Bab II-Pelaporan, Pembukuan, Pencatatan
Bab II-Pelaporan, Pembukuan, Pencatatan
Pendahuluan
Tahapan ketiga dalam siklus hak dan kewajiban wajib pajak (WP) adalah pelaporan pajak. Laporan pajak adalah deklarasi atas
pendapatan wajib pajak orang piibadi atau badan yang dibuat setiap masa pajak atau tahun untuk otoritas pajak dan digunakan
sebagai dasar untuk menentukan jumlah pajak terhutang WP orang pribadi atau WP badan atas pajak. Atau dengan kata lain, laporan
pajak merupakan penyelesaian dokumentasi perhitungan pendapatan suatu entitas yang diperoleh, dengan jumlah pajak yang harus
dibayarkan kepada pemerintah (otoritas perpajakan).
Sebagai mana diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), WP menggunakan Surat
Pemberitahuan (SPT) sebagai suatu sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
terutang. Selain itu, SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, baik yang dilakukan WP
sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong/pemungut, melaporkan harta dan
kewajiban, dan penyetoran pajak dari pemotong atau pemungut yang bersumber dari pemotongan dan pemungutan pajak yang telah
dilakukan. Sehingga SPT mempunyai makna yang cukup penting baik bagi Wajib Pajak maupun aparat pajak.
Pelaporan pajak dapat disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Pajak
(KP2KP) di mana WP terdaftar.
1. SPT Masa
Yang dimaksud SPT Masa adalah SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak pada masa
tertentu (bulanan). Ada 9 (sembilan) jenis SPT Masa, meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran bulanan:
a) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 / 26, melaporkan tentang pajak penghasilan karyawan, dimana pasal 21 mengatur
karyawan Indonesia, dan pasal 26 mengatur karyawan asing yang berdomisili di Indonesia. Batas waktu pembayaran
jatuh pada tanggal 10 bulan berikutnya, diikuti oleh batas akhir waktu lapor, yaitu tanggal 20.
b) PPh Pasal 22, melaporkan pajak yang dipungut bendaharawan pemerintah berkenaan dengan penghasilan dari transaksi
impor. Batas waktu pembayaran jatuh pada hari berikut setelah pajak dipungut dan batas waktu lapor jatuh pada hari
kerja akhir minggu berikutnya.
c) PPh Pasal 23 / 26, sehubungan dengan pajak yang dipotong dari hasil transaksi modal, seperti dividen, bunga, royalti,
hadiah dan penghargaan, sewa dan pendapatan yang terkait dengan aset selain dari transaksi tanah dan bangunan dan
jasa. Pasal 23 diperuntukkan untuk transaksi yang terjadi dengan wajib pajak Indonesia, pasal 26 dengan orang asing
atau Badan Usaha Tetap milik asing. Batas waktu pembayaran jatuh pada tanggal 10 bulan berikutnya dan batas waktu
melapor pada tanggal 20.
d) PPh Pasal 25, berhubungan dengan angsuran bulanan. Batas waktu pembayaran jatuh pada tanggal 15 bulan
berikutnya, diikuti tanggal 20 sebagai batas waktu melapor pajak.
e) PPh Pasal 26, pajak penghasilan yang dipotong dari badan usaha apa pun di Indonesia yang melakukan transaksi
pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri.
f) PPh Pasal 4 (2), sehubungan dengan pajak yang dipotong dari penghasilan yang dipotong dari bunga deposito dan
tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah undian,
Pada saat ini untuk penyampaian SPT Masa PPN dan SPT Tahunan PPh WP OP khusus formulir 1770S dan 1770SS telah dapat
dilakukan secara online melalui aplikasi e-Filing. Penyampaian SPT juga dapat dilakukan secara elektronik melalui aplikasi e-SPT yang
dapat diunduh pada situs Direktorat Jenderal Pajak (DJP) www.pajak.go.id.
Pertama, untuk PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21/26 dan PPh Pasal 23/26, maka batas waktu
pembayaran/penyetoran pajak adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal
20 bulan berikutnya.
Kedua, untuk PPh Pasal 25 (angsuran pajak) untuk WP OP dan Badan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah
tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masanya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Ketiga, untuk PPh Pasal 25 (angsuran pajak) untuk WP Kriteria Tertentu (diperbolehkan melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu
pelaporan SPT Masa), maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada akhir masa pajak terakhir, sedangkan untuk
batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Keempat, untuk PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM oleh Bea Cukai, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah 1 (satu)
hari setelah dipungut, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada hari kerja terakhir minggu berikutnya
(melapor secara mingguan).
Kelima, untuk PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada hari yang sama
saat penyerahan barang, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 14 bulan berikutnya.
Keenam, untuk PPh Pasal 22 Pertamina, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebelum delivery order dibayar.
Ketujuh, untuk PPh Pasal 22 Pemungut Tertentu maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada tanggal 10 bulan
berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Kedelapan, untuk PPN dan PPn BM bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah
pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan, sedangkan untuk batas waktu
pelaporan SPT Masa-nya adalah pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
Kesembilan, untuk PPN dan PPn BM bagi Bendaharawan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah pada tanggal 7
bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada tanggal 14 bulan berikutnya.
Kesepuluh, untuk PPN dan PPn BM bagi Pemungut Non Bendaharawan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah
pada tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya adalah pada tanggal 20 bulan berikutnya.
Kesebelas, untuk PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPN dan PPnBM bagi WP Kriteria Tertentu, maka
batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sesuai batas waktu per SPT Masa, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT
Masa-nya adalah pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
Keduabelas, untuk PPh WP OP, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebelum SPT Tahunan PPh WP OP
disampaikan, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Tahunan-nya adalah pada akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun
atau bagian tahun pajak.
Ketigabelas, untuk SPT Tahunan PPh WP Badan, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak adalah sebelum SPT Tahunan
PPh WP Badan disampaikan, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Tahunan-nya adalah pada akhir bulan keempat setelah
berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak.
Keterlambatan pelaporan untuk SPT Masa PPN dikenakan denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), sedangkan
keterlambatan pelaporan SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Selanjutnya untuk
keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh WP OP khususnya mulai Tahun Pajak 2008 dikenakan denda sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah), dan keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh WP Badan dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah). Dengan mengetahui batas-batas tanggal pembayaran dan pelaporan perpajakan diharapkan WP lebih patuh dalam
menyetorkan pajak ke bank dan melaporkannya sesuai batas waktu yang ditentukan. Hal ini juga dilakukan agar WP dapat
memahami sistem administrasi perpajakan Indonesia untuk menghindari sanksi administrasi berupa denda dan bunga.
Berikut klasifikasi batas waktu penyetoran SPT Masa menurut klasifikasi objek pajak:
1. PPN atau PPN dan PPnBM dari Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Akibat atau sanksi yang diterima jika tidak atau terlambat penyetoran pajak adalah sanksi berupa bunga 2% per bulan.
PT Alor menyetorkan pajak atas PPh pasal 21 masa Februari pada tanggal 11 Maret 2018 sebesar Rp 10.000.000,- . Karena tanggal
jatuh tempo penyetoran SPT Masa adalah tanggal 10 bulan berikutnya, maka PT Alor terlambat menyetorkan pajak yang terutang dan
diterbitkan Surat Tagian Pajak (STP), sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% dari Rp 10.000.000,- . Dengan demikian nilai STP
nya adalah 2% x Rp 10.000.000,- = Rp 200.000,- . Inilah interpretasi atas pengertian “bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”,
yaitu walaupun lewat satu hari saja maka dianggap satu bulan.
Bagaimana jika pada tanggal jatuh tempo atau tanggal batas akhir penyetoran atau pelaporan SPT Masa adalah hari Sabtu (kantor
pajak tutup) atau bertepatan dengan hari libur nasional. Dalam kasus ini pelaporan atau penyetoran dapat dilakukan satu hari kerja
berikutnya dan dianggap melapor dan/atau menyetor pajak tepat waktu.
Contoh :
1. Tanggal 10 adalah hari Kamis dan hari tersebut adalah hari libur nasional. Wajib Pajak dapat menyetorkan PPh 21 Masa
pada tanggal 11 ( 1 hari kerja berikutnya ) dan dianggap tidak terlambat menyetorkan (tidak dikenai sanksi)
2. Tanggal 20 adalah hari Sabtu , jika Wajib Pajak melapor SPT Masa PPh Pasal 21 hari Senin tanggal 22, maka pelaporan
wajib pajak dianggap tepat waktu
Inilah makna pemahaman mengenai ketentuan batas waktu pelaporan SPT dan pembayaran/penyetoran pajak sehingga kita
mengetahui kapan jatuh tempo atau batas waktu terakhir pelaporan SPT dan penyetoran pajak untuk menghindari sanksi administrasi
berupa denda dan bunga.
Equalisasi Informasi SPT Tahunan Badan, SPT Masa PPh Dan SPT Masa PPN
Masih banyak Wajib Pajak yang melupakan sinkronisasi atau equalisasi antara Surat Pemberitahuan dengan laporan keuangan.
Sekedar diingatkan kembali, bahwa fiskus akan dan harus berpatokan kepada Surat Pemberitahuan. Surat Pemberitahuan berfungsi
sebagai laporan pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak kepada kantor pajak. Sedangkan Neraca dan Laporan Laba Rugi
hanyalah lampiran atau pelengkap dari Surat Pemberitahuan. Keduanya (Neraca & Laporan Laba Rugi) bukan laporan Wajib Pajak
tentang kewajiban perpajakan. Karena itu, laporan keuangan saja belum cukup. Bagi fiskus, administrasi perpajakan yang baik
mungkin lebih penting daripada laporan keuangan yang bagus.
Equalisasi pajak adalah pemeriksaan tingkat keseimbangan antara satu jenis pajak dengan jenis pajak yang lain yang memiliki
hubungan. Yang dimaksud hubungan di sini adalah elemen laporan suatu jenis pajak merupakan bagian dari laporan jenis pajak yang
lain. Secara sederhana, equalisasi pajak adalah perbandingan antara laba rugi yang dilaporkan dalam SPT PPh dengan SPT Masa
PPN, SPT Masa PPh Pasal 21/26, SPT Masa PPh Pasal 23, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Oleh karena itu, manajemen khususnya
bagian perpajakan harus akurat dan tepat dalam menempatkan mana biaya yang menjadi objek ataupun tidak dan kapan penjualan
tersebut diterbitkan faktur pajaknya dan dilaporkan PPN-nya. Agar ketika nantinya ditemukan perbedaan antara informasi yang fiskus
dapatkan dari SPT Tahunan Badan dan SPT Masa PPh maupun SPT Masa PPN, wajib pajak (manajemen) dapat memjelaskan satu-
persatu penyebab perbedaan sehingga dapat terhindar dari kemungkinan adanya sanksi administrasi perpajakan.
a) Equalisasi antara SPT Tahunan PPh Badan dan SPT Masa PPh
Wajib Pajak seharusnya membuat equalisasi antara pos-pos di laporan keuangan komersial dan angka angka di SPT Tahunan PPh
Badan. Setiap perpedaan angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak wajib harus mempersiapkan
Djedoma Gonzaga Aloysius, SE., MSi., Ak., CPA 10
BAB II PELAPORAN PAJAK (SPT MASA DAN SPT TAHUNAN )
PEMBUKUAN DAN PENCATATAN BAGI WAJIB PAJAK
alasan-alasan yang rasional dan berdasar. Berdasar maksudnya, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan peraturan perpajakan yang
berlaku, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri keuangan maupun keputusan direktur jenderal pajak. SPT
Tahunan PPh Pasal 21 berfungsi sebagai rekapitulasi dari semua objek-objek PPh Pasal 21. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21
seperti laporan keuangan interim, dilihat dari teknis perhitungan pajak, hanya sementara. Tetapi sementara lebih baik daripada tidak
sama sekali. Seandainya tidak membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21, tetapi taat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21, maka SPT
Masa tersebut tetap diakui dan Wajib Pajak telah melaksanakan sebagian kewajibannya. Angka-angka yang dicantumkan dalam SPT
Tahunan PPh Pasal 21 harus dapat dijelaskan bersumber dari perkiraan apa saja. Saat membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 kita
harus membuat equalisasi antara pos-pos biaya di Laporan Laba Rugi dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Equalisasi ini akan sangat
bermanfaat. Setidaknya tidak akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) objek PPh Pasal 21. Penghitungan ganda bisa
dilakukan oleh Wajib Pajak saat membuat SPT Tahunan maupun pemeriksa pajak yang tidak mengerti sumber angka di SPT Tahunan
PPh Pasal 21. Pemeriksa menduga objek PPh Pasal 21 belum dilaporkan di SPT Tahunan kemudian menghitung ulang (koreksi
positif). Jika terjadi penghitungan ganda seperti itu tentu merugikan Wajib Pajak sendiri. Dalam penyusunan laporan laba rugi dan
pengisian SPT Tahunan Badan, manajemen harus mengerti mana akun-akun yang seharusnya menjadi obyek PPh Pasal 21 dan
mana yang bukan. Bisa jadi ada biaya yang bukan merupakan komponen objek PPh Pasal 21 namun masuk dalam akun Objek PPh
Pasal 21 dalam SPT PPh 21, demikian juga sebaliknya. Teknik equalisasi PPh Pasl 21, seperti yang diuraikan diatas, sama dengan
PPh Pasal 23. Hanya saja karena PPh Pasal 23 tidak ada SPT Tahunan maka Wajib Pajak tetap harus membuat rekapitulasi SPT
Masa. Harus jelas berapa pembayaran PPh Pasal 23 atas royalti, atas sewa, atas jasa teknik selama setahun. Total pembayaran
selama setahun masing-masing tahun pajak dapat diperinci. Kemudian bandingkan dengan biaya-biaya yang dilaporkan di Laporan
Laba Rugi. Sedangkan untuk Pasal 4 ayat 2, teknik equalisasinya sama dengan PPh pasal 23 yang berbeda hanya jenis
penghasilannya. Pembayaran yang sudah dikenakan PPh Pasal 23 tidak dapat dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 dan begitu juga
sebaliknya. Oleh karena itu jika dilakukan equalisasi, maka kita akan dapat mengetahui akun akun atau pos-pos mana yang dipotong
PPh 23 atau PPh Pasal 4 ayat 2.
Dalam praktik pemeriksaan pajak standar, pihak pemeriksa umumnya menggunakan metode rekonsiliasi (equalisasi) guna
membandingkan jumlah peredaran usaha menurut SPT PPh Badan berikut audit financial report-nya dan jumlah penyerahan yang
dilaporkan perusahaan pada SPT Masa PPN. Jika jumlah peredaran usaha menurut SPT PPh Badan lebih besar dari SPT Masa PPN,
perusahaan dianggap tidak/belum sepenuhnya memungut PPN atas penjualannya kepada pelanggan. Sedangkan apabila jumlah
peredaran usaha menurut SPT PPh Badan lebih kecil daripada yang dilaporkan pada SPT Masa PPN, perusahaan mungkin patut
diduga melakukan under declared revenue pada perhitungan PPh badannya. Perusahaan menghadapi situasi dilematis karena selisih
harus dapat dijelaskan, sehingga koreksi pemeriksaan dapat dihindari. Berikut adalah kemungkinan penyebab terjadinya perbedaan
(un-reconciled items) dalam equalisasi peredaran usaha antara SPT PPh badan dan SPT Masa PPN:
i. Perbedaan waktu (timing difference) antara pengakuan pendapatan untuk kepentingan akuntansi komersial dengan penebitan
faktur pajak. Dengan ketentuan baru mengenai tata cara penerbitan faktur pajak (fiskalisasi faktur komersial atau
komersialisasi faktur pajak), perbedaan ini dapat diminimalkan.
ii. Perbedaan kurs yang dipakai dalam pencatatan pembukuan dan untuk penerbitan faktur pajak pada pendapatan perusahaan
dengan mata uang asing. Umumnya, pendapatan dalam mata uang asing dibukukan perusahaan menggunakan kurs yang
ditetapkan perusahaan, sementara faktur pajaknya diterbitkan dengan memakai kurs mingguan yang dikeluarkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan sebagai acuannya.
iii. Adanya pendapatan yang merupakan penyerahan yang terutang PPN tetapi tidak dicatat dalam peredaran usaha oleh
perusahaan. Dalam kasus ini, perusahaan mungkin mencatatnya dalam pos perkiraan penghasilan lain-lain (other income).
v. Adanya unsur penyerahan yang menjadi obyek pemungutan PPN tetapi belum/bukan merupakan penghasilan perusahaan,
seperti penerimaan uang muka. Perusahaan diharuskan untuk menerbitkan faktur pajak karena secara kontrak, pembayaran
diterima lebih dahulu daripada penyerahan BKP dan/atau JKP.
vi. Faktor penyebab lainnya, seperti: pemberian potongan harga tambahan setelah penerbitan faktur pajak ( additional cash
discount), misalnya apabila pelanggan bersedia melakukan pelunasan lebih cepat dari jangka waktu yang disepakati,
kesalahan tulis, entry data, atau hitung (human errors) baik pada pencatatan pembukuan maupun saat pembuatan faktur
pajak.
Dalam konteks manajemen perpajakan yang baik, pekerjaan rekonsiliasi peredaran usaha ini dapat dilakukan secara periodik sesuai
dengan sumber daya manusia (resources) yang ada. Perusahaan dengan volume penjualan besar, sering, retail/eceran dan
melibatkan banyak outlet penjualan yang tersebar di beberapa wilayah, disarankan untuk melakukan rekonsiliasi dalam waktu yang
relativ pendek, seperti basis triwulan, bulanan, atau bahkan dwi-mingguan atau mingguan. Sementara perusahaan dengan volume
penjualan yang relatif jarang dan hanya melibatkan satu titik penjualan dapat membuat rekonsiliasi peredaran usaha yang lebih
fleksibel, seperti catur wulanan, semesteran atau bahkan basis tahunan.
Penyusunan rekonsiliasi secara rutin-periodik akan memudahkan perusahaan untuk mengetahui penyebab perbedaan, menelusuri un-
reconciled items peredaran usaha, disamping juga untuk mengambil langkah antisipatif perbaikan apabila, misalnya ditemukan human
errors baik dalam buku perusahaan ataupun dalam penerbitan faktur pajak perusahaan. Agar terhindar dari koreksi yang tidak
seharusnya, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh wajib pajak yaitu di antaranya:
Identifikasi pos-pos/akun-akun yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 21 atau biaya yang pajak
masukannya dikreditkan dalam SPT Masa PPN/PPnBM.
Identifikasi pos-pos/akun-akun neraca yang relevan.
Buat perincian DPP PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 21 dan pajak masukan yang dikreditkan dalam SPT Masa PPN/PPnBM.
Mengingat saat pemotongan/pelaporan PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 21, PPN/PPnBM berbeda dengan saat pembukuan
sebagai biaya, maka lakukan equalisasi dengan memperhatikan perbedaan waktu ini.
Identifikasi pemotongan PPh, pengkreditan PPN yang biayanya telah dilaporkan pada tahun pajak sebelumnya.Begitupun
biaya pada tahun yang diperiksa namun pemotongan/pelaporan PPh dan pengkreditan PPNnya dilakukan pada tahun
berikutnya. Ada kalanya pos biaya tertentu adalah gabungan dari biaya yang merupakan objek pemotongan PPh atau objek
PPN juga sekaligus bukan merupakan objek pemotongan PPh atau objek PPN.
c) dalam audit pajak atau pemeriksaan pajak, biasanya fiskus membandingkan informasi yang ada pada SPT Tahunan Badan
dengan informasi di SPT Masa PPh maupun PPN. Oleh karena itu, dalam menyusun laporan keuangan, mengisi SPT Tahunan
Badan dan SPT Masa PPh maupun PPN, manajemen sebaiknya menyelaraskan ataupun menyesuaikan informasi mengenai pos-
pos yang berkaitan yang ada di SPT. Perbedaan mungkin saja terjadi antara kedua sumber informasi tersebut. Hal ini dapat terjadi
karena beda waktu pelaporan, beda pengakuan pendapatan, pemakaian sendiri ataupun bonus dan selisih kurs. Jika ditemukan
oleh fiskus perbedaan tersebut, manajemen harus bisa menjelaskan satu persatu dilengkapi dengan bukti yang akurat. Akan
tetapi, jika perbedaan yang ditemukan oleh fiskus merupakan wujud kesengajaan wajib pajak (manajemen) dalam usaha
mengecilkan ataupun menggelapkan pajak (tax evasion), maka wajib pajak beresiko terkena sanksi administrasi maupun pidana.
Pasal 18 UU Tax Amnesty menyebutkan, dalam hal WP telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data
dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap
sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai
harta dimaksud.
Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1
Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada
saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini mulai berlaku.
c. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa
kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
d. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Jadi jika harta tidak diungkap semua sementara WP sudah mengikuti tax amnesty, maka WP akan dikenakan pajak sesuai UU PPh
plus sanksi 200 persen. Namun bagi WP yang tidak mengikuti tax amnesty, maka harta yang tidak dilaporkan dalam SPT dan
ditemukan oleh Ditjen Pajak, maka dihitung pajaknya 30 persen plus sanksi bunga 2 persen per bulan dan akan dihitung sejak
ditemukan datanya sampai diterbitkan SKPKB maksimal 24 bulan.
Atas permohonan WP, Direktur Jenderal Pajak (DJP) dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan
dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami
kesulitan likuiditas.
1. WP mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar atau kekurangan utang pajak.
2. Apabila WP disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran kecuali STP, WP dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan,
dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
3. Permohonan harus diajukan secara tertulis paling lama 9 hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan
dan bukti yang mendukung permohonan, serta jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, dan
besarnya angsuran, atau jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.
4. Apabila batas waktu 9 hari tersebut tidak dapat dipenuhi oleh WP karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan WP
masih dapat dipertimbangkan DJP sepanjang WP dapat membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut.
5. Permohonan harus diajukan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I PER - 38/PJ/2008.
6. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan, harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan
pertimbangan Kepala KPP, kecuali apabila Kepala KPP menganggap tidak perlu. Jaminan dapat berupa garansi bank,
surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat
deposito.
7. WP yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu yang melampaui 9 hari kerja sebelum jatuh tempo, harus
memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu
pengangsuran atau penundaan.
Angsuran atas utang pajak dapat diberikan paling lama 12 bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Angsuran
Pembayaran Pajak dengan angsuran paling banyak 1 kali dalam 1 bulan, untuk permohonan angsuran atas utang pajak berupa STP,
SKPKB, SKPKBT, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali. Atau paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan angsuran atas kekurangan
pembayaran utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh, dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) bulan.
Penundaan atas utang pajak dapat diberikan paling lama 12 bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Penundaan
Pembayaran Pajak, untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa STP, SKPKB, SKPKBT, dan Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Atau paling lama sampai dengan bulan terakhir
Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan utang pajak berupa pajak yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan PPh.
Bunga yang timbul akibat angsuran atau penundaan pembayaran pajak, dihitung berdasarkan saldo utang pajak. Bunga ditagih
dengan menerbitkan STP pada setiap tanggal jatuh tempo angsuran, jatuh tempo penundaan, atau pada tanggal pembayaran. Bunga
tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas pembayaran STP.
Setelah mempertimbangkan alasan beserta bukti pendukung yang diajukan oleh WP, Kepala KPP atas nama DJP menerbitkan
keputusan dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan. Keputusan dapat berupa :
1. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai permohonan Wajib Pajak;
2. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai pertimbangan Kepala KPP; atau
3. Menolak permohonan Wajib Pajak.
Apabila jangka waktu 7 hari kerja telah terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui sesuai
dengan permohonan WP, dan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Persetujuan
Penundaan Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah jangka waktu 7 hari kerja tersebut berakhir. Apabila
WP yang sedang mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB) dan/atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga (SKPIB), pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Penetapan kembali besarnya angsuran dan/atau masa angsuran dilakukan dengan prosedur :
1. Kepala KPP memberitahukan kepada Wajib Pajak tentang pemindahbukuan/pembayaran dan perubahan saldo utang pajak
serta permintaan usulan perubahan angsuran;
2. Wajib pajak harus menyampaikan usulan perubahan angsuran paling lama 5 hari kerja sejak tanggal penerbitan Surat
Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB);
3. Kepala KPP menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak yang juga berfungsi sebagai
pembatalan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak sebelumnya berdasarkan usulan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan Wajib Pajak.
Contoh Kasus
PT.XYZ menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2019
dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2019. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak
dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00 per bulan. Sanksi administrasi berupa bunga
untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
angsuran ke-1: 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2: 2% x Rp 896.000,00= Rp17.920,00.
angsuran ke-3: 2% x Rp 672.000,00 = Rp13.440,00.
angsuran ke-4: 2% x Rp 448.000,00= Rp 8.960,00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp 224.000,00 = Rp 4.480,00.
Apabila PT.XYZ diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2019, sanksi administrasi berupa
bunga atas penundaan pembayaran SKPKB tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
Penutup
Meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran pajak telah ditentukan, WP dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak. Hak untuk mengangsur dan menunda pembayaran pajak diberikan hanya dalam kondisi khusus. Kondisi
tersebut ialah ketika WP mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan diluar kekuasaannya sehingga WP tidak akan
mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. Untuk dapat mengangsur atau menunda pembayaran pajak, WP harus
mengajukan permohonan secara tertulis beserta bukti pendukung yang diajukan kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar. Kepala
KPP memiliki kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan WP, Kepala KPP atas nama DJP menerbitkan keputusan
dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan. Apabila WP disetujui untuk mengangsur atau menunda
pembayaran, WP dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai
dengan pembayaran angsuran/pelunasan.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda kekurangan
pembayaran pajak berikut:
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT PBB,
Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak PBB
Pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak PBB
Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah
Syarat Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan mengangsur atau menunda utang pajak adalah karena kesulitan likuiditas
atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
Permohonan Wajib Pajak harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat
permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan
alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri
surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
surat permohonan mencantumkan: jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran,
dan besarnya angsuran; atau jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu
penundaan.
dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus dibayar,
selain memenuhi persyaratan diatas, Wajib Pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya dan
permohonan dimaksud juga harus dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau
Surat Tagihan Pajak PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak setelah melampaui batas waktu 9 (sembilan) hari kerja
sebelum jatuh tempo pembayaran harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai
dengan jangka waktu pengangsuran. Contoh surat penundaan dan pengangsuran pajak terhutang dapat dilihat pada lampiran
Peraturan Menteri Keuangan nomor 242/PMK.03/2014, seperti berikut ini:
Definisi
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup
dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun
kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan Peraturan
perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
2. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan Pertambangan selain pertambangan minyak dan
gas bumi;
3. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
pertambangan minyak dan gas bumi;
4. Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan
atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang terkait;
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang Dollar Amerikat Serikat dan telah
memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company)
yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang- Undang Pajak Penghasilan.
Tata Cara Pengajuan Penyelenggaraan Pembukuan dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus
terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka
Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan :
1. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satauan mata uang Dollar Amerika
Serikat tersebut dimulai;
2. Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum
memberikan keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uangan Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
tanggal pendirian (bagi WP yang sudah menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang
diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP yang
belum menyelenggarakan sejak pendiriannya).
Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai, maka wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke
KPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang
Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai. Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang telah memberitahukan
ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat,
namun WP tersebut akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata Rupiah, wajib
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah
belum memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima. WP yang mengajukan permohonan tersebut tidak diperbolehkan
lagi menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak izin tersebut dicabut.
Batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk SPT masa adalah
PPh pasal 4(2) setor sendiri tgl 15 bulan berikutnya tgl 20 bulan berikutnya
PPh pasal 4(2) pemotongan tgl 10 bulan berikutnya tgl 20 bulan berikutnya
PPh pasal 15 setor sendiri tgl 15 bulan berikutnya tgl 20 bulan berikutnya
hari yang sama dg pembayaran atas penyerahan14 hari setelah masa pajak
PPh pasal 22 pemungutan oleh bendaharawan
barang berakhir
PPh pasal 22 pemungutan oleh WP badan tertentu tgl 10 bulan berikutnya tgl 20 bulan berikutnya
PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atautgl 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnyaakhir bulan berikutnya setelah
JKP dari Luar Daerah Pabean pajak Masa Pajak berakhir
PPN dan/ atau PPnBM pemungutan oleh Pejabat harus disetor pada hari yang sama dengan
Penandatanganan Surat Perintah Membayarpelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan
sebagai Pemungut PPN Pemerintah melalui KPPN