Anda di halaman 1dari 7

Kelahiran seorang anak akan

menyebabkan timbulnya suatu tantangan

mendasar terhadap struktur interaksi

keluarga. Bagi seorang ibu, melahirkan bayi

adalah suatu peristiwa yang sangat

membahagiakan sekaligus juga suatu

peristiwa yang berat, penuh tantangan dan

kecemasan. Sehingga dapat dipahami

bahwa mengapa hampir 70 persen ibu

mengalami kesedihan atau syndrome baby

blues setelah melahirkan (Shinaga, 2006).

Sebagian besar ibu dapat segera pulih dan

mencapai kestabilan, namun 13%

diantaranya akan mengalami depresi

postpartum (Shinaga, 2006).

Postpartum blues ditandai dengan

gejala-gejala seperti : reaksi

depresi/sedih/disforia, mudah menangis

(tearfulness), mudah tersinggung

(irritable), cemas, nyeri kepala (headache),

labilitas perasaan, cenderung menyalahkan

diri sendiri, merasa tidak mampu,

gangguan tidur dan gangguan nafsu makan

(appetite). Gejala-gejala ini mulai muncul

setelah persalinan dan pada umumnya akan

menghilang dalam waktu antara beberapa

jam sampai sepuluh hari atau lebih. Namun

pada beberapa minggu atau bulan kemudian

dapat berkembang menjadi keadaan yang

lebih berat (Freudenthal, 1999; Olds, 1999;

Lowdermilk, Perry & Bobak, 2000).


Ibu yang mengalami depresi

postpartum, minat dan ketertarikan terhadap

bayi berkurang. Ibu juga tidak mampu

merawat bayinya secara optimal dan tidak

bersemangat menyusui, sehingga

kebersihan, kesehatan serta tumbuh

kembang bayi juga tidak optimal. Menurut

Elvira, 2006 bayi yang tidak mendapat ASI

dan ditolak oleh orangtuanya serta adanya

masalah dalam proses bonding attachment

biasanya dialami pada bayi dengan ibu

depresi (Elvira, 2006).

Peran perawat maternitas

diperlukan untuk membantu ibu menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik, perubahan psikologis
dan

perubahan peran pada ibu postpartum, baik peran sebagai pendidik, pemberi asuhan, maupun
sebagai

konselor.

Kata kunci: post


Proses penyesuaian menjadi ibu sangat rentan terhadap gangguan emosi

terutama selama kehamilan, persalinan dan postpartum. Beberapa penyesuaian

dibutuhkan oleh seorang wanita dalam mengahadapi aktivitas dan peran barunya

sebagai ibu pada beberapa minggu atau bulan pertama setelah melahirkan, baik

dari segi fisik maupun psikis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan

baik, tetapi ada sebagian lainnya yang tidak berhasil menyesuaikan diri dan

mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindrom.

Sistem dukungan yang kuat dan konsisten merupakan faktor utama

keberhasilan melakukan penyesuaian bagi ibu. ibu membutuhkan bantuan dalam

menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya seperti menyiapkan makanan,

mencuci pakaian dan berbelanja, dan juga ibu membutuhkan dorongan,

penghargaan dan pernyataan bahwa ia adalah ibu yang baik. Bantuan atau

dukungan yang paling efektif didapat dari suami.

Suami merupakan social support yang paling utama selain anggota

keluarga lain juga petugas kesehatan. Bila pasangan kurang memberikan dukungan

saat ibu memasuki masa postpartum, hal ini bisa menjadi pemicu munculnya

kejadian depresi postpartum, karena ibu postpartum merasa kurang dicintai dan

dihargai.

Masa nifas akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada organ

reproduksi. Begitupun halnya dengan kondisi kejiwaan (psikologis) ibu, juga

mengalami perubahan.

Salah satu gangguan psikologi tersebut adalah depresi postpartum yang

dialami ibu pada hari ketujuh sampai 8 minggu setelah melahirkan, dan dalam

kasus yang lebih parah, bisa berlanjut selama setahun (Mansur, 2009:157). Depresi

postpartum merupakan salah satu bagian integral dari permasalahan gangguan jiwa

yang terjadi pada ibu yang melahirkan.

DEPRESI

Depresi dapat mengenai seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan

status sosial, ekonomi, dan pendidikan. Bahkan menurut WHO, depresi adalah

masalah yang serius karena merupakan urutan keempat penyakit di dunia. Sekitar

20% wanita dan 12% pria, pada suatu waktu dalam kehidupannya pernah
mengalami depresi, yaitu kesedihan berkepanjangan, motivasi menurun, dan

kurang tenaga untuk melakukan kegiatan sehari-hari (Keliat et al., 2011: 20).

Menurut Keliat et al. (2011: 20) depresi adalah gangguan mood, kondisi

emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir,

perasaan, aktivitas) seseorang ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri,

suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi, pikiran lambat serta

aktivitas menurun. Penyebab gangguan ini meliputi:


Pengalaman menjadi orang tua

khususnya seorang ibu kadang kala tidak

selalu menjadi hal yang menyenangkan bagi

setiap wanita atau pasangan suami istri.

Tanggung jawab yang diemban sebagai

seorang ibu setelah melahirkan bayi kadang

kala menjadi konflik dalam diri seorang

wanita yang merupakan faktor pemicu tim-

bulnya gangguan emosi, intelektual dan

tingkah laku pada seorang wanita. Sebagian

wanita ada yang tidak berhasil menyesuaikan

diri dengan perubahan ini sehingga menga-

lami gangguan psikologis (Dewi dkk, 2013).

Perubahan psikologis yang terjadi pada

ibu masa nifas terjadi karena beberapa hal

yaitu pengalaman selama melahirkan, tang-

gung jawab peran sebagai ibu, adanya ang-

gota keluarga baru (bayi) serta peran baru

sebagai seorang ibu (Maryunani dkk,

2009).

Depresi postpartum sering terjadi pada

masa adaptasi psikologis ibu masa nifas,

walaupun insidensinya sulit untuk diketahui

secara pasti namun diyakini 10-15% ibu

melahirkan mengalami gangguan ini (Saleha

dkk, 2009).

Faktor risiko terjadinya depresi post-

partum antara lain kurangnya dukungan

suami dan keluarga, komplikasi kehamilan,

persalinan dan kondisi bayi, faktor ling-

kungan, budaya, riwayat gangguan jiwa


sebelumnya serta gangguan keseimbangan

hormonal (Baldwin dkk, 2002).

Menurut penelitian, anak dari ibu yang

mengalami depresi postpartum dapat

mengalami gangguan perilaku pada usia tiga

tahun, artinya pada usia tiga tahun dapat

dideteksi adanya perilaku yang berbeda

dibandingkan dengan anak seusianya

(Susanti, 2011). Anak tersebut juga me-

ngalami rendahnya fungsi berfikir pada usia

empat tahun, yang dapat terdeteksi ketika

anak mulai masuk sekolah dan memerlukan

pendidikan khusus pada usia 11 tahun (Patel

dkk, 2005).

Anak yang dari ibu yang menderita

depresi postpartum akan mempengaruhi

pertumbuhan kognitif anak, selain itu juga

mempengaruhi interaksi antara ibu dan bayi

yang akan berpengaruh terhadap tumbuh

kembang bayi (Goker dkk, 2012)

Skrining secara rutin pada ibu nifas

dirasakan efektif, sederhana dan mudah di-

gunakan untuk mengidentifikasi wanita yang

berisiko terhadap depresi postpartum,

skrining ini bisa dilakukan pada saat kun-

jungan nifas di tenaga kesehatan setempat

(Zubaran dkk, 2010).

Edinburgh Postnatal Depression

Scale (EPDS) ialah salah satu metode untuk

mendeteksi risiko depresi postpartum pada

ibu nifas. Walaupun tidak umum, EPDS


dapat dengan mudah digunakan selama 6

minggu pascapersalinan (Perfetti dkk,

2004). EPDS dikembangkan pada tahun

1987 untuk membantu menentukan apakah

seorang ibu mungkin menderita depresi

postpartum (Cox J dkk, 2014).

Anda mungkin juga menyukai