Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Konsep Dasar Penyakit
2.3.1 Definisi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi
abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.
Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat
selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru
sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel. Dibarengi dengan bronchitis
obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.

Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat


dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi
berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan
banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh


pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan
definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran
ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk
emfisema”. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.

Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan
pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen
yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk
kronis dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok. Emfisema disebabkan
karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung
yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar
dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya
dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim
alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini

2.3.2 Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama
emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi
familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma,
defisiensi antitripsin-alpha yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini,
enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive
terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen)
pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik. Sangat penting bahwa karier
genetik ini harus diidentifikasikan untuk memungkinkan modifikasi faktor-faktor lingkungan
untuk menghambat atau mencegah timbulnya gejala-gejala penyakit. Konseling genetik juga
harus diberikan.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
1)      Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar
imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit
obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2)      Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul
emfisema.
3)      Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus
dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4)      Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis
akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas
pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah
haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5)      Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab
penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko
akan lebih tinggi.
6)      Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin
kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan
ekonomi yang lebih jelek.
7)      Pengaruh usia
8)      Obstruksi Jalan Nafas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi
mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan
tetapi tidak dapat keluar pada ekspirasi. Etiologinya adalah benda asing di dalam
lumen dengan reaksi local, tumor intrabronkial di mediastinum, konginetal. Pada jenis
yang terakhir, obstruksi dapat di sebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.
2.3.3 Klasifikasi

Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan


yang terjadi dalam paru-paru :
1)      PLE (Panlobular Emphysema / panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru
bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli.
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal
dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata.
PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE
juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga
dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya
devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan
alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk
secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus
sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu
memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan
penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali
timbul pada perokok.
2)      CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus
tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai
bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif
hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang,
membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri),
polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada
sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria, dan
jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).
3)      Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam
alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab
dari pneumotorak spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.
Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada
waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati
penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu
ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat
menghalangi keluarnya udara.
2.3.4 Manifestasi klinis
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-
bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-
35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-
45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas,
hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-
pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.
Manifestasi klinis Emfisema :
1.      Dispnea
2.      Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
3.      Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-
otot aksesori pernapasan (sternokleidomastoid)
4.      Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang
paru.
5.      Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan
ekspirasi
6.      Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7.      Distensi vena leher selama ekspirasi.
2.3.5 Patofisiologi

Menurut Lewis merokok dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
gangguan langsung terhadap saluran pernafasan. Terjadinya iritasi merupakan efek dari
merokok yang menyebabkan hiperplasia pada sel-sel paru dan bertambahnya sel-sel
goblet, yang mana kemudian berakibat pada meningkatnya produksi sekret. Merokok
juga menyebabkan dilatasi saluran udara distal dengan kerusakan dinding alveolus
(Lewis, 2000 : 682).

Menurut Smeltzer faktor keluarga merupakan salah satu faktor pendukung


terjadinya emfisema berhubungan dengan tidak normalnya protein plasma, kekurangan
Alpha 1-antitipsin (AAT) yang menghalangi kerja enzim protease, orang-orang tertentu
dapat mengalami defisiensi alpha 1-antitripsin yang diturunkan secara resisif atosomal.
(Smeltzer, 2000:453).

Menurut Cherniack, “Alpha 1-antitripsin (AAT) adalah antiprotease, diperkirakan


sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami.
Protease dihasilkan oleh bakteria, dan magrofag sewaktu fagositosis berlangsung dan
mempunyai kemampuan memecahkan elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru.
Merokok dapat mengakibatkan respon peradangan sehingga menyebabkan pelepasan
enzim proteolitik (proteose). Bersamaan dengan itu oksidan pada asap menghambat
alpha 1-antiripsin” ( Price dan Loraine, 1995 : 692).

Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang
akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu
akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi
jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli,
jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs
dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas
atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai
dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan
dengan bronkhitis dan merokok.

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru yaitu penyempitan saluran
nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang
berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang
menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak
jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada
enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan
elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa-
1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan
elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan
tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru
ke dalam yaitu elastisitas paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik
jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada
pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup.
Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi
alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia
dan sesak nafas.

Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-


alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai
sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari
obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara
dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
PATHWAY

2.3.6 Komplikasi

Kelanjutan dari kerusakan paru atau emfisema yang dapat terjadi adalah:
1. Gangguan paru, sehingga paru tidak berfungsi sama sekali. Kondisi ini merupakan
salah satu kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa.
2. Gangguan jantung akibat kerusakan paru.
3. Terbentuknya balon besar di paru. Balon ini dapat berukuran sangat besar, bahkan
sebesar paru itu sendiri dan memenuhi rongga dada. Akibatnya, paru akan tertekan
dan penderita akan mengalami gangguan pernapasan yang berakibat fatal.
4. Daya tahan tubuh kurang sempurna
5. Proses peradangan yang kronis disaluran nafas
6. Tingkat kerusakan paru makin parah
7. Pneumonia
8. Atelaktasis
9. Meningkatkan resiko Gagal nafas pada pasien
2.3.7 Pemeriksaan penunjang

1.      Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru
terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
a.       Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan
kedistal.
b.      Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema
sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2.      Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3.      Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan
oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin
pasien hampir mencukupi.
4.      Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung.
Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio
R/S kurang dari 1.
a)      Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
b)      Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya
bronkodilator.
c)      TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma;
penurunan emfisema.
d)     Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e)      Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f)       FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun
pada bronkitis dan asma.
g)      GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat
menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi
kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h)      JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan
eosinofil (asma).
i)        Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan
diagnosa emfisema primer.
j)        Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k)      EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema);
aksis vertikal QRS (emfisema).
l)        EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
2.3.8 Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk


memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas
untuk menghilangkan hipoksia.
1.    Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan baik edema
mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi
jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas. Medikasi ini mencakup
agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin (teofilin,
aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme yang berbeda.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau
inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser
balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
2.    Terapi aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari
bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme, menurunkan
edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan
memperbaiki fungsi ventilasi.
3.    Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada
saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan
Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi tersebut.
Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-
sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada
tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk
meningkat, dan demam.
4.    Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi.
Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang
terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan
nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
5.    Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk
meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen
diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.
Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:
1)      Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat
penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan
baik.
2)      Pencegahan
a)      Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang
optimal harus dilakukan
b)      Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala
pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan
yang berbahaya terhadap saluran nafas.
c)      Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap
influenza dan infeksi pneumokokus.
3)      Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah
meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan
pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang
dilaksanakan berguna untuk :
a.       Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b.      Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c.       Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
4)      Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai
kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada
waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari
akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

2.4 Menajemen Asuhan Keperawatan


2.4.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau dikaji meliputi :
A.  Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor registrasi,
pekerjaan pasien, dan nama penanggungjawab.
B.  Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering muncul pada pasien dengan penyakit emfisema
bervariasi, antara lain: sesak nafas, batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan
pada saat bernafas. Banyak sekeret keluar ketika batuk, berwarna kuning kental,
merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas.
2.    Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan penyakit emfisema biasanya diawali dengan sesak nafas ,
batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas, banyak secret
keluar ketika batuk, secret berwarna kuning kental , merasa cepat lelah ketika
melakukan aktivitas.
3.    Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan juga apakah pasien sebelumnya pernah menderita penyakit
lain seperti TB Paru, DM, Asma, Kanker,Pneumonia dan lain-lain. Hal ini perlu
diketahui untuk melihat ada tidaknya faktor predisposisi.
4.    Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang
sama atau mungkin penyakit-penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan
penyakit emfisema.
C.  Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1.      Bernafas
Pasien umumnya mengeluh sesak dan kesulitan dalam bernafas karena
terdapat sekret. Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produktif pada tahap
dini, meskipun dapat menjadi produktif. Faktor keluarga dan keturunan,
misalnya defisiensi alpha 1-antitripsin penggunaan oksigen pada malam hari atau
terus menerus.
Tanda : Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat : fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur, nafas bibir. Penggunaan otot bantu pernafasan,
misalnya : meninggikan bahu, rekraksi fosa supra klavikula, melebarkan hidung.
Dada : Dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk
barrel), atau perbandingan diameter. AP sama dengan diameter bilateral, gerakan
diafragma minimal.
Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi.
Perkusi : Hipersonor pada area paru.
Warna : klien dengan emfisema kadang disebut “pink puffer” karena warna kulit
normal, meskipun pertukaran gas tidak normal dan frequensi pernafasan cepat.
Taktil premitus melemah.
2.      Makan dan Minum
Observasi seberapa sering pasien makan dan seberapa banyak pasien menghabiskan
makanan yang diberikan. Minum seberapa banyak dan seberapa sering pasien minum.
3.      Eliminasi
Observasi BAB dan BAK pasien, bagaimana BAB atau BAK nya normal atau
bermasalah, seperti dalam hal warna feses /urine, seberapa sering, seberapa banyak,
cair atau pekat, ada darah tau tidak,dll.
4.      Gerak dan Aktivitas
Observasi apakah pasien masih mampu bergerak, melakukan aktivitas atau hanya
duduk saja(aktivitas terbatas). Biasanya pasien dengan anemia mengalami kelemahan
pada tubuhnya akibat kurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh.
5.      Istirahat dan tidur
Kaji kebutuhan/kebiasaan tidur pasien apakah nyenyak/sering terbangun di sela-sela
tidurnya.
6.      Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus dibantu oleh
orang lain. Berapa kali pasien mandi ?
7.      Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C), hiperpireksia
= 40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
8.      Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Pasien dengan
penyakit emfisema biasanya mengalami sesak nafas, batuk, dan nyeri di daerah dada.
9.      Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakitnya.
10.  Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakah pasien mampu berkomunikasi dengan keluarganya, seberapa besar
dukungan keluarganya.
11.  Prestasi dan Produktivitas
Prestasi apa yang pernah diraih pasien selama pasien berada di bangku sekolah hingga
saat usianya kini.
12.  Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kalipasien sembahyang, dll.
13.  Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja meluangkan
waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik yang tepat saat depresi.
14.  Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi mual yang dirasakan dan
caranya meningkatkan nafsu makannya.Disinilah peran kita untuk memberikan HE
yang tepat.
D.  Pemeriksaan Fisik
1.    Rambut dan hygene kepala
Warna rambut hitam, tidak berbau, rambut tumbuh subur, dan kulit kepala bersih.
2.    Mata ( kanan/kiri )
Posisi mata simetris, konjungtiva merah muda, skelera putih, dan pupil isokor, dan
respon cahaya baik.
3.    Hidung
Simetris kiri dan kanan, tidak ada pembengkakkan, dan berfungsi dengan baik.
4.    Mulut dan tenggorokan
Rongga normal, mukosa terlihat pecah-pecah, tonsil tidak ada pembesaran.
5.    Telinga
Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, dan pendengaran tidak terganggu.
6.    Leher
Kelenjer getah bening, sub mandibula, dan sekitar telinga tidak ada pembesaran.
7.    Dada/ thorak
a.     Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak
mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan
massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak
efektik dan penggunaan otot-otot bantu napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari
seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai
demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan
b.    Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c.      Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma
menurun.
d.    Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya
obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang
rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada
tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan
(dispnea eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat
ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yangf
dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan
sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan
saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan hal yang
umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
8.    Kardiovaskular
a.    Irama jantung regular; S1,S2 tunggal.
b.    Nyeri dada ada, biasanya skala 6 dari 10
c.    Akral lembab
d.   Saturasi Hb O2  hipoksia
9.    Persyarafan
a.    Keluhan pusing ada
b.    Gangguan tidur ada
10.    Perkemihan B4 (bladder)
a.    Kebersihan normal
b.    Bentuk alat kelamin normal
c.    Uretra normal
11.    Pencernaan
a.    Anoreksi disertai mual
b.    Berat badan menurun
12.    Muskuloskeletal/integument
a.    Berkeringat
b.    Massa otot menurun
E.     Data Penunjang
1.      Analisa gas darah
- Pa O2 : rendah (normal 80 – 100 mmHg)
- Pa CO2 : tinggi (normal 36 – 44 mmHg).
- Saturasi hemoglobin menurun.
- Eritropoesis bertambah
2.     Sputum : Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen
3.      Tes fungsi paru : Untuk menentukan penyebab dispnoe, melihat obstruksi.
4.     Foto sinar X rontgen
2.4.2 Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidakefektifan pola napas
Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat
Berhubungan dengan :
-       Ansietas
-       Posisi tubuh
-       Deformitas tulang
-       Deformitas dinding dada
-       Keletihan
-       Perventilasi
-       Sindrom hipoventilasi
-       Gangguan muskuloskeletal
-       Kerusakan neurologis
-       Imaturitas neurologis
-       Disfungsi neuromuskular
-       Obesitas
-       Nyeri
-       Keletihan otot pernapasan
-       Cedera medula spinalis
Ditandai dengan :
-       Perubahan kedalaman pernapasan
-       Perubahan ekskursi dada
-       Mengambil posisi tiga titik
-       Bradipnea
-       Penurunan tekanan ekspirasi
-       Penurunan tekanan inspirasi
-       Penurunan ventilasi semenit
-       Penurunan kapasitas vital
-       Dispnea
-       Peningkatan diameter anterior- posterior
-       Pernapasan cuping hidung
-       Ortopnea
-       Fase ekspirasi memanjang
-       Pernapasan bibir
-       Takipnea
-       Penggunaan otot aksesorius untuk pernapasan
2.      Gangguan pertukaran gas
Definisi : kelebihan atau defisit pada oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida
pada membran alveolar-kapiler
Berhubungan dengan :
-       Perubahan membran alveolar-kapiler
-       Ventilasi-perfusi
Ditandai dengan
-       PH darah arteri abnormal
-       pH arteri abnormal
-       pernapasan abnormal (mis, kecepatan, irama,kedalaman,)
-       warna kulit abnormal (mis, pucat, kehitaman)
-       Konfusi
-       Sianosis ( pada neonatus saja)
-       Penurunan karbon dioksida
-       Diaforesis
-       Dispnea
-       Sakit kepala saat bangun
-       Hiperkapnea
-       Hipoksemia
-       Hipoksia
-       Iritabilitas
-       Napas cuping hidung
-       Gelisah
-       Somnolen
-       Takikardia
-       Gangguan penglihatan
3.      Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan:
-       Factor biologis
-       Factor ekonomi
-       Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi utrient
-       Ketidakmampuan untuk mencerna makanan
-       Ketidakmampuan menelan makanan
-       Factor psikologis
Ditandai dengan:
-       Kram abdomen
-       Nyeri abdomen
-       Menghindari makan
-       Merasakan ketidakmampuan untuk mengingesti makanan
-       Melaporkan perubahan sensasi rasa
-       Melaporkan kurangnya makanan
-       Merasa kenyang segera setelh mengigesti makanan
-       Objektif
-       Tidak tertarik untuk makan
-       Kerapuhan kapiler
-       Diare dan/atau steatore
-       Adanya bukti kekurangan makanan
-       Kehilangan rambut yang berlebihan
-       Bising usus hiperaktif
-       Kurang informasi, malinformasi
-       Kurangnya minat pada makanan
-       Miskonsepsi
-       Konjungtiva dan membrane mukosa pucat
-       Tonus otot buruk
-       Luka, rongga mulut inflamasi
-       Kelemahan otot yang dibutuhkn untuk menelan atau mengunyah
4.      Intoleran Aktivitas
Berhubungan dengan :
-       Kelemahan umum
-       Ketidakseimbangan antara suplai dam kebutuhan oksigen
Ditandai dengan
-       Laporan verbal tentang keletihan atau kelemahan
-       Frekuensi jantung atau respons TD terhadap aktivitas abnormal
-       Rasa tidak nyaman saat bergerak atau dipsnea
-       Perubahan-perubahan EKG mencerminkan iskemia;distrimia
5.      Risiko tinggi terhadap infeksi
Faktor risiko :
-       Tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret)
-       Tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan)
-       Proses penyakit kronis
-       Malnutrisi
6.      Koping individu inefektif
Berhubungan dengan :
-       Krisis situasional/maturasional
-       Perubahan hidup beragam
-       Relaksasi tidak adekuat
-       Sistem pendukung tidak adekuat
-       Sedikit atau tak pernah olah raga
-       Nutrisi buruk
-       Harapan yang tak terpenuhi
-       Kerja berlebihan
-       Persepsi tidak realistik
-       Metode koping tidak efektif
Ditandai dengan
-       Menyatakan ketidakmampuan untuk mengatasi dan meminta bantuan
-       Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan peran/kebutuhan dasar atau
pemecahan masalah
-       Perilaku merusak terhadap diri sendiri, makan berlebih, hilang napsu makan,
merokok/minum berlebihan, cenderung melakukan penyalahgunaan alkohol
-       Kelemahan/insomia kronik, ketegangan oto, sering sakit kepala/leher,
kekuatiran/gelisah/cemas/tegangan emosi kronik, depresi.
2.4.3 Intervensi Keperawatan
a.       Ketidakefektifan pola napas
Intervensi
1)      Membandingkan status sekarang dengan status sebelumnya untuk mendapatkan
perubahan dalam status pernapasan. NIC: Asthma management
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien
2)      Mengajarkan teknik yang benar untuk menggunakan obat dan peralatan
(misalnya menarik nafas, nebulizer, aliran maksimum).
Rasional : Agar keluarga dan pasien mengetahui cara menggunakan peralatan dan
obat dengan benar.
3)      Memantau kecepatan, irama, kedalaman, dan upaya untuk bernapas.
Rasional : Untuk mengetahui apakah px masih mengalami kesulitan bernafas
4)      Mengamati gerakan dada, termasuk simetri, penggunaan dari otot bantu
pernapasan, dan penarikan otot supraclavikular dan intercostals.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan penyakit px
5)      Memberikan cairan hangat untuk minum, dengan tepat.
Rasional : Untuk mengurangi gejala batuk
6)      Catat adanya pergerakan dada, lihat pergerakan dada yang asimetris,
menggunakan otot bantu dan retraksi otot supraklavikular serta intercosta
Rasional : Ketidaksimetrisan pada dada dan penggunaan otot bantu pernapasan pada
pasien mengindikasikan adanya gangguan pernapasan
7)      Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
Rasional : Batuk efektif dapat membantu mengeluarkan dahak bila ada
8)      Memberitahukan tentang diagnosis, pengobatan, dan pengaruh dari gaya hidup.
Rasional : Agar px mengetahui penyakitnya, pengobatan yang harus dijalani,
penyebabnya agar px dapat mengubah gaya hidupnya.
9)      Membantu dalam mengenal tanda/gejala dari reaksi asthma mendatang dan
pelaksanaan dari ketepatan pengukuran respon.
Rasional : Menghindari faktor predisposisi yang dapat meningkatkan gejala asma.
10)  Melatih pernapasan /relaksasi.
Rasional : Untuk membantu pasien memulai pernapasan secara normal
11)  Menentukan dan memperbarui pengobatan asthma,dengan tepat.
Rasional : Memberikan pengobatan yang tepat sesuai perkembangan penyakit pasien
12)  Monitor RR, irama, kedalaman, dan usaha respirasi
Rasional : Untuk mengetahui frekuensi pernafasan sudah normal apa belum
13)  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Rasional : Untuk mengetahui ada kelainan pada saluran pernapasan
14)  Monitor tingkat kegelisahan, kecemasan
Rasional : Kecemasan dan kegelisahan dapat memacu terjadinya sesak
b.      Gangguan pertukaran gas berhubungan
Intervensi
1)      Kaji frequensi kedalaman pernafasan catat penggunaan otot bantu nafas,
nafas bibir.
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan dan/atau kronisnya
proses penyakit.
2)      Kaji/awasi secara rutin warna kulit dan membran mokusa.
Rasional : Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.
3)      Tinggikan kepala bantu klien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas, dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan individu.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas dan kerja nafas.
4)      Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara atau bunyi
abnormal.
Rasional : Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara. Adanya
mengindikasi spasme bronkus/tertahannya sekret.
5)      Awasi tingkat kesadaran/status mental.
Rasional : Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia. GDA
memburuk disertai bingung/samnolen menunjukkan disfungsi serebral yang
berhubungan dengan hipoksemia.
6)      Palpasi fremitus.
Rasional : Penurunan getaran fibrasi diduga adanya pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
7)      Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem.
Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur/istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan toleransi
sesuai aktivitas individu
Rasional : selama distres pernapasan berat/akut/refraktori pasien secara total tak
mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksia dan dispnea. Istirahat
diselingi aktivitas perawatan masih penting dari program pengobatan. Namun,
program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
8)   Awasi GDA.
Rasional : PaCO2 biasanya meningkat dan PaO2 secara umum menurun,
sehingga hipoksemia terjadi dengan derajat lebih besar atau lebih kecil.
9)      Berikan O2 tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
Rasional : Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia.
10)  Bantu intubasi
Rasional : Terjadinya/kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya
tindakan penyelamatan hidup.
c.       Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi :
1)      Kaji kebiasaan diet, masukan makanan, catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan.
Rasional :Pasien distres pernafasan akut sering anoreksia karena dispneu, produksi
sputum dan obat, selain itu banyak klien PPOM mempunyai kebiasaan makan
buruk. Orang yang mengalami emfisema sering kurus dengan perototan kurang.
2)      Auskultasi bunyi bising usus.
Rasional : Penurunan/hipoaktif bising usus menunjukkan mobilitas gaster dan
konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pilihan makan yang
buruk, penurunan aktivitas dan hipoksemia.
3)      Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
Rasional :Rasa tak enak bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap
nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan
nafas.
4)      Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makanan posisi kecil tapi sering.
Rasional : Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatan masukan kalori total.
5)      Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.
Rasional : Suhu ekstrim dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
6)      Konsul ahli gizi/nutrisi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna,
secara nutrisi seimbang.
Rasional :Metode makan dan kebutuhan kalori berdasarkan pada
situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya
klien/penggunaan energi.
7)      Kaji pemeriksaan laboratorium. Berikan vitamin/mineral/ elektolit sesuai
indikasi.
Rasional : Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan keefektifan tetap nutrisi.
8)      Beri O2 tambahan selama makan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan dispneu dan meningkatkan energi untuk makan.
d.      Resiko tinggi terhadap infeksi
Intervensi
1)      Awasi secara ketat suhu tubuh pasien.
Rasional : Demam dapat terjadi karena adanya infeksi.
2)      Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan
masukan cairan adekuat.
Rasional : Aktivitas diatas dapat meningkatkan mobilitas dan pengeluaran sekret
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3)      Observasi warna, karakter, bau sputum.
Rasional : Sekret berbau, kuning dan kehijauan menunjukkan adanya infeksi
paru.
4)      Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
Rasional : Menurunkan konsumsi/kebutuhan keseimbangan oksigen dan
memperbaiki pertahanan klien terhadap infeksi meningkatkan penyembuhan.
5)      Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Rasional : Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan
tahanan terhadap infeksi.
6)      Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk
pewarnaan kuman, gram, kultur sensitivitas.
Rasional : Dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan
terhadap berbagai anti mikrobial.
7)      Berikan antimikrobial/antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Dapat diberikan pada organisme khusus yang terindentifikasi dengan
kultur dan sensitivitas, atau diberikan secara profilatik karena resiko tinggi.
e.       Intoleransi aktivitas
Intervensi
1)      Jelaskan aktivitas dan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen :
merokok, suhu yang ekstrim, stres.
Rasional :Merokok suhu ekstrim, dan stress menyebabkan vasokontriksi yang
meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen.
2)      Secara bertahap tingkatkan aktivitas harian sesuai peningkatan toleransi
klien.
Rasional : Mempertahankan pernafasan lambat sedang dari latihan yang diawasi
memperbaiki kekuatan otot asesori dan fungsi pernafasan.
3)      Pertahankan terapi oksigen tambahan, sesuai kebutuhan.
Rasional : Oksigen tambahan meningkatkan kadar oksigen yang bersirkulasi dan
memperbaiki toleransi aktivitas.
4)      Berikan dukungan emosional dan semangat.
Rasional : Rasa takut terhadap kesulitan bernafas dapat menghambat peningkatan
aktivitas.
f.    Koping Individu Inefektif
Intervensi :
1)      Kaji kefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, mis.,
kemampanmenyatakan perasaan dan perhatian keinginan berpartisipasi dalam rencana
pengobatan.
Rasional : mekanisme adaptif perlu untuk mengubah pola hidup seseorang, mengtasi
hipertensi kronik, dan mengintregrasikan terapi yang diharuskan ke dalam kehidupan
sehari-hari
2)      Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas/tujuan hidup. Tanyakan seperti
apakah yang anda lakukan merupakan apa yang anda inginkan?
Rasional : foks perhatian pasien pada realitas situasi yang ada relative terhadap
pandangan pasien tentang apa yang diinginkan. Etika kerja keras, kebutuhan untuk
control dan focus keluarga dapat mengarah pada kurang perhatian pada kebutuhan-
kebutuhan personal.
3)      Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mulai merncanakan perubahan hidup
yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan, ketimbang membatalkan tujuan diri/keluarga.
Rasional : perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk
menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya
2.4.4 Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan
yang spesifik.Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun
danditunjukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien
(Nursalam,2008).
2.4.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan keberhasilan dari diagnose keperawatan, rencana intervensi, dan
implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
“kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan, dan
implementasi, intervensi. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses
keperawatantetapi tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses
keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan kecukupan data
yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang di observasi.Diagnosis juga
perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapanya. Evaluasi juga diperlukan
pada tahap intervensi untuk menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat
dicapai secara efektif (Nursalam, 2008).
2.1 Konsep kebutuhan Dasar manusia Oksigenasi
2.1.1 Definisi
Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar paling vital dalam kehidupan manusia.
Dalam tubuh, oksigen berperan penting di dalam metabolisme sel. Kekurangan oksigen
akan menimbulkan dampak yang bermakna bagi tubuh, salah satunya kematian.
Karenanya, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan dasar ini 
terpenuhi dengan baik. Oksigenasi adalah proses penambahan O2 ke dalam sistem
(kimia/fisika). Oksigen merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau yang sangat
dibutuhkan dalam proses metabolisme sel. Sebagai hasilnya, terbentuklah
karbondioksida, energi, dan air. Akantetapi, penambahan CO2  yang melebihi batas
normal pada tubuh akan memberikan dampak yang cukup bermakna terhadap aktivitas
sel. Pernapasan atau respirasi adalah proses pertukaran gas antara individu dan
lingkungan yang berfungsi untuk memperoleh O2 agar dapat digunakan oleh sel-sel
tubuh dan mengeluarkan CO2 yang dihasilkan oleh sel. Saat bernapas, tubuh mengambil
O2 dari lingkungan untuk kemudian diangkut keseluruh tubuh (sel-selnya) melalui darah
guna dilakukan pembakaran. Selanjutnya, sisa pembakaran berupa CO2 akan kembali
diangkut oleh darah ke paru-paru untuk dibuang ke lingkungan karena tidak berguna lagi
oleh tubuh.

2.1.2 Etiologi

1 .Faktor Fisiologis

a. Penurunan kapasitas angkut O2

Secara fisiologis, daya angkut hemoglobin untuk membawa O2 ke jaringan


adalah 97%. Akan tetapi, nilai tersebut dapat berubah sewaktu-waktu apabilaterdapat
gangguan pada tubuh. Misalnya, pada penderita anemia atau pada saat yang terpapar
racun. Kondisi tersebutdapat mengakibatkan penurunan kapasitas pengikatan O2.

b. Penurunan Konsentrasi O2 inspirasi

Kondisi ini dapat terjadi akibat penggunaan alat terapidan penurunan kadar O2
inspirasi.

c. Hipovolemik
Kondisi ini disebabkan oleh penurunan volume sirkulasi darah akibat kehilangan
cairan ekstraselular yang berlebihan.

d. Peningkatan Laju Metabolik

Kondisi ini dapat terjadi pada kasus infeksi dan demam yang terus-menerus yang
mengakibatkan peningkatan laju metabolik. Akibatnya, tubuh mulai memecah persediaan
protein dan menyebabkan penurunan massa otot.

e. Kondisi Lainnya

Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada, seperti kehamilan,


obesitas, abnormalitas musculoskeletal, trauma, penyakit otot, penyakit susunan saraf,
gangguan saraf pusat dan penyakit kronis.

2. Faktor perkembangan.

a. Bayi premature

Bayi yang lahir prematur berisiko menderita penyakit membran hialin yang
ditandai dengan berkembangnya membran serupa hialin yang membatasi ujung saluran
pernafasan. Kondisi ini disebabkan oleh produksi surfaktan yang masih sedikit karena
kemampuan paru menyintesis surfaktan baru berkembang pada trimester akhir.

b. Bayi dan anak-anak

Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
faringitis, influenza, tonsilitis, dan aspirasi benda asing (misal: makanan, permen dan
lain-lain).

c. Anak usia sekolah dan remaja

Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran napas akut akibat
kebiasaan buruk, seperti merokok.

d. Dewasa muda dan paruh baya

Kondisi stress, kebiasaan merokok, diet yang tidak sehat, kurang berolahraga,
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan paru pada
kelompok usia ini.

e. Lansia
Proses penuaan yang terjadi pada lansia menyebabkan perubahan fungsi normal
pernafasan, seperti penurunan elastis paru, pelebaran alveolus, dilatasi saluran bronkus
dan kifosis tulang belakang yang menghambat ekspansi paru sehingga berpengaruh pada
penurunan kadar O₂.

3. Faktor Perilaku

a. Nutrisi

Kondisi berat badan berlebih (obesitas) dapat menghambat ekspansi


paru,sedangkan malnutrisi berat dapat mengakibatkan pelisutan otot pernapasan yang
akan mengurangi kekuatan kerja pernapasan.

b. Olahraga

Latihan fisik akan meningkatkan aktivitas metabolik, denyut jantung dan


kedalaman serta frekuensi pernapasan yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen.

c. Ketergantungan zat adiktif

Penggunaan alkohol dan obat-obatan yang berlebihan dapat mengganggu


oksigenasi. Hal ini terjadi karena :

1) Alkohol dan obat-obatan daoat menekan pusat pernapasan dan susunan saraf
pusat sehingga mengakibatkan penurunan laju dan kedalaman pernapasan.

2) Penggunaan narkotika dan analgesik, terutama morfin dan meperidin, dapat


mendepresi pusat pernapasan sehingga menurunkan laju dan kedalaman
pernafasan.

d. Emosi

Perasaan takut, cemas dan marah yang tidak terkontrol akan merangsang aktivitas
saraf simpatis. Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan frekuensi
pernapasan sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Selain itu, kecemasan juga dapat
meningkatkan laju dan kedalaman pernapasan.

e. Gaya hidup

Kebiasaan merokok dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan oksigen


seseorang. Merokok dapat menyebabkan gangguan vaskulrisasi perifer dan penyakit
jantung. Selain itu nikotin yang terkandung dalam rokok bisa mengakibatkan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan koroner.

4. Faktor Lingkungan

a. Suhu

Faktor suhu dapat berpengaruh terhadap afinitas atau kekuatan ikatan Hb danO₂.
Dengan kata lain, suhu lingkungan juga bisa memengaruhi kebutuhan oksigen seseorang.

b. Ketinggian

Pada dataran yang tinggi akan terjadi penurunan pada tekanan udara sehingga
tekanan oksigen juga ikut turun. Akibatnya, orang yang tinggal di dataran tinggi
cenderung mengalami peningkatan frekuensi pernapasan dan denyut jantung. Sebaliknya,
pada dataran yang rendah akan terjadi peningkatan tekanan oksigen.

c. Polusi

Polusi udara, seperti asap atau debu sering kali menyebabkan sakit kepala,
pusing, batuk, tersedak, dan berbagai gangguan pernapasan lain pada orang yang
menghisapnya. Para pekerja di pabrik asbes atau bedak tabur berisiko tinggi
menderita penyakit paru akibat terpapar zat-zat berbahaya.

2.1.3 Tanda dan Gejala

1. Perubahan Pola Napas

a. Takipnea

Frekuensi pernafasan yang cepat. Biasanya ini terlihat pada kondisi demam,
asidosis metabolic, nyeri dan pada kasus hiperkapnia atau hipoksemia.

b. Bradipnea

Frekuensi pernapasan yang lambat dan abnormal. Biasanya terlihat pada orang
yang baru menggunakan obat-obatan seperti morfin dan pada kasus alkalosismetaboli,
dan lain-lain.

c. Apnea

Biasanya juga disebut dengan henti napas.


d. Hiperventilas

Peningkatan jumlah udara yang memasuki paru-paru. Kondisi ini terjadi saat
kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolic untuk pembuangankarbondioksida.

e. Hipoventilasi

Penurunan jumlah udara yang memasuki paru-paru. Kondisi ini terjadi


saatventilasi alveolar tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic untuk
penyaluran oksigen dan pembuangan karbondioksida.

f. Pernapasan Kusmal

Salah satu jenis hiperventilasi yang menyertai asidosis metabolic.

g. Orthopnea

Ketidakmampuan untuk bernapas, kecuali dalam posisi tegak atau berdiri.

h. Dispnea

Kesulitan atau ketidaknyamanan saat bernapas.

2.1.4 Anatomi Fisiologi

Anatomi Pernafasan

1. Sistem pernapasan atas


a. Hidung
Pada hidung, udara yang masuk akan mengalami proses
penyaringan,humidifikasi dan penghangatan. 
b. Faring
Faring merupakan saluran yang terbagi dua, untuk udara dan makanan. Faring
terdiri atas nasoraing dan orofaring yang kaya akan jaringan limfoid
yang berfungsi menangkap dan menghancurkan kuman patogen yang  masuk
bersama udara.
c. Laring

Laring merupakan struktur menyerupai tulang rawan yang biasa disebut jakun.
Selain berperan dalam menghasilkan suara, laring berfungsi mempertahankan
kepatenan jalan napas dan melindungi jalan napas bawah dari air dan makanan
yang masuk.
2. Sistem Pernapasan Bawah
a. Trakea
Merupakan pipa membran yang disokong oleh cincin-cincin kartilago yang
menghubungkan laring dan bronkus utama kanan dan kiri. Di dalam
paru, bronkus utama terbagi menjadi bronku-bronkus yang kecil dan berakhir di
bronkiolus terminal. Keseluruhan jalan napas tersebut membentuk pohon
brokus.
b. Paru-paru
Terdapat 2 buah, terletak di sebelah kanan dan kiri. Masing-masing paru
terdiri atas beberapa lobus (patu kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus) dan
dipasok oleh 1 bronkus. Jaringan paru sendiri terdiri atas serangkaian jalan
napas yang bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru
dan jaringan ikat elastis. sPermukaan luar paru dilapisi oleh kantong tertutup
berdinding ganda yang disebut pleura.
Fisiologi pernapasan
1. Pernapasan Eksternal

Pernapasan ekstrenal (pernapasan pulmoner) mengacu pada keseluruhan


pertukaran O₂ dan CO₂  antara lingungan ekstrenal dan sel tubuh. Secara
umum, proses ini berlangsung dalam langkah,  yakni ventilasi pulmoner, 
pertukaran gas alveolar, serta transpor oksigen dan karbondioksida.

a. Ventilasi pulmoner
Saat bernapas, udara bergantian masuk-keluar paru melalui prosesventilasi
sehingga terjadi pertukaran gas antara lingkungan eksternal dan alveolus.
Proses ventilasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jalan napas yang
bersih, sistem saraf pusat dan sistem pernapasan yang utuh, rongga toraks
yang mampu mengembang dan berkontraksi dengan baik, serta komplian paru
yang adekuat.
b. Pertukaran gas alveolar
Setelah oksigen memasuki alveolus, proses pernapasan berikutnya adalah
difusi oksigen dari alveolus ke pembuluh darah pulmoner.Difusi
adalah pergerakan molekul 
dari area berkonsentrasi atau bertekanan tinggi ke 
berkonsentrasi atau bertekanan rendah.  Proses ini berlangsung
di alveollus dan membran kapiler dan dipengaruhi oleh ketebalan membran
serta perbedaan tekanan gas.
c. Transport oksigen dan karbondioksida
Tahap ketiga pada proses pernafasan adalah transport gas-
gas pernafasan pada proses ini, oksigen diangkut dari paru menuju jaringan da
n karbondioksida diangkut dari jaringan kembali menuju paru.
1) Transport O2

 Proses ini berlangsung pada sistem jantung dan paru-


paru. Normalnya, sebagian besar oksigen (97%) berikatan lemah dengan 
Hbdan diangkut keseluruh jaringan dalam bentuk oksigenmoglobin
(HbO2), dan sisanya terlarut dalam plasma. Proses ini dipengaruhi oleh
ventilasi (jumlah oksigen yang masuk dalam ke paru) dan perfusi (aliran
darah ke paru dan jaringan). Kapasitas darah yang membawa oksigen
dipengaruhi oleh jumlah O2 dalam plasma, jumlah hemoglobin dan
ikatan oksigenasi dengan hemoglobin.

2) Transport CO2

 Karbondioksida sebagai hasil metabolisme sel terus


menerus produksi dan diangkut menuju paru dalam 3 cara:

a) Sebagian besar karbondioksida (70%) diangkut dalam sel darah


merahdalam bentuk bikarbonat .
b) Sebanyak 23% karbondoksida berikatan dengan Hb
membentukkarbaminohemoglobin.
c) Sebanyak 7% diangkut dalam bentuk larutan di dalam plasma
dan dalam bentuk asam karbonat.
2. Pernapasan Sistemik

Pernapasan internal mengacu pada proses metabolisme intrasel


yang berlangsung dalam mitokondria , yang menggunakan oksigen dan menghasilka
nkarbondioksida selama proses penyerapan energi molekul nutrien. Pada proses ini,
darah yang banyak mengandung oksigen dibawa keseluruh tubuh hingga mencapai
kapiler sistemik.

2.1.5 Patofisiologi / PATWHAY


Permapasan

Oksigenasi

Ventilasi Transportasi

Difusi

Gangguan batuk Adanya sumbatan

pada jalan napas

Ketidakefektifan
Ketidakefektifan
Jalan jalan
napasnapas

Obstruksi jalan napas

Ketidakefektifan pola
napas

2.1.6 Komplikasi

1. Oxygen- Induced Hypoventilation


2. Oxygen Toxicity
3. Atelektasis
4. Occular Damage

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

a. Penilaian ventilasi dan oksigenasi : uji fungsi paru, pemeriksaan gas darah
arteri, oksimetri, pemeriksaan darah lengkap.
b. Tes struktur sistem pernapasan : sinar- x dadabronkoskopi, scan paru.
c. Deteksi abnormalitas sel dan infeksi saluran pernapasan : kultur
kerongkongan, sputum, uji kulit toraketensis.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis

1. Penatalaksanaan Medis

a. Diet

b. Pemberian infus

c. Terapi oksigen

d. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP

e.    Fisioterapi dada

f.    Pemantauan hemodinamik/jantung

g. Pengobatan

h.   Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan


2.2 Menajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Riwayat Keperawatan

Meliputi pengkajian tentang masalah pernapasan dulu dan sekarang , gayahidup, adanya
batuk, sputum, nyeri, dan adanya faktor resiko untuk gangguan statusoksigenasi.

a. Masalah pada pernapasan (dahulu dan sekarang)

Riwayat penyakit

1) Nyeri
2) Paparan lingungan
3) Batuk
4) Bunyi nafas
5) Faktor resiko penyakit paru
6) Frekuensi infeksi pernapasan
7) Masalah penyakit paru masa lalu
8) Penggunaan obat.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Mengamati tingkat kesadaran pasien, keadaan umum, postur tubuh,kondisi kulit, dan
membran mukosa, dada (kontur rongga interkosta, diameteranteroposterior, struktur
toraks, pergerakan dinding dada), pola napas(frekuensi dan kedalaman pernapasann,
durasi inspirasi dan ekspirasi).

b. Palpasi

Dilakukan dengaan menggunakan tumit tangan pemeriksa mendatardiatas dada


pasien. Saat palpasi perawat menilai adanya fremitus taktil pada dada dan punggung
pasien dengan memintanya menyebutkan “tujuh-tujuh” secara ulang. Normalnya,
fremitus taktil akan terasa pada individu yang sehat dan meningkat pada kondisi
konsolidasi.

c. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk menentukan ukuran dan bentuk organ dalamsertamengkaji
adanya abnormalitas , cairan /udara dalam paru. Normalnya, dada menghasilkan bunyi
resonan / gaung perkusi.

d. Auskultasi

Dapat dilakukan langsung / dengan menggunakan stetoskop. Bunyi yang terdengar


digambarkan berdasarkan nada, intensitas, durasi dankualitasnya. Untuk mendapatkan
hasil terbaik , valid dan akurat, sebaiknya auskultasi dilakukan lebih dari satu kali.

3. Pemeriksaan diagnostic

Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengkaji status, fungsi


danoksigenasi pernapasan pasien. Beberapa jenis pemeriksaan diagnostik antara lain :

a. Penilaian ventilasi dan oksigenasi : uji fungsi paru, pemeriksaan gas darah arteri,
oksimetri, pemeriksaan darah lengkap. 

b. Tes struktur sistem pernapasan : sinar- x dadabronkoskopi, scan paru.

c. Deteksi abnormalitas sel dan infeksi saluran pernapasan : kultur kerongkongan,


sputum, uji kulit toraketensis.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


a. Bersihan jalan napas tidak effektif
Bersihan jalan nafas adalah suatu keadaan ketika seorang individu mengalami suatu
ancaman yang nyata atau potensial pada status pernafasan sehubungan dengan
ketidakmampuan untuk batuk efektif.
b. Pola napas tidak effektif
Pola nafas tidak efektif adalah keadaan ketika seorang individu mengalami kehilangan
ventilasi yang aktual atau potensial yang berhubungan dengan perubahan pola
pernafasan.
c. Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas adalah keadaan ketika individu mengalami penurunan
jalannya gas ( oksigen dan karbon dioksida ) yang aktual antara alveoli paru-paru dan
sistem vaskuler.
2.2.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan


dan
(NIC)
Kriteria Hasil ( NOC )

1. Ketidakefektifan jalan Setelah dilakukan asuham Airway Management


napas berhubungan keperawatan selama … x
 Jaga kepatenan
24 jam
dengan obstruksi jalan jalan napas :
napas  Klien mampu buka jalan
mengidentifikasi napas, suction,
dan mencegah fisioterapi dada
faktor yang dapat sesuai indikasi.
menghambat jalan
 Monitor
napas.
pemberian
 Menunjukan jalan oksigen, vital
napas paten : klien sign setiap …
tidak merasa jam.
tercekik, tidak
 Monitor status
terjadi aspirasi dan
respirasi: adanya
frekuensi napas
suara tambahan.
dalam rentang
normal.  Ajarkan teknik
batuk napas
 Tidak ada suara
efektif.
napas abnormal.
 Kolaborasi
 Mampu
dengan tim
mengeluarkan
medis
sputum dari jalan
pemberian o2
napas.
 Catat tipe dan
secret
pencegahan
aspirasi.

 Tinggikan posisi
kepala ditempat
tidur 30-45
derajat, untuk
mencegah
aspirasi dan
mengurangi
dyspnea.

2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Airway Management


bersihnya jalan napas yang keperawatan selama …x
 Pantau adanya
berhubungan dengan 24 jam
pucat dan
batuk
Respiratory: Ventilation sianosis

 Pasien akan  Pantau efek obat


menunjukan pada status
pernapasan respirasi
optimal saat
 Pantau bunyi
terpasangnya
respirasi, pola
ventilator mekanis
respirasi dan
 Mempunyai vital sign
kecepatan dan
 Informasikan
irama respirasi
kepada klien dan
dalam batas
keluarga tentang
normal.
teknik relaksasi
 Mempunyai dalam
 Ajarkan cara
fungsi paru dalam
batuk efektif
batas normal.
 Catat tipe dan
jumlah secret
pencegahan
aspirasi.

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Menurut Carpenito (2009, hal 57). komponen implementasi dalam proses
keperawatan mencakup penerapan keterampilan yang diperlukan untuk mengimplentasikan
intervensi keperawatan. Keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk implementasi
biasanya berfokus pada
a.    Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien.
b.    Melakukan pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau memantau
status masalah yang telah ada
c.    Memberi pendidikan kesehatan untuk membantu klien mendapatkan pengetahuan yang
baru tentang kesehatannya atau penatalaksanaan gangguan.
d.   Membantu klien membuat keputusan tentang layanan kesehatannya sendiri
e.    Berkonsultasi dan membuat rujukan pada profesi kesehatan lainnya untuk mendapatkan
pengarahan yang tepat.
f.     Memberi tindakan yang spesifik untuk menghilangkan, mengurangi, atau menyelesaikan
masalah kesehatan.
g.    Membantu klien melakukan aktivitasnya sendiri
h.    Membantu klien mengidentifikasi risiko atau masalah dan menggali pilihan yang
tersedia. 
2.2.5 Evaluasi keperawatan

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan
keperawatan pada kriteria hasil (Hidayat, 2008.  hal; 124).

Anda mungkin juga menyukai