Bab 2 Anita Saputri Baru
Bab 2 Anita Saputri Baru
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Konsep Dasar Penyakit
2.3.1 Definisi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi
abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.
Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat
selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru
sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel. Dibarengi dengan bronchitis
obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan
pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen
yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk
kronis dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok. Emfisema disebabkan
karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung
yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar
dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya
dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim
alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini
2.3.2 Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama
emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi
familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma,
defisiensi antitripsin-alpha yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini,
enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive
terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen)
pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik. Sangat penting bahwa karier
genetik ini harus diidentifikasikan untuk memungkinkan modifikasi faktor-faktor lingkungan
untuk menghambat atau mencegah timbulnya gejala-gejala penyakit. Konseling genetik juga
harus diberikan.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
1) Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar
imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit
obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2) Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul
emfisema.
3) Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus
dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4) Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis
akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas
pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah
haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5) Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab
penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko
akan lebih tinggi.
6) Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin
kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan
ekonomi yang lebih jelek.
7) Pengaruh usia
8) Obstruksi Jalan Nafas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi
mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan
tetapi tidak dapat keluar pada ekspirasi. Etiologinya adalah benda asing di dalam
lumen dengan reaksi local, tumor intrabronkial di mediastinum, konginetal. Pada jenis
yang terakhir, obstruksi dapat di sebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.
2.3.3 Klasifikasi
Menurut Lewis merokok dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
gangguan langsung terhadap saluran pernafasan. Terjadinya iritasi merupakan efek dari
merokok yang menyebabkan hiperplasia pada sel-sel paru dan bertambahnya sel-sel
goblet, yang mana kemudian berakibat pada meningkatnya produksi sekret. Merokok
juga menyebabkan dilatasi saluran udara distal dengan kerusakan dinding alveolus
(Lewis, 2000 : 682).
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang
akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu
akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi
jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli,
jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs
dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas
atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai
dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan
dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru yaitu penyempitan saluran
nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang
berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang
menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak
jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada
enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan
elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa-
1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan
elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan
tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru
ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik
jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada
pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup.
Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi
alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia
dan sesak nafas.
2.3.6 Komplikasi
Kelanjutan dari kerusakan paru atau emfisema yang dapat terjadi adalah:
1. Gangguan paru, sehingga paru tidak berfungsi sama sekali. Kondisi ini merupakan
salah satu kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa.
2. Gangguan jantung akibat kerusakan paru.
3. Terbentuknya balon besar di paru. Balon ini dapat berukuran sangat besar, bahkan
sebesar paru itu sendiri dan memenuhi rongga dada. Akibatnya, paru akan tertekan
dan penderita akan mengalami gangguan pernapasan yang berakibat fatal.
4. Daya tahan tubuh kurang sempurna
5. Proses peradangan yang kronis disaluran nafas
6. Tingkat kerusakan paru makin parah
7. Pneumonia
8. Atelaktasis
9. Meningkatkan resiko Gagal nafas pada pasien
2.3.7 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru
terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
a. Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan
kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema
sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan
oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin
pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung.
Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio
R/S kurang dari 1.
a) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
b) Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya
bronkodilator.
c) TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma;
penurunan emfisema.
d) Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f) FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun
pada bronkitis dan asma.
g) GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat
menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi
kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h) JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan
eosinofil (asma).
i) Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan
diagnosa emfisema primer.
j) Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k) EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema);
aksis vertikal QRS (emfisema).
l) EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
2.3.8 Penatalaksanaan Medis
2.1.2 Etiologi
1 .Faktor Fisiologis
Kondisi ini dapat terjadi akibat penggunaan alat terapidan penurunan kadar O2
inspirasi.
c. Hipovolemik
Kondisi ini disebabkan oleh penurunan volume sirkulasi darah akibat kehilangan
cairan ekstraselular yang berlebihan.
Kondisi ini dapat terjadi pada kasus infeksi dan demam yang terus-menerus yang
mengakibatkan peningkatan laju metabolik. Akibatnya, tubuh mulai memecah persediaan
protein dan menyebabkan penurunan massa otot.
e. Kondisi Lainnya
2. Faktor perkembangan.
a. Bayi premature
Bayi yang lahir prematur berisiko menderita penyakit membran hialin yang
ditandai dengan berkembangnya membran serupa hialin yang membatasi ujung saluran
pernafasan. Kondisi ini disebabkan oleh produksi surfaktan yang masih sedikit karena
kemampuan paru menyintesis surfaktan baru berkembang pada trimester akhir.
Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
faringitis, influenza, tonsilitis, dan aspirasi benda asing (misal: makanan, permen dan
lain-lain).
Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran napas akut akibat
kebiasaan buruk, seperti merokok.
Kondisi stress, kebiasaan merokok, diet yang tidak sehat, kurang berolahraga,
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan paru pada
kelompok usia ini.
e. Lansia
Proses penuaan yang terjadi pada lansia menyebabkan perubahan fungsi normal
pernafasan, seperti penurunan elastis paru, pelebaran alveolus, dilatasi saluran bronkus
dan kifosis tulang belakang yang menghambat ekspansi paru sehingga berpengaruh pada
penurunan kadar O₂.
3. Faktor Perilaku
a. Nutrisi
b. Olahraga
1) Alkohol dan obat-obatan daoat menekan pusat pernapasan dan susunan saraf
pusat sehingga mengakibatkan penurunan laju dan kedalaman pernapasan.
d. Emosi
Perasaan takut, cemas dan marah yang tidak terkontrol akan merangsang aktivitas
saraf simpatis. Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan frekuensi
pernapasan sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Selain itu, kecemasan juga dapat
meningkatkan laju dan kedalaman pernapasan.
e. Gaya hidup
4. Faktor Lingkungan
a. Suhu
Faktor suhu dapat berpengaruh terhadap afinitas atau kekuatan ikatan Hb danO₂.
Dengan kata lain, suhu lingkungan juga bisa memengaruhi kebutuhan oksigen seseorang.
b. Ketinggian
Pada dataran yang tinggi akan terjadi penurunan pada tekanan udara sehingga
tekanan oksigen juga ikut turun. Akibatnya, orang yang tinggal di dataran tinggi
cenderung mengalami peningkatan frekuensi pernapasan dan denyut jantung. Sebaliknya,
pada dataran yang rendah akan terjadi peningkatan tekanan oksigen.
c. Polusi
Polusi udara, seperti asap atau debu sering kali menyebabkan sakit kepala,
pusing, batuk, tersedak, dan berbagai gangguan pernapasan lain pada orang yang
menghisapnya. Para pekerja di pabrik asbes atau bedak tabur berisiko tinggi
menderita penyakit paru akibat terpapar zat-zat berbahaya.
a. Takipnea
Frekuensi pernafasan yang cepat. Biasanya ini terlihat pada kondisi demam,
asidosis metabolic, nyeri dan pada kasus hiperkapnia atau hipoksemia.
b. Bradipnea
Frekuensi pernapasan yang lambat dan abnormal. Biasanya terlihat pada orang
yang baru menggunakan obat-obatan seperti morfin dan pada kasus alkalosismetaboli,
dan lain-lain.
c. Apnea
Peningkatan jumlah udara yang memasuki paru-paru. Kondisi ini terjadi saat
kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolic untuk pembuangankarbondioksida.
e. Hipoventilasi
f. Pernapasan Kusmal
g. Orthopnea
h. Dispnea
Anatomi Pernafasan
Laring merupakan struktur menyerupai tulang rawan yang biasa disebut jakun.
Selain berperan dalam menghasilkan suara, laring berfungsi mempertahankan
kepatenan jalan napas dan melindungi jalan napas bawah dari air dan makanan
yang masuk.
2. Sistem Pernapasan Bawah
a. Trakea
Merupakan pipa membran yang disokong oleh cincin-cincin kartilago yang
menghubungkan laring dan bronkus utama kanan dan kiri. Di dalam
paru, bronkus utama terbagi menjadi bronku-bronkus yang kecil dan berakhir di
bronkiolus terminal. Keseluruhan jalan napas tersebut membentuk pohon
brokus.
b. Paru-paru
Terdapat 2 buah, terletak di sebelah kanan dan kiri. Masing-masing paru
terdiri atas beberapa lobus (patu kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus) dan
dipasok oleh 1 bronkus. Jaringan paru sendiri terdiri atas serangkaian jalan
napas yang bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru
dan jaringan ikat elastis. sPermukaan luar paru dilapisi oleh kantong tertutup
berdinding ganda yang disebut pleura.
Fisiologi pernapasan
1. Pernapasan Eksternal
a. Ventilasi pulmoner
Saat bernapas, udara bergantian masuk-keluar paru melalui prosesventilasi
sehingga terjadi pertukaran gas antara lingkungan eksternal dan alveolus.
Proses ventilasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jalan napas yang
bersih, sistem saraf pusat dan sistem pernapasan yang utuh, rongga toraks
yang mampu mengembang dan berkontraksi dengan baik, serta komplian paru
yang adekuat.
b. Pertukaran gas alveolar
Setelah oksigen memasuki alveolus, proses pernapasan berikutnya adalah
difusi oksigen dari alveolus ke pembuluh darah pulmoner.Difusi
adalah pergerakan molekul
dari area berkonsentrasi atau bertekanan tinggi ke
berkonsentrasi atau bertekanan rendah. Proses ini berlangsung
di alveollus dan membran kapiler dan dipengaruhi oleh ketebalan membran
serta perbedaan tekanan gas.
c. Transport oksigen dan karbondioksida
Tahap ketiga pada proses pernafasan adalah transport gas-
gas pernafasan pada proses ini, oksigen diangkut dari paru menuju jaringan da
n karbondioksida diangkut dari jaringan kembali menuju paru.
1) Transport O2
2) Transport CO2
Oksigenasi
Ventilasi Transportasi
Difusi
Ketidakefektifan
Ketidakefektifan
Jalan jalan
napasnapas
Ketidakefektifan pola
napas
2.1.6 Komplikasi
a. Penilaian ventilasi dan oksigenasi : uji fungsi paru, pemeriksaan gas darah
arteri, oksimetri, pemeriksaan darah lengkap.
b. Tes struktur sistem pernapasan : sinar- x dadabronkoskopi, scan paru.
c. Deteksi abnormalitas sel dan infeksi saluran pernapasan : kultur
kerongkongan, sputum, uji kulit toraketensis.
1. Penatalaksanaan Medis
a. Diet
b. Pemberian infus
c. Terapi oksigen
d. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
e. Fisioterapi dada
g. Pengobatan
Meliputi pengkajian tentang masalah pernapasan dulu dan sekarang , gayahidup, adanya
batuk, sputum, nyeri, dan adanya faktor resiko untuk gangguan statusoksigenasi.
Riwayat penyakit
1) Nyeri
2) Paparan lingungan
3) Batuk
4) Bunyi nafas
5) Faktor resiko penyakit paru
6) Frekuensi infeksi pernapasan
7) Masalah penyakit paru masa lalu
8) Penggunaan obat.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Mengamati tingkat kesadaran pasien, keadaan umum, postur tubuh,kondisi kulit, dan
membran mukosa, dada (kontur rongga interkosta, diameteranteroposterior, struktur
toraks, pergerakan dinding dada), pola napas(frekuensi dan kedalaman pernapasann,
durasi inspirasi dan ekspirasi).
b. Palpasi
c. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk menentukan ukuran dan bentuk organ dalamsertamengkaji
adanya abnormalitas , cairan /udara dalam paru. Normalnya, dada menghasilkan bunyi
resonan / gaung perkusi.
d. Auskultasi
3. Pemeriksaan diagnostic
a. Penilaian ventilasi dan oksigenasi : uji fungsi paru, pemeriksaan gas darah arteri,
oksimetri, pemeriksaan darah lengkap.
Tinggikan posisi
kepala ditempat
tidur 30-45
derajat, untuk
mencegah
aspirasi dan
mengurangi
dyspnea.
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan
keperawatan pada kriteria hasil (Hidayat, 2008. hal; 124).