Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Audit merupakan suatu penilaian yang berkesinambungan meliputi pengamatan dan


evaluasi dari suatu situasi. Suatu audit informasi haruslah dikumpulkan secara sistematis
dan kemudian dipresentasikan secara utuh agar dapat dimengerti. Audit medik dapat
membantu kita untuk menemukan masalah dan kemudian membuat rencana untuk
menemukan solusinya. [5]
Secara umum, pengertian audit medik seperti yang diinformasikan oleh The British
Government adalah analisis yang sistematis dan kritis tentang kualitas pelayanan medik,
termasuk di dalamnya: [4]
 Kualitas hidup dan luaran (outcome) untuk pasien
 Prosedur yang dipakai untuk mendiagnosis dan mengobati
 Penggunaan sumber-sumber; dengan tujuan pelayanan yang diberikan kepada
pasien
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa audit maternal perinatal
adalah kegiatan penelusuran sebab kematian atau kesakitan ibu, perinatal dan neonatal guna
mencegah kesakitan dan atau kematian serupa di masa yang akan datang. [6]
Menurut Kementerian Kesehatan RI Audit Maternal Perinatal (AMP) adalah proses
penelaahan bersama kasus kesakitan dan kematian ibu dan perinatal serta
penatalaksanaannya, dengan menggunakan berbagai informasi dan pengalaman dari
kelompok terkait, untuk mendapatkan masukan mengenai intervensi yang paling tepat
dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA di suatu RS atau wilayah.
AMP merupakan suatu kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan kematian ibu dan
perinatal dengan maksud mencegah kesakitan dan kematian dimasa yang akan datang.
Penelusuran ini memungkinkan tenaga kesehatan menentukan hubungan antara faktor
penyebab yang dapat dicegah dan kesakitan/kematian yang terjadi. Kegiatan ini membantu
tenaga kesehatan untuk menentukan pengaruh keadaan dan kejadian yang mendahului
kesakitan/kematian. [7]

4
2.2Tujuan AMP
AMP bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan KIA melalui upaya
penerapan tata kelola klinik yang baik (clinical governance). Kegiatan ini diharapkan dapat
menggali permasalahan yang terkait dengan kejadian kesakitan (morbiditas) maupun
kematian (mortalitas) yang disebabkan masalah pasien/keluarga, petugas kesehatan,
manajemen pelayanan, maupun kebijakan pelayanan.
Tujuan dilakukannya AMP adalah sebagai berikut :
1. Menentukan sebab dan faktor terkait dlm kesakitan dan kematian ibu dan perinatal (3
terlambat & 4 terlalu).
2. Memastikan dimana dan mengapa berbagai sistem  & program gagal dalam mencegah
kematian.
3. Menerapkan pembahasan analitik mengenai kasus kebidanan dan perinatal secara teratur
dan berkesinambungan, yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota,
puskesmas, rumah sakit pemerintah/swasta, rumah bersalin dan bidan praktek.
4. Menentukan intervensi dan pembinaan untuk masing-masing pihak yang diperlukan
dalam hal mengatasi masalah yang ditemukan dalam pembahasan kasus.
5. Mengembangkan mekanisme koordinasi antara dinas kesehatan kabupaten/kota, rumah
sakit pemerintah/swasta, rumah bersalin, dan bidan praktek dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap intervensi yang disepakati.

2.3Pelaksanaan AMP di Indonesia


Audit Maternal Perinatal merupakan salah satu program upaya Kementerian
Kesehatan untuk mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB). Kegiatan AMP meliputi audit terhadap kematian ibu pada saat kehamilan,
proses persalinan, nifas, serta kematian perinatal dan neonatal pada janin/bayi. Kegiatan
AMP lebih cenderung ke arah pemecahan masalah dengan upaya peningkatan kualitas
pelayanan. Ruang lingkup AMP dibatasi, yaitu pada tingkat kabupaten atau kota, karena
wilayah tersebut dinilai efektif dalam memberikan pelayanan obstetrik, perinatal, serta KIA
secara langsung kepada masyarakat. Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang berperan
sebagai koordinator dan penanggungjawab kegiatan AMP, yang dilaksanakan minimal
empat kali dalam jangka waktu satu tahun yang bertujuan untuk menjaga mutu pelayanan
KIA.

5
Pelaksanaan AMP dilakukan dengan melibatkan dokter spesialis obsgyn, dokter
spesialis anak, bidan, perawat, yang tergabung dalam suatu tim yang membahas serta
mengkaji kasus kematian/kesakitan ibu dan bayi. Dalam mekanismenya, pelaksanaan Audit
Maternal Perinatal di Indonesia masih dinilai kurang optimal dalam upaya percepatan
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Kegiatan audit AMP ditingkat kabupaten/kota dilakukan melalui tahapan, yang
meliputi: Tim Audit Maternal Perinatal dibentuk, lalu dilakukan penyebarluasan informasi
dan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan Audit Maternal Perinatal. Setelah itu dilakukan
penyusunan rencana kegiatan Audit Maternal Perinatal, dan ditentukan pengelola program
KIA pada saat rencana pelaksanaannya, selanjutnya dilakukan kegiatan Audit Maternal
Perinatal, dan setelah pelaksanaan maka disusun rencana tindak lanjut kasus yang ada yang
dilakukan oleh pihak dinas kabupaten/kota dengan kerjasama dengan Rumah Sakit. Tahap
terakhir yaitu pemantauan kegiatan dan evaluasi program yang telah dijalankan.
Metoda pelaksanaan AMP yaitu: Pertemuan rutin oleh dinas kesehatan kabupaten/kota
dengan RS kabupaten/kota berlangsung sekitar 2 jam. Dalam tiap pertemuan dibuat daftar
hadir, notulen hasil pertemuan dan rencana tindak lanjut, yang akan disampaikan dan
dibahas dalam pertemuan tim AMP yang akan datang. Pertemuan membahas kasus, dikaji
datanya yang berasal dari Rumah Sakit tingkat kabupaten/kota maupun dari Puskesmas,
karena Rumah Sakit tingkat kabupaten/kota/puskesmas bertugas membuat laporan bulanan
kasus ibu dan perinatal ke dinas kesehatan kabupaten/kota ,dengan memakai format yang
disepakati. Kasus berupa kasus meninggalnya ibu/perinatal, kemudian diaudit. Audit lebih
bersifat mengkaji riwayat penanganan kasus sejak timbul gejala pertama, penanganan oleh
keluarga atau tenaga kesehatan, proses rujukan, pemberian pertolongan, sampai saat
meninggal atau dapat dipertahankan hidup. Dari hasil audit tersebut diperoleh indikasi
dimana letak kesalahan/kelemahan dalam penanganan kasus. Hal ini memberi gambaran
kepada pengelola program KIA dalam menentukan apa yang perlu dilakukan untuk
mencegah kesakitan/kematian ibu/perinatal yang tidak perlu terjadi.
Dalam pelaksanaan audit maternal perinatal ini diperlukan mekanisme pencatatan
yang akurat,baik di tingkat puskesmas, maupun di tingkat Rumah Sakit kabupaten/kota.
Pencatatan yang diperlukan yaitu laporan triwulan, isinya berupa informasi mengenai kasus
ibu dan perinatal yang ditangani oleh Rumah Sakit tingkat kabupaten/kota, Puskesmas dan
unit pelayanan KIA lainnya, serta tingkat kematian dari tiap jenis komplikasi atau gangguan.

6
Dalam Pedoman AMP yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI tahun 2010
disebutkan bahwa selama kurun waktu lima tahun terakhir status kesehatan ibu dan bayi
telah mengalami perbaikan. Terjadi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 per
100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2002/2003 menjadi 228 per 100.000 Kelahiran
Hidup pada tahun 2007. Angka Kematian Bayi (AKB) juga mengalami penurunan dari 35
per 1.000 Kelahiran Hidup pada tahun 2002/2003 menjadi 34 per 1.000 Kelahiran Hidup
pada tahun 2007. Cakupan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi kesehatan juga membaik,
pelayanan antenatal, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, keluarga berencana
dan kunjungan bayi mengalami peningkatan. Meskipun demikian, masih terdapat adanya
disparitas antar propinsi, tingkat ekonomi dan pendidikan serta antara kota dan desa. Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih jauh dari target
MDGs tahun 2015 yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) 110 per 100.000 Kelahiran Hidup dan
Angka Kematian Bayi 23 per 1.000 Kelahiran Hidup.

2.4 Kebijakan AMP


UU Nomor 36 tentang Kesehatan tahun 2009 dan UU nomor 44 tentang
Rumah Sakit pasal 39 tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan sehubungan dengan
AMP adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan mutu pelayanan KIA dilakukan secara terus menerus
melalui program jaga mutu di puskesmas, di samping upaya perluasan
jangkauan pelayanan. Upaya peningkatan dan pengendalian mutu
antara lain dilakukan melalui kegiatan AMP.

2. Peningkatan fungsi kabupaten/kota sebagai unit efektif yang mampu


memanfaatkan semua potensi dan peluang yang ada untuk
meningkatkan pelayanan KIA di seluruh wilayahnya.
3. Peningkatan kesinambungan pelayanan KIA di tingkat pelayanan dasar
(puskesmas dan jajarannya) dan di tingkat rujukan (RS
kabupaten/kota).
4. Peningkatan kemampuan kabupaten/kota dalam perencanaan program
KIA dengan memanfaatkan hasil kegiatan AMP mampu mengatasi
masalah kesehatan setempat.
7
5. Peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis dari para
pengelola dan pelaksana program KIA melalui kegiatan analisis
manajemen dan pelatihan klinis (Kemenkes RI, 2010).

2.5 Strategi AMP


Strategi yang diambil dalam menerapkan AMP adalah sebagai berikut:
1. Semua kabupaten/kota sebagai unit efektif dalam peningkatan program
KIA secara bertahap menerapkan kendali mutu, yang antara lain
dilakukan melalui AMP di wilayahnya atau di kabupaten/kota lain
(lintas batas). Dinas kesehatan provinsi diharapkan dapat memfasilitasi
kegiatan AMP di kabupaten/kota bila terjadi kematian lintas batas.
2. Dinas kesehatan kabupaten/kota berfungsi sebagai penanggung jawab
yang bekerja sama dengan RS kabupaten/kota dan melibatkan
puskesmas dan jejaringnya serta unit pelayanan KIA swasta lainnya
dalam upaya kendali mutu di wilayah kabupaten/kota.
3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk tim AMP, yang selalu mengadakan
pertemuan rutin untuk mengumpulkan dan menyeleksi kasus,
menganonimkan kasus yang akan dikaji, membahas kasus, dan
membuat rekomendasi tindak lanjut berdasarkan temuan dari kegiatan
audit.
4. Perencanaan program KIA salah satunya dibuat dengan memanfaatkan
hasil temuan dari kegiatan audit sehingga diharapkan berorientasi
kepada pemecahan masalah setempat.

8
2.6 Langkah Kegiatan AMP
2.6.1 Lingkup Kegiatan AMP
Kegiatan penelusuran sebab- sebab kesakitan/ kematian maternal dan perinatal
dengan maksud untuk mencegah terjadinya kesakitan/ kematian yang serupa di
masa mendatang

Petugas kesehatan melakukan identifikasi faktor yang dapat dicegah pada


kematian/kesakitan maternal dan perinatal/neonatal :
Masalah yang berhubungan dengan pasien, seperti situasi pribadi, keluarga,
lingkungan (komunitas), termasuk masalah sosial ekonomi, dan perilaku
keluarga.
Masalah manajemen pelayanan, seperti transport, hambatan pembiayaan untuk
mendapat layanan kesehatan, kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan untuk
menangani keadaan emergensi, kurangnya petugas, ketersediaan obat, alat,dan
sarana kesehatan
Masalah pemberian layanan kesehatan, seperti penegakan diagnosis,
penatalaksanaan, pemantauan, rujukan, pemantauan lanjutan, serta komunikasi
antara pasien dan petugas maupun antar petugas yang memberi layanan
kesehatan.

Diperlukan :
Pencatatan dan pelaporan kematian dan kesakitan maternal dan perinatal/
neonatal yang menyeluruh
Pengisian rekam medis yang lengkap, benar dan tepat di institusi pelayanan
kesehatan (termasuk bidan di desa)
Pelacakan sebab kematian oleh petugas puskesmas dengan cara otopsi verbal
Identifikasi faktor-faktor non-medis termasuk informasi rujukan dan masalah
sosial ekonomi keluarga

Gambar 2.11 Lingkup Kegiatan AMP (Kemenkes RI, 2010).

9
2.7 Manajemen AMP
Pelaksanaan AMP di kabupaten/kota memerlukan manajemen yang dikelola
secara berjenjang dalam lingkup kabupaten/kota tersebut. Untuk itu, diperlukan
adanya suatu tim yang bekerja secara legal dengan dibekali Surat Penugasan atau
surat keputusan (SK) dari bupati/walikota sebagai pelindung kegiatan AMP. Tim
AMP kabupaten/kota dibentuk melalui surat penetapan dari bupati atau walikota.
Tim AMP kabupaten/kota terdiri dari tim manajemen, tim pengkaji, dan
komunitas pelayanan. para anggota tim manajemen dan tim pengkaji memerlukan
surat penugasan/surat keputusan sebelum mulai bertugas.
a. Pelindung
Pelindung kegiatan AMP adalah bupati/walikota setempat. Tugas pelindung
adalah menyediakan payung hukum dan kebijakan bagi para pihak yang
terkait dalam kegiatan baik sebagai tim manajemen, tim pengkaji, maupun
komunitas pelayanan.
b. Tim Manajemen AMP
Tim Manajemen AMP adalah para pihak yang bertugas mengelola kegiatan
AMP di suatu wilayah Kabupaten/Kota.
1. Penanggung Jawab
Penanggung jawab adalah kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Tugasnya adalah memastikan terlaksananya AMP di wilayahnya,
memfasilitasi Koordinator Tim Manajemen dalam penyelenggaraan dan
pengalokasian dana pelaksanaan AMP, serta mengupayakan tindak
lanjut rekomendasi. Disamping itu penanggung jawab juga menetapkan
indikator dan standar outcome kegiatan AMP yang diberlakukan di
wilayahnya.
2. Koordinator Tim Manajemen
Koordinator Tim Manajemen adalah petugas penanggung jawab
program KIA atau program pelayanan kesehatan yang ditunjuk di dinas
kesehatan kabupaten/kota. Tugasnya adalah mempersiapkan dan
menyelenggarakan pertemuan kajian kasus secara rutin (minimal 3
bulan sekali, sesuai dengan kemampuan masing-masing
kabupaten/kota), mengelola data hasil kajian kasus, dan mengatur

10
pemanfaatan hasil-hasil kajian kasus untuk keperluan pembelajaran,
pelaporan, dan perencanaan. Untuk melaksanakan tugas-tugasnya,
koordinator tim manajemen dibantu oleh sekretariat.

3. Sekretariat
Sekretariat terdiri dari beberapa orang staf KIA dinas kesehatan
kabupaten/kota yang penunjukannya diusulkan oleh koordinator tim
manajemen. Sekretariat bertugas membantu Koordinator Tim
Manajemen dalam bidang administrasi, termasuk menjadi notulis dalam
pertemuan kajian kasus maupun sesi pembelajaran dan memfasilitasi
pelaksanaan pertemuan AMP.
c. Tim Pengkaji
Tim pengkaji adalah para klinisi atau para pakar yang bidang keahliannya
terkait dengan pelayanan maternal perinatal/neonatal. Dalam melakukan
tugasnya, tim pengkaji diharapkan dapat menerapkan prinsip
profesionalisme dan mengedepankan etika. Organisasi profesi (POGI, IDAI,
IDI, IBI, PPNI) ikut berperan serta aktif dalam proses pelaksanaan AMP
untuk memperbaiki kualitas pelayanan melalui peningkatan
profesionalisme, patient safety, dan clinical governance dalam bidang
kesehatan ibu dan bayi.
1. Pengkaji Internal
Pengkaji internal adalah para pakar di kabupaten/kota setempat yang
terkait dengan proses pemberian pelayanan ibu dan anak serta aspek-
aspek yang terkait dengan morbiditas dan mortalitasnya; seperti dokter
spesialis kebidanan, dokter spesialis anak, bidan senior, dan pengelola
progam KIA. Apabila diperlukan, dapat melibatkan dokter spesialis lain
seperti anestesi, penyakit dalam, dll. Pengkaji internal bertugas
melakukan pengkajian kasus, merumuskan rekomendasi, dan
mengembangkan pedoman praktik bagi komunitas pelayanan di
wilayahnya.
2. Pengkaji Eksternal
Pengkaji eksternal adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi dan
spesialis anak atau para pakar yang berasal dari luar kabupaten/kota
yang biasanya berasal dari pusat-pusat pendidikan kedokteran atau dari
11
kabupaten/kota tetangga yang mempunyai kemampuan untuk menjadi
pengkaji. Tugas utama pengkaji eksternal adalah memberikan masukan
kepada pengkaji internal tentang suatu kasus yang dikaji, dan
menyediakan informasi tentang bukti-bukti ilmiah (evidence-based
practice). Bukti-bukti ilmiah yang diajukan oleh pengkaji eksternal
dapat dipakai oleh pengkaji internal dalam merumuskan rekomendasi
dan mengembangkan pedoman praktik lokal.
d. Komunitas Pelayanan
Komunitas pelayanan adalah para pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam pemberian pelayanan maternal perinatal/neonatal.
Komunitas pelayanan adalah pihak yang bertugas memberikan input kepada
tim manajemen dan tim pengkaji, serta berhak menerima umpan balik bagi
keperluan pembelajaran, pelaporan, dan perencanaan. Ada empat kelompok
yang membentuk komunitas pelayanan, yaitu :
1. Kelompok Masyarakat
Termasuk dalam kelompok ini adalah para pasien dan keluarganya serta
kelompok atau organisasi kemasyarakatan. Sebagai pihak yang
mengalami pelayanan dalam bidang maternal perinatal/neonatal,
kelompok masyarakat perlu diberdayakan melalui pemberian informasi
dan pelatihan yang diperlukan sehingga animo dan kualitas
partisipasinya semakin meningkat. Input yang dapat diberikan oleh
kelompok masyarakat adalah penyampaian informasi perihal kematian
maternal perinatal/neonatal yang terjadi di masyarakat, selanjutnya akan
ditindaklanjuti pengumpulan data oleh petugas kesehatan.
2. Kelompok Petugas Kesehatan
Pihak yang secara langsung memberikan pelayanan maternal
perinatal/neonatal yang terdiri dari bidan, perawat, dan dokter.
Kelompok ini dapat memberikan input berupa informasi atas kematian
yang ditelusuri dari masyarakat atau diperoleh dari fasilitas pelayanan
kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dsb). Informasi dari kelompok ini
selanjutnya akan dijadikan bahan kajian kasus oleh tim pengkaji.

12
3. Kelompok Pimpinan Fasilitas Pelayanan
Terdiri dari para kepala puskesmas, direktur rumah sakit, dan para
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Tugas kelompok ini

adalah memfasilitasi kegiatan pengumpulan dan pelaporan data


kematian, serta memfasilitasi implementasi rekomendasi yang terkait
dengan fasilitas yang dipimpinnya.
4. Kelompok Pembuat Kebijakan
Pihak yang berwenang dalam pembuatan dan penetapan kebijakan-
kebijakan terkait pelayanan maternal perinatal/neonatal di
kabupaten/kota. Pimpinan dinas kesehatan, anggota DPRD bidang
kesehatan, pihak pengelola asuransi kesehatan adalah beberapa contoh
komponen kelompok ini. Tugas kelompok pembuat kebijakan bertugas
memfasilitasi penyelenggaraan AMP dan mengimplementasikan
rekomendasi pada tingkat kebijakan (Kemenkes RI, 2010).

13
2.8 Mekanisme Kerja AMP
Kematian

Fasilitas Masyarakat

Data kematian di fasilitas Otopsi verbal


Faktor medisdan non medis Faktor non medis

Registrasi & Anonimasi oleh Sekretariat AMP Kabupaten/Kota

Pengkajian kasus

Hasil kajian& Rekomendasi


Pengolahan Data Hasil Kajian & Rekomendasi
oleh Penanggung Jawab dan Koordinator AMP
Umpan balik

Pembelajara Pemanfaatan Hasil kajian & Rekomendasi


Perencanaa
n oleh Komunitas pelayanan
n

Pelapora
n
Gambar 2.12 Mekanisme Kerja AMP (Kemenkes RI, 2010).

14
2.8.1 Kasus kematian/kesakitan perinatal/neonatal dilaporkan oleh pasien/masyarakat,
petugas pemberi pelayanan, dan institusi pemberi layanan ke Puskesmas setempat
2.8.2 Untuk kematian yang terjadi di masyarakat, bidan koordinator, atau bidan
puskesmas yang ditunjuk akan melakukan otopsi verbal dengan menggunakan
formulir yang tersedia
2.8.3 Untuk kematian yang terjadi di puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya (RB,
BPS, bidan desa), bidan koordinator, atau bidan puskesmas yang ditunjuk akan
melengkapi formulir kematian di fasilitas dan otopsi verbalnya
2.8.4 Kasus kematian di RS baik pemerintah maupun swasta dilaporkan ke dinas
kesehatan dalam waktu 3 hari
2.8.5 Bila kasus meninggal di institusi pelayanan kesehatan, dilakukan pengisian
formulir tersendiri yang harus dilengkapi oleh dokter penanggung jawab di
institusi pelayanan kesehatan dimana kasus meninggal
2.8.6 Formulir yang sudah dilengkapi dikirimkan ke Sekretariat
2.8.7 Sekretariat mendata, meneliti kelengkapan data, dan melaporkannya ke
koordinator. Data yang belum lengkap harus dikembalikan ke puskesmas
pengirim untuk dilengkapi. Data yang terkumpul dan sudah lengkap dibuat
anonim. Sekretariat kemudian berkoordinasi dengan koordinator untuk
mengagendakan pertemuan pengkaji dan menyiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pertemuan tersebut (Kemenkes RI, 2010).

2.9 Gambaran Pelaksanaan AMP


Pelaksanaan AMP terdiri dari tujuh langkah berurutan yang melibatkan
seluruh komponen tim AMP, yaitu tim manajemen, tim pengkaji, dan komunitas
pelayanan.
Langkah 1: Identifikasi Kasus Kematian dan Pelaporan Data Kematian
Informasi tentang kejadian kematian dapat diperoleh secara formal melalui
laporan petugas kesehatan atau secara informal melalui pemberitahuan anggota
masyarakat atau pihak lain di luar petugas kesehatan. Pemberitahuan secara

15
informal dari masyarakat kepada petugas kesehatan tentang adanya lahir mati,
kematian neonatal, atau kematian wanita usia subur perlu dilembagakan melalui
program kemitraan yang bersifat lokal. Seluruh kematian perinatal/ neonatal harus
dilaporkan kepada tim manajemen.
a. Kematian Perinatal/neonatal
Kematian perinatal/neonatal didapatkan dari pemberitahuan kematian yang
dapat berasal dari masyarakat atau fasilitas pelayanan kesehatan yang
mencakup lahir mati dan kematian bayi usia 0 sampai 28 hari.
b. Permintaan Data Kematian
Setelah mendapat laporan adanya kejadian kematian, penanggungjawab tim
meminta data kematian kepada bidan koordinator (untuk kejadian kematian
di masyarakat) atau kepada pimpinan fasilitas pelayanan (termasuk
puskesmas dan RS).
c. Pengiriman Berkas Data Kematian
Formulir yang telah diisi dengan lengkap sebelum dikirim harus diketahui
oleh kepala puskesmas (untuk kejadian kematian di masyarakat) atau
pimpinan fasiltas pelayanan (bila kejadian kematian di fasilitas pelayanan
kesehatan) sebagai penanggungjawab pengiriman berkas. Berkas dikirim
kepada penanggungjawab tim melalui koordinator tim manajemen dalam
amplop tertutup dengan label “RAHASIA” pada sisi kanan atas amplop.

Langkah 2: Registrasi dan Anonimasi


Sekretariat pada waktu menerima berkas yang dikirimkan membuat bukti
penerimaan berkas. Bukti penerimaan berkas itu juga berisi pernyataan komitmen
dari tim manajemen untuk menjaga kerahasiaannya. Selanjutnya sekretariat
langsung menyampaikan berkas kepada koordinator tim manajemen. Koordinator
tim manajemen selanjutnya akan membuka amplop dan memeriksa kelengkapan
pengisiannya bagi keperluan pengkajian. Berkas yang belum lengkap tetap
disimpan di sekretariat manajemen, dan koordinator tim manajemen meminta
kepada bidan koordinator atau pimpinan fasilitas pelayanan untuk menyusulkan
tambahan informasi yang diperlukan. Berkas yang sudah dinilai lengkap, identitas
kasusnya didokumentasikan terlebih dahulu dalam buku register kematian

16
maternal/perinatal/neonatal dan dijaga kerahasiaannya oleh tim manajemen.
Informasi dalam buku register tersebut akan dipakai untuk keperluan
pembelajaran, pelaporan, dan perencanaan.
Registrasi diikuti kegiatan anonimasi, yaitu proses memberikan nomor kode
kasus dan menghilangkan seluruh identitas pasien, pemberi layanan kesehatan,
serta institusi kesehatan yang terkait. Tim manajemen tidak boleh mengubah isian
formulir yang diterimanya. Sebelum dilakukan anonimasi, berkas data tidak boleh
digandakan atau disimpan dalam format elektronik. Koordinator tim manajemen
tidak berhak memindahtangankan atau membeberkan isi berkas data ke pihak lain
selain untuk keperluan AMP. Pengelolaan berkas dan penjagaan konfidensialitas
data menjadi tanggung jawab tim manajemen.

Langkah 3: Pemilihan Kasus dan Pengkajinya, serta Penjadwalan Pengkajian


Apabila memungkinkan dilakukan kajian atas seluruh kasus kematian
maternal maupun perinatal/neonatal. Akan tetapi, bila terdapat keterbatasan waktu
dan sumber daya, maka dapat dilakukan sampling yang representatif terhadap
seluruh kematian yang terjadi. Setelah kasus-kasus kematian yang akan dikaji
ditetapkan, langkah selanjutnya adalah memilih pengkaji (internal dan eksternal)
dari daftar yang dimiliki.
Untuk kematian perinatal/neonatal, tim pengkaji minimal yang diperlukan
adalah 1 dokter spesialis kebidanan, 1 dokter spesialis anak, 1 bidan
senior/kompeten, 1 staf unit KIA kabupaten/kota. Disarankan untuk melibatkan
pengkaji eksternal (dokter spesialis atau pakar yang berasal dari luar kabupaten/
kota) pada setiap pertemuan pengkaji. Bila jumlah pengkaji dalam satu
Kabupaten/Kota cukup banyak, maka dapat dibuat beberapa tim yang bekerja
secara bergiliran. Sekretariat selanjutnya menyusun jadwal pelaksanaan
pertemuan pengkaji.

Langkah 4: Penggandaan dan Pengiriman Bahan Kajian


Bahan kajian yang telah dinyatakan lengkap, diregistrasi, dianonimkan, dan
terpilih untuk dikaji kemudian digandakan untuk arsip dan dikirim kepada
pengkaji internal serta eksternal sehingga dapat diterima beberapa hari sebelum

17
pelaksanaan kajian. Setelah dikirim, koordinator tim manajemen memastikan
apakah dokumen yang dikirim sudah diterima dan menanyakan seandainya ada
informasi lain yang diperlukan oleh para pengkaji. Proses ini akan memberi
kesempatan yang cukup bagi para pengkaji yang akan diundang untuk
mempelajari kasusnya atau memberikan masukan kepada koordinator tim
manajemen bila masih ada informasi lain yang diperlukan. Tim manajemen
menindaklanjuti permintaan tambahan informasi dengan melakukan pengumpulan
data yang lebih mendalam terhadap kasus tersebut.

Langkah 5: Pertemuan Pengkajian Kasus


Pada saat dilakukan pertemuan pengkajian kasus kematian, petugas
kesehatan atau perwakilan faslitas pelayanan yang terlibat dalam pemberian
pelayanan kasus tidak diikutsertakan dalam pertemuan tersebut. Presentasi kasus
oleh para petugas yang terlibat tidak diperkenankan lagi dilakukan. Sebagai
gantinya, data mengenai kasus meninggal diwakili oleh formulir yang telah diisi
selengkap mungkin. Dengan demikian kehadiran petugas yang terlibat tidak
diperlukan lagi. Sekretariat memfasilitasi pertemuan dan berperan sebagai notulis
dalam pertemuan tersebut. Ada tiga hal yang dilakukan oleh tim pengkaji ketika
melakukan pertemuan pengkajian kasus, yaitu analisis kematian, klasifikasi
penyebab kematian, penyusunan rekomendasi. Proses pengkajian kasus dan
pembuatan rekomendasi harus dilakukan dengan azas profesionalisme
(professional judgement) dan mengedepankan etika.

Langkah 6: Pendataan dan Pengolahan Hasil Kajian


Pertemuan pengkajian kasus diakhiri dengan pendataan hasil kajian. Agar
dapat diolah (ditabulasi, dihitung, dan dibandingkan), maka harus ada kesepakatan
tentang data apa saja yang dihasilkan dan dicatat dari pertemuan. Data yang
dikumpulkan dikelompokkan menjadi dua, yaitu data identitas, dan data kejadian
kematian. Data identitas berisi informasi tentang identitas pasien, petugas-petugas
kesehatan terkait, dan sarana-sarana pelayanan yang terlibat. Data ini bersifat
rahasia dan dikelola hanya sampai tingkat Kabupaten/Kota untuk keperluan
perencanaan sesi pembelajaran individual.

18
Data kejadian kematian berisi informasi tentang penyebab kematian,
peringkat pemenuhan standar pelayanan, area klinis dan area rujukan yang
memerlukan perbaikan, akar penyebab timbulnya masalah di area klinis dan area
rujukan, dan rekomendasi-rekomendasi spesifik. Data kejadian kematian dikirim
ke tingkat Provinsi hingga Nasional untuk bahan penyusunan kebijakan dan
penyusunan program.

Langkah 7: Pemanfaatan Hasil Kajian


Hasil kajian dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran/pembinaan, pelaporan,
dan perencanaan. Pembelajaran/pembinaan ditujukan kepada seluruh komponen
komunitas pelayanan. Berdasarkan sasarannya, pembelajaran dapat berupa
pembelajaran individual, pembelajaran kelompok terfokus, dan pembelajaran
massal. Hasil kajian juga akan menjadi bahan laporan oleh tim manajemen. Untuk
keperluan perencanaan, hasil kajian dan rekomendasi akan didistribusikan oleh
sekretariat kepada seluruh komponen komunitas pelayanan sesuai kebutuhannya.
Waktu pengirimannya disesuaikan dengan waktu dilakukannya penyusunan
rencana kerja tahunan pihak-pihak bersangkutan (Kemenkes RI, 2010).

2.10 Pemantauan Dan Evaluasi


Pemantauan akan dilakukan secara berjenjang, dengan tujuan menilai
apakah AMP ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan
maternal dan perinatal/neonatal. Sedangkan evaluasi akan dilakukan dengan
menilai beberapa indikator kesehatan perinatal/neonatal (Kemenkes RI, 2010).

2.11 Pencatatan Dan Pelaporan


Untuk menjamin semua kasus kesakitan dan kematian terlaporkan,
diharapkan semua bidan di desa mengisi PWS KIA, formulir LB3 dan register
kohort bayi secara berkesinambungan yang nantinya akan direkapitulasi di tingkat
puskesmas. Selain itu, kematian yang terjadi di RS, baik swasta maupun
pemerintah diharapkan akan dilaporkan ke dinas kesehatan.
Untuk kegiatan pencatatan dan pelaporan telah dikembangkan beberapa
instrumen, yaitu :

19
1. Formulir otopsi verbal kematian maternal  (OVM)
2. Formulir rekam medis kematian maternal  (RMM)
3. Formulir rekam medis kematian maternal perantara  (RMMP)
4. Formulir pengkaji maternal
5. Formulir ringkasan pengkaji maternal
6. Formulir otopsi verbal kematian perinatal/neonatal  (OVP)
7. Formulir rekam medis kematian perinatal/neonatal  (RMP)
8. Formulir rekam medis kematian perinatal/neonatal perantara  (RMPP)
9. Formulir pengkaji perinatal/neonatal
10. Formulir ringkasan pengkaji perinatal/neonatal (Kemenkes RI, 2010).

2.12 Identifikasi kasus kematian


Kasus kematian dapat terjadi di masyarakat atau di sarana kesehatan
(puskesmas, RB, BPS, bidan desa, RS). Oleh karena itu sumber informasinya
dapat berasal dari laporan masyarakat termasuk dukun, laporan puskesmas dan
RS. Kematian di RS baik pemerintah maupun swasta dilaporkan ke Dinas
Kesehatan kabupaten/kota. Seluruh kematian tersebut akan dilaporkan dengan
menggunakan formulir pemberitahuan perinatal/neonatal (Kemenkes RI, 2010).

2.13 Pengisian dan penggunaan instrumen


1. Formulir otopsi verbal maternal perinatal (OVM/OVP)
Formulir diisi setiap kematian maternal perinatal/neonatal yang
terlaporkan di tingkat kabupaten. Pengisian dilakukan oleh bidan
koordinator/bidan yang ditunjuk dari puskesmas kecamatan tempat
domisili kasus yang meninggal. Formulir ini digunakan untuk kepentingan
verbal otopsi bagi kematian maternal perinatal/neonatal yang terjadi di
komunitas. Selain itu, formulir ini juga digunakan untuk mendapatkan
informasi non-medis kematian maternal perinatal/neonatal, baik untuk
kematian maternal perinatal/neonatal di masyarakat maupun di fasilitas
kesehatan.

2. Formulir rekam medik kematian maternal/perinatal (RMM/RMP)


Formulir ini diisi untuk setiap kematian maternal/perinatal yang terjadi di
fasilitas kesehatan. Untuk kematian yang terjadi di bidan di desa, BPS,
20
RB, dan puskesmas formulir akan diisi oleh bidan koordinator/bidan yang
ditunjuk dari puskesmas kecamatan tempat domisili kasus yang
meninggal. Sedangkan untuk kasus yang meninggal di RS, formulir akan
diisi oleh dokter penanggung jawab perawatan dengan diketahui oleh
direktur RS. Untuk kasus yang meninggal di perjalanan dan sampai RS
sebagai DOA, maka formulir RMP tetap diisi oleh petugas RS.
3. Formulir rekam medik kematian maternal/perinatal perantara
(RMMP/RMPP)
Formulir diisi untuk mendapatkan informasi layanan kesehatan pada kasus
kematian yang pernah mendapat perawatan di fasilitas kesehatan lain
sebelum dirawat di fasilitas kesehatan tempat ibu/bayi meninggal.
4. Formulir pengkaji maternal dan perinatal/neonatal
Formulir ini akan diisi oleh tim pengkaji sebagai panduan dalam
melakukan kajian kasus dan untuk menilai apakah kasus kematian ini
dapat dicegah atau tidak.
5. Formulir ringkasan pengkaji maternal dan perinatal/neonatal
Formulir ini merupakan ringkasan kajian kasus yang meliputi seluruh
informasi seputar kematian, baik faktor medis (ada tidaknya layanan sub-
standar) maupun non-medis (faktor sosial ekonomi dan pola pencarian
pertolongan medis) (Kemenkes RI, 2010).

21
2.14 Alur Pencatatan Dan Pelaporan

Gambar 2.13 Alur Pencatatan Dan Pelaporan (Kemenkes RI, 2010)

22
2.15 Kematian Perinatal Lintas Batas
Kasus kematian perinatal lintas batas adalah suatu kasus kematian yang
terjadi pada perinatal/neonatal yang terjadi di suatu daerah dimana domisili
neonatal berasal dari kabupaten/kota berbeda dengan kabupaten/kota tempat
kematiannya. Beberapa hal yang perlu disesuaikan dalam kasus seperti ini adalah :
2.15.1 Pelaporan kematian
Apabila kematian terjadi di RS/fasilitas kesehatan lain dilaporkan
kematian tersebut kepada dinas kesehatan setempat dimana RS/fasilitas
kesehatan tersebut berada melalui sistem pelaporan yang sudah ada dengan
keterangan bahwa kematian adalah kematian yang berasal dari luar
wilayah. Apabila kematian terjadi di masyarakat, puskesmas setempat
melapor ke dinas kesehatan/puskesmas tempat tinggal bayi meninggal.
2.15.2 Pengambilan data
Setelah dinas kesehatan setempat menerima laporan kematian, maka dinas
kesehatan melakukan koordinasi dengan dinkes domisili bayi meninggal.
Dinas kesehatan setempat akan melakukan penelusuran kejadian kematian
dengan meminta institusi kesehatan yang terlibat untuk mengisi form-form
yang sudah ditentukan.
2.15.3 Pelaksanaan review kematian
Dinas kesehatan dimana domisili bayi yang meninggal bertanggung jawab
menyelenggarakan review kasus kematian yang terjadi sesuai dengan
kaidah yang ada. Apabila terjadi kasus sulit maka pihak dinkes provinsi
yang mengambil keputusan siapa yang melaksanakan review kematian
(Kemenkes RI, 2010).

23
Gambar 2.14 Pelaporan Kematian Lintas Batas (Kemenkes RI, 2010).

24
25
26
3

Anda mungkin juga menyukai