrics, kondisi penyakit kronik adalah penyakit atau keadaan cacat yang

diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian di bidang kesehatan dan

perawatan khusus yang lebih dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik

dalam perawatan di rumah sakit maupun perawatan di rumah (Stein dkk, 1997).

Data survei nasional memperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua anak

mempunyai beberapa bentuk kondisi kesehatan yang kronik, dan 15-20% dari

semua anak mempunyai masalah fisis, pembelajaran dan gangguan

perkembangan. Penyakit kronik yang muncul pada masa kanak akan

memengaruhi kualitas tumbuh kembang dan potensi anak dimasa depan (Wise,

2007).

Definisi umum kondisi kesehatan kronik menurut CDC (Centers for

Disease Control) adalah kelainan yang berlangsung lama, tidak membaik secara

spontan dan jarang sembuh sempurna. Contoh kondisi kesehatan kronik antara

lain juvenile rheumatoid arthritis, asma, diabetes, spina bifida, hemophilia,

thalasemia, epilepsi, penyakit neurovaskular, AIDS, sindroma nefrotik, penyakit

jantung bawaan, palsi serebral, sindrom Down, kanker dan lain-lain

(Soetjiningsih, 2005)

Kondisi penyakit kronis dapat memengaruhi perkembangan fisik, kognitif,

sosial dan emosional pada anak. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan

terhadap kualitas hidup anak tersebut. Hal-hal yang memengaruhi terjadinya

ataupun beratnya penyimpangan tumbuh kembang pada anak dengan kondisi

kesehatan kronik (Soetjiningsih, 2005):

26
1. Riwayat alamiah dari kondisi anak

a. Beratnya kelainan dan patofisiologi

Pengaruh terhadap tumbuh kembang ditentukan oleh kapan timbulnya,

perjalanan penyakit dan sakit. Kondisi kesehatan kronik terjadi selama 3

bulan atau lebih. Makin berat kelainan makin besar pengaruhnya terhadap

tumbuh kembang anak. Kemajuan teknologi dalam hal penatalaksanaan

kondisi kesehatan kronik, selain mengurangi dampaknya pada tumbuh

kembang anak juga mengurangi mortalitas anak.

Pada sindrom nefrotik terjadi proses relaps dan remisi yang

berkepanjangan, menyebabkan gangguan pada kualitas hidup secara

signifikan (Hugo dkk, 2004). Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom

nefrotik antara lain infeksi (misalnya peritonitis) yang sering disebabkan

oleh pneumokokus; hiperkoagulasi dan fenomena tromboemboli.

Hipertensi sering dilaporkan pada kasus-kasus sindrom nefrotik kelainan

minimal (Lum, 2009). Perawatan yang lama di rumah sakit dapat

menimbulkan stress pada orangtua dan pasien (Wirya, 2005). Hal-hal

tersebut dapat mengganggu aktifitas fisik anak, berkurangnya waktu

rekreasi/bermain, anak payah, dan juga menjadi trauma dengan tindakan

medis yang diterimanya dan sebagainya.

b. Prognosis

Pada penyakit yang prognosisnya buruk, walaupun anak mempunyai

kesempatan untuk tumbuh kembang, tetapi gagal mendapatkannya. Pada

sindrom nefrotik dependen steroid saat masa anak, tidak lebih dari 10%

27
akan terjadi relaps saat dewasa. Beberapa survei sebelumnya angka relaps

setelah 18 tahun antara 27-42%. Faktor risiko terjadinya relaps saat

dewasa antara lain onset terjadi saat usia yang muda, kekerapan relaps

yang tinggi saat anak serta penggunaan alkylating agent dan siklosporin.

Luaran kondisi ginjal pada sindrom nefrotik dependen steroid masih baik

sepanjang masih berespon terhadap steroid (Niaudet, 2009).

c. Iatrogenik

Pengobatan yang lama dapat memengaruhi tumbuh kembang anak baik

yang bersifat sementara maupun yang menetap, dan melalui proses yang

langsung maupun tidak langsung. Pemberian steroid jangka panjang pada

sindrom nefrotik dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan

pertumbuhan, hipertensi, katarak, osteoporosis, moon face dan obesitas.

Pemberian alkylating agent jangka panjang apat menimbulkan toksisitas

gonad. Risiko infertil pada lelaki lebih besar daripada perempuan. Dosis

akumulatif diatas 250 mg/kg dapat menyebabkan oligo/azospermia

namun azospermia reversibel pada beberapa pasien (Leonard dkk, 2004).

2. Karakteristik Individu

a. Umur

Umur pada saat kondisi kronik terjadi, memengaruhi tumbuh kembang

anak dari satu tahap ke tahap berikutnya.

b. Kepribadian anak

Perkembangan kepribadian anak dengan kondisi kesehatan kronik

mempunyai ruang lingkup yang tiak berbeda dengan anak yang

28
normal. Kepribadian anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan

meskipun tidak ada korelasi langsung antara sikap dan perilaku

keluarga dengan psikologi anak. Risiko gangguan perkembangan

psikologi meningkat pada anak dengan kondisi kesehatan kronik yang

multipel. Faktor-faktor yang diketahui memperbesar risiko antara lain

anak yang mempunyai konsep diri yang rendah, mempunyai keluarga

yang kurang harmonis, tinggal di daerah terpencil atau dari keluarga

yang tidak mampu.

c. Dukungan dari keluarga

Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas

interaksi anak dengan lingkungannya. Interaksi yang berkualitas dan

efektif akan mempunyai dampak yang baik. Orangtua yang mau

menerima kondisi anak, memberi dukungan dan menciptakan

lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang mengoptimalkan

tumbuh kembang anak.

Penanganan optimal anak dengan penyakit kronik tidak hanya terbatas

pada masalah medis, tetapi harus memperhatikan faktor perkembangan,

psikososial dan keluarga. Dampak penyakit kronik tergantung pada pandangan

anak terhadap organ tubuhnya, penyakitnya, terapi yang diterimanya, dan

pandangan terhadap kematian. Dampak pada anak tercermin pada

perkembangan psikososialnya, keterlibatannya dengan teman sebaya, aspek

pendidikan, dan prestasi di sekolah. Dampak pada keluarga antara lain

29
tercermin pada status psikososial orangtua, aktivitas, status ekonomi keluarga

dan peran keluarga di masyarakat (Stein dkk, 1997).

2.5 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kualitas Hidup Anak dengan

Sindrom Nefrotik

2.5.1 Umur

Anak-anak dengan usia lebih muda memiliki risiko lebih tinggi untuk

mengalami gangguan pada kualitas hidupnya. Masalah yang sering timbul

adalah kecemasan prosedural, kecemasan pengobatan dan komunikasi.

Oleh karena itu, perawatan khusus selama prosedur intervensi diperlukan

untuk menjaga perkembangan normal mereka (Landolt dkk., 2006). Umur

pada saat kondisi kronik terjadi, memengaruhi tumbuh kembang anak dari

satu tahap ke tahap berikutnya. Tiap tahap perkembangan mempunyai

karakteristik tersendiri, dimana bila terjadinya kelainan pada tahap

perkembangan tertentu akan berpengaruh pada tahap perkembangan

berikutnya (Soetjiningsih, 2005).

2.5.2 Jenis Kelamin

Penelitian oleh Arabiat dan Jabery (2013) mengenai kualitas hidup anak

dengan kondisi kronis melaporkan tidak terdapat perbedaan kualitas hidup

anak perempuan atau lelaki. Penelitian ini menggunakan instrumen

PedsQL 4.0 generic core scale.

30
2.5.3 Status Gizi

Anak dengan kondisi kronik sering mengalami masalah yang terkait

dengan makan yang akan memengaruhi tumbuh kembangnya. Untuk

mengetahui masalah nutrisi dapat dilakukan dengan memantau ukuran

antropometri, asupan makanan, evaluasi medis, pemeriksaan laboratorium,

evaluasi cara makan dan kondisi keluarga/masalah sosial lainnya

(Soetjiningsih, 2005).

2.5.4 Durasi Sakit

Pada studi yang membandingkan insiden dan prevalens sindrom nefrotik

didapatkan skor kualitas hidup yang lebih rendah pada pasien yang lebih

lama menderita sindrom nefrotik terutama pada fungsi sosial dan dan

sekolah (Selewski dkk., 2015). Semakin lama terapi yang harus dijalani

maka semakin buruk pula kualitas hidup anak dengan sindrom nefrotik

(Rosita 2013).

2.5.5 Penghasilan

Status ekonomi keluarga memengaruhi perilaku dalam mencari akses

pelayanan kesehatan. Status ekonomi keluarga juga memengaruhi

kepercayaan, sikap dan perilaku pemberi layanan kesehatan di Indonesia

(Gipson dkk., 2012). Keluarga dengan penghasilan rendah biasanya akan

cenderung untuk mengabaikan atau tidak terlalu memperhatikan

kebutuhan anak yang akan memengaruhi terhadap tinggi rendahnya

kualitas hidup anak (Rosita, 2013).

2.5.6 Tingkat Pendidikan Orangtua

31
Tingkat pendidikan orangtua akan memengaruhi persepsi orangtua

mengenai penyakit, proses terapi, dan prognosis anak. Hal ini dapat

berdampak pada kepatuhan orangtua dalam membawa anak menjalani

pengobatan. Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi umumnya

memiliki persepsi yang lebih baik. Pemberi layanan kesehatan juga lebih

mudah berkomunikasi dengan orangtua yang berpendidikan lebih tinggi.

Penelitian oleh Gkoltsiou dkk. (2008) menyebutkan semakin tinggi tingkat

pendidikan orangtua, nilai kualitas hidup anak juga lebih baik.

32

Anda mungkin juga menyukai