Anda di halaman 1dari 7

IDEALISME, RASIONALISME DAN KRITISISME

 IDEALISME

Pengertian

Idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau pemikiran, dan isme yang berarti
paham atau pendapat. Idealisme adalah suatu pandangan dunia atau metafisika yang
menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran
atau jiwa. atau Biasa disebut dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa
kebenaran/pengetahuan sesungguhnya bukan bersumber dari rasio atau empiris, melainkan dari
gambaran manusia tentang suatu pengamatan.

Untuk membuktikan pengamatan itu perlu diadakan kajian yang mendalam, baik tentang
subyek maupun tentang obyek. Ungkapan “buku itu mahal” menimbulkan dua pengertian dan
tinjauan. Tinjauan yang pertama segi obyek (buku); buku yang manakah yang mahal itu?,
karena tidak semua buku mahal. Tinjauan yang kedua, dari segi subyek, yaitu orang yang
mengungkapkan buku mahal itu siapa, karena tidak semua buku mempunyai konsep yang sama
tentang pengertian mahal.

Oleh karena itu, idealisme dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan metode pengamatannya
yaitu idealisme subyektif, idealisme obyektif dan idealisme mutlak, sesuai dengan tokoh-
tokohnya.

Tokoh dan Pemikirannya

1. Johann Gottlieb Fichte (1762-1814)

Fichte adalah tokoh idealisme subyektif, yaitu pandangan bahwa sumber


pengenalan/pengetahuan bukanlah rasio teoritis atau praktis, seperti kata Immanuel Kant,
melainkan pada aktivitas ego. Pemikirannya didasarkan pada konsep ego mutlak; yang
menemukan dan meneruskan pengertia-pengertian tentang obyek; ego tidak hanya sebagai
“penemu”, melainkan sebagai yang “menciptakan benda-benda” (obyek). Dengan demikian
peran manusia sebagai subyek sangat dominan di dalam menggagaskan sesuatu.

2. Friedrich Wilhelm Josept Von Schelling (1775-1854)

Menurut para ahli, pemikiran Friedrich Wilhelm Von Schelling agak sulit diformulasikan
sistem pemikiran Schelihelling, karena pemikirannya mengalami proses evolusi. Evolusi
pemikirannya dapat dikelompokkan menjadi empat fase, yaitu periode filsafat alam, priode
filsafat sistem idealistis, priode sinkritisme dan periode teosopi.

Schellling adalah tokoh idealisme obyektif sebagai kebalikan dari idealisme subyektif.
Menurut Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah ditentukan oleh subyek (ego),
melainkan oleh obyek pengamatan, yaitu bagaimanna obyek itu menampilkan dirinya, atau
bagaimana obyek menyadarkan subyek. Apabila aku (ego) menentukan kehendak, hal itu
diharuskan oleh kemestian yang mendahului kehendak, yaitu seluruh obyek pengamatan
kecuali sebagai pemberi kehendak, juga sebagai pemberi arah bahkan mampu merubah
kehendak. Oleh karena itu, obyeklah yang menentukan subyek (ego), bukan sebaliknya.

Semboyan yang paling populer ialah: “Wir haben eine altera offenbarung als jade
geschriebence (Kita mempunyai wahyu yang lebih tua dari yang tertulis, yaitu alam)”. Melalui
semboyan ini schelling bersiteguh bahwa alamlah sumber pengetahuan, kecuali yang paling
tua, sekaligus sebagai yang akurat.

3. Hegel (1770-1831)

Hegel adalah tokoh idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyempurnaan idealisme.
Hegel berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah dikoyak-koyak oleh Fichte dan
Schelling. Apabila Fichte bersifat subyektif dan Schelling bersifat obyektif, maka Hegel
melihat secara keseluruhan (totalitas).

Hegel mengatakan : “Das wahre das ganze (Yang benar itu yang menyeluruh). Untuk itu,
Hegel tidak memihak kepada salah satu kecendrungan. Menurutnya pengenalan tidak mungkin
ditentukan oleh subyek dan obyek secara terpisah, tetapi harus saling terkait. Subyek (manusia)
hanya mengenal gejala-gejala (fenomeno-fenomenon) sejauh benda itu diamati. Demikian juga
benda-benda (obyek) an sich tidak akan mampu mengenalkan dirinya, maka perlu pemanduan
di antara subyek dan obyek.

Membuktikan kebenarannya yang mutlak itu. Hegel menyusun alur pikir yang disebut dengan
dialektika, yaitu tesis, anti tesis dan sintesis, misalnya “ada” (tesis), “tiada” (anti-tesisi) dan
“menjadi” (sintesis). Terjadinya dialektika konsep harus direlevansikan dengan dialektika
tersebut. Konsep dialektis ini kemudian sangan berperan di dalam filsafat Karl Marx.

Demikian gambaran umum mengenai aliran idealisme. Namun jika idealisme dapat dikaitkan
dengan kejian etika, maka idealisme dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Idealisme Rasionalistik

yaitu yang mengacu idealdealisme pada intensitas penggunaan rancang bangun budi untuk
mengetengahkan norma-norma, yaitu yang baik dan yang buruk. Upaya ini dapat dilihatpada
aliran stoa, yang selalu mementingkan moral dalam kehidupan dengan menselaraskan akal dan
perasaan. Semboyannya ialah: “kita harus selalu hidup sevcxsuai dengan alam”. Alam yang
dimaksud adalah akal budi manusia, sehingga semboyan ini bermakna: “hiduplah sesuai
dengan akal budi”.

2. Idealisme Estetik

yaitu idealisme yang didasarkan pada upaya penyelarasan di antara manusia sebagai subyek
dan keindihan sebagai obyek. Idealisme bentuk ini mencoba menyingkap keselarasan dalam
dunia, dalam bentuk individualisme, universalitas dan totalitas. Individualitas adalah kunci
awal bagi pemahaman realitas seni, tetapi tidak mengarah pada individualisme estetik. Untuk
itu harus diarahkan pada universalitas. Dengan kata lain, manusia sebagi mikro kosmos harus
mencerminkan dirinya pada makro kosmos. Apabila hal ini terejatahkan, maka manusia akan
mengarah pada totalitas, kesatuan pandang tentang dunia manusia dan keindahan.

3. Idelisme Etik
yaitu pandangan bahwa manusia pada hakikatnya telah memiliki kesadaran etik dan sekaligus
berupaya mengajarkannya. Immanuel Kant, misalnya, dengan ajaran tentang impramatif
kategorik, merumuskan bahwa sesungguhnya terdapat dalam diri manusia amar wajib tanpa
syarat, sebagai landasan dari tingkah laku. Kelanjutan idealisme ini muncul aliran lain yang
disebut eudeonisme, yang berarti roh pengawal yang baik, yaitu pandangan bahwa manusia itu
telah terkawal untuk selalu berbuat secara natural.

 RASIONALISME

Pengertian

Kata rasionalisme terdiri dari dua kata yaitu “rasio” yang berarti akal atau pikiran, dan “isme”
yang berarti paham atau pendapat. Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat bahwa
“kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.” Oleh karena itu, rasio
dipandang kecuali sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran, juga sekaligus
sebagai sumber dari akal manusia.

Tokoh dan pemikirnya

Rene Descartes (1596-1650)

Rene Descartes dikenal sebagai bapak filsafat modern. Semboyan dari aliran ini adalah
ungkapan Descastes yang berbunyi: cagito ergo sun/ i think there fore i’m (saya berfikir maka
saya ada). Dari ungkapan sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai berikut :

1. Eksistensi manusia yang paling sempurna adalah rasionya, sehingga rasio berperan
sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan koherenensi berfikir antara berpikir dan
berada. Artinya manusia terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya.
2. Dengan rasio, manusia berhasil menemukan kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya
yang tidak atau kurang diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab
suci.
3. Rasio tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan
kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut.

Di dalam perkembangan selanjutnya, rasionalisme terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama,


rasionalisme ekstrim, yang berpendapat bahwa kebenaran hanya bersumber dari rasio manusia.
Kedua, rasionalisme moderat, yang berpendapat bahwa kebenaran, selain bersumber dari rasio,
juga dari sumber lain seperti panca indra, wahyu dan lain-lain. Dalam perkembangan pemikiran
kefilsafatan, aliran terahir paling populer, karena metodenya yang komprehensif, tidak hanya
digunakan di dalam menganalisis filsafat melainkan juga terhadap agama. Tampilnya teologi
(ilmu kalam), misalnya, adalah sebagai upaya rasionalisasi ajaran-ajaran agama islam.

Spinoza

Berbeda dengan Descartes, sesuai dengan semboyannya”deus sen natural” (Tuhan atau alam),
Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik. Pemikiran mistiknya ditandai dengan konsep
hubungan Tuhan-manusiannya yang pantesistik. Menurut Spinoza, seluruh kenyataan
merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau
alam. Segala sesuatu termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, kehendak
Tuhan berati sama dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama dengan
kehendak Tuhan.

Pengertian Kritisisme

Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki
kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik
terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut
berlawanan, Adapun pengertian secara perinci adalah sebagai berikut:

 Faham Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan


melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini
menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan
terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima
oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari
segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang
jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini
sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650),
Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz
(1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).

 Faham Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan


indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan
secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang
filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya
Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui
pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal
yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat
ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan
Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-
1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam
Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi
tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga
telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum
dan HAM.

Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi
Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan
pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang
lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara
berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang
merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti
“pemisahan”.

Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak
murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada
segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran
atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas
kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.

Dengan filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan.
Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme
dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi
pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme
mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa
empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui
idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.

Dengan kritisisme, Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan
yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan
salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun
dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar
kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa
dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau
“bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada
pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan
waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang
dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik di mana hal itu merupakan
materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai
proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.

Sejarah Timbulnya Kritisisme

Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut
zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam
keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman
Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan
akal.

Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,
biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya
filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar
dengan ilmu pengetahuan alam.
Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan
pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang
benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian pertalian
ini. Pada umumnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh
emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia
mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat
mencapai kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta
akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini
disebut kriticisme.

Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya
mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme),
tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut
metode kritik.

Pemikiran Kritisisme Tentang Ilmu Pengetahuan

Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut:

1. Yang analitis a priori

2. Yang sintetis a priori

3. Yang analitis a posteriori

4. Yang sintetis a posteriori

Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau,
yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat
pengalaman. Pengetahuan yang analitis merupakan hasil analisa dan pengetahuan sintetis
merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah Pengetahuan
yang analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur
yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-
bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu.
Misal, 7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a posteriori
diperoleh setelah adanya pengalaman.

Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan.
Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut
Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan
b) memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis
terhadap rasio murni dan realita.
Kant yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh
adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke tingkat menengah
akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi (Vernunft).

Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada
landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak sampai mendidih
pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini, namun lain
cerita bila kita memasak air sampai mendidih di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C,
maka air itu tidak akan panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya
suhu air malah akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi hanya
dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi sudah terbukti bahwa
pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau kita iyakan begitu saja tanpa
dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh karena itu Ilmu pengetahuan atau Science
haruslah bersifat berkembang, tidak absolute atau mutlak dan tidak bertahan lama karena akan
melalui perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju. (mungkin Sir Issac
Newton bila hidup kembali bakal merevisi teroi Gravitasinya kembali) Pengalaman juga
bersifat data-data Inderawi. Makanya Immanuel Kant mengkritik Empirisme, data Inderawi
sendiri harus dibuktikan atau dicek dengan 12 kategori “a priori” rasio, baru setelah itu
diputuskan sah “a priory” atau 12 kategori azas prinsipal abstrak yang dibagi menjadi 4 oleh
Immanuel Kant, antara lain:
-Kuantitas (hitung-hitungan) mengandung kesatuan, kejamakan dan keutuhan.

-Kualitas (Baik dan buruk) realitas, negasi dan pembatasan.

-Relasi (hubungan) mengandung substansi, kausalitas dan timbal balik.


-Modalitas mengandung kemungkinan, peneguhan dan keperluan.

Data-data inderawi harus dibuktikan dulu dengan 12 kategori tadi, baru dapat diputuskan,
itulah proses Kritisisme Rasionalis Jerman yang di ajarkan Immanuel Kant.

1. Metodologi berpikir Dalam Mendapatkan Ilmu

Metodelogi Immanuel Kant tersebut dikenal dengan metode Induksi, dari particular data-data
terkecil baru mencapai kesimpulan Universal. Menurut Immanuel Kant, Manusia sudah
mendapatkan ke 12 kategori tersebut sejak terlahir di dunia ini, Teori itu terinspirasi dari Dunia
Ide Plato.

Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan
Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan
fisiknya saja. Seperti benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. Seperti ada ungkapan “The
Think in itself” Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara
penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi
hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak–>
Plato). Cara berpikir yang demikian itu, yaitu pemikiran dengan memakai tese, antitese dan
sintese.
Immanuel Kant menggabungkan dunia Ide Plato “a priori” yang artinya sebelum dibuktikan
tapi kita sudah percaya, seperti konsep ketuhanan dengan pengalaman itu sendiri yang bersifat
“a posteriori” yaitu setelah dibuktikan baru percaya, kata lainnya adalah kesimpulan dari kesan-
kesan baru kemudian membentuk sebuah ide.

Anda mungkin juga menyukai