Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum yang berlandasan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga

negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Semua hak dan

kewajiban warga Indonesia untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadikan sistem peradilan

pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

diberlakukan, hukum acara pidana yang ada di Indonesia adalah Het Herziene

Inlandsch Reglement (Staatblad 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan

Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951. Dalam pelaksanaannya, KUHAP

harus melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan tersangka atau

terpidana yang merupakan bagian dari masyarakat.1

Semua kepentingan masyarakat harus dilindungi, ini sesuai dengan

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi “...untuk

membentuk sesuatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum...” Untuk membentuk rasa keadilan dan dalam masyarakat,

setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana harus dituntut dan dipidana

(bukan hanya yang bersifat pidana, termasuk juga tindakan, maupun kebijakan)

dan berat ringannya suatu pidana dilihat dari tingkat kesalahan dan rasa keadilan.
1
Andi Hamzah, 2011, KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta
2

Kepentingan tersangka atau terdakwa perlindungannya terlihat dalam proses

pemeriksaan, yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang

pengadilan. Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan

kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang

dapat didakwa suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya minta pemeriksaan dan

putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan,

memperoleh putusan hakim, dan melaksanakan putusan hakim.2

Pembatasan kebebasan hak seseorang terlihat pada waktu seseorang itu

diduga melakukan suatu tindak pidana, dan penegak hukum berwenang

membatasi kebebasan mereka, yaitu melalui proses penangkapan dan penahan.

Penangkapan harus dengan atas perintah penyidik, dan yang dimaksud dengan

penyidik termasuk di dalamnya adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia

atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Perintah yang dimaksud berupa

surat perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan

dilakukan, hal ini tidak berlaku apabila dalam hal tertangkap tangan.3

Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan

bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam hal ini

sangat jelas bahwa setiap penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-

2
Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
3
Bambang Poernomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta
3

wenangnya, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak

pidana. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP

“suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Pasal ini merupakan asas legalitas pada dasarnya berlaku untuk masa yang

akan datang (kedepan), artinya berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi

pada waktu sesudah hukum (UU) ditetapkan.4

Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan

tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum,

atau hakim dengan penempatannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam Undang-Undang ini. Dasar pertimbangan untuk diadakan penahanan

dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu :

1. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri;


2. Tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti;
3. Tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana;

Terjadinya penanguhan penahanan seolah-olah didasarkan pada “bentuk

kontrak” atau “perjanjian” dalam hubungan perdata. Itu sebabnya cenderung

untuk mengatakan terjadinya penangguhan penahanan berdasarkan “perjanjian”

antara orang tahanan dengan pihak instansi yang menahan. Orang tahanan berjanji

akan melaksanakan dan memenuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan instansi

yang menahan, dan sebagai “imbalan” pihak yang menahan mengeluarkan dari

tahanan dengan menangguhkan penahanan.

4
Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana,. Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
4

Wewenang penangguhan penahanan dapat diberikan oleh semua instansi

penegak hukum. Pasal 31 ayat (1) tidak membatasi kewenangan penangguhan

penahanan terhadap instansi tertentu saja. Masing-masing instansi penegak hukum

yang berwenang memerintahkan penahanan, sama-sama mempunyai wewenang

untuk menangguhkan penahanan. Baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim

mempunyai kewenangan untuk menangguhkan penahanan, selama tahanan yang

bersangkutan masih berada dalam lingkungan tanggung jawab yuridis mereka.

Tentang alasan penangguhan penahanan tidak disinggung dalam Pasal 31

KUHAP maupun dalam penjelasan pasal tersebut. Kalau begitu ditinjau dari segi

yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap tidak relevan untuk dipersoalkan.

Persoalan pokok bagi hukum dalam penangguhan berkisar pada masalah “syarat”

dan “jaminan penangguhan”. Akan tetapi, sekalipun Undang-Undang tidak

menentukan alasan penangguhan, dan memberi kebebasan dan kewenangan penuh

kepada instansi yang menahan untuk menyetujui atau tidak menangguhkan,

sepatutnya instansi yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan

dan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis dan

preventif. Oleh karena itu, kebebasan dan kewenangan menangguhkan penahanan,

jangan semata-mata bertitik tolak dari sudut persyaratan dan jaminan yang

ditetapkan, tapi juga harus mengkaji dan mempertimbangkan lebih dalam dari

sudut yang lebih luas.5

Di samping alasan untuk dapat dilakukan penahanan, Undang-Undang

juga memberikan saluran hukum bagi seseorang untuk ditangguhkan

5
Harahap, M. Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,. Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm:209
5

penahanannya dengan menggunakan jaminan (uang atau orang) maupun tidak.

Hal ini selaras dengan asas “Presumption of Innocent” yaitu asas praduga tak

bersalah yang menganggap seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum

adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

kekuatan hukum tetap.

Penangguhan penahanan menurut Pasal 31 ayat (1) KUHAP adalah atas

permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik, atau penuntut umum, atau hakim,

sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan

penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan

syarat yang ditentukan.

Menurut M. Yahya Harahap, pengertian penangguhan penahanan yaitu

mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu

penahanan berakhir. Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis,

namun pelaksanan penahanan masih harus dijalani tersangka atau terdakwa yang

ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum

habis6

Penangguhan penahanan pada tingkat penyidikan dalam prakteknya tidak

selalu dikabulkan oleh penyidik. Hal ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan,

salah satunya kekhawatiran penyidik si tersangka akan melarikan diri pada masa

penangguhan penahanan. Hal tersebut tentunya pernah terjadi di Polres Gorontalo

Kota. Polres Gorontalo Kota seringkali menangani masalah penangguhan

penahanan. Oleh karena itu memerlukan kajian lebih lanjut mengenai

penangguhan penahanan ini khususnya mengenai pengajuan penangguhan


6
Ibid, Yahya Harahap, 2002, hal. 2
6

penahanan, proses pengajuan penangguhan penahanan, jaminan barang atau

jaminan uang yang disebutkan di dalam Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana

Dalam uraian diatas, maka dalam penulisan hukum ini, penulis mengambil

judul “Penangguhan Penahanan Terhadap Tersangka Dalam Perkara Pidana

(Studi Kasus Polres Gorontalo Kota)”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang tersebut yang telah diuraikan maka dirumuskan

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan penangguhan penahanan terhadap tersangka

dalam perkara pidana?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan penangguhan

penahanan terhadap tersangka dalam perkara pidana?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan penangguhan penahanan

terhadap tersangka dalam perkara pidana

2. Untuk mengetahui dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

penangguhan penahanan terhadap tersangka dalam perkara pidana

1.4 Manfaat Penelitian

1. Diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan

hukum di Indonesia, khususnya mengenai Penangguhan Penahanan

terhadap tersangka dalam perkara pidana.


7

2. Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menambah bahan referensi bagi

mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan pada khususnya bagi

penulis sendiri dalam menambah pengetahuan tentang ilmu hukum dan

pembendaharaan perpustakaan yang diharapkan berguna bagi mahasiswa

dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih jauh tentang

masalah ini.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Peradilan Pidana

2.1.1. Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Pembahasan mengenai keberadaan peradilan pidana sebagai suatu system

yang terbaik adalah memulai dengan menulis tentang system itu sendiri. dalam

pandangan Satjipto Raharjo memberikan suatu pemahaman bahwa system

merupakan suatu kesatuan yang sifatnya kompleks yang terdiri atas sub-sub

sistem antara system yang satu dengan lainnya saling berkaitan. 7

Berkaitan dengan system Buckley mengemukakan pandangannya bahwa :

a) A system in general can be described as a complex element or


component connected either directly or indirectly to the network every
now and then, each component being associated at least with the others
in a more or less stable manner over time.

b) The particular type of component of the more or less stable relationship


that has been created over time is the structure of a particular system at
that time, in order to achieve a unity with a certain degree of continuity
and scope. 8

Lain halnya dengan Zahara Idris yang dalam pandangannya menyatakan

bahwa system merupakan:

“ Suatu kesatuanyang mana terdiriatas beberapa elemen-elemen/unsur-

unsur atau komponen sebgai sumber-sumber yang mempunyai hubungan

7
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung:Citra Aditya, Hlaman:48
8
Syukrie Akuub dan Baharuddiin Badaru, 2012,Wawasan Due Proces Oflaw” dalam system
peradlan pidan, Jogyakarta : Rangkaang Educationi. Halaman: 56
9

fungsional yang teratur, tidak acak dan saling membantu dalam

mencapai suatu hal atau produk.” 9

Untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa system adalah unit dari bebagai

komponen yang saling berkaitan satu sama lain dengan orientasi yang sama dan

berinterkasi secara structural satu sama lain. Jika komponen satu tidak berfungsi,

maka system tidak akan berjalan dengan baik sehingga orientasi tujuannya tidak

tercapai.

Criminal justice science sebagai kata yang baru diperkenalkan dalam

Hukum Pidana formil, istilah itu pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum

pidana dan para ahli di Amerika Serikat. Di Amerika serikat rekayasa

adiministrasi peradilan pidana dengan pendekatan sistem dan gagasan tentang

sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Frank Remington dimana ditemukan

dalam laporan proyek tahun 1958. Kemudian gagasan tersebut dimasukkan

kedalam mekanisme administrasi peradilan dengan istilah “Criminal Justice

System”. Istilah inilah yang selanjutnya disebarluaskan dan diperkenalkan oleh

The President’s Crime Commissione10.

Definisi dalam Black’s Law Dictionary :

The criminal justice system is a collective institution in which perpetrators


of criminal acts are tried until prosecution or punishment is passed. This
system has three components, namely law enforcement (police), judicial
processes (judges, prosecutors and lawyers) and correctional facilities
(correctional apparatus and agents of development agencies). 11

9
Ibid, Halaman 58
10
Romli Atmaasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Persafektif eksistensialisme dan
abolisianisme) Bandung : Bina Cipta halaman:08
11
Tholib Efendi. 2013. Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Peradilan Pidana di beberapa Negara. Jakarta: Pustaka Yustisia. hlm:10
10

Romly Atmasasmita12 mengartikan bahwa sebgai istilah yang mengacu

kepada mekanisme tindakan untuk menanggulangi kejahatan dengan

menggunakan pendekatan secara sistematis. System peradilan pidana sebagai

suatu system meliputi tiga bentuk pendekatan yaitu, regulasi, administrasi dan

pendekatan social.

Pendekatan Secara yuridis dengan pertimbangan unsur-unsur penegak

hukum misalnya polisi, jaksa, pengadilan, penjara dan pengacara sebagai lembaga

dalam hal penerapan undnag-undang pidana saat ini dalam hal system peradilan

pidana, termasuk perundang-undangan pidana.

Dalam buku Ansorie Sabuan dkk menyebutkan bahwa “penyelenggaraan

peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan

perkara pidana ( two models of the criminal process ) yaitu Due Process Model

dan Crime Control Model, Kedua model di atas dilandasi oleh Adversary Model (

Model perlawanan ) yang berintikan sebagai berikut ;

a. Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau combating

proceeding antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang

sama di muka pengadilan;

b. Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil

bagian dalam pertempuran ( fight ) dalam proses pemeriksaan di

pengadilan. Ia hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar

permainan tidak dilanggar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut

umum;

c. Rules are very strictly. Aturan-aturan diperlakukan secara ketat


12
Op Cit Romli Atmasasmita.1996. hlm: 16
11

d. Sensational-Cross of examination

e. Fiction of an always elusive truth”. 13

Kemudian lebih lanjut dituliskan dalam buku tersebut bahwa “The Crime

Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan

pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ),

dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah

ketertiban umum ( public order ) dan efisiensi. Di dalam Due Procces Model ini

munculah suatu nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan yaitu konsep

perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam

penyelenggaraan peradilan pidana. Dalam model ini berlakulah yang dinamakan

Presumption of Innocence”. 14

Sebelum KUHAP diberlakukan, sistem hukum acara pidana Indonesia

didasarkan pada statuta HIR. 1991 no. 44, sejak 1981, tetapi dengan

diperkenalkannya Hukum Acara Pidana, perubahan mendasar telah dilakukan baik

secara konseptual maupun dalam implementasi prosedur untuk menyelesaikan

kasus pidana.15

Sistem peradilan Indonesia didasarkan pada sistem, hukum, dan institusi

yang diadopsi dari negara Belanda, yang menjajah rakyat Indonesia selama sekitar

tiga ratus tahun.

Andi Hamzah mengatakan:

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan


dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan
13
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, Ruben Achmad. 1990. Hukum Acara Pidana. Bandung:
Angkasa.
14
Ibid Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, Ruben Achmad. hlm :06
15
Lot cit, Tholib Efendi. 2013. hlm:144
12

Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan


bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada
sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei,
Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon16

Sementara Yahya Harahap memberikan pandangannya bahwa “integrated

criminal justice system adalah merupakan system peradilan pidana terpadu yang

telah digariskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dimana antara penegak hukum diletakkan suatu prinsip diferensiasi fungsional

dengan keweangan yang berbeda-beda yang diberikan oleh uudang-undang dalam

melaksankan tugas dan wewenangnya.” 17

Berikut lembaga-lembaga Negara yang memiliki peran fungsi dan

wewenang yang berbeda-beda dalam melaksanakan fungsi nya dalam system

peradilan pidana terdir atas :

-Legislatif,
-Kepolisian,
-Kejaksaan,
-Lembaga Peradilan
-Lembaga Pemasyarakatan
Selain yang tercantum dalam KUHAP, hukum yang tidak termasuk dalam

KUHAP terkait system peradilanpidana Indonesia meliputi:

1. UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakan,


2. UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
3. UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat,
4. UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia,
5. UU NO. 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
6. UU NO.22 Tahun 2002 tentang Komisi Yudisial,
7. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia; dan masih banyak lagi lainnya.

16
Andi Hamzah, 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
hlm;33
17
M. Yahya Harahap. 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. hlm:89
13

Ketentuan perundang-undangan di atas berlaku untuk sistem peradilan

pidana Indonesia, karena mereka lebih jauh mengatur tugas dan wewenang

komponen penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, gugatan hukum

(termasuk pengadilan dengan yurisdiksi khusus) dalam sistem peradilan pidana,

serta pengawasan peradilan pidana.

2.1.2 Asas-asas Peradilan Pidana Indonesia

Dalam pandangan Yesmil anwar dan Adang “asas – asas dalam Peradilan

Pidana Indonesia semuanya terdapat dalam UU Nomor 8 tahun 1981, dimana

terdapat sepuluh asas yaitu;

1. A quality before the law (semua orang sama di depan hukum)


2. Persumption of innonce (Praduga tidak bersalah)
3. Gantu kerugian (Restitusi) dan rehabilitasii
4. Mendapatkan Bnatuan Hukum
5. Terdakwa hadir disidang pengadilan
6. Peradilan Cepat, sederhana dan biaya ringan
7. Terbuka utnuk umum
8. Dll. 18
Prinsip-prinsip di atas sangat berbeda dengan prinsip-prinsip yang

digariskan oleh Andi Hamzah Menurutnya “hanya ada sembilan prinsip dalam

sistem peradilan pidana Indonesia, yakni;

1. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan

2. Asas praduga tidak bersalah

3. Asas oportuniti;

4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;

5. Semua orang diperlakukan sama didepan hakim;

6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;

18
Yesmil anwar dan Adang, 2009,Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Bandung: Widya Padjadjaran. hlm :60
14

7. Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum;

8. Asas akusator dan inkisitor; dan

9. Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan”. 19.

Prinsip yang dikemukakan oleh Andi Hamzah hampir sama sebagai mana

yang di ungkapkan oleh Wirdjono Proadjodikoro menyatakan tujuh (7) prinsip

dalam penegakan hukum pidana formil yaitu:

Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Andi Hamzah hampir sama dengan

yang diungkapkan oleh wirjono Prodjodikoro yaitu “paling tidak ada 7 (tujuh)

prinsip yang akan digunakan sebagai patokan dalam proses pidana:

1. Jaksa selaku penuntutn umum

2. Prinsip Oportunitas yaitu kejaksaan satu-satunya sebagai lembaga yang

berwenang melakukan penuntutan

3. Adanya pemeriksaan permualaan dan pemeriksaan didepan majelis

hakim

4. Pemeriksan terbuka untuk umum kecuali ditetapkan lain seperti kasus

asusila dan perkara anak

5. Pemeriksan dilakukan dengan lisan dan langsung

6. Peradilan pidana dijalnkan oleh petugas yang memiliki keahlian

dibidang hukum

7. System jury.

19
Op Cit Andi Hamzah, 2000
15

Meski ada beberapa perbedaan, tetapi pada dasarnya keduanya memiliki

tujuan yang sama. Tetapi penulis kemungkinan besar menggunakan pendapat

Andi Hamzah dan wiriono Prodjodikoro

2.2 Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana.

2.2.1 Pengertian Tindak Pidana.

Menurut Tolib Setiady dalam bukunya pokok-pokok penentensier

Indonesia menjelaskan bahwa strafbaar feit atau delict merupakan istilah yang

diperkenalkan dalam hukum pidana belanda yang kemudian diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia dengan sebutan Tindak Pidana, namun dalam perundang-

undangan pidana Indonesia istilah tersebut memiliki banyak arti begitu juga

dengan ahli hukum yang memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam

menerjemahkan istilah strafbaar feit. Misalnya :20

 Prof. Moeljatno, memaki istilah perbuatan pidana dalam menerjemahkan

kata strafbaar feit atau delict. Menurut beliau perbutan pidana lebih luas

cakupannya dibandingkan dengan kata tindak pidana yang hanya

menunjukkan pada keadaan yang konkret tidak pada hal yang sifatnya

abstrak.

 Sementara utrecht menggunakan istilah peristiwa pidana dalam

menerjemahkan kata strafbaar feit . dalam pandangannya Utrecht menilai

bahwa yang ditinjau adalah peristiwanya (feit) dalam pandangan hukum

pidana

20
Mulyati Pawennei dan Rahmanudin Tomailli,2015, “HukumPidana” Jakarta:Mitra
WacanaMedia halaman:04
16

 Mr.Tirtaamidjajah lebih condong menggunkan kata pelanggran pidana

untuk mengartikan delik.

Lain halnya denga Jonkers merumuskan bahwa :

Strafbaar feit sebagai wederrechtelijk atau suatu peristiwa yang melawan


hukum yang memuat kaitan dengan kesengajaan/opzet atau kesalahan
yang diperbuat oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya

Sementara Pompe mengartikan Strafbaar feit adalah :

sebagai pelanggran atas suatu aturan/norma (penyimpangan terhadap


ketertiban masyarakat) yang dilakukan dengan kesengajaan maupun
ketidaksengajaan yang diperbuat oleh pelaku atau seseorang, dimana
konsekuensi dari perbuatannya dapat diterapkan penajtuhan hukuman atas
perbuatannya demi terwujudnya ketertiban dalam masyarakat..21

Dari beberapa pandangan ahli diatas maka dapat disimpulakn bahwa

Tindak Pidana atau delik pada dasarnya di terjemahkan dariistilah bahasa belanda

yaitu strafbaar feit/delict yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karna

telah melanggar ketentuan undang-undang pidana.

2.2.2 Unsur Tindak Pidana.

Simons memebrikan pandangannya bahwa strafbaar feit memuat unsur-

unsur sebagai berikut:

1. adanya perbuatan yang dilakukan seseorang

2. strafbaar gested (adanya sanksi pidana)

3. onrechtmaatig atau adanya perbuatan melawan hukum

4. met schuld in verabnd stand (adanya kesalahan) dan toereningsvatoaar (dan

dapat dipertanggungjawabkan) 22

21
Ibid hal 06
22
Ibid hal 10-12
17

Lebih lanjut simons menjabarkan unsur-unsur objektif dan unsur-unsur

subjektif tindak pidana

Unsur-usnur Obyektif yaitu;

a) Adanya act atauPerbuatan

b) Adanya kaibat dari perbuatan itu

c) Tentang penyertaan sebgai contoh dalam pasl 281 KUHP yang

sifatnya openbaar

Unsur-usnur Subyektif :

a) Mampu bertanggungjawab atas perbuatannya

b) Memenuhi unsur kesalahan(opzet dan culpa)

c) Perbuatannya harus diikutim oleh kesalaham dalam diri si

pembuat.

Unsur kesalahan yang dimaksud berkaitan dengan perbuatan yang

menimbulkan akibat atau dengan memunculkan keadaan-keadaan. Moeljatno

memberikan pandangannya bahwa perbuatan pidana meliputi :

a) Adanya Perbuatan manusia

b) Terpenuhinya syarat formal sesuai dengan rumusan dalam uu

c) Adanya sifat melawan hukumnya atau syarat materilnya terpenuhi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur –unsur yang termua dalam

tindak pidana dalam pandangan mnoeljatno adalah :

1) Akibat dari perbuatan

2) Keadaan-keadaan yang mneyertai perbuatan.


18

2.3 Pengertian Penyidik dan Penyelidikan

Yang dimaksudkan dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang ditentukan KUHAP. Disini jelas bahwa lembaga penyelidikan

mempunyai fungsi sebagai penyaring, apakah suatu peristiwa dapat dilakukan

penyidikan atau tidak, sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan dapat

dihindarkan sedini mungkin. Dalam rangka penyelidikan, penyelidik mempunyai

wewenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 KUHAP, yaitu :

a. Karena kewajibannya :

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana.

2. Menerima keterangan dan barang bukti.

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. Atas perintah penyidik, dapat melakukan tindakan berupa :

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan.

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.

3. Mengambil sidik jari dan memotret orang.

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.


19

Pelaksanaan tugas penyelidikan tersebut dilaporkan kepada penyidik dan

oleh penyidik dapat diperintahkan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan

mencari keterangan dan barang bukti dan hasilnya disampaikan kepada penyidik,

dan penyidiklah yang menentukan dapat tidaknya penyelidikan tersebut

dilanjutkan dengan penyidikan. Pengertian penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dimana dengan bukti

tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menentukan

tersangkanya. (Pasal 6 KUHAP) Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Republik

Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang

khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 11

KUHAP), sedangkan pada Pasal 6 KUHAP menyatakan sebagai berikut :

1. Penyidikan ialah : a. Pejabat POLRI, b. Pejabat PNS tertentu yang beri

wewenang khusus oleh Undang-Undang, 2. Syarat kepangkatan pejabat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 akan lebih diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

2. Penyelidik ialah : a. Pejabat POLRI tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat Peldapol, b. Pejabat PNS tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat pengatur muda tingkat 1 (gol II/b) atau yang disamakan

dengan itu. Kapolsek karena jabatannya adalah penyidik (Pasal 2 ayat 2 PP

No. 27 Tahun 1983) meskipun pangkatnya dibawah Peldapol. Sedangkan

penyidik PNS diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul Departemen

yang bersangkutan setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan

Kapolri (Pasal 2 ayat 5 PP No. 27 Tahun 1983). 2.2. Penyidik Pembantu


20

adalah pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang diberi wewenang

tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-

Undang ini (Pasal 1 butir 3 KUHAP). Penyidik pembantu berdasarkan

Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia NO. 27 Tahun

1983 tentang pelaksanaan KUHAP dibatasi, yaitu : a. Pejabat Kepolisian

Republik Indonesia yang minimal berpangkat Pengatur Muda (gol II/a)

atau yang disamakan dengan itu. Penyidik pembantu mempunyai

wewenang sama dengan penyidik, kecuali menganai penahanan yang

wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11

KUHAP). Penyidik pembantu harus membuat berita acara dan

menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan

acara pemeriksaan singkat langsung diserahkan kepada penuntut umum

(Pasal 12 KUHAP).

Dari hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh pejabat yang berwenang,

terdapat beberapa tindakan dalam rangka pelaksanaan penyidikan. Di dalam

KUHAP telah terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan, yaitu :

Pengkapan yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan

penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau

terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau

penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta cara yang diatur dalam Undang-

Undang (Pasal 1 butir 20). Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang

yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana,
21

dimana tersangka adalah seorang yang patut diduga sebagai pelaku tindak

pidana (penjelasan Pasal 17 Pasal 1 butir 14 KUHAP). Jika tindak pidana

berupa kejahatan dapat dilakukan penangkapan tetapi jika pelanggaran tidak

diadakan penangkapan, kecuali apabila orang yang dipanggil secara sah dua

kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah (Pasal

19 ayat 2 KUHAP). Syarat-syarat untuk dapat menangkap :

a. Adanya dugaan keras orang melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

b. Dilakukan dengan surat perintah penangkapan dari pejabat yang

berwenang. Pejabat tersebut ialah penyidik pembantu atau

penyelidik atas perintah penyidik, jika diperlukan atas

kepentingan penyelidikan.

c. Isi surat perintah penangkapan adalah memuat identitas

tersangka atau terdakwa, alasan pengkapan, uraian singkat tindak

pidana yang disangkakan.

d. Pelaksanaan penangkapan oleh Kepolisian Republik Indonesia

dengan mununjukkan surat tugas.

Penangkapan berarti pengekangan sementara karena jangka waktunya

paling lama adalah 1 x 24 jam. Untuk tertangkap tangan terhitung sejak

penerimaan penyerahan diri penangkap, sedang pada pengkapan selanjutnya

dilakukan setelah selesai pelaksanaan penangkapan yang pertama. Yang kedua

penangkapan penentuan dapat tidaknya dilanjutkan dengan penahanan atau

dikenakan tindakan-tindakan lain.


22

Sehubungan penangkapan ini menyangkut hak asasi manusia, khususnya

kebebasan bergerak, maka dalam pelaksanaanya penyidik harus bersikap hati-hati

dan penuh tanggungjawab karena kemungkinan dapat pula seseorang yang

tertangkap tersebut orang yang sama sekali tidak bersalah. Dengan demikian maka

penyidik dalam menggunakan alat pemaksa yang berupa pangkapan haruslah

selalu dilandasi dengan keyakinan adanya praduga tak bersalah. Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi perlindungan hak asasi

manusia telah mengatur tentang hal-hal yang bersangkutan dengan penangkapan,

diantaranya mengatur tentang pengertian penangkapan agar terdapat keseragaman

mengenai penangkapan maka KUHAP telah memberikan pengertiannya.

Ketentuan mengenai pengertian penangkapan terdapat dalam Pasal 1 butir 20

KUHAP yang menyebutkan sebagai berikut : “Penangkapan adalah tindakan

penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau

terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau

penuntutan atau dan peradilan dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam

Undang-Undang ini”.

2.4 Penangkapan dan Penahanan

1. Penangkapan

Penangkapan merupakan bagian dan perhatian yang serius, karena

penangkapan, penahanan, penggeledahan merupakan hak dasar atau hak

asasimanusia dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun

keluarganya. Deflnisi penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP

adalah"suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan


23

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Jangka waktu penangkapan hanya

berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu

penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil

yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil

adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak

pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah

penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24

jam,tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk

melakukanpenahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

Yang berhak melakukan penangkapan :

1. Penyelidik atas perintah penyidik/penyidik pembantu.

2. Penyidik POLRI atau penyidik PNS tertentu.

3. Penyidik pembantu (Pasal 16 KUHAP).

4. Setiap orang dalam hal tertangkap tangan (Pasal 18 ayat (2) KUHAP).

Alasan Penangkapan :

Obyektif:

1. Untuk kepentingan penyelidikan bagi penyidik (Pasal 16 ayat (1)

KUHAP).

2. Untuk kepentingan penyidikan bagi penyidik dan penyidik pembantu

(Pasal 16 ayat (2) KUHAP).

Subyektif:
24

Penangkapan tersebut dilakukan terhadap seorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup

(Pasal 17KUHAP).

Prosedur Penangkapan :

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan membawa :

1. isi perintah penangkapan itu harus ada.

2. Isi perintah penangkapan harus diberikan kepada tersangka dan

tembusan kepada keluarganya segera setelah penangkapan (Pasal 16

ayat (3)KUHAP).

3. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat

perintah dengan catatan bahwa penangkap harus segera menyerahkan

tertangkapbeserta barang-barang bukti kepada penyidik / penyidik

pembantu terdekat (Pasal 18 ayat (2) KUHAP).

Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan

kecuali dalam hal ia dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidakmemenuhi

panggilan itu tanpa alasan yang sah (Pasal 19 ayat (2) KUHAP).

2. Penahanan

Menurut KUHAP pengertian penahanan diatur dalam pasal I butir 21 yang

berbunyi:"Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat

tertentuoleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya yang

diatur dalam undang-undang ini.


25

Berdasarkan Pasai 22 ayat (1) KUHAP, jenis-jenis penahanan dapat

berupa :

1. Penahanan Rumah Tahanan Negara

2. Penahanan Rumah

Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau

rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan

pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang

dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau

pemeriksaan disidang pengadilan.

3. Penahanan Kota

Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat

kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka

atau terdakwamelapor diripada waktu yang ditentukan.

Karena masalah penahanan ini mempunyai kaitan yang erat denganhak-

hak asasi manusia, berupa pengekangan sementara kebebasanseseorang, maka

dalam rangka pelaksanaannya harus dipenuhi beberapasyarat. Adapun syarat-

syarat tersebut menurut KUHAP, yaitu :

1. Syarat Obyektif, ialah penahanan yang dilihat dari segi perbuatan atau

tindak pidananya, yaitu tindak pidana yang disangkakan ataudidakwakan.

2. Syarat Subjektif, ialah penahanan yang dilihat dari segi pentingnya orang

ditahan. Menurut system KUHAP, penahanan atau penahananlanjutan

dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa dalam hal adanyakeadaan yang

menimbulkan kekhawatiran bahwa :


26

a. Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri

b. Merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau

c. Mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penahanan,

terdapat dalam pasal 20 KUHAP sebagai berikut:

1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, atau penyidik pembantu atas

perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11

berwenangmelakukan penahanan.

2. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan

penahanan atau penggeledahan lanjutan.

3. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim disidang pengadilan dengan

penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Prosedur penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP,

yaitu :

1. Penahanan oleh penyidik terhadap tersangka harus dengan memberikan

surat perintah penahanan, sedangkan penahanan oleh hakim harusdengan

penetapan.

2. Surat perintah penahanan dan penetapan hakim mengenai penahanan yang

dipersangka atau didakwa terdakwa atau tersangka, menyebutkanalasan

penahanan, uraian singkat perkara kejahatan yang didakwakan,serta

tempat ia ditahan.
27

3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau

penetapan hakim tersebut diatas harus diberikan kepada keluarganya (ayat

3).

Lamanya penahanan diatur dalam KUHAP masing-masing didalam pasal

24 untuk penyidik, pasal 25 untuk hakim Pengadilan Negeri (PN), pasal 27 untuk

hakim Pengadilan Tinggi (PT) dan pasal 28 untuk hakim Mahkamah Agung

(MA).

Adapun jangka waktu penahanan tersebut ialah :

a. Penyidik : berwenang untuk menahan tersangka selama 20 hari dan demi

kepentingan penyidikan dapat diperpanjang selama 40 hari.

b. Penuntut Umum : berwenang untuk menahan tersangka selama 20 haridan

demi kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapatdiperpanjang

selama 30 hari.

c. Hakim Pengadilan Negeri : berwenang untuk mengeluarkan surat perintah

penahanan terhadap tersangka untuk paling lama 30 hari danguna

kepentingan pemeriksaan dapat diperpanjang selama 60 hari.Artinya adalah

ketika dalam tiap tingkat pemeriksaan tersangka atauterdakwa tidak

terbukti dan atau masa penahanan untuk kepentinganpemeriksaan sudah

lewat waktunya.maka tersangka atau terdakwa harusdikeluarkan dalam

tahanan demi hukum.


28

2.5 Tinjauan Tentang Penangguhan Penahanan

1. Pengertian Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan merupakan salah satu hak tersangka atau

terdakwa dalam proses penahanan, yang diatur Pasal 31 ayat (1) KUHAP, yang

berbunyi “atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum

atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan

penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang maupun jaminan orang,

berdasarkan syarat yang ditentukan.

Dalam Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau

terdakwa dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat

dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya

masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang

berdasarkan syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka

penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa tersebut

dapat kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi

kejelasan pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek beracara pidana.

Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan

adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau

penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas

dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa

disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh penyidik, penuntut umum,
29

hakim dengan suatu penetapan dal hal serta dengan tata cara yang diatur dalam

Pasal lain dalam KUHAP.

Tata cara penahanan baik yang dilakukan oleh penyidik maupun oleh

penuntut umum atau oleh hakim ialah dengan jalan memenuhi ketentuan Pasal 21

ayat 2 dan ayat 3 yaitu dengan surat perintah penahanan oleh penyidik atau

penuntut umum dan dengan surat penetapan oleh hakim. Surat perintah penahanan

atau surat penetapan penahanan harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1) Identitas terdakwa yang jelas

2) Menyebutkan alasan penahanan

3) Uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan

kepadanya

4) Memuat secara jelas dimana tempat tersangka/terdakwa ditahan

2. Syarat Penangguhan Penahanan

Perlu diperhatikan bahwa penangguhan penahanan tidak sama dengan

pembebasan dari tahanan perbedaannya akan terlihat baik dari segi hukum

maupun dari segi alasan dan persyaratan.23

Penangguhan penahanan dibedakan menjadi 2 yaitu :24

1. Schorsing

Dalam hal ini terdakwa sedang ditahan. Kemudian atas permintaan

terdakwa hakim memerintahkan agar penahanannya ditangguhkan.

Dimana penangguhan itu mempunyai 2 syarat yaitu syarat mutlak dan

fakultatif.
23
Harahap, M. Yahya, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,. Jakarta: Sinar
Grafika. hlm:227
24
Goenawan Goetomo. 2000. Hukum Acara Pidana Sipil. Yayasan Kutuk Mas; Semarang
30

Syarat Mutlak ialah :

a. Terdakwa harus bersedia ditahan kalau perintah penundaannya

dicabut

b. Terdakwa harus bersedia ditahan kalau ia dalam waktu penangguhan

penahanan itu melakukan suatu perbuatan pidana yang ditentukan

dalam Pasal 62 ayat 2 HIR.

Syarat Fakultatif ialah :

1. Terdakwa harus menyerahkan uang tanggungan atau barang berharga

kepada pengadilan yang mengadilinya. Penangguhan penahanan

sementara dapat dicabut sewaktu-waktu, jika ada petunjuk-petunjuk

terdakwa akan melarikan diri atau terdakwa mengingkari janjinya,

tidak lapor dan sebagainya.

2. Up Schorsing

Dalam hal ini terdakwa belum ditahan. Kemudian hakim memandang perlu

menahan terdakwa itu, sehingga dikeluarkan penetapan untuk menahan

terdakwa. Tetapi terhadap penetapan itu, terdakwa memohon kepada hakim

supaya penahanan terhadap dirinya ditangguhkan dengan alasan-alasan

yang layak. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sama dengan syarat

yang ditentukan dalam schorsing


31

2. 6 Kerangka Pikir

DASAR HUKUM

 KUHAP Pasal 31 ayat (1)


 Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1983

Penangguhan Penahanan

Pelaksanaan Penangguhan Faktor-Faktor Mempengaruhi :


Penahanan
a. Jenis Kasus Yang diajukan
a. Syarat Objektif
b. Penilaiaan Subjektif dari
b. Syarat Subjektif
Penyidik

Terwujudnya Kepastian Hukum


32

2.7 Definsi Operasional

1. Tindak pidana yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karna

telah melanggar ketentuan undang-undang pidana.

2. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat

tertentuoleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan

penetapannya yang diatur dalam undang-undang

3. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat

cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau

peradilan
33

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara

pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk

mempelajari hukum berdasarkan kenyataan atau fakta yang didapat secara

objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat

penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum secara empiris.

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian ini fokus pada penyidik mengenai penangguhan

penahanan

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Gorontalo dengan tujuan agar ruang

lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih terfokus dan efisien, sehingga

penelitian yang dilakukan lebih mudah dan terjangkau.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Bambang Sunggono memberikan definisinya bahwa Populasi merupakan

himpunan atau keseluruhan objek dengan memiliki ciri-ciri yang sama, dan dapat

berupa himpunan orang, benda, fakta peristiwa, perkara-perkara hukum dengan


34

sifat dan ciri yang sama.25 Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Populasi

dalam usulan penelitian ini adalah penyidik Polres Gorontalo Kota.

3.4.2 Sampel

Sedangkan Sampel Menurut Burhan Ashshopa bahwa populasi adalah

bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi. Maka dalam usulan

penelitian ini yang menjadi sampel adalah 2 penyidik Polres Gorontalo Kota

3.5 Jenis dan Sumber data

3.5.1 Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara menelusuri buku-buku atau

literature hukum, Yurisprudensi, majalah, artikel, jurnal ilmiah dan lain-lain

yang berkaitan dengan topic permasalahan yang kemudian dikumpulkan

pendapat-pendapat hukum atau doktrin ilmu hukum tersebut

3.5.2 Studi Lapangan

Studi Lapangan dialkukan dengan cara melakukan kajian langsung

kelapangan untuk melihat fakta-fakta emperis yang berkenaan dengan

permasalhan hukum sehingga ditemukan data-data emperis yang

mendukung objek peneltian yang diteliti.

3.6 Tehnik Pengumpulan data

3.6.1 Teknik Observasi

Pengamatan secara langsung pada lapangan sangat diperlukan dalam

pemenuhan kebutuhan penelitian sehingga tehnik observasi menjadi penting

dalam mewujudka suatu penelitian yang akurat dan akuntabel.

25
Bambang Sunggono, 2007. “Metode Peneltian Hukum” Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Halaman:188
35

3.6.2 Teknik Wawancara

Teknik wawancara atau interview adalah tehnik yang dilakukan dalamhal

pengumpulandata-data dan informasi yangberkenaan dengan penelitian

dengan melakukan wancara langsung dengan pihak-pihak terkait atau pihak

yang mempunyai kompetensi pada pencarian data-data dan informasi yang

dibutuhkan. Dalam hal ini calon peneliti membedakan tiga sumber

wawancara yaitu, Informan, Narasumber dan Responden.

3.7 Analisis Data

Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian emeperis maka

tehnik analisis data yang dipakai dalam penyelasiaan penelitian ini yaitu

mengkombinasikan antara teori-teori hukum, atauran perundang-undangan

dengan fakta-fakta dilapngan yang di analisis secara kualitatif dengan pendekatan

deskriftif analisis.
36

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Penangguhan Penahanan Terhadap Tersangka Tindak

Pidana

Suatu penangkapan baru dapat diteruskan dengan penahanan, apabila ada

dugaan keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan

dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi

tindak pidana, disebut sebagai asas nesesitas (keperluan). Di samping itu juga

tindak pidana yang diduga telah dilakukan itu harus yang diancam dengan pidana

penjara 5 Tahun atau lebih dan tindak-tindak pidana tertentu, sebagaimana disebut

satu persatu dalam Pasal 21 ayat 4 butir b KUHAP, sebagai asas yuridis. Jadi,

untuk dapat melakukan penahanan harus memenuhi asas nesesitas dan yuridis.26

Dalam proses pelaksanaan penahanan terhadap tersangka, maka harus

memenuhi 2 syarat, atau alasan yaitu syarat syarat subjektif dan syarat objektif:7

1. Syarat Subjektif

Syarat subjektif yaitu karena hanya tergantung pada orang yang

memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat

subjektif diatur di dalam: Pasal 20 ayat (3) KUHP dan Pasal 21 ayat (1)

KUHAP

26
Luhut M.P Pangaribuan. Hukum Acara Pidana, Surat-surat di Pengadilan oleh Advokat.
Jakarta: Djambatan, 2006. hlm: 20
37

2. Syarat Objektif

Syarat objektif yaitu syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain.

Syarat objektif sebagaimana diatur di dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, bahwa

penahanan tersebut hanya dapat dikenakan, apabila:

” Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau

percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam

hal :

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. tindak pidana ancamannya kurang dari 5 tahun, tetapi sebagaimana

dimaksud dalam:

 KUHPidana, yaitu Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal
379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan
Pasal 506;

 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan


Cukai, terakhir diubah dengan Staatersebutlad Tahun 1931 Nomor
471), yaitu Pasal 25 dan Pasal 26;

 Undang-undang RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yaitu


Pasal 85, 86, 87, dan Pasal 88;

 Undang-undang RI Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang RI


Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor
8), yaitu Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4, yaitu antara lain tidak punya
dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan
pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak
mempunyai dokumen imigrasi yang sah

Penangguhan penahanan dapat kita lihat dalam Pasal 31 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:


38

(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut


umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat
mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang
atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan;

(2)  Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-


waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka
atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan,

harus ada:

a. Permintaan dari tersangka atau terdakwa;


b. Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan
sebagaimana ditetapkan;
c. Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi
syarat dan jaminan yang ditetapkan.

Dalam penjelasan pasal tersebut juga disebutkan yang dimaksud dengan

“syarat- syarat yang ditentukan” ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota.

Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa ini tidak

termasuk dalammasa status tahanan. Hal ini berpengaruh kepada putusan akhir

yang akan diputuskan oleh hakim. Hal itu menunjukkan, bahwa terdakwa berhak

memperoleh penangguhan penahanan namun juga harus memenuhi syarat-syarat

yang ditentukan. Penangguhan penahanan ini memiliki suatu wadah yang berupa

Lembaga Penangguhan

Lembaga penangguhan penahanan ini diatur di dalam pasal 31 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Adanya

penangguhan penahanan dapat ditulis di dalam Berita Acara Penahanan pada

waktu tersangka atau terdakwa diperiksa atau ditahan. Dalam hal ini masalah yang

dapat timbul adalah syarat-syarat apa yang dipakai untuk menentukan dapat
39

tidaknya suatu penangguhan penahanan disetujui. Syarat-syarat yang dipakai

haruslah syarat yang obyektif, dan syarat tersebut harus dituangkan di dalam

peraturan perundangan, sehingga dapat dipakai sebagai pegangan normatif.

Penangguhan penahanan ada dilaksanakan agar dapat menjaga dan tidak

merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan

yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama.

Pemberian penangguhan penahanan oleh penyidik harus berdasarkan asas

praduga tak bersalah (the presumption of innocence), bahwa setiap orang yang

disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan

dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seperti telah diketahui bahwa dalam pelaksanaan penangguhan penahanan

harus ada jaminan yang diberikan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun

1983 telah diatur mengenai jaminan penangguhan penahanan terdapat di dalam

Bab X, Pasal 35 dan Pasal 36 yaitu:

1. Jaminan Uang yang diatur dalam Pasal 35


1) Jaminan uang ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan
negeri.
2) Penyetoran uang jaminan ini dilakukan sendiri oleh pemohon atau
penasihat hukumnya atau keluarganya dan untuk itu panitera
memberikan tanda terima.
3) Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang
dikeluarkan instansi yang bersangkutan.
4) Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8
huruf (f) Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.14-
PW.07.03/1983. Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera
disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan untuk menjadi dasar bagi pejabat yang menahan
40

mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan


penahanan
5) Apabila kemudian tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah
melewati waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan
tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.
2. Jaminan Orang yang diatur dalam pasal 36
1) Orang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang
lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan tahanan.
2) Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada instansi yang
menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggungjawab memikul segala
resiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
3) Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas.
4) Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus
ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang tanggungan” (apabila
tersangka/terdakwa melarikan diri).
5) Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan
dari si penjamin.
Kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang

ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan dengan ketentuan:

a. Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri;


b. Dan setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
c. Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang
yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri;
d. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang
ditentukan tersebut, jurusita menyita barang miliknya untuk dijual
lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera
pengadilan negeri.

Faktor syarat penangguhan merupakan dasar dalam penangguhan, dapat

kita baca dalam kalimat yang berbunyi berdasarkan syarat-syarat yang

ditentukan. Berdasarkan bunyi kalimat ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

penetapan syarat-syarat penangguhan penahanan oleh instansi yang akan

memberikan penangguhan adalah faktor yang menjadi dasar pemberian

penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat- syarat yang ditetapkan lebih


41

dahulu, penangguhan penahanan tidak dapat diberikan. Tetapkan dahulu dan atas

syarat-syarat yang ditetapkan oleh instansi yang menahan. Tahanan yang

bersangkutan bersedia untuk mentaati, barulah instansi yang berwenang

memberikan penangguhan penahanan.10 Berdasarkan hasil penelitian berikut data

kasus penangguhan penahanan yang ada di Polres Gorontalo Kota.

Tabel 1
Data Kasus Pengajuan Penangguhan Penahanan Pada Tahun 2020

No Jenis Kasus Jumlah

1 Pencabulan 3
2 Penganiayaan 10
3 Pencurian 14
4 Penggelapan 7
5 Penipuan 5
6 Pembunuhan 2
7 Pemalsuan 2
8 Judi 15
Jumlah 58

Dari Tabel diatas dapat diketahui bahwa pengajuan penangguhan

penahanan pada tahun 2020 sebagaimana data yang didapatkan penulis pada

Polres Gorontalo Kota pada kasus tindak pidana pencabulan ada tiga kasus yang

mengajukan penangguhan penahanan, tindak pidana penganiayaan terdapat 10

kasus pengajuan, tindak pidana pencurian terdapat 14 kasus pengajuan,

penggelapan terdapat 7 kasus, penipuan terdapat 5 kasus, tindak pidana

pembunuhan terdapat 2 kasus, tindak pidana pemalsuan terdapat 2 kasus dan

tindak pidana judi terdapat 15 kasus pengajuan penangguhan penahanan,

sehinggat total pengajuan penahanan berjumlah sebanyak 58 kasus.


42

Berdasarkan wawancara penulis dengan Anggota Reskrim Polres

Gorontalo Kota yaitu ibu Sri Suryani menjelaskan bahwa

“penangguhan penahanan diberikan kepada tersangka berdasarkan


penilaian penyidik bahwa tersangka tidak akan melarikan diri, tidak mengulangi
perbuatannya, tidak menghilangkan barang bukti. Pemberian penangguhan
penahanan terhadap tersangka itu harus ada permohonan dari pihak keluarga.
Setelah ada permohonan nanti akan dijadikan pertimbangan apa alasan tersangka
untuk meminta penangguhan penahana”27

“Penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Maksud dari penangguhan penahanan


dalam Pasal tersebut, bahwa tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan
sebelum masa atau waktu penahanannya berakhir. Dengan adanya penangguhan
penahanan, seorang tersangka atau terdakwa akan dikeluarkan dari tahanan pada
saat masa tahanan yang sah dan resmi tengah berjalan.”28

Pelaksanaan penangguhan penahanan sebenarnya telah diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.04.UM.01.06/1983 yaitu:

1. Pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan harus berdasarkan


surat perintah pengeluaran tahanan dari Kepolisian yang menahan.

2. Dalam pembebasan tahanan dimaksud petugas Lapas harus:

a. Meneliti surat perintah pengeluaran tahanan dari Kepolisian yang


menahan.
b. Membuat berita acara pengeluaran tahanan dari Lapas dan
menyampaikan tembusan kepada Kepolisian yang menahan.
c. Mencatat surat-surat penangguhan penahanan dan mengambil cap jari
sidik, tiga jari tengan tangan kiri tahanan yang bersangkutan ke dalam
register yang disediakan.
d. Memeriksa kesehatan tahanan yang bersangkutan kepada dokter
Lapas dan menyampaikan hasilnya kepada Kepolisian yang menahan
dan kepada tahanan itu sendiri.
e. Menyerahkan barang-barang milik tahanan yang ada dan dititipkan
kepada Lapas dengan berita acara dan mencatat dalam register yang
disediakan.

27
Hasil wawancara dengan anggota reskrim gorontalo kota sri suryani pada tanggal 26 maret
2021
28
Hasil wawancara dengan anggota reskrim gorontalo kota sri suryani pada tanggal 26 maret
2021
43

Sedangkan dalam pelaksanaan penangguhan penahan di Polres Gorontalo

Kota tentu terdapat tahapan-tahapan. Berdasarkan hasil penelitian beberapa

tahapan dalam pemberian penangguhan penahanan sebagaimana menurut salah

satu anggota penyidik reskrim polres gorontalo kota bahwa :

1. keluarga atau penasehat hukumnya mengajukan permohonan penangguhan

penahanan kepada Kapolres.

2. Setelah adanya surat permohonan penangguhan penahanan dari keluarga

atau penasihat hukum tersangka selanjutnya Kapolres meminta saran

tindak kepada penyidik. Saran dari penyidik yaitu penyidik harus melihat

dasar permohonannya seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu alasan

tersangka merupakan tulang punggung keluarga atau memiliki anak yang

masih kecil dan anaknya sedang sakit.

3. Saran tindak dari penyidik diteruskan pada Kasat Reskrim

4. Selanjutnya Kasat Reskrim akan memberikan tanggapan Ketika saran

tindak telah disetujui oleh Kapolres maka selanjutnya akan dibuatkan surat

penangguhan yang akan ditandatangani oleh Kapolres.

Pada saat penelitian ditemukan bahwa untuk penangguhan penahanan

berupa jaminan uang sangat jarang dilakukan di Polres Gorontalo Kota. Namun

hanya dilakukan dengan jaminan orang. Hal ini karena nilai uang yang

dijaminkan sangat besar sementara pemohon tidak memiliki sejumlah uang yang

dimintakan dalam perjanjian penangguhan penahanan. Hal ini dikemukakan oleh

sri suryani

“Apabila suatu penangguhan penahanan dikabulkan oleh pejabat yang


melakukan penahanan, maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, pejabat
44

tersebut dapat menetapkan suatu jaminan baik berupa jaminan uang maupun
jaminan orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP
bersifat fakultatif. penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan tidak
mutlak. Tanpa jaminan, tindakan pemberian penangguhan penahanan tetap sah
menurut hukum. Hanya saja, agar syarat penangguhan penahanan benar-benar
ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi dengan penetapan jaminan. Cara
yang itulah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan demi upaya memperkecil
tahanan melarikan diri. Untuk kelancaran proses penyelesaian perkara, perlu
diatur korelasi penyerahan perkara dengan status penangguhan penahanan. Di
polres gorontalo ini seluruhnya menggunakan jaminan orang dan bukan
menggunakan uang karena jumlah jaminan uang yang terlampau tinggi”29

4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Penangguhan Penahanan

Terhadap Tersangka Dalam Perkara Pidana

Penahanan dilakukan terhadap tersangka pada proses penyidikan

dimaksudkan agar penyidik dapat mencegah adanya tindakan-tindakan tidak

bertanggungjawab yang akan dilakukan oleh tersangka. Yang pada intinya

penahanan dilakukan sesuai dengan amanat Kitab UU Hukum Acara Pidana.

Dasar penahanan adalah sebagai berikut :

1. Landasan Dasar atau Unsur Yuridis, diatur dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP yang disebut dasar hukum atau obyektif, karena undang-undang
telah menentukan terhadap pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana
penahanan dapat diterapkan. Yaitu terhadap tindak pidana yang ancaman
hukumannya lima tahun atau lebih diperkenankan oleh undang-undang
untuk dilakukan penahanan.

2. Landasan Unsur Keadaan Kekhawatiran, diatur dalam Pasal 21 ayat (1)


KUHAP yang menyatakan bahwa perintah penahanan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:

29
Hasil wawancara dengan anggota reskrim gorontalo kota sri suryani pada tanggal 26 maret
2021
45

a. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka


akan melarikan diri;

b. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka


akan merusak atau menghilangkan barang bukti;

c. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka


akan mengulangi tindak pidana

Adanya permintaan penangguhan penahanan di Polres Gorontalo Kota

sebagai hak dari tersangka tentunya tidak selamanya dapat dikabulkan oleh

penyidik. Hal ini dapat dilihat dari data pengajuan permohonan penangguhan

penahanan di Polres Gorontalo Kota :

Tabel 2
Data penangguhan penahanan yang diajukan, ditolak dan disetujui di Polres
Gorontalo Kota

No Jenis Kasus Dimohonkan Disetujui Ditolak


1 Pencabulan 3 - 3
2 Penganiayaan 10 5 5
3 Pencurian 14 5 9
4 Penggelapan 7 4 3
5 Penipuan 5 2 3
6 Pembunuhan 2 - 2
7 Pemalsuan 2 - 2
8 Judi 15 11 4
Jumlah 58 27 31

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pada kasus pencabulan

sebagaimana dimohonkan sebanyak 3 kasus namun kesemuanya ditolak, pada

kasus tindak pidana penganiayaan terdapt 10 kasus di mohonkan namun hanya 5

yang diterima oleh Polres Gorontalo Kota. Kasus Pencurian sebanyak 14 kasus,

disetujui permohonan pengangguhan penahan hanya terdapat 5 kasus, pada kasus


46

penggelapan terdapat 7 kasus yang diterima hanya 4 kasus, pada kasus penipuan

terdapat 5 yang disetujui hanya 2 kasus, sementara pada kasus pembunuhan dan

pemalsuan kesemuanya ditolak oleh Polres Gorontalo Kota. dan pada kasus yang

terkahir yaitu perjudian dari 14 kasus yang mengajukan penangguhan penahanan

terdapat 11 yang disetujui.

Penolakan terhadap kasus-kasus tersebut terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi. Adapun beberapa faktor tersebut yakni :

1. Jenis kasus yang diajukan penangguhan.

Dalam penangguhan penahanan, KUHAP tidak memberikan batasan

terhadapa kasus apa saja yang dapat dimintakan penangguhan penahanan. Semua

kasus dapat diajukan penangguhan penahanan oleh keluarga dan penasehat

hukumnya. untuk tahun 2020 pada Polres Gorontalo Kota ada beberapa tindak

pidana yang tidak diberikan penangguhan penahanan yakni:

1) kasus korupsi,

2) kasus pemalsuan,

3) Kasus pembunuhan,

4) Kasus Pencabulan.

5) Kasus Narkotika.

Dari penuturan salah satu Penyidik Pada Polres Gorontalo Kota

mengatakan bahwa penolakan terhadap penagguhan penahanan pada beberapa

tindak pidana diatas dikarenakan jangan sampai pelaku melarikan diri atau

menghilangkan barang bukti.

2. Penilaian Subjektif Dari Penyidik


47

Penilaian subjektif dari penyidik merupakan salah satu syarat wajib

dilaksanakannya penangguhan penahanan. Hal ini seperti dikatakan oleh Kasat

Reskrim Polres Gorontalo Kota bahwa sebelum melakukan penangguhan penyidik

harus mencari track record dari tersangka, apakah tersangka ini memiliki

pekerjaan tetap karena apabila tidak memiliki pekerjaan tetap maka kemungkinan

tersangka akan melarikan diri, selain itu penyidik juga mencari tahu kondisi

keluarga tersangka seperti apa. Selain dari mencari track record tersangka

penyidik juga melihat apakah dalam pemeriksaan apakah tersangka kooperatif

dalam hal ini apakah dalam sekali panggilan tersangka datang untuk menghadap,

namun apabila selama pemanggila tersangka harus dipanggil secara paksa maka

hal itu akan menyurutkan kepercayaan panyidik terhadap tersangka. Yang paling

utama dalam pertimbangan pemberian penangguhan penahanan si tersangka

bukan merupakan residivis.

Dengan demikian untuk kepentingan penegakan hukum tidak semua jenis

tersangka tindak pidana diberikan penangguhan penahanan.


48

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Pelaksanaan penangguhan penahanan dengan jaminan di Polres

Gorontalo Kota melalui mekanisme yang telah diatur di dalam

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang peraturan

pelaksanaan KUHAP dan sesuai dengan Pasal 31 KUHAP yang mana

Berdasarkan penilaian penyidik bahwa tersangka tidak akan melarikan

diri, tidak mengulangi perbuatannya, tidak menghilangkan barang

bukti. Penangguhan penahanan melalui keluarga atau penasehat

hukumnya mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada

Kapolres. Dalam pelaksanaan penangguhan penahanan di Polres


49

Gorontalo Kota sangat jarang dilakukan penangguhan penahanan

berupa jaminan uang. Namun hanya dilakukan dengan jaminan orang

2. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penangguhan penahanan di

Polres Gorontalo Kota adalah jenis kasus yang diajukan penangguhan,

dan penilaian subjektif dari penyidik.

5.2 Saran

1. Diharapkan agar kedepannya dibuatkan regulasi atauy standar jamnian

uang yang lebih rendah sehingga dapat dijangkau oleh pemohon, karena

jamina berupa orang juga masih jadi pertimbangan oleh sebagian

penyidik, sehingga kadang kala pelaku tidak mendapatkan hak atas

penangguhan penahanan.

2. Diharapkan agar kedepannya Polres Gorontalo Kota dalam menilai syarat

penagguhan penahanan tetap memperhatikan kepentingan dan hak-hak

pelaku sehingga keputusannya dapat memberikan rasa keadilan kepada

tersangka.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 2011, KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta

----------------, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, Ruben Achmad. 1990. Hukum Acara


Pidana. Bandung:

Bambang Poernomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta

Goenawan Goetomo. 2000. Hukum Acara Pidana Sipil. Yayasan Kutuk Mas;
Semarang

Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana,.
Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,. Jakarta:


Sinar Grafika.

Mulyati Pawennei dan Rahmanudin Tomailli,2015, “HukumPidana” Jakarta:Mitra


WacanaMedia

Romli Atmaasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Persafektif


eksistensialisme dan abolisianisme) Bandung : Bina Cipta

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung:Citra Aditya.

Syukrie Akuub dan Baharuddiin Badaru, 2012, “Wawasan Due Proces Oflaw”
dalam system peradlan pidan, Jogyakarta : Rangkaang Educationi.\

Tholib Efendi. 2013. Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan


Proses Sistem Peradilan Peradilan Pidana di beberapa Negara. Jakarta:
Pustaka Yustisia
Yesmil anwar dan Adang, 2009,Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Bandung:
Widya Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai