Anda di halaman 1dari 26

Seorang Perempuan dengan Severe Mixed Malaria

pada Daerah Endemis Rendah


Ummul Khair, Sudirman Katu*
*Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

I. PENDAHULUAN

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium.

Malaria berasal dari bahasa Italia, “mala” dan “aria”, yang berarti udara yang jelek/salah.

Charles Louis Alphonse Laveran tahun 1880 membuktikan bahwa malaria disebabkan

oleh parasit di dalam eritrosit, Ronald Ross membuktikan siklus hidup plasmodium dan

transmisi penularannya pada nyamuk. Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di

Indonesia adalah P.falciparum dan P. Vivax. Komplikasi malaria umumnya disebabkan

oleh P.falciparum, namun dapat juga disebabkan oleh spesies yang lain. Komplikasi

malaria yang terjadi mendadak umumnya digolongkan sebagai malaria berat.1,2

Malaria berat didefinisikan sebagai adanya gejala klinis dan hasil laboratorium

yang menunjukkan adanya disfungsi organ vital. Gejala klinis dari malaria berat berupa

gangguan kesadaran, kejang, gagal ginjal akut, edema paru akut, syok, perdarahan

abnormal. Hasil laboratorium yang dapat ditemukan yaitu hipoglikemia, asidosis

metabolik, anemia berat, dan hemoglobinuria. Malaria Berat merupakan keadaan yang

emergensi. Terapi yang tepat dan cepat diharapkan dapat mengurangi mortalitas akibat

penyakit ini. 3,4 Malaria secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik,

disertai dengan anemia, splenomegali, dan adang-kadang dengan koplikasi pernisiosa

seperti ikterus, diare, black water fever, acute tubular necrosis dan malaria cerebral.5

Malaria merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

karena se- ringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB), berdampak luas terhadap

1

kualitas kehidupan dan ekonomi, serta dapat menyebabkan kematian. Penurunan angka

infeksi malaria menjadi salah satu komitmen global pada Millenium Development Goals

(MDGs). WHO memperkirakan jumlah kasus malaria setiap tahunnya berkisar antara

300- 500 juta dengan angka kematian mencapai 1 juta kasus. World Malaria Report 2015

menyebutkan malaria telah menyerang 106 negara di dunia. Di Indonesia, sekitar 35 %

penduduknya tinggal di daerah berisiko malaria dan dilaporkan sebanyak 38 ribu orang

meninggal setiap tahunnya karena malaria berat. 6

Infeksi malaria mengenai sekitar 5% populasi dunia dan menimbulkan 0,5 – 2,5

juta kematian setiap tahun. Malaria masih sering dijumpai di daerah endemik di

Indonesia, misalnya di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.

Secara sporadik juga ditemui pada beberapa kota besar di Indonesia, umumnya sebagai

kasus impor. Malaria berat terjadi pada 5-10% dari seluruh penderita malaria dan sekitar

20% merupakan kasus fatal dengan mortalitas 10-20%.2

Morbiditas malaria pada suatu wilayah ditentukan oleh Annual Parasite Incidence

(API) per tahun. API merupakan jumlah kasus positif malaria per 1.000 penduduk dalam

satu tahun. Indonesia memiliki prevalensi malaria sebesar 1,4% dengan angka API tahun

2015 sebesar 0,85%.6

Indonesia merupakan salah satu negara endemis malaria dengan tingkat kejadian

morbiditas dan mortalitas yang tinggi, hingga tahun 2011, terdapat 374 kabupaten

endemis malaria, dengan jumlah kasus malaria pada tahun 2011 sebanyak 256.592 orang

dari 1.322.451 kasus suspek malaria yang diperiksa sediaan darahnya, dengan Annual

parasite Insidence (API) 1,75 per seribu penduduk, hal ini berarti setiap 1000 penduduk

terdapat 2 orang terkena malaria.7,8 Pada tahun 2017 di Indonesia, dari jumlah 514

kabupaten/kota di Indonesia 266 (52%) diantaranya wilayah bebas malaria. 172

2

kabupaten/kota (33%) endemis rendah, 37 kabupaten/kota (7%) endemis menengah, dan

39 kabupaten/kota (8%) endemis tinggi. Sulawesi termasuk daerah malaria endemis

rendah.9

Berikut ini dilaporkan kasus seorang perempuan 26 tahun dengan diagnosa

Malaria Berat pada daerah non Endemis.

2. LAPORAN KASUS

Seorang wanita, Ny.A. umur 26 tahun, agama Islam, suku Bugis, status menikah,

Pekerjaan Bidan. Alamat rumah jln Toddopuli VI/Borong Indah no.26 Makassar. Dirujuk

ke RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar tanggal 8 November 2018 hingga 16 November

2018. Lama Perawatan 9 hari. No. Rekam Medis : 862290. Pasien dengan keluhan utama

: Demam.

Keluhan demam dialami sejak 12 hari yang lalu, demam dialami terus menerus, demam

turun dengan obat penurun demam, menggigil ada, berkeringat ada. Nyeri kepala tidak

ada, riwayat nyeri kepala sebelumya ada. Pusing tidak ada. Riwayat penurunan kesadaran

sebelumnya tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Tampak wajah pucat yang dialami sejak

12 hari terakhir. Riwayat kuning sebelumnya disangkal. Riwayat haid 9 hari yang lalu,

namun saat ini haid sudah berhenti. Tidak ada riwayat perdarahan aktif sebelumnya

seperti mimisan dan gusi berdarah. Sesak napas ada dan batuk tidak ada. Mual tidak ada,

muntah tidak ada. Riwayat muntah tidak ada. Intake oral berkurang sejak 14 hari terakhir,

makan hanya 4 sendok tiap kali makan. Penurunan berat badan disangkal. Riwayat

malaria sebelumnya tidak ada. Riwayat ke daerah endemis malaria sebelumnya tidak ada.

Riwayat kontak dengan penderita malaria ada yaitu teman samping kontrakan rumah.

Riwayat transfusi darah sebelumya tidak ada. Buang air kecil berwarna kuning kesan

cukup. BAK berdarah tidak ada. Riwayat BAK kuning pekat disangkal. BAB warna

3

kuning kecoklatan. darah dan lendir tidak ada. Riwayat BAB hitam/darah tidak ada.

Pasien di rujuk dari Rumah Sakit Hermina Makassar ke UGD RS.Wahidin Sudirohusodo

Makassar dengan Dengue Syndrome dan Anemia. Perawatan inap sebelumnya selama 5

hari di RS Hermina Makassar.

Keadaan Lingkungan Sekitar Pemukiman dan Perilaku Pasien :

- Kebiasaan Keluar Rumah : Pasien sering keluar duduk-duduk pada malam hari di depan

kamar kost disebabkan kondisi dalam kamar sangat panas.

- Pemakaian Kelambu : Tidak pernah menggunakan kelambu saat tidur malam hari.

- Pemakaian obat anti nyamuk : Pasien menggunakan anti nyamuk kadang-kadang. Jenis

obat nyamuk semprot (aerosol).

- Sekitar rumah terdapat rawa/genangan air berjarak ± 10 meter.

- Kontak dengan penderita yang mempunyai riwayat sakit malaria ada yaitu tetangga

pasien.

- Riwayat kontak dengan teman kost yang berasal dari Flores.

Pada pemerikasaan fisis didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, gizi

cukup, sadar. Tekanan darah 110/70 mHg, nadi 105x/menit, reguler kuat angkat,

frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu 38,5 0C. Berat Badan 55 kg, dan tinggi badan 155

cm, dengan indeks massa tubuh 22,89 kg/m2.

Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, bibir

tampak pucat. Pada pemeriksaan leher tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan tiroid,

tidak ada deviasi trakea dan desakan vena sentral R-1 cmH2O. Pada pemeriksaan toraks

tampak simetris, vokal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi sonor kanan dan kiri, batas

paru-hepar ICS V kanan depan, bunyi pernapasan vesikuler, tidak didapatkan ronki dan

wheezing pada kedua paru. Pada pemeriksaan jantung iktus kordis tidak tampak dan tidak

4

teraba, batas jantung kesan normal. Bunyi jantung I/II murni regular, tidak didapatkan

bunyi tambahan.

Pada pemeriksaan abdomen, perut tampak cembung, ikut gerak napas. Peristaltik

kesan normal, hepar dan lien tidak teraba. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak ditemukan

petechie/hematom, kedua telapak pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah tampak

pucat.

5

Tabel 1. Hasil Laboratorium RS. Wahidin Sudirohusodo (November 2018) :

Lab Nilai Nilai Nilai Nilai Normal


8/11/2019 9/11/2019 11/11/2019 14/11/2019

Wbc 4860 3450 3680 7810 (4.000-10.000 /ul)

Hb 6,0 4,8 6,4 9,0 (12-16 g/dl)

PLT 71.000 69.000 101.000 273.000 (150.000-


400.000/ul)

Hematokrit 17,1 14,3 18,0 26,6


(37-48%)
Neut 75,3 69 63,0 61,7 (52-
75x103/ul)
Lymph 20,0 22,3 28,3 25,6 (20-
40x103/ul)

Mono 4,7 8,7 8,4 11,3 (2-8x103/ul)

Eos 0,0 0,0 0,3 0,9 (1-3x103/ul)


Baso 0,0 0,0 0,0 0,5 (0,0-0,1x103/ul)

GDS 110 140 mg/dl


Antigen Positif Negatif
P.Falciparum
Antigen Positif Negatif
P.Vivax
DDR- Positif Negatif
Malaria P.falciparum.
Mikroskopi Jumlah parasit :
42.343/ul darah
Natrium 139 136-145
Kalium 3,5 3,5-5,1
Clorida 110 97-111
Coomb's Negatif Negatif
Test
Ureum 36 10-50
Kreatinin 0,66 L (<1,3),P
(<1,1)

SGOT 37 <38 U/L


SGPT 40 <41 U/L
Albumin 2,8 3,5-5,0 gr/dl

6

PT 11,8 10-14 detik
APTT 24,0 22-30 detik
INR 1,14 -
Fe 18 L(59-148) P(37-
148)ng/dl

TIBC 236 274-389


ng/dl
Ferritin >1200 13-400 ng/ml

Sat.Fe 7,62 % 20-25%

Tabel 2. Pemeriksaan Analisa Darah Tepi (9 November 2018) :

Hematologi Hasil
Eritrosit Normositik Normokrom,anisositosis,ovalosit(+), ditemukan benda
inklusi plasmodium falciparum stadium trofozoid bentuk cincin,
normoblast (+).
Leukosit Jumlah menurun,PMN >Limfosit, morfologi normal,sel muda (-)
Trombosit Jumlah menurun, morfologi normal
Kesan/Saran - - Pansitopenia kemungkinan akibat bone marrow failure.
- Infeksi Plasmodium Falciparum.
Saran: DDR.

Gambar 1. Pemeriksaan Mikroskopik Darah Tebal: P.falciparum.

7

Gambar 2. Pemeriksaan Mikroskopik Darah Tipis : Malaria Falcifarum
Stadium Trofozoit.

Gambar 3. Foto Pasien saat perawatan di RS Wahidin Hari Pertama.

Gambar 4. Foto pasien setelah rawat jalan Desember 2018

8

Gambar 5. Kondisi Lingkungan Sekitar Pemukiman
(Genangan Air)

Perawatan hari pertama, dilakukan pemeriksaan laboratorium : Hb : 6,0 gr/dl,

leukosit: 4860 /ul, trombosit : 71,000 /ul, hematokrit : 17,1 %, SGOT 37, SGPT 40, gula

darah sewaktu 110 mg/dl, ureum 36 mg/dl, kreatinin 0,66 mg/dl, natrium 139 mmol/L,

kalium 3.5 mmol/L, klorida 110 mmol/L, Albumin : 2,8.

Pada hari ke 2 perawatan pasien mengeluh bertambah lemas, sehingga kami

melakukan kontrol Darah Rutin, Hb pasien awalnya: 6,0 gr/dl, kemudian dikontrol

keesokan harinya turun menjadi 4,8 gr/dl, leukosit turun menjadi 3.450 /ul, trombosit

turun menajdi 69.000 /ul, hematokrit turun menjadi 14,3%, tanpa disertai perdarahan aktif

berupa mimisan,dan perdarahan gusi. Kemudian pasien direncanakan transfusi PRC 4

bag,1 bag per hari. Pada hari 2 keluar hasil Fe 18, TIBC: 236, Ferritine >1200, Saturasi

Transferine : 7,62 %. Imunoserologi antigen Plasmodium Falciparum : Positif, antigen

P.Vivax : Positif. Malaria Mikroskopi (DDR) : Positif Plasmodium Falcifarum : Jumlah

Parasit 42.343/ul darah. Pemeriksaan imunoserologi antigen P.Falciparum positif,

Pemeriksaan imunoserologi antigen P.Vivax positif. Urinalisa: warna kuning tua, protein

9

negatif, bilirubin negatif, blood negatif, sedimen eritrosit 1,leukosit 4, bakteri 1. Hasil

pemeriksaan darah tepi: Pansitopenia kemungkinan akibat bone marrow failure. Infeksi

Plasmodium Falciparum. Pemeriksaan Parasitologi : Malaria Mikroskopi (DDR) : Positif

Plasmodium Falciparum. Jumlah parasit 42343/ul darah dan indeks parasitemia 4%.

Dari Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka Diagnosis

Kerja Kami : Severe Mixed Malaria, anemia et causa infeksi malaria DD/ anemia

defisiensi Fe, dan hipoalbuminemia.

Terapi yang diberikan : tirah baring, artesunate injeksi intravena 2,4 mg/KgBB

pada jam 0,12,24 jam, dilanlanjut dengan pemberian DHP 3 tablet/24 jam oral selama 3

hari, parasetamol 1 gr/8 jam intravena (bila demam), primaquin 1 tablet/24 jam oral

(selama 14 hari),inbumin cap/12 jam oral, transfusi PRC 4 bag, 1 bag/hari.

Pasien di rawat inap di RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar selama 9 hari, Pada

hari ke 6-9 kondisi pasien membaik. GCS E4M6V5 (15), tekanan darah 120/80 mmHg,

nadi 90x/menit, klinis pasien : pada hari ke 6 perawatan pasien bebas demam, menggigil

dan berkeringat tidak ada, lemas berkurang. Hasil laboratorium setelah transfusi 4 bag

PRC : Hb : 9,0 gr/dl, leukosit 7.810, trombosit : 273.000, hematokrit : 26,6%, Kemudian

dilakukan kontrol Malaria Mikroskopi (DDR) : Negatif. Terapi spesifik dilanjutkan

dengan terapi suportif, pasien diberikan dihidroartemisin-piperaquin (DHP) 3 tablet/24

jam oral selama 3 hari dan primakuin tablet 15 mg/24 jam oral untuk 14 hari pemberian,

pada hari ke-9, pasien meminta rawat jalan dengan terapi yang diberikan primakuin tab

15 mg diberikan hingga 14 hari pemberian dan tablet Sulfas Ferrosus (SF) 2x1.

10

3. DISKUSI

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang

menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah.10

Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria

mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali.1 Gejala

yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin (15-60

menit): mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung

dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-geligi saling terantuk,

diikuti dengan meningkatnya temperatur; diikuti dengan periode panas: muka penderita

tampak merah, nadi cepat, dan suhu badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan

keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan

temperatur turun.1 Pada kasus ini didapatkan keluhan yang sesuai untuk "Trias Malaria",

yaitu adanya demam, menggigil dan berkeringat.

Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan


1,11
mikroskopis malaria. Diagnosis pasti dengan menemukan adanya parasit malaria

melalui pemeriksaan mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak dimungkinkan

dapat dibantu dengan tes diagnosa cepat. Pemeriksaan tetesan preparat darah tebal untuk

menemukan parasit malaria. Pemeriksaan hapusan darah tipis digunakan untuk

identifikasi jenis plasmodium. Pada kasus ini, pada pemeriksaan apusan darah tebal dan

tipis, ditemukan P.falciparum, dan P.vivax. Malaria Mikroskopi (DDR) : Positif

Plasmodium Falcifarum : Jumlah Parasit 42.343/ul darah, dan indeks parasitemia 4%.1,11

Malaria berat adalah penyakit malaria disertai dengan satu atau lebih komplikasi

sebagai berikut; 1). Perubahan kesadaran; 2). Anemia berat (pada dewasa Hb < 7 gr%

atau hematokrit < 15%); 3). Gagal ginjal akut (urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa

11

dan kreatinin >3 mg%); 4). Distress pernafasan; 5). Hipoglikemi: gula darah < 40 mg%;

6). Gagal sirkulasi atau Syok: tekanan sistolik < 80 mmHg; 7). Perdarahan spontan dari

hidung, gusi, traktus digestivus atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan

koagulasi intravaskuler; 8). Asidosis metabolik (pH < 7.25 atau plasma bikarbonat < 15

mmol/L); 9). Makroskopik hemoglobinuri (black water fever); 10). Diagnosa post-

mortem ditemukan adanya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada jaringan otak;

11). Edema Paru.1,11 Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat

sesuai dengan gambaran klinik daerah setempat ialah; 1). Gangguan kesadaran ringan

berupa delirium atau somnolen, 2). Kelemahan otot, 3). Hiperparasitemia > 2% (>

100.000 parasit/uL) pada daerah transmisi rendah, atau > 5% (250.000/uL) pada daerah

transmisi tinggi malaria, 4). Ikterik (bilirubin total > 3 mg%), 5). Kejang berulang lebih

dari dua episode dalam 24 jam, 6). hiperlaktatemia (asam laktat > 5 mmol/L), 7).

Hemoglobinuria, 8). Gangguan Fungsi Ginjal (kreatinin serum > 3 mg/dl).1,7,11 Pada

kasus ini pasien didiagnosa dengan malaria berat karena adanya komplikasi dari malaria

berat yaitu adanya anemia berat Hb <7 gr/dl. Pada kasus ini Hb pasien turun menjadi 4,8

gr/dl, atau hematokrit <15% sedangkan pada pasien ini didapatkan hematokrit 14,3%, dan

hiperparasitemia > 2% (> 100.000 parasit/uL) pada daerah transmisi rendah, sedangkan

pada kasus ini didapatkan indeks parasitemia 4%, yang sesuai dengan komplikasi malaria

berat.

Etiologi Malaria Berat Malaria Berat biasanya disebabkan oleh Plasmodium

Falsiparum, jarang disebabkan oleh Plasmodium Vivax. Di Indian tahun 2007 ditemukan

3 kasus malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium Vivax dengan komplikasi kejang

dan keluhan meningoencepalitis difus, setelah 2 hari diterapi dengan Artesunat pasien

sadar dan dipindahkan keruang prawatan biasa dan dari slide darah tepi tidak ditemukan

12

parasit lagi, kemudian diberikan Primakuin selama 14 hari, setelah 1 bulan follow up

tidak ditemukan gejala sisa neurologi lagi. 12

Pada kasus ini terjadi kondisi pansitopenia, mekanisme pansitopenia disebabkan

antara lain : penurunan produksi sum-sum tulang karena proses destruksi jaringan sum-

sum tulang oleh toksin, penggantian jaringan abnormal atau keganasan,

penekanan/supresi dan differensiasi pertumbuhan sum-sum tulang.13. Mekanisme

pansitopenia lainnya disebabkan oleh Sindrom Hematofagosit (HPS). Sindrom ini

disebabkan oleh meningkatnya kadar sitokin pro inflamasi TNF-alfa, IL-1, IL-2,IL-6

yang menyebabkan depresi pada sel induk progenitor di sum-sum tulang. Depresi ini

menyebabkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia.14

Di India tahun 2003 terdapat 11 kasus malaria berat yang disebabkan oleh

P.Vivax, 2 orang diantaranya ibu hamil, dari pemeriksaan mikroskopis ditemukan

P.Vivax dan tidak ditemukan P.Falsiparum. Semua pasien diterapi dengan kina intra-

vena, 8 orang dinyakan sembuh, 1 orang sembuh dengan dilakukan hemodialisa karena

terjadi gagal ginjal, 2 orang meninggal, sedangkan 2 orang ibu hamil, 1 orang melahirkan

bayi prematur dan 1 orang lagi bayinya meninggal pada hari ke 14.15 Pada kasus ini pasien

mengalami anemia, yang merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria.

Beberapa mekanisme terjadinya anemia ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit,

hambatan sementara eritropoiesis, hemolisis oleh karena kompleks imun yang

diperantarai komplemen, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan

pengaruh sitokin. Pada pasien ini didapatkan kulit yang tampak pucat dan konjungtiva

pucat, dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb yang menurun yaitu Hb awal

masuk 6,0 gr/dl, kemudian dikontrol keesokan harinya turun menjadi 4,8 gr/dl dengan

kesan anemia normositik normokrom causa infeksi malaria DD/ Anemia Defisiensi Besi,

13

sehingga kami memberikan transfusi PRC 4 kantong secara perlahan. Adapun

penatalaksanaan Malaria berat dengan Anemia yaitu transfusi dengan PRC bila Hb < 7

gr/dl %, perlahan-lahan. Hati-hati overload cairan. Berikan diuretik (furosemid) pada

edema paru. Monitor masukan dan luaran cairan, perhatikan keseimbangan cairan.

Periksa darah lengkap (Hemoglobin,leukosit, hematokrit, dan trombosit), teruskan

pemberian obat anti malaria (artesunat intravena).11

Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan malaria berat dengan anemia. 16

Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel

vaskular.1 Perlekatan terjadi karena molekul adhesif yang terletak dipermukaan knob

Eritrosit Parasit (EP) melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak

dipermukaan endotel vaskular.1 Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif

disebut P.falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1).1 Molekul adhesif

dipermukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospandin, intercellular-adhesion

molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM), endothel leucocyte

adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan glycosaminoglycan chondroitin sulfate A.1 Proses

sitoaderen menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.1 Parasit dalam

eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang

14

mengalami sekuestrasi.1 Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi, proses

sekuestrasi memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.1 Proses

Rosetting ialah berkembangnya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang

tidak mengandung parasit.1 Proses Rosetting menyebabkan terjadinya obstruksi aliran

darah.1

Patogenesis malaria berat diduga karena terjadinya sumbatan kapiler pembuluh

darah organ target sehingga terjadi anoksia pada organ target. Eritrosit yang terinfeksi

parasit plasmodium menjadi lebih kaku, terjadi cytoadherence, rosetting serta

sekuesterasi sehingga sulit melalui pembuluh kapiler. P.falciparum merupakan satu-

satunya spesies plasmodium yang dapat menginduksi cytoadherence eritrosit.(Gambar

7).17

Gambar 7. Patofisiologi Malaria Berat.18

Dinding eritrosit yang terinfeksi P.falciparum matur membentuk tonjolan yang

disebut knob, dengan Histidine Rich-Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utama, yang

15

berperan penting dalam proses cytoadherence and rosetting. Cytoadherence adalah

perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit matur melalui P.falciparum erythrocyte

membrane protein-1 (PfEMP-1) dengan permukaan endotel vaskular. PfEMP1

merupakan reseptor adhesif yang diekspresikan di permukaan eritrosit terinfeksi

sedangkan molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular antara lain CD36,

trombospondin dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). Bentuk rosette adalah

sekelompok eritrosit yang tidak terinfeksi melekat dengan eritrosit yang terinfeksi parasit

matur. Rosetting dapat menyebabkan obstruksi aliran darah dalam jaringan. 17,18

Cytoadherence menyebabkan sekuesterasi eritrosit yang mengandung parasit

dalam sirkulasi mikro, terutama kapiler dan vena-vena kecil. Hasil otopsi menunjukkan

bahwa sekuestrasi terbesar terdapat di otak, namun dapat juga ditemukan di hepar, ginjal,

usus dan jaringan adiposa. Sekuesterasi dan kekakuan eritrosit menyebabkan penurunan

aliran darah pada sirkulasi mikro organ, terjadi iskemik jaringan, disfungsi organ dan

kematian. 17,18,19

Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat

dipantau dengan menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API).20 Hal ini

sehubungan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan mengenai penggunaan satu

indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu dengan API.21

Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan

API, dilakukan stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur masuk dalam

stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan,

Sulawesi dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah,

meskipun masih terdapat desa/fokus malaria tinggi API dari tahun 2008 – 2009 menurun

dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,85 per 1000 penduduk.

16

Gambar 8. Peta Stratifikasi Malaria 2009. 22

Apabila dilihat per provinsi dari tahun 2008 – 2009 provinsi dengan API yang

tertinggi adalah Papua Barat, NTT dan Papua terdapat 12 provinsi yang diatas angka API
20,21
nasional. Sebaran malaria dibedakan menjadi daerah endemis dan non endemis.

Daerah yang dikatakan non endemis bila di daerah itu tidak terdapat penularan malaria

atau angka kejadian malaria API (Annual Paracite Incident) nol.22 :

1. Termasuk daerah non endemis adalah provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Kepri

(Balerang Binkar). Sedangkan daerah endemis malaria dibedakan menjadi

endemis tinggi, endemis sedang, dan endemis rendah.

2. Dikatakan Endemis Tinggi bila API-nya lebih besar dari 50 per 1.000 penduduk

yaitu di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara

(Kab. Nias dan Nias Selatan), dan NTT.

3. Endemis Sedang bila API-nya berkisar antara 1 sampai kurang dari 50 per 1.000

penduduk yaitu di provinsi Aceh (Kab. Siemeulu), Bangka Belitung, Kepri (Kab.

Lingga), Jambi (Kab. Batang Hari, Merangin, dan Sorolangun), Kalimantan

17

Tengah (Kab. Sukamara, Kota waringin barat), Mura), Sulteng (Kab. Toli-toli,

Banggai, Banggai Kepulauan, Poso), Sultra (Kab. Muna), NTB (Sumbawa Barat,

Dompu, Kab.Bima, dan Sumbawa), Jawa Tengah (Wonosobo, Banjarnegara,

Banyumas, Pekalongan dan Sragen), Jawa Barat (Sukabumi, Garut, dan Ciamis).

4. Sedangkan Endemis Rendah bila API-nya 0 - 1 per 1.000, diantaranya sebagian

Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.22 Pada pasien ini walaupun tidak ada riwayat

berpergian namun wilayah Sulawesi masih masuk dalam daerah endemis

rendah.21

Pada tahun 2017 di Indonesia, dari jumlah 514 kabupaten/kota di Indonesia 266

(52%) diantaranya wilayah bebas malaria. 172 kabupaten/kota (33%) endemis rendah, 37

kabupaten/kota (7%) endemis menengah, dan 39 kabupaten/kota (8%) endemis tinggi.

Sulawesi termasuk daerah malaria endemis rendah.9

Pada pasien ini tidak ada riwayat berpergian ke daerah endemis yang memiliki

indikator API yang tinggi seperti provinsi papua, namun dari referensi dikatakan bahwa

penularan infeksi malaria dapat terjadi secara alamiah maupun tidak alamiah, penularan

secara alamiah terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi oleh

Plasmodium. Sebagian besar spesies menggigit pada senja dan menjelang malam hari.

Beberapa vektor mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang

fajar, setelah nyamuk Anopheles betina mengisap darah yang mengandung parasit pada

stadium seksual (gametosit), gamet jantan dan betina bersatu membentuk ookinet di perut

nyamuk yang kemudian menembus di dinding perut nyamuk dan membentuk kista pada

lapisan luar dimana ribuan sporozoit dibentuk. Sporozoit-sporozoit tersebut siap untuk

ditularkan. Pada saat menggigit manusia, parasit malaria yang ada dalam tubuh nyamuk

masuk ke dalam darah manusia sehingga manusia tersebut terinfeksi lalu menjadi sakit.

18

Sedangkan penularan tidak alamiah dapat berupa, 1.) Malaria bawaan (congenital),

terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Penularan terjadi

melalui tali pusat atau plasenta. 2.) Secara mekanik, penularan terjadi melalui transfusi

darah melalui jarum suntik tidak steril. 3.) Secara oral (melalui mulut). Cara penularan

ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P. gallinasium), burung dara (P.relectum) dan

monyet (P.knowlesi). Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah

manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.20 Pada

pasien ini meskipun tidak ada riwayat berpergian ke daerah endemis namun memiliki

risiko terinfeksi malaria, yaitu adanya kontak dengan orang yang memilik riwayat

terinfeksi malaria yaitu teman kost pasien/tetangga pasien yang termasuk penularan

secara alamiah yaitu penularan yang terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina

yang telah terinfeksi oleh Plasmodium, dan adanya faktor epidemiologi yaitu

environment (lingkungan), seperti kebiasaan keluar rumah, pemakaian kelambu,

penggunakan obat anti nyamuk, dan adanya perindukan nyamuk disekitar tempat tinggal

pasien.20

Pada pasien ini, kebiasaan keluar rumah yaitu sering keluar duduk-duduk pada

malam hari di depan kamar kost disebabkan kondisi dalam kamar sangat panas. Pada

umumnya nyamuk Anopheles lebih senang menggigit pada malam hari. Aktifitas

menggigit nyamuk anopheles berlangsung sepanjang malam sejak matahari terbenam

yaitu pukul 18.30 – 22.00. Perilaku nyamuk anopheles lainnya yang merupakan faktor

risiko bagi masyarakat yang mempunyai kebiasaan berada diluar rumah pada malam hari

yaitu adanya golongan eksofilik yaitu golongan nyamuk yang senang tinggal diluar

rumah dan golongan eksofagik yaitu golongan nyamuk yang suka menggigit diluar

rumah.20

19

Pada pasien ini saat dilakukan wawancara secara langsung, yaitu tidak pernah

menggunakan kelambu saat tidur malam hari. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasir

(2011) di Halmahera Timur menemukan adanya hubungan yang signifikan antara

pemakaian kelambu berinsektisida dengan kejadian malaria. Semakin sering pemakaian

kelambu yang berinsektisida, maka semakin rendah risiko kejadian malaria dan begitupun

sebaliknya. Pemakaian obat anti nyamuk pada pasien kadang-kadang. Jenis obat anti

nyamuk yaitu semprot (aerosol). Analisis pemakaian obat nyamuk semprot (Aerosol)

dapat membunuh nyamuk pernah dilakukan oleh Damar T.B dkk, (1996) di laboratorium

uji insektisida rumah tangga, Stasiun Penelitian Vektor Penyakit Salatiga dimana

didapatkan bahwa rata-rata kematian nyamuk menggunakan Peet Grady Amber (Ruangan

yang terbuat dari kaca ukuran 180 x 180 x 180 cm yang disemprotkan dengan aerosol)

adalah 100%. Dimana faktor kebiasaan diluar rumah, penggunaan kelambu, penggunaan

obat anti nyamuk merupakan faktor perilaku. Pada hakikatnya faktor perilaku adalah

tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang menghasilkan ketidakseimbangan

antara agent, host, dan lingkungan. Kejadian malaria disebabkan oleh salah satu faktor

yaitu faktor perilaku.20

Pada pasien ini di sekitar rumah terdapat rawa/genangan air berjarak ± 10 meter.

Hal ini berhungungan dengan lingkungan biologi. Tumbuhan bakau, lumut, dan berbagai

tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena tumbuhan tersebut dapat

menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Ada

berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Punchax Spp), gambusia,

nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk disuatu wilayah.20

20

Pengobatan infeksi malaria P.falciparum + P.vivaks/P.ovale dapat diberikan

regimen pengobatan yaitu: Artemisinin based Combination Therapy (ACT) 1 kali 3

tablet/hari selama 3 hari dan Primakuin 0.25 mg/KgBB selama 14 hari.9

Tabel 3. Pengobatan infeksi malaria P.falciparum + P.vivax. 9,23


Hari Jenis Obat Jumlah Tablet Perhari Menurut Berat Badan

< 5kg 5-6kg >6-10kg 11-17kg 18-30kg 31-40kg 41-59kg 60-80kg ≥80kg

0-1 2-6 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥ 15 ≥15 ≥15


bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun tahun
1-3 DHP 1/3 1/2 1/2 1 1 1/2 2 3 4 5

1-14 Primakuin - - 1/4 1/4 1/2 3/4 1 1 1

Jenis Obat ≤5 kg 6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-49 kg 50-59 kg ≥60 kg


Hari 2-11 1-4 10-14 ≥15
0-1 bulan 5-9 tahun ≥15 tahun ≥15 tahun
bulan tahun tahun tahun

Artesunate ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1-3
Amodiakuin ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1 1 1

Pengobatan malaria berat : Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika

tidak tersedia dapat diberikan kina drip :

1. Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam

artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%. Keduanya

dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium artesunat. Kemudian diencerkan

dengan Dextrose 5% atau NaCL 0,9% sebanyak 5 ml sehingga didapat konsentrasi

60 mg/6ml (10mg/ml). Obat diberikan secara bolus perlahan-lahan. Artesunat

diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.

Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai penderita

mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan

dilanjutkan dengan regimen DHP atau ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai

dengan jenis plasmodiumnya).9

21

2. Kina drip bukan merupakan obat pilihan utama untuk malaria berat. Obat ini

diberikan pada daerah yang tidak tersedia artesunat intramuskular/intravena. Obat

ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500

mg / 2 ml. Pemberian kina pada dewasa : loading dose : 20 mg /kgbb dilarutkan

dalam 500 ml (hati-hati overload cairan) dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan

selama 4 jam pertama. 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl

0,9%. 4 jam berikutnya berikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgbb dalam

larutan 500 ml (hati-hati overload cairan) dekstrose 5 % atau NaCl. 4 jam

selanjutnya, hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu

diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per-

oral. Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet

per-oral dengan dosis 10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan

bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu

hamil. Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang

pertama.9

Pada kasus ini, kami memberikan artesunate injeksi intravena 2,4 mg/KgBB pada

jam 0,12,24 jam, dilanjutkan dengan pemberian DHP 3 tablet/24 jam oral selama 3 hari,

primaquin 15 mg/24 jam oral (selama 14 hari). Terapi ini sesuai dengan penatalaksanaan

malaria berat. Pemantauan pengobatan dengan hitung parasit minimal tiap 24 jam, target

hitung parasit pada H1 50% H0 dan H3 < 25% H0.21 Pemeriksaan diulang sampai tidak

ditemukannya parasit malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut.23

Pada hari ke-7 perawatan pasien kami kontrol pemeriksaan Darah Rutin dengan

hasil Hb 9,0 g/dl, hematokrit 26,6%, leukosit 7810/ul, trombosit 273.000 dan DDR

Mikroskopi Malaria dengan hasil yang negatif. Pasien telah dilakukan transfusi darah

22

dengan PRC sebanyak total 4 kantong. Pada hari ke-9 perawatan, kondisi pasien stabil

dan diperbolehkan rawat jalan. Pengobatan Primakuan oral dilanjutkan selama 14 hari,

inbumin cap/12 jam oral, dan tablet Sulfas Ferrosus (SF) 2x1.

Adapun upaya pemerintah dalam program pengendalian malaria yaitu Diagnosa

Malaria harus terkonfirmasi mikroskop atau Rapid Diagnostic Test (RDT) : Pengobatan

menggunakan Artemisinin Combination Therapy; Pencegahan penularan malaria

melalui: distribusi kelambu (Long Lasting Insecticidal Net), Penyemprotan rumah,

repellent, dan lain-lain. Cara mencegah malaria yaitu dengan menghindari gigitan

nyamuk malaria diantaranya dengan tidur di dalam kelambu, mengolesi badan dengan

obat anti gigitan nyamuk (Repelent); membersihkan tempat-tempat hinggap/istirahat

nyamuk dan memberantas sarang nyamuk; membunuh nyamuk dewasa dengan

menyemprot rumah-rumah dengan racun serangga; membunuh jentik-jentik nyamuk

dengan menebarkan ikan pemakan jentik; membunuh jentik nyamuk dengan menyempot

obat anti larva (jentik) pada genangan air dan melestarikan hutan bakau di rawa-rawa

sepanjang pantai.22

4.RINGKASAN

Telah dilaporkan satu kasus malaria berat campuran, seorang wanita 26 tahun

yang didiagnosis melalui pemeriksaan darah tepi dengan hasil P.falciparum dan P.vivax

positif, dengan komplikasi malaria berat yaitu anemia, dalam perawatannya mengalami

perbaikan klinis dengan mendapat terapi suportif dan simptomatik serta pemberian

artesunate injeksi intravena dengan dosis 2.4 mg/KgBB sebanyak 3 kali (jam 0,12,24)

dilanjutkan dengan dosis yang sama setiap 24 jam selama 3 hari dilanjutkan dengan DHP

3 tablet/hari selama 3 hari dan Primakuin 15 mg selama 14 hari.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN. Malaria. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati

S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. Ed. ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Interna Publishing: 2014 : 595-612.

2. Zulkarnain I, Setiawan B, Harijanto PN. Malaria Berat. In: Sudoyo AW, Setiyohadi

B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014 : 613-623.

3. MENKES RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2013

Tentang Pedoman Tata Laksana Malaria. 2013 : 27-29.

4. World Health Organization. Severe malaria. Trop Med Int Health 2014; 19 (Suppl

1):7–131.

5. Kawai S, Ikeda E, Sugiyama M et al. Enhancement of splenic glucose metabolism

during acute malarial infection : Correlation of DFG-PET imaging with

pathological changes in a primate model of sever human malaria.

Am.J.Trop.Med.Hyg 2006:74(3):353-60.

6. Triana Dessy, Rosana E, Anggraini. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Pencegahan

Malaria di Kota Bengkulu. Unnes Journal of Public Health 6 (2). Universitas Negeri

Semarang: 2017.

7. Syahputra A, Siregar ML, Jamil KF. A Succesful therapy for severe malaria

accompanied by malaria-related acute kidney injury (MAKI) complications: a ase

report. IOP Conf. Ser: Earth Environ. Sci. 2018; 125: 1-6.

8. Suwandi JF, Giovani MP, Martua RD. Komplikasi Malaria Berat pada infeksi

Plasmodium vivax. J Agromed Unila. 2017; 4(1):86-91.

24

9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Wilayah Indonesia Dominan Bebas

Malaria : 2018 :1-2.

10. Roswati E. Laporan Kasus: Malaria Berat. CDK-195. 2012; 7(39): 518-521.

11. Depkes RI. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Ditjen

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI; 2017 : 18.

12. Sarkar S.Bhatacharya P.Cerebral Malaria Caused by Plasmodium Vivax In Adult

Subjects.Indian Journal of Critical Care Medicine.2008;12:204.

13. Kakkilaya BS. Pathology of Malaria, in Malaria Site all about Malaria.2007 : 5.

14. Albaker W. Acute Plasmodium Vivax Malaria Presenting With Pancytopenia

Secondary To Hemophagocytic Syndrome: Case Report And Literature

Review.Medknow Pub. 2009:4.

15. Kochar DK, Saxena V. Plasmodium Vivax Malaria. Emerging Infections Diseases

2005;11:132-134.

16. Kementrian Kesehatan RI. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.

Jakarta: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI;

2018.

17. Mahon C, Lehman D, Manuselis G. Texbook of Diagnostic Microbiology.4th ed.

Maryland Heights : Saunders/Elsevier; 2011 : 245.

18. Katherine P, Gareth D, Dondorp A .Pathophysiology, clinical presentation, and

treatment of coma and acute kidney injury complicating falciparum malaria. Current

Opinion in Infectious Diseases: February 2018 - Volume 31 - Issue 1 - p 69–77.

19. HaiboWeng, Guo X, Papoin J, Wang J, Coppel R, Mohandas N, et al. Interaction of

Plasmodium falciparum Knob Associated Histidine-Rich Protein (KAHRP) With

25

Erythrocyte Ankyrin R is Required For Its Attachment To the Erythrocyte Membrane.

Journal Biochimica et Biophysica.2013:1-9.

20. Arsin A.A. Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Masagena Press.

Makassar: 2012 : 6.

21. Laihad J.F. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Vol.1 Triwulan I. 2011. Jakarta : 2.

22. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bersama Kita Berantas Malaria : 2010 :

1-3.

23. Alwi I. Malaria. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis

Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Interna

Publishing; 2015: 959-969.

26

Anda mungkin juga menyukai