Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

INDUSTRI PERBANKAN PADA PANDEMI COVID-19

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester

Dosen Pengampu:

N. Marlina, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:

Akbar Muhammad Rahman 206100045

Manajemen 2B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA CIANJUR

2021
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, definisi bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.
Selain itu juga menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan.
Dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan (2010) karya Irsyad Lubis, bank secara
harfiah berasal dari bahasa Italy, yakni banco artinya bangku. Pada zaman dahulu, bangku
digunakan oleh para banker untuk melakukan kegiatan operasional melayani masyarakat
atau nasabah. Istilah tersebut berkembang hingga menjadi bank.
Industri perbankan menghadapi tantangan, tak cuma sulit mengalami masa emas dengan
mencatat pertumbuhan kredit 20%-30% pada 2010-an, pandemi coronavirus bikin bank
makin terseok. Meski demikian, dorongan konsolidasi dari pemerintah dan otoritas mulai
menampakkan hasilnya sejak tahun lalu. Tanpa ada pandemi, sejatinya kinerja industri
perbankan cukup menantang. Tahun lalu, pertumbuhan kredit misalnya cuma tercatat
cuma 6,04%. Melanjutkan tren perlambatan sejak beberapa tahun belakangan yang
sebelumnya masih bisa mencatat pertumbuhan di atas 10%.
Catatan serupa juga terjadi dari aspek penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), tahun lalu
pertumbuhannya juga cuma di kisaran 6,5%. Pertumbuhan DPK tlah berada di bawah
10% sejak awal 2010. 
Ini pula yang membuat likuiditas perbankan cenderung meningkat belakangan tahun.
Sampai puncaknya semester II-2019 lalu, Bank Indonesia turut melonggarkan Rasio
Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 82-92% menjadi 84-94%. Niatnya guna
mendongkrak pertumbuhan kredit kembali di atas 10%. Sayang jauh panggang dari api.
Apalagi sejak awal tahun, pandemi global Covid-19 ikut menyerang tanah air. Tahun ini
yang ditargetkan membawa asa baru justru membelenggu. Pemerintah bersama otoritas
keuangan berupaya mencegah dampak negatif pandemic.
1.2 Rumusan Masalah
1. Landasan hukum perbankan.
2. Situasi Bank selama covid-19.
3. Upaya pemerintah dan otoritas keuangan.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini :
1. Mengetahui landasan hukum perbankan.
2. Mengetahui situasi bank selama covid-19
3. Mengetahui upaya pemerintah dan otoritas keuangan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank disebutkan sebagai


badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.

mayoritas bank besar mengalami kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan
(NPL) di semester I – 2020. Kecenderungan itu terjadi, kendatipun bank bank tersebut sudah
melakukan restrukturisasi kredit cukup besar. Kenaikan NPL terjadi lantaran beberapa
debetur sudah mengalami masalah dari sisi cash flow sebelum pandemic Covid-19 merebak.
Setelah pandemi terjadi, arus kas para debitur semakin terganggu dan bergerak menjadi kredit
macet karena gagal direstrukturisasi. Adapun per Juni 2020, rasio kredit bermasalah atau Non
Performing Loan (NPL) berada diangka 3,11% (bruto) dan 1,16% (neto). Dilain pihak Dana
Pihak Ketiga (DPK) tumbuh tinggi sampai 8% karena masyarakat menghadapi ketidak
pastian covid, makanya masyarakat menabung untuk berjaga jaga.

Dalam menghadapi dampak dari covid-19 yang membuat perekonomian nasional


menghadapi pertumbuhan negatif cenderung lebih kuat mendorong menuju jurang resesi.
Sehingga   sejumlah perbankan terpaksa dan telah mengambil kebijakan hapus buku dan
hapus tagih piutang (write off) dilakukan untuk kredit yang sudah masuk katagori macet
dalam jangka waktu lama. Tindakan penghapusan buku ini seiring dengan kenaikan NPL
yang naik signifikan. Dilakukan oleh perbankan biasanya untuk menjaga rasio NPL. Bila
kredit bermasalah dihapus di neraca keuangan, secara otomatis NPL akan turun dan
mempengaruhi berkurangnya pendapatan yang menggerus laba dengan konsekuensi
menurunnya modal bank. Sebagaimana yang dihadapi BCA yang mencatatkan NPL sebesar
2,1% per Juni 2020, naik signifikan dibandingkan dengan Juni 2019 yang masih sebesar
1,4%. Sebagaimana informasi keputusan penghapusan buku juga dilakukan oleh PT Bank
CIMB NIaga, diperkirakan ada kecenderungan semua buku 4 mengalami kondisi yang sama
apalagi buku 3,2,1 untuk memperbaiki posisi NPL nya cenderung akan menempuh kebijakan
yang sama melakukan penghapusan buku mengingat sektor UMKM yang banyak menjadi
obyek pembiayaan buku 1,2 dan 3 dan paling terdampak covid-19.

sejumlah stimulus stimulus diluncurkan.Salah satu yang pertama dan utama adalah relaksasi
ketentuan restrukturisasi kredit dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak Maret, bank tak
perlu menyisihkan pencadangan buat debiturnya yang terimbas pandemi. penilaian
kolektabilitas kredit pun dipangkas hanya mengandalkan satu pilar. Tujuannya agar rasio
kredit macet bank dapat ditekan, sekaligus mengurangi biaya pencadangan yang perlu
dibentuk Sampai 27 September 2020, telah ada 100 bank yang merestrukturisasi kredit senilai
Rp 904,285 triliun dari 7.465.990 debitur. Nilai tersebut berasal dari 5.824.976 debitur
UMKM dengan nilai kredit Rp 359,977 triliun, dan 1.641.014 debitur non UMKM dengan
kredit Rp 544,308 triliun. Sayangnya, kebijakan ini tak serta merta bisa menekan non
performing loan (NPL). Terutama pada kuartal II-2020, NPL telah beranjak ke level di atas
3%. Pun, meski tak diwajibkan, sejumlah bank tetap membentuk pencadangan ekstra guna
memitigasi risiko lebih lanjut. Maklum, tak semua debitur bank laik dapat relaksasi
restrukturisasi. Sehingga bank juga perlu membentuk pencadangan untuk menghindari
kenaikan NPL, sekaligus kerugian yang makin dalam. Deputi Komisioner Humas dan
Logistik OJK Anto Prabowo pun mengimbau hal serupa. Ia bilang meskipun OJK telah
memastikan adanya perpanjangan waktu restrukturisasi kredit terimbas pandemi, bank kini
mesti bersiap menghadapi dampak lanjutan terhadap debitur yang gagal bertahan akibat
pandemi.
PENUTUP

Saran

Anda mungkin juga menyukai