Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MAKALAH THAHARAH, WUDHU, DAN TAYAMUM


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Dosen Pengampu : Beni Nur Cahyadi, S.Pd.I,M.Pd


Oleh : Maheka Adie Kusuma
Nirm : K. 02.20.0002

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MULIA ASTUTI
WONOGIRI
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan dengan
ibadah. Shalat dan haji misalnya, tanpa bersuci orang yang hadats tidak dapat menunaikan
ibadah tersebut.

Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki tata cara atau
aturan yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, tidak akan sah bersucinya dan secara
otomatis ibadah yang dikerjakan juga tidak sah. Terkadang ada problema ketika orang itu
tidak menemukan air, maka Islam mempermudahkan orang tersebut untuk melakukan
tayamum sebagai ganti dari mandi, yang mana alat bersucinya dengan mengunakan debu.

Tetapi bagaimana jika ada orang yang tidak menemukan kedua alat bersuci? Lalu
bagaimana orang tersebut bersuci? Tidak hanya orang yang tidak menemukan kedua alat
bersuci, yang dalam istilah fiqihnya disebut dengan faaqiduth thohuuroini. Bagaimana tata
cara bersuci yang benar bagi orang sakit, misal kakinya diperban atau pasien rawat inap di
rumah sakit yang biasanya tidak boleh terkena air?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin sering kita jumpai di kalangan masyarakat, dan


bukan tidak mungkin kita pun akan mengalaminya. Tanpa adanya kajian khusus tentang hal-
hal di atas bukan tidak mungkin kita sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Islam berbasis
pesantren tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Berawal dari deskripsi di atas ditambah dengan tugas mata kuliah Pengembangan Materi
PAI, kami mencoba menguraikan hal-hal di atas, walau pun tidak dapat dikatakan
menyeluruh. Minimal dengan adanya makalah ini, kita mengetahui gambaran status hukum
kasus-kasus tersebut, semoga tergerak untuk melaksanakan studi yang mendalam tentang
hukum peribadatan Islam ini atau menarik hal positif lain yang nanti akan berguna di
kehidupan kita nanti. Aamiin.

2
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari thaharah, wudhu’ dan tayamum?

2. Sebutkan landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum?

3. Jelaskan pembagian mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian dari thaharah, wudhu’ dan tayamum.

2. Untuk mengetahui landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum.

3. Untuk mengetahui pembagian mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah, Wudhu dan Tayamum

1. Pengertian Thaharah

Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal ibadah,
terutama dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil maupun
bersuci dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu syaratnya,
maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih”. Dalam Hadits Pilihan Shahih
Bukahri, thaharah artinya bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata
maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara
terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis
dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Sedangkan menurut istilah, thaharah berarti membersihkan diri dari hadats dan
najis. Yaitu mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan
menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai dengan
ajaran agama Islam. Menurut istilah para ulama Ahli Tasawuf ialah membersihkan diri
dari segala perbuatan yang dilarang oleh Syara’ atau dari perbuatan yang akan
menimbulkan dosa dan dari budi pekerti yang buruk atau perangai yang jahat. Sedangkan
menurut istilah ulama Fikih ialah membersihkan diri dari najis dan hadas.
Begitulah pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan
bahwasannya kebersihan adalah sebagian daripada iman. Namun banyak ulama berbeda
pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang paling
masyhur adalah:
1. Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin
maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan,
maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
2. Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu
bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari
hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah shalat. Jadi

4
bersuci itu separuh dari shalat. Shalat dikatakan sebagai iman karena merupakan
pokok amalan iman.

2. Pengertian Wudhu

Wudhu menurut bahasa berarti “baik” dan “bersih”. Sedangkan menurut istilah,
wudhu adalah membasuh muka, kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala,
dan membasuh kaki yang sebelumnya didahului dengan niat serta dilakukan dengan tertib.
Wudhu adalah membasuh bagian tertentu yang boleh ditetapkan dari anggota badan
dengan air sebagai persiapan bagi seorang Muslim untuk menghadap Allah SWT
(mendirikan shalat) dan suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum
seseorang mengerjakan shalat.

3. Pengertian Tayamum

Menurut bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan


menurut pengertian syari’at, tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua
tangan dengan niat untuk mendirikan shalat atau lainnya.[9] Menurut para ulama
Fikih, ada beberapa pengertian tentang tayamum, yaitu:
a. Menurut Hanafiah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu
yang suci.
b. Menurut Malikiyah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu
yang suci disertai niat.
c. Menurut Syafi’iyah, tayamum adalah mendatangkan debu pada wajah dan kedua
tangan atau anggota dari keduanya sebagai ganti dari wudhu’ atau mandi dengan
syarat-syarat tertentu.
d. Menurut Hanabilah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu
yang suci dengan cara yang ditentukan .
Menurut Hanafiyah, tayamum merupakan pengganti yang mutlak dari wudhu, maksudnya
tayamum dapat menghilangkan hadats selama tidak ada air ketika seseorang akan
menunaikan shalat. Dengan keterangan ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa dengan
sekali tayamum, kita dapat melaksanakan shalat fardhu lebih dari sekali, waktu
bertayamum tidak harus menunggu masuknya waktu shalat, serta hal-hal lain sebagaimana
wudhu.
5
Pernyataan ini berbeda dengan jumhur, yakni kedudukan tayamum menghilangkan hadats.
Maka bila telah masuk waktu shalat orang yang hadats tidak menemukan air atau karena
sebab lain yang memperbolehkan seseorang bertayamum ia dapat menunaikan shalat
walau dalam keadaan hadats dengan bertayamum karena darurat, sebagaimana kasus
mustahadhoh (orang perempuan yang istihadho).
Ulama telah sepakat bahwa tayamum menjadi pengganti dari thaharah kecil (berhadats
kecil), tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tentang tayamum sebagai pengganti
thaharah besar (hadats besar).
Jadi tayamum adalah suatu rukhshah/keringanan bagi orang yang tidak diperkenankan
menggunakan air karena sakit atau kesulitan untuk mendapatkan air.

B. Landasan Hukum Thaharah, Wudhu dan Tayamum

1. Landasan Hukum Thaharah

Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya
merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan
agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya dari
najis. Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian,
dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).
Rasulullah bersabda: “Kunci shalat adalah bersuci.” Dan sabdanya, “Shalat tanpa wudhu
tidak diterima.” (HR Muslim). Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian adalah setengah
iman.” (HR Muslim).

Dalil tentang thaharah 3, yaitu:


a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 222
َ‫إِ َّن هللاَ يُ ِحبُّ التَّوَّابِ ْينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-
orang yang menyucikan diri”.
b. Hadits Nabi SAW yang berbunyi:

6
َ ُ ‫الَ يَ ْقبَ ُل هللا‬
َ ‫صالَة ًبِ َغي ِْر‬
)‫ ( رواه المسلم‬.‫طهُوْ رًا‬
Artinya: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak dalam keadaan suci”.
(HR. Muslim)
c. Ijma’
Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat dan hadits di atas memberi penegasan
bahwa thaharah (bersuci) wajib hukumnya, tidak saja karena orang muslim akan
mendirikan shalat melainkan juga wajib dalam semua keadaan, terutama bersuci dari
najis dan hadats besar.

2. Landasan Hukum Wudhu

Perintah wudhu diwajibkan kepada orang yang akan melaksanakan shalat salah satu syarat
sahnya shalat. Adapun disyari’atkannya wudhu ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan:
a. Firman Allah dalam surat Al-Maidah: 6 :
‫ ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك ْم إِلَى‬k‫وس‬ ِ ِ‫ ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬kْ‫وهَ ُك ْم َوأَي‬kُ‫لُوا ُوج‬k‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى الصَّال ِة فَا ْغ ِس‬
ِ ‫حُوا بِ ُر ُء‬k‫ق َوا ْم َس‬k
ْ
‫…ال َك ْعبَي ِْن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
b. Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
‫ال يقبل هللا صالة أحدكم إذا أحدث حتّى يتوضّأ‬
Artinya: ” Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu bila ia berhadats,
sehingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Ijma’
Menurut ijma’ ulama berpendapat bahwa wudhu hukumnya wajib bagi Muslim yang
sudah dewasa dan berakal, telah masuk waktu shalat atau ketika akan melaksanakan
suatu perbuatan yang disyaria’tkan wudhu terlebih dahulu.

7
3. Landasan Tayamum

Dalil disyariatkannya tayamum ada 3, yaitu:


a. Firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43:
…‫ ِعيدًا‬k‫ص‬ َ ‫وا‬kk‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬kk‫ دُوا َم‬k‫ا َء فَلَ ْم تَ ِج‬k‫تُ ُم النِّ َس‬k‫ ِط أَوْ ال َم ْس‬kِ‫ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائ‬
َ ْ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
‫ًًّوا َغفُورًا‬kّ ُ‫ َكانَ َعف‬ َ ‫طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم إِ َّن هَّللا‬
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
b. Hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah r.a berkata:
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, “seluruh bumi dijadikan bagiku dan bagi
umatku sebagai mesjid dan alat bersuci, maka dimana juga shalat itu ditemui salah
seorang di antaramu, disisinya terdapat-terdapat alat untuk bersuci.” (HR. Ahmad)
c. Ijma’
Ijma’ ulama membolehkan tayamum, tetapi khusus bagi orang sakit dan Musafir yang
ktiadaan air. Namun mereka berselisih dalam persoalan, yaitu:
1)      Orang sakit yang khawatir terhadap pnggunaan air pada penyakitnya,
2)      Keadaan normal yang tidak menemukan air,
3)      Musafir yang sangat yang menghemat atau memerlukan air bawaanya, dan
4)     Orang yang khawatir terhadap kesehatannya dengan menggunakan air yang
sangat dingin.
Jumhur ulama berpendapat bahwa keempat golongan tersebut boleh bertayamum,
sedangkan Atha’ tidak membolehkan tayamum baik orang sakit maupun sehat
jikamenemukan air.sementara itu, mahzab Syafi’i dan Maliki membolehkan tayamum
bagi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan tidak sakit.

8
C. Pembagian Thaharah, Wudhu dan Tayamum

Pembagian Thaharah
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar, yaitu:
a. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan
badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara
hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air
kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik
pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-
macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan
air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air
7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara
mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau
najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.

b. Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik
hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat
kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita.
Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang
bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran
yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ bila
ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian pula
dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu
mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar
hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik
memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk

9
melakukan ritual ibadah. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu’ atau
mandi janabah.

1. Pembagian, Syarat, Rukun & Yang Membatalkan Wudhu

A.    Pembagian Wudhu:

1. Wajib, sebagai syarat sahnya shalat, sujud tilawah, thawaf, dan menyentuh
mushaf.
2. Sunnah, ketika akan melakukan segala amal kebaikan (berdzikir, tidur,
melakukan hubungan suami istri, setelah berbuat kemaksiatan, marah,
membaca Al-Qur'an, memandikan jenazah dsb)
3. Makruh, jika wudhu yang sudah dilaksanakan belum digunakan untuk
beribadah sehingga makruh jika mengulangi wudhu.
4. Haram, jika berwudhu dengan air hasil ghoshob, atau hasil mencuri dan
semisalnya.

B.     Syarat-syarat Wudhu
1.      Islam,
2.      Mumayiz (dapat mmbdakan mana nilai-nilai yang baik dan buruk atau sudah
berakal),
3.      Airnya suci,
4.      Tidak ada halangan dari agama seperti haid atau nifas.

C.     Rukun (Fardu) Wudhu’


1.      Niat,
2.      Membasuh muka,
3.      Membasuh kedua tangan sampai kedua siku,
4.      Mengusap sebagian kepala,
5.      Membasuh kaki sampai mata kaki,
6.      Menertibkan rukun-rukun di atas.

10
11
D.    Yang Membatalkan Wudhu’

1.      Sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur,

2.      Tidur nyenyak shingga pinggul tidak tetap lagi di atas lantai,

3.      Hilang akal karena mabuk, gila dan pingsan yang disebabkan obat-obatan atau
sakit,

4.      Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya dan tanpa
lapis,

5.      Menyentuh kemaluan tanpa alas.

2. Syarat, Rukun dan Yang Membatalkan Tayamum

A.    Syarat-Syarat Tayamum:

1.      Adanya halangan seperti tidak mendapatkan air, sakit dan lain-lain,

2.      Sudah masuk waktu shalat, tetapi tidak mendapatkan air,

3.      Debu yang dipergunakan untuk tayamum harus suci.

B.     Rukun (Fardu) Tayamum:


1.      Niat untuk melaksanakan shalat
2.      Mengusap muka
3.      Mengusap dua tangan sampai siku
4.      Tertib

C.     Yang Membatalkan Tayamum:


1.      Segala sesuatu yang membatalkan wudhu’,

2.      Menemukan air jika tayamum disebabkan ketiadaan air,

3.      Riddah, keluar dari agama Islam.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian materi di atas yang telah diungkapkan pada halaman
sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, karena itu bersuci
memperoleh tempat yang utama dalam ajaran Islam. Berbagai aturan dan hukum
ditetapkan oleh syara’ dengan maksud antara lain agar manusia menjadi suci dan bersih
baik lahir maupun batin.
2. Bersuci juga sangat ditekankan dalam Islam, baik dari hadats kecil, hadats besar, atau
najis yang datangnya dari luar tubuh. Islam telah mengatur hal ini dengan sebaik-baiknya,
karena bersuci adalah kegiatan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan ibadah.
3. Cara mensucikan hadats kecil adalah dengan berwudhu atau tayammum jika memang
tidak menemukan air. Sedangkan mensucikan hadats besar adalah dengan mandi, namun
jika seorang yang junub tidak menemukan air, boleh baginya untuk bertayammum seperti
halnya berwudhu.
4. Wudhu adalah membasuh bagian tertentu yang boleh ditetapkan dari anggota badan
dengan air sebagai persiapan bagi seorang Muslim untuk menghadap Allah SWT
(mendirikan shalat) dan suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum
seseorang mengerjakan shalat.
5. Tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk
mendirikan shalat atau lainnya.

B. SARAN

Pemakalah menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami pengertian thaharah,


wudhu dan tayamum, landasan hukum thaharah, wudhu dan tayamum, serta pembagian
thaharah, wudhu dan tayamum. Bagi pembaca dan mahasiswa lain yang ingin mengetahui
dan memahami lebih dalam lagi mengenai materi ini, maka dapat menjadikan makalah ini
sebagai referensi. Pemakalah juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini selanjutnya.

13
14
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Departemen Agama RI.2009. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro.


Hafsah. 2011. Fiqh. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Mz, Labib. 2005.  Terj. Hadits Pilihan Shahih Bukhari. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.
Rusyd, Ahmad Ibn.tt.  Bidayah al-Mujtahid. Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyat.
Sabiq, Sayid. 1995. Fiqh Al-Sun. Beirut: Dar al-Fikr.
Sinaga, Ali Imran. 2011.  FIKIH. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Tim Penyusun Fak. Tarbiyah. 2012. Buku Ajar Praktik Ibadah. IAIN SU.
Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam. Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh
Shalih Alu Syaikh   Hafizhohulloh. Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah. Tasikmalaya.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. 2012. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

2.       Internet

http://tigalandasanutama.wordpress.com/2011/12/13/bab-thaharah-bersuci-wudhu-dasar-
hukum-dan-keutamaannya/
http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/09/30/pengertian-dan-pembagian-thaharah/
http://vitaguspurnomo.blogspot.com/2012/03/wudhu.html

15

Anda mungkin juga menyukai