Anda di halaman 1dari 7

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH

KAKAO (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen DI KABUPATEN TABANAN

Suharyanto, Rubiyo dan Jemmy Rinaldy


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK

Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan salah satu hama utama tanaman kakao, dimana pada tingkat
serangan berat kehilangan hasil dapat mencapai 80 persen. Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek
pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan
dapat diterima oleh petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan
perkembangan hama PBK dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani. Penelitian dilakukan di Desa Mundeh
Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan yang merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dan juga
merupakan daerah terserang PBK. Data primer didapat dengan wawancara langsung terhadap 30 petani responden
dengan menggunakan kuisioner. Variabel yang digunakan untuk mengetahui perilaku petani dalam pengendalian PBK
anntara lain ; kultur teknis, panen sering, sanitasi, penyarungan buah dan penyemprotan insektisida. Analisis data dengan
menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
serangan PBK berkisar antara 8,13 – 53,14%. Perilaku petani terhadap hama PBK tergolong kategori sedang, dengan
nilai skor 10,64. Panen sering, sanitasi lingkungan, pemangkasan perlu ditingkatkan untuk pengendalian PBK. Namun
demikian upaya yang dilakukan petani seperti sarungisasi, pemangkasan sudah dilakukan walaupun belum optimal.

Kata kunci : pengetahuan, sikap, perilaku, penggerek buah kakao (PBK).

PENDAHULUAN

Kakao merupakan salah satu komoditas utama yang diandalkan subsektor perkebunan di Bali yang
mengalami perkembangan cukup pesat. Pada tahun 2000 luas areal kakao 6.564 ha dengan produksi
4.424.367 ton, tetapi pada tahun 2004 luas areal mencapai 8.769 ha dengan produksi mencapai 6.123.869
ton. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dengan luas areal 3.149 hektar
dengan produksi mencapai 2.273.860 ton dimana hampir keseluruhan merupakan perkebunan rakyat.
Usahatani kakao di Kabupaten Tabanan sampai saat ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 425.214 orang
atau 17.094 KK (Anonim, 2004a). Perbaikan harga beberapa tiga tahun terakhir tidak sepenuhnya bias
dinikmati oleh petani kakao di Indonesia, karena petani menghadapi masalah hama penggerek buah kakao
(PBK), sehingga produktivitas kebun mereka umumnya turun. Hama PBK telah menyerang hampir seluruh
perkebunan kakao di Indonesia termasuk juga Bali. Oleh karena itu perlu upaya pengendalian hama PBK
jika tidak ingin megikuti jejak Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya dapat dikatakan telah
memasuki ambang kepunahan (Herman, 2004).
Tanaman kakao merupakan inang berbagai spesies serangga, salah satu diantaranya adalah hama
penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella terutama pada pola tanam monokultur karena
terjadinya perubahan keseimbangan alami. Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi
kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah
telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun
1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 sepanjang pantai utara Jawa tengah hingga Malang, Kediri dan
Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan di Jawa (Roesmanto, 1991). PBK merupakan hama
kakao yang sangat berbahaya dan sekarang menimbulkan permasalahan internasional terutama upaya
pencegahan meluasnya areal serangan dan teknologi pengelolaannya. Penggerek buah kakao mempunyai
potensi merusak yang cukup besar dan hingga sekarang masih sulit untuk dikendalikan. Kerusakan akibat
serangan PBK dapat menurunkan produksi hingga 80 persen biji kakao kering (Wardoyo, 1980; Atmawilata,
1993). Saat ini, penyebaran hama PBK hampir menyeluruh di provinsi penghasil kakao termasuk Bali
(Anonim, 2004b).
PBK merupakan hama yang paling penting karena sulit dideteksi keberadaannya dan sulit
dikendalikan, karena selama stadium larva berada dalam buah kakao. Mengingat semakin luasnya
penyebaran hama PBK dan besarnya kerugian yang ditimbulkannya, maka perlu segera diupayakan metode
penanggulangan yang efektif dan efisien. Strategi pengelolaan PBK di Indonesia berpedoman pada konsep
PHT. Teknik pengelolaan PBK yang digunakan didasarkan pada keadaan serangan PBK, yaitu daerah bebas
serangan, daerah serangan terbatas dan daerah serangan luas, serta melihat kondisi pertumbuhan dan umur
tanaman kakao (Sulistyowati, 1997).
Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu
diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan dapat diterima oleh petani. Tujuan
penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan hama PBK
dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan dengan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi kakao di Kabupaten Tabanan dan
juga merupakan lokasi yang terserang hama penggerek buah kakao (PBK). Pengumpulan data primer
dilakukan pada bulan Juli 2006 melalui wawancara langsung terhadap 30 petani responden dengan
menggunakan kuisioner. Penentuan responden dilakukan melalui random sampling. Data yang
dikumpulkan meliputi karakteristik petani, pengetahuan, sikap dan perilaku petani selama ini dalam hal
pengelolaan hama penggerek buah kakao (PBK). Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana,
skoring dan interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Untuk
mengetahui tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK diukur dalam skor yang meliputi (1)
kultur teknis: pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (2) panen sering; (3) sanitasi (4) penyarungan buah
dan (5) penyemprotan insektisida. Adapun nilai skor yang digunakan adalah: (1) hampir tidak pernah; (2)
kadang-kadang; dan (3) sering. Skor yang diperoleh dari masing-masing item pertanyaan dijumlahkan
sehingga diperoleh skor total Tingkat Perilaku Petani dalam pengendalian PBK dikategorikan menjadi tiga
kelas, yaitu tingkat perilaku penerapan rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian menggunakan rumus
interval (Dajan, 1996):
J
I
K
Dimana :
I = Interval kelas
J = Jarak antara skor maksimum dan skor minimum
K = Banyaknya kelas yang digunakan

Tabel 1. Deskripsi Strategi Pengendalian Hama PBK dan Skala Penilaiannya di Kec. Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006
Pilihan jabawan responden
No Strategi pengendalian
Tinggi Sedang Rendah
1 Kultur teknis, meliputi pangkasan pemeliharaan, Sering Kadang- Hampir tidak
pangkasan produksi, pemupukan dan pohon penaung. kadang pernah
2 Panen sering, dilakukan terhadap buah masak, masak Sering Kadang- Hampir tidak
fisiologis, dan buah terserang PBK. Interval panen 5-7 kadang pernah
hari. Buah langsung dibelah dan diambil bijinya pada
hari yang sama.
3 Sanitasi, pembenaman kulit buah dan plasenta dengan Sering Kadang- Hampir tidak
kedalaman sekitar 20 cm. kadang pernah
4 Penyarungan buah dilakukan pada umur 3 bulan yang Sering Kadang- Hampir tidak
diperkirakan panjang 8-10 cm, menggunakan kantong kadang pernah
p;lastik,kertas, koran atau kertas semen.
5 Penyemprotan insektisida dilakukan terutama jika Sering Kadang- Hampir tidak
serangan PBK dengan criteria berat sudah mencapai kadang pernah
30%, dengan bahan aktif golongan piretroid sintetik,
pada buah kakao berumur 3 bulan atau panjang sekitar
8-10 cm.
Total skala 11,7-15,0 8,4-11,6 5,0-8,3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi dan Petani Responden


Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg merupakan salah satu sentra produksi tanaman
perkebunan di Kabupaten Tabanan dengan ketinggian antara 600 – 700 mdpl. Sebagian besar (>80%) lokasi
penelitian merupakan daerah berbukit dengan topografi kemiringan yang sangat bervariasi. Komoditas
perkebunan merupakan andalan utama mata pencaharian bagi masyarakatnya, dengan komoditas utama
kelapa, kakao, kopi dan cengkeh. Dalam melakukan usahatani perkebunan umumnya petani menerapkannya
dengan pola tumpangsari atau diversivikasi dengan beberapa tanaman perkebunan dalam satu hamparan
dengan berbagai pola tumpangsari. Sesungguhnya para petani sudah berfikir rasional dengan asumsi
memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan, mngurangi kegagalan usaha dna efisiensi produksi.
Secara umum rata-rata umur petani responden adalah 39,77 dengan kisaran 17 – 79 tahun, hal ini
mengindikasikan bahwa umur petani di lokasi penelitian sangat beragam yang berarti masih terdapat generasi
muda yang berminat pada bidang pertanian khususnya perkebunan, walaupun umur petani didominasi usia
diatas 40 tahun. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya
manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya
nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan
menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih
rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi.
Luas lahan pengusahaan berkisar antara 0,35 – 7,92 dengan rata-rata pengusahaan 2,36 hektar yang
ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Populasi tanaman dominan adalah tanaman kakao (1.064,94), kopi
robusta (351,48), cengkeh (109,94) dan kelapa (94,63) (Tabel 2). Sedangkan komoditas lain yang juga
ditanam adalah pisang, durian, manggis, panili dan lain-lain. Dengan menanam berbagai macam tanaman
dalam satu areal, konsekuensinya adalah produktivitas masing-masing tanaman tidak akan maksimal
tentunya, namun disisi lain dapat mengurangi kegagalan usaha.
Hasil analisis tingkat serangan PBK di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK
masuk dalam kategori sedang dengan tingkat serangan berkisar antara 8,13 – 53,14 persen. Namun demikian
tingkat serangan ini akan dengan cepat meningkat dan menyebar ke wilayah lain apabila tidak dilakukan
tindakan pengendalian, hal ini didukung oleh kondisi kebun yang kurang terawat dan lembab sehingga
mempercepat penyebaran hama PBK.

Tabel 2. Karakteristik Lokasi dan Petani Responden di Kecamatan Selemadeng, Kab. Tabanan , 2006.
Karakteristik Minimum Maksimum Rata-rata
1. Umur responden (th) 17 79 39,77
2. Pendidikan 0 17 5,84
3. Luas Lahan (ha) 0,35 7,92 2,36
a. Kakao
– Populasi (phn) 100,00 3750,00 1064,94
– Produksi (kg) 125,00 4688,00 1324,93
– Produktivitas (kg/ha) 80,65 917,43 546,47
b. Kelapa
– Populasi (btr) 5,00 500,00 94,63
– Produksi (btr) 75,00 7500,00 1419,44
– Produktivitas (btr/ha) 55,97 1584,51 594,98
c. Kopi
– Populasi (phn) 10,00 1500,00 351,48
– Produksi (kg) 13,00 1875,00 420,20
– Produktivitas (kg/ha) 14,44 1086,96 200,87
d. Cengkeh
– Populasi (phn) 10,00 515,00 109,94
– Produksi (kg) 62,00 3193,00 681,62
– Produktivitas (kg/ha) 30,10 930,00 284,49

Pengembangan kakao pada umumnya menghadapi kendala laju peningkatan biaya produksi yang
jauh lebih cepat daripada laju kenaikan harga produk, resiko serangan hama, penyakit dan musim yang
terkadang tidak mendukung produksi. Konsekuensinya adala pekebun harus menyesuaikan penggunaan
faktor input pada tingkat yang optimum untuk memperoleh keuntungan maksimum. Hal ini beresiko
menurunkan kesehatan tanaman dan tingkat produksi. Resiko kegagalan panen akan lebih besar apabila pola
usaha yang diterapkan adalah monokultur, yaitu pola usaha yang hanya mengandalkan hasil kakao dari unit
yang diusahakannya. Diversifikasi usahatani tanaman perkebunan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan pendapatan petani perkebunan karena dapat mengurangi resiko kegagalan usaha apabila hanya
menanam satu jenis tanaman saja. Dimana fluktuasi harga produksi tanaman perkebunan dapat disiasati
dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman perkebunan dengan mengatur pola tanamnya dan yang
terpenting tidak berkompetisi satu sama lainnya dalam kompetisi hara maupun cahaya. Dalam melakukan
diversifikasi horizontal adalah cukup luas, karena tanaman ini toleran penaungan (Prabowo, 1997;
Suharyanto et al., 2004).
Bioekologi Hama PBK dan Gejala Kerusakan
Serangga dewasa hama PBK berupa ngengat (moth), berukuran kecil (panjang 7 mm), dan
termasuk ordo Lepidoptera. Ngengat berwarna cuklat dengan pola zig zag berwarna putih sepanjang sayap
depan. Ukuran antenna lebih panjang dari tubuhnya dan mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin
dan meletakkan telur pada malam hari. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat yang terlindung
dari sinar matahari, yaitu di cabang-cabag horizontal. Ngengat betina meletakkan telur hanya pada
permukaan buah kakao. Buah kakao yang disukai adalah yang mempunyai alur dalam dan panjangnya lebih
dari 9 cm. Lama hidup ngengat betina 5 – 8 hari dan setiap betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 –
200 butir. Telur berbentuk oval dengan panjang 0,45 – 0,50 mm, lebar 0,25 – 0,30 mm, pipih dan berwarna
orange pada saat diletakkan. Larva stadium telur antara 2 – 7 hari (Sulistyowati, 1997).
Larva yang baru menetas berwarna putih transparan dengan panjang 1 mm. Larva langsung
menggerek ke dalam buah dengan memakan kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta).
Lama stadium larva 14 –18 hari, terdiri atas 4 – 6 instar (Ooi et al., 1987). Pada pertumbuhan penuh
panjangnya mencapai 12 mm berwarna putih kotor sampai hijau muda. Menjelang berkepompong larva
membuat lubang keluar (diameter 1 mm) pada kulit buah. Sebelum menjadi kepompong larva membentuk
kokon. Kepompong dapat melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, ranting, kotak atau karung tempat
buah, bahkan kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen. Kokon berbentuk oval berwarna
putih kekuningan, pupa berwarna coklat, lama stadium kepompong 5 – 8 hari.
Lebih lanjut Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao yang terserang PBK umumnya
menunjukkan gejala masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau atau kuning jingga. Buah yang terserang
dapat berkembang secara normal sampai masak, tetapi pada saat dibelah akan tampak biji yang saling
melekat dan berwarna kehitaman. Serangan PBK yang terjadi pada saat buah masih muda akan
mengakibatkan kerusakan yang cukup berat karena biji kakao melekat kuat pada kulit buah dan biji saling
melekat satu sama lain. Biji tidak berkembang sehingga ukurannya menjadi kecil dan tidak bernas (keriput),
sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitasnya. Hasil survai oleh Puslit Kopi dan Kakao
menunjukkan bahwa serangan PBK menyebabkan kehilangan produksi hingga 80%.

Pengetahuan Petani Terhadap PBK


Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada
gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal,
akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tingkat
pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK tergolong dalam kategori sedang (46,67%), rendah
(40%) dan tinggi (13,33%). Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK
tentunya akan berdampak terhadap tingkat serangan dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut.
Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang rata-rata berpendidikan sekolah dasar
(63%). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan
menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan
usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi
di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam
hal pengendalian hama PBK adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi
dan gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama PBK beserta dampak kerugian apabila tanaman kakao
sampai terserang berat. Setelah itu dilanjutkan dengan metode pengendalian hama PBK dengan pendekatan
prinsip PHT.

Tabel 3. Tingkat Pengetahuan Petani dalam


Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh,
Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, 2006.
No Klasifikasi/skor Rata-Rata Skor Jumlah Petani Persentase (%)
1. Rendah ( 5.0 - 8.3 ) 6.74 12 40.00
2. Sedang ( 8.4 - 11.6 ) 9.63 14 46.67
3. Tinggi ( 11.7 - 15.0 ) 13.96 4 13.33
Jumlah 30 100.00

Dengan demikian pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian
melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan
yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan
oleh Ancok (1997), bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan mnyebabkan seseorang
bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada
apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk
melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Dengan
demikian petani yang mempunyai wawasan positif terhadap pengendalian PBK, maka dapat mendorong
untuk melakukan pengendalian PBKpada usahataninya.

Sikap Petani Terhadap Hama PBK


Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman
lapangan mereka. Sikap petani responden dalam melakukan pengendalian hama PBK masing-masing
bersikap positif/setuju (30%), netral/ragu-ragu (50%) dan negatif/tidak setuju (20%). Hal ini
mengindikasikan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap metode pengendalian hama PBK yang selama ini
mereka ketahui. Untuk itu diseminasi ataupun penyuluhan pertanian yang disertai dengan praktek lapang
mutlak untuk dilakukan guna untuk lebih meyakonkan petani bahwa metode pengendalian PBK dengan
pendekatan PBK sesungguhnya dapat mengurangi tingkat serangan PBK walaupun tidak sampai
menghilangkan sama sekali, karena seperti diketahui hama PBK sangat mudah sekali sangat mudah sekali
untuk menyebar dari satu lokasi ke lokasi lain.

Tabel 4. Pendapat Responden terhadap Sikapnya dalam Melakukan Pengendalian Hama PBK, di Kecamatan
Selemadeng, Kab. Tabanan 2006.
No Klasifikasi/skor Rata-Rata Skor Jumlah Petani Persentase (%)
1. Negatif ( 5.0 - 8.3 ) 7,34 9 30,00
2. Netral ( 8.4 - 11.6 ) 10,26 15 50,00
3. Positif ( 11.7 - 15.0 ) 12,82 6 20,00
Jumlah 30 100,00

Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan.
Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain
melalui interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu
yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga
pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000). Sikap yang
diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya.

Perilaku Petani dalam Pengendalian PBK


Tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan
Selemadeg Kabupaten Tabanan, rata-rata termasuk dalam kategori sedang (63,33%) dengan nilai skor 10.64
(Tabel 5). Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan petani dalam halpengendalian hamam
PBK yang didominasi dalam kategori sedang (46,67%). Sesungguhnya sudah hampir semua petani
responden telah mengetahui beberapa metode dalampengendalian hama PBK yang umumnya didapat dari
Petugas Penyuluh Lapangan melalui kegiatan SLPHT. Salah satu diantaranya adalah sarungisasi buah kakao,
yang berarti memberikan selubung perlindungan terhadap buah kakao. Selubungnya dapat menggunakan
kantong plastik yang ujung bagian atasnya diikatkan pada tangkai buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka.
Dengan penyelubungan buah tersebut, hama tidak bias meletakkan telurnya pada kulit buah sehingga buah
akan terhindar dari geretan larva. Namun karena pada tahun ini produksi kakao rendah selain disebabkan oleh
serangan hama dan penyakit, juga tak lain karena perubahan iklim (musim hujan panjang) sehingga petani
menelantarkan dan kurang merawat kebun kakaonya.

Tabel 5. Perilaku Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, 2006.

No Klasifikasi/skor Rata-Rata Skor Jumlah Petani Persentase (%)


1. Rendah ( 5.0 - 8.3 ) 8.12 8 26.67
2. Sedang ( 8.4 - 11.6 ) 10.64 19 63.33
3. Tinggi ( 11.7 - 15.0 ) 14.04 3 10.00
Jumlah 30 100.00

Selanjutnya Soekartawi (1988) mengatakan, perilaku penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi
umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko,
fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain:
kosmopolitas, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan
proses memperoleh sarana produksi. Sedangkan untuk mencegah meluasnya serangan PBK ke wilayah lain
menurut Sjafaruddin et al (2000), diperlukan upaya penyuluhan yang intensif mengenai berbagai aspek
tentang hama PBK. Selain itu sistem tataniaga dan pemasaran yang melibatkan pedagang pengumpul pada
berbagai tingkatan merupakan vektor penyebaran PBK, sehingga perlu diwaspadai untuk mencegah
meluasnya serangan ke wilayah lain.

KESIMPULAN DAN SARAN

1) Tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK umumnya termasuk dalam kategori
sedang (46,67%). Hal ini tentunya berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang umumnya
hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Sikap petani rata-rata (50%) bersikap netral dalam pengendalian
hama PBK dengan rata-rata nilai skor 10,64. Sedangkan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK
masuk dalam kategori sedang (63,33%) dan hanya 10% saja yang termasuk dalam kategori tingkat
perilaku tinggi.
2) Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian hama PBK,
dimana makin tinggi pengetahuan petani maka cenderung akan bersikap positif, dan makin positif sikap
petani maka cenderung akan berperilaku baik dalam praktek pengendalian hama PBK.
3) Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK hal yang
perlu diperhatikan adalah mengintensifkan sosialisasi/penyuluhan tentang metode pengendalian hama
PBK dengan pendekatan PHT disertai dengan praktek lapang atau disertai dengan pengujian langsung di
lapangan, agar petani dapat langsung melihat hasilnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Anonim. 2004a. Data Bali Membangun 2004. Pemerintah Provinsi Bali. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah. Denpasar
Anonim. 2004b. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember..
328 hal.
Atmawilata, O. 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Suatu Ancaman Terhadap Kelestarian
Perkebunan Kakao di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian
Perkebunan Indonesia. Jember. No. 15.
Azwar, Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Dajan, A. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II . Penerbit LP3ES. Jakarta.
Herman. 2004. Kakao Indonesia Dikancah Perkakaoan Dunia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor.
6 hal.
Ooi, P,A,C., L.G. Chan, K.C. Khoo., C.H. Teoh., Md.J.Mamat, C.T. Ho and G.S. Lim 1987. Introduction to
the cocoa pod borer. P.1-6. In P,A,C. Ooi, , L.G. Chan, Khoo K.C., Teoh C.H., Md.J.Mamat, Ho
C.T. and Lim G.S. (Eds). Management of Cocoa Pod Borer. The Malaysian Plant Protection
Society, Kuala Lumpur.
Prabowo, A.A. 1997. Diversifikasi Pada Perkebunan Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Jember. 13(3),
hal 165 – 184.
Roesmanto, J. 1991. Kakao : Kajian Sosial Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. hal 165 .
Sjafaruddin, M., G. Kartono., R. Djamaluddin., Rubiyo, E. Sutisna dan D. Sahara. 2000. Status dan Upaya
Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 122 – 129.
Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-press). Jakarta.
137 hal.
Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol 2 No.1. Januari 2002. Fakultas Pertanian Universitas
Udayana. Denpasar. hal 31 – 34.
Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2004. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman
Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 146 – 154.
Sulistyowati, E. 1997. Prospek Pemanfaatan Tanaman Tahan Dalam Pengelolaan Hama Penggerek Buah
Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia .Jember.
13(3), hal 204 - 212.
Wardoyo. 1990. The Cocoa Pod Borer A Major Hidrance to Cocoa Development. Indonesian Agricultural
Research Development Journal. Jakarta. 2(1) : 1-4.

Anda mungkin juga menyukai