Di Indonesia sendiri penerapan New Public Service sudah sangat lama dibicarakan dan berusaha untuk direalisasikan, namun dalam kenyataannya masih terkendala banyak hal dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Menurut R Nugroho Dwijowiyoto (2001), kondisi riil birokrasi Indonesia
saat ini, digambarkan sebagai berikut : 1. Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku (birokrasi lama). 2. Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau mau berhasil dalam kompetisi harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat. Birokrasi di Indonesia sangatlah commanding dan sentralistik, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan zaman masa kini dan masa depan, di mana dibutuhkan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan. Selain itu dengan posisinya yang strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar dari berbagai kritik yang hadir yaitu: 1. Buruknya pelayanan public 2. Besarnya angka kebocoran anggaran Negara 3. Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS 4. Sulitnya pelaksanaa koordinasi antar instansi 5. Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual masalah lainnya. 6. Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, ekslusif, kaku, dan terlalu dominan sehingga hampir seluruh masyarakat membutuhkan sentuhan- sentuhan birokrasi. (birokrasi lama) 7. Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berprespektif harus dihormati oleh rakyat.
Jika kita lihat dari pendapat R. Nugroho Dwijowiyoto penerapan New
Public Service masihlah belum terlaksana karena masih banyaknya masalah- masalah yang masih perlu dibenahi sehingga menghambat proses penerapan konsep New Public Service ini.
Kemudian jika mengacu kepada prinsip-prinsip dari New Public Service itu sendiri ada beberapa berinsip yang masih belum terpenuhi. Berikut beberapa prinsip yang belum terpenuhi dan juga kendala yang dihadapi :
1. Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest)
New Publik Service berpandangan aparatur negara bukan aktor utama dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan publik. Administrator publik adalah aktor penting dalam sistem kepemerintahan yang lebih luas yang terdiri dari warga negara, kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya. Administrator negara mempunyai peran membantu warga negara mengartikulasikan kepentingan publik. Warga negara diberi suatu pilihan di setiap tahapan proses kepemerintahan, bukan hanya dilibatkan pada saat pemilihan umum. Administrator publik berkewajiban memfasilitasi forum bagi terjadinya dialog publik. Argumen ini berpengaruh terhadap peran dan tanggung jawab administrasi publik yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian tujuan- tujuan ekonomis tapi juga nilai-nilai yang menjadi manifestasi kepentingan publik seperti kejujuran ,keadilan, kemanusiaan, dan sebagainya. Namun pada kenyataannya para pelayan publik masih belum mengutamakan kepentingan publik. Sebagai contoh misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, penyelenggara layanan secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan pelayanan umum tidak ada kepastian sehingga menimbulkan masyarakat tak nyaman dan menghilangkan rasa kepercayaan terhadap pelayan publik.
2. Kewarganegaraan Lebih Berharga dari Kewirausahaan (Value Citizenship over
Entrepreuneurship) New Publik Service memandang keterlibatan citizen dalam proses administrasi dan pemerintahan lebih penting ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh semangat wirausaha. New Publik Service berargumen kepentingan publik akan lebih baik bila dirumuskan dan dikembangkan oleh aparatur negara bersama-sama dengan warga negara yang punya komitmen untuk memberi sumbangan berarti pada kehidupan bersama daripada oleh manajer berjiwa wirausaha yang bertindak seolah uang dan kekayaan publik itu milik mereka. Tak jarang proses pelayanan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang penyelenggara layanan meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya. Seorang pejabat atau penyelenggara layanan menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.
3. Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically, Act
Democratically) Ide utama prinsip ini adalah bahwa kebijakan dan program untuk menjawab kebutuhan publik akan dapat efektif dan responsif apabila dikelola melalui usaha kolektif dan proses kolaboratif. Prinsip ini berkaitan dengan bagaimana administrasi publik menerjemahkan atau mengimplementasikan kebijakan publik sebagai manifestasi dari kepentingan publik. Fokus utama implementasi dalam New Publik Service pada keterlibatan citizen dan pembangunan komunitas (community building). Keterlibatan citizen dilihat sebagai bagian yang harus ada dalam implementasi kebijakan dalam sistem demokrasi. Keterlibatan disini mencakup keseluruhan tahapan perumusan dan proses implementasi kebijakan. Melalui proses ini, warga negara merasa terlibat dalam proses kepemerintahan bukan hanya menuntut pemerintah untuk memuaskan kepentingannya. Organisasi menjadi ruang publik dimana manusia (citizen dan administrator) dengan perspektif yang berbeda bertindak bersama demi kebaikan publik. Interaksi dan keterlibatan dengan warga negara ini yang memberi tujuan dan makna pada pelayanan publik. Namun partisispasi masyarakat dalam pemerintahan masih dibilang minim. Selama ini menurut Paper 01/TK/2011LoGoWa/FISIP Universitas Indonesia/TK/4Prasojo (2008), ruang bagi publik untuk berpartisipasi dilakukan oleh masyarakat secara spontan melalui beberapa sarana. Diantara sarana utama yang dipergunakan sebagai media partisipasi menurut Prasojo adalah sarana public hearing di DPRD, pengaduan di kotak-kotak saran, dan melalui lembaga- lembaga resmi lainnya. Meskipun demikian keterlibatan masyarakat tersebut belum sampai pada tahapan citizen control, melainkan hanya sampai pada tingkat informasi dan konsultasi saja. Apa yang disampaikan oleh Prasojo (2008) tersebut, juga sejalan dengan pandangan dari tim revisiUU No. 32/2004. Menurut tim revisi UU No. 32/2004 terdapat sejumlah permasalahan yang terkait dengan peran masyarakat madani dalam pemerintahan, yakni: 1) Tidak ada pengaturan yang menghubungkan antara pemerintah daerah dan masyarakat 2) Tidak ada cukup tersedia informasi tentang kegiatan pemerintahan bagi masyarakat 3) Proses kebijakan di daerah yang masih lebih banyak mewakili kepentingan elit politik daripada kepentingan publik.
4. Tahu kalau Akuntabilitas bukan Hal yang Sederhana (Recognize that
Accountability is not Simple) Aparatur publik harus tidak hanya mengutamakan kepentingan pasar, mereka harus juga mengutamakan ketaatan pada konstitusi, hukum, nilai masyarakat, nilai politik, standard profesional, dan kepentingan warga negara. Menurut New Publik Service, efisiensi, efektivitas, dan kepuasan customer penting, tapi administrasi publik juga harus mempertanggungjawabkan kinerjanya dari sisi etika, prinsip demokrasi, dan kepentingan publik. Administrator publik bukan wirausaha atas bisnisnya sendiri dimana konsekuensi ataupun kegagalan akibat keputusan yang diambilnya akan ditanggungnya sendiri. Resiko atas kegagalan suatu implementasi kebijakan publik akan ditanggung semua warga masyarakat. Karena itu akuntabilitas administrasi publik bersifat komplek dan multifacet atau banyak dimensi seperti pertanggung jawaban profesional, legal, politis, dan demokratis. Akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat apalagi di daerah- daerah masihlah sangat kurang, banyak masyarakat yang tidak mengetahui transparansi dari setiap kegiatan maupun laporan keuangan yang ada di daerahnya. Hal ini mencerminkan bahwa akuntabilitas pemerintah dalam hal demokrasi masih belum terpenuhi. 5. Melayani Warga Negara, bukan Customer (Serve Citizens, not Customers) New Publik Service memandang publik sebagai “citizen” atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. Tidak hanya sebagai customer yang dilihat dari kemampuannya membeli atau membayar produk atau jasa. Citizen adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang disediakan pemerintah dan sekaligus juga subyek dari berbagai kewajiban publik seperti mematuhi peraturan perundang- undangan, membayar pajak, membela negara, dan sebagainya. New Publik Service melihat publik sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban dalam komunitas yang lebih luas. Adanya unsur paksaan dalam mematuhi kewajiban publik menjadikan relasi negara dan publik tidak bersifat sukarela. Karena itu, abdi negara tidak hanya responsif terhadap “customer”, tapi juga fokus pada pemenuhan hak -hak publik serta upaya membangun hubungan kepercayaan (trust) dan kolaborasi dengan warga negara. Hal diatas masihlah belum terlaksana dengan baik karena kadang kala ditemui adanya pelayanan publik yang mendahulukan pelayanan terhadap pihak yang mempunyai kedudukan ataupun masyarakat yang menggunakan uang untuk mempercepat proses dari pelayanan tersebut. Misalnya pembuatan KTP, agar prosesnya cepat selesai maka seseorang membayar si pelayan public tersebut sedangkan seseorang yang tidak membayar dilayani dengan wajar dan kadang cenderung diundur-undur. Hal ini menunjukan bahwa proses pelayanan masih mengikuti kemampuan seseorang untuk membeli atau membayar suatu produk jasa.
2. Dampak Penerapan New Public Service di Indonesia
Dampak penerapan New Public Service di Indonesia juga memberikan dampak yaitu adanya kesadaran dalam peranan negara yang sebenarnya. Tidak lagi otoriter maupun masih memilih siapa yang berhak mendapatkan pelayanan dari Negara. Dalam konteks kekinian praktek Administrasi Publik di Indonesia telah mengarah pada prinsip-prinsip paradigma New Public Service. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kebijakan public yang berpola bottom up, yaitu alur pengambilan keputusan ditetapkan secara berjenjang mulai dari level struktur yang paling bawah atau masyarakat, yang kemudian menjadi dasar keputusan struktur teratas. Pada pola bottom up menunjukkan kecenderungan bahwa pada dasarnya pemerintah menganggap masyarakat sebagai warga Negara atau pemilik sah pemerintahan bukan sebagai pelanggan atau pembeli. Pengaruh paradigma New Public Service ini memberikan wawasan baru bahwa Negara seharusnya memberikan pelayanan public bagi semua warga Negara. Hal inilah yang mendorong administrasi publik di Indonesia untuk menerapkan paradigma tersebut yang menerapkan pelayanan kepada setiap warga negara di Indonesia serta memberi kemudahan dengan adanya program-program yang diselenggarakan pemerintah untuk datang memberi pelayanan pada warga negara yang menjangkau segala pelosok daerah. Dari adanya program-program tersebut sebagai bukti bahwa paradigma New Public Service telah memberi pemikiran baru dalam cara memerintah sebuah negara. New Public Service adalah cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover) kelemahan-kelemahan paradigma Old Public Administration dan New Public Management.
3. Kendala Dalam Menerapkan New Public Service
Permasalahan Administrasi Publik di Indonesia Administrasi publik dalam perkembangannya di Indonesia telah melalui beberapa tahap, mulai dari masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde baru, dan masa reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang. Sebagai salah satu negara yang ada di dunia tentunya Indonesia juga merupakan bagian sistem pelaksanaan administrasi global, yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kontradiksi dan saling hubungan antar sesama bangsa di dunia. Dan Indonesia pun saat ini mulai mengadopsi sistem administrasi dengan paradigma yang palig baru yaitu New Publik Service. Hanya saja banyak permasalahan administrasi yang terjadi di Indonesia antara lain: 1. Pengaruh budaya lama (budaya feodal) Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka tidak bisa dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau daerah, karena pasti budaya setempat mempengaruhi dengan kuat ketika akan mempraktekkannya. New Publik Service atau good governance sulit untuk di terapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat Indonesia yang biasa melayani kepentingan penguasa, maka aparatur yang seharusnya melayani warga masyarakat, malah berbalik arah untuk minta dilayani, dan masyarakat pun dengan senang hati melayani kepentingan atau kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan administrasi pemerintahan. Budaya asal bapak senang, budaya kroonisme/nepotisme, tidak bisa di pisahkan dalam pelaksanaan administrasi, rasa kekeluargaan di Indonesia sangat kuat, apabila ada saudara, famili, atau tetangga yang mempunyai wewenang untuk melakukan proses pengurusan administrasi pemerintahan, pastilah kita minta bantuannya dan otomatis famili atau keluarga tersebut akan mendahulukan kita tanpa proses antri, dan masih banyak contoh yang lainnya. “Kenyamanan” yang dirasakan selama ini oleh jajaran birokrat (status quo) membuat mereka sulit untuk merubah pola pikir maupun sikap mental untuk mendukung kearah perubahan yang lebih baik. Intinya terjadi penentangan oleh pihak internal (birokrat itu sendiri) terhadap usaha perubahan yang menjadi inti dari reformasi pelayan public menuju New Public Service ini. Ketidakinginan untuk merubah pola pikir termasuk budaya kerja dari para birokrat yang ada tentunya menjadi kendala dalam perubahan itu sendiri. Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan, tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk
pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas birokrat sejati. Faktor inilah yang merupakan hal krusial dalam implementasi penerapan New Public Service di Indonesia secara menyeluruh.
2. Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi
tahun 1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan diri dari NKRI. Dalam perkembangannya otonomi daerah dengan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, dimana kepala daerah merupakan jabatan politis yang dicalonkan oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan pernah lepas dari corak dan gaya kepemimpinannya. Administrator daerah dalam hal ini kepala daerah sebagai jabatan politis maka akan banyak kepentingan politis yang lebih mempengaruhi dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan. Ini bisa terlihat setiap ada pergantian kepala daerah, maka pasti akan diikuti oleh pergantian pejabat eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas hampir semua pejabat diganti, dengan alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini menyebabkan pejabat eselon juga menjadi mandul, tidak kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, karena takut jabatannya di copot. Kemudian bisa di pastikan ada kesepakatan- kesepakatan politik antara kepala daerah terpilih dengan partai yang mencalonkannya, minimal pada pembagian proyek-proyek daerah. Dan masih banyak yang lainnya. Dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang ada di Indonesia dalam pelaksanaan administrasi publik, secara garis besar adalah pengaruh budaya lokal yang tidak bisa bertransformasi langsung dengan baik terhadap konsep-konsep yang kita ambil dari luar, oleh karena itu, kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan budaya ke arah yang lebih baik. Kemudian yang kedua adalah politisasi dalam pelaksanaan administrasi publik yang sangat kental dan pengaruh politik ini bisaa menjadi dominan, dalam menentukan kebijakan publik. Selagi administrasi publik belum bisa melepaskan diri dari ranah politik maka kebijakan publik pun tidak akan pernah lepas dari kepentingan politik.
3. Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah
Semua urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan- peraturan itu kurang disosialisasikan. Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu layanan. Celakanya, hal inlantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi, untuk menjalankan “aksi”-nya demi keuntungan pribadi.
4. Kinerja Pegawai Rendah
Sudah jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai pelayanan publik kita buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk. Ya, disini kita sedang membicarakan tentang tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan ngobrol, sering bolos kantor untuk belanja di pasar, dan lain sebagainya. Jadi bagaimana pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas. Sebagai contoh mudah, soal sering ngaret-nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi korban.
Persoalan pelayanan publik di Indonesia secara singkat dapat
dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu : 1. Paradigma pelayanan publik dan mentalitas aparat Aturan dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan tanggung jawab Negara dalam memberi pelayanan, namun ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan buruknya pelayanan public di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya sikap dan paradigma dari aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan yang masih rules- driven atau berdasar perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan masyarakat. Setiap aparat harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat.
2. Kualitas pelayanan tidak memadai dan masih diskriminatif
Jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang tanpa diskriminasi belum diberikan dengan kualitas yang memadai. Selain itu, pelayanan publik yang disediakan umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fasilitas dan sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini disebabkan oleh keterbatasan SDM serta alokasi anggaran yang kurang memadai dalam APBD. Disejumlah daerah, APBD lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan kegiatan pembangunan.
3. Belum ada regulasi yang memadai
Regulasi yang ada belum mampu meyakinkan bahwa kewajiban Negara semestinya diiringi dengan kemampuan member pelayanan yang terbaik kepada warganya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan belum optimal, meski terdapat perangkat yang dapat mendukung upaya itu.
Pendekatan sederhana untuk komunikasi profesional: Panduan praktis untuk komunikasi profesional dan strategi komunikasi bisnis tertulis dan interpersonal terbaik