Anda di halaman 1dari 21

Nama : Ariangga Dwy Sakty Rombeallo

Nim : 18021014011

Fakultas : Teknik

Prodi : Teknik Industri

Mata kuliah : Aswaja III

1.Kedudukan Tasawuf Dalam Islam

Pada kesempatan ini Mari kita bersama-sama memusatkan perhatian untuk mengkaji
tasawuf yang pertama yaitu al ashilatul bil islam yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari ajaran Islam. bagaimana penjelasannya, apakah kata kata tasawuf ada dalam alquran,
apakah kata kata tasawuf ada dalam sunnah rasulullah saw?

Mari kita membahas salah satu hadis yang terkenal yaitu dialog antara malaikat Jibril dan
Rasulullah dalam dialog itu Jibril memberikan pertanyaan Apakah Islam itu? Apakah iman itu ?
lalu apakah ihsan itu?

Pada dialog ini menggambarkan ada tiga hal yang menjadi esensi ajaran Islam yaitu iman, Islam
dan ihsan. Di akhir Dialog itu Rasulullah bersabda ini adalah Jibril datang kepada kalian untuk
menjelaskan dan mengajarkan agama kalian yaitu Islam.

Jadi pada hadis ini menggambarkan tiga komponen pokok ajaran Islam yang bisa kita rumuskan
dalam 3I (Iman, Islam dan Ihsan). Kemudian pada perkembangan berikutnya istilah iman
dijelaskan sebagai akidah, istilah Al Islam dijelaskan sebagai Syariah , dan istilah Ihsan dijelaskan
sebagai akhlak. Pada perkembangan berikutnya muncul istilah yang menggambarkan Aqidah
sebagai Islam dan ihsan digambarkan menjadi tauhid, sedangkan Syariah digambarkan sebagai
fiqih, sementara akhlak digambarkan sebagai tasawuf.
ketiganya bisa di diibaratkan segitiga sama sisi seperti dari garis a ke b yang berada dibawah
diibaratkan sebagai pondasi yaitu aqidah sedangkan Garis dari a ke c ke yaitu Syariah atau fiqih
atau Islam sementara garis yang menghubungkan C ke b atau b ke c yaitu Ihsan atau akhlak
atau tasawuf. tengahnya itu adalah kepribadian muslim. itulah gambaran singkat bahwa
tasawuf ini adalah bagian dari ajaran islam. Penjelasan lebih dalam, jadi singkatnya seorang
muslim benar-benar disebut muslim, memiliki karakter muslim, kepribadian muslim, apabila
Didalam dirinya ada iman, iman dibangun diatas 3 komponen yaitu, melibatkan rasa,
melibatkan kedalaman rohani, ditopang oleh pemikiran. Jadi iman itu menyakini tidak ada
tuhan selain allah, keyakinan ini diresapkan, dihayati, pada kekuatan rasa. Inti iman ada pada
rasa dan rohani bukan pikiran.
Setelah iman yaitu pembuktian yang diwujudkan dengan sikap dan perbuatan kepada allah
diwujudkan dengan solat,perbuatan kepada sesama melahirkan solidaritas , persaudaraan,
kepedulian, kepekaan merasa senasib dan sepenanggungan sebagai sama- sama orang yang
menyakini tidak ada tuhan selain allah, menyakini bahwa muhammad adalah rasulullah, maka
terjadilah hubungan yg sangat kuat. (syariah) Lalu berikutnya akan menghasilkan buah yaitu
akhlak ada yang melukiskan dengan terinspirasi oleh surat ibrahim ayat 24. Tasawuf, tahuid,
syariah, fikih bisa dipisah menjadi prodi tapi ketiganya terintegrasi terpadu menjadi kepribadian
muslim. posisi tasawuf terdapat pada al ihsan. Inti tasawuf beribadah kepada allah karena atas
dasar iman, keyakinan, kesadaran tiada tuhan selain allah, tidak menyekutukan allah dengan
siapapun.
Jadi inti tasawuf adalah berusaha menjadi pribadi yang bersih dari kekufuran, bersih dari
kemusrikan, bersih dari kemunafikan , bersih dari sifat-sifat tercela, bersih dari berbagai
penyakit hati.

2.Pembagian Tasawuf

1.“Tasawuf Falsafi” (Tasawuf Tauhid/Ontologi Tasawuf/Ilmu Tasawuf)

Ini jenis tasawuf yang sifatnya teoritis. Mirip dengan filsafat tauhid (kalam/teologi),
aktifitasnya mengkaji dan memahami hakikat dari eksistensi dengan cara yang unik. Jika filsafat
teologi berusaha memahami Tuhan secara rasional, tasawuf falsafi mencoba menemukan
bahasa akal untuk menjelaskan berbagai pengalaman mistis. Sehingga lahir konsep-konsep
semacam ittihad, wahdatul wujud, gradasi wujud (isyraqiyyah), insan kamil, nur muhammad,
tajalli, musyahadah, mukasyafah, fana, baqa, serta terma-terma ilahiah dan kondisi-kondisi
batiniah lainnya. Tasawuf ini fokus pada kemampuan ‘aqliyah (berfikir), termasuk kajian dan
baca-baca kitab. Pekerjaan para murid mendengar tausiah bahkan diskusi. Yang disasar adalah
kesadaran kognitif (otak). Diharapkan, dengan banyak membaca dan mendengar, para murid
memahami ruang lingkup tasawuf.

Tasawuf ini tidak membawa murid sampai kepada Allah. Tasawuf ini hanya membawa
murid sampai pada level “mengetahui” berbagai filosofi tentang dirinya, Tuhannya, dan alam
semesta; serta relasi antara ketiganya. Kata para arif: “1000 gelas anggur tidak akan
memabukkan, sampai engkau meminumnya. Pun 1000 kitab yang kau baca tidak akan
membawamu kepada Tuhan, sampai engkau bersedia menempuh jalan.” Oleh sebab itu,
bertasawuf harus melampaui kajian dan ceramah.

2.“Tasawuf Akhlaki” (Tasawuf Syar’i/Fikih Tasawuf/Adab Berguru/Etika)

Tasawuf ini berfokus pada birokrasi atau aturan-aturan formal untuk membentuk sikap
dan perilaku murid. Targetnya adalah perbaikan langsung moral dan etika. Tasawuf ini
menekankan pada adab lahiriah dan batiniah (ada yang menyebutnya dengan “hadap”) dalam
berguru. Sehingga terkenal aturan: “dahulukan adab daripada ilmu”. Kalau sekedar berilmu,
iblis lebih alim. Semua kitab sudah dibacanya. Tetapi ia angkuh, merasa paling benar.
Kepatuhannya kepada Allah tidak ada.
Jadi, tasawuf akhlaki ini sudah bernilai praktis. Batin seseorang ikut dibentuk dengan
berbagai aturan dan kebijakan. Sehingga ia memiliki sifat jujur, adil, ikhlas, murah hati, rajin,
patuh, selalu dalam keadaan bersuci, dan lain sebagainya. Pola ketat pendidikan akhlak ini
ditemukan dalam jamaah sufi, atau disebut “tarekat”. Mereka membentuk kelompok-kelompok
sosial dengan berbagai aturan dan bentuk-bentuk kedisiplinan.
Untuk mencapai ini, sering ditemukan bentuk-bentuk ketaatan kepada ulil amri (guru
spiritual). Semua yang ingin menemui Allah diwajibkan ‘sujud’ kepada Adam (sebuah objek
wasilah atau kiblat material yang dalam dirinya terdapat entitas maksum nurullah). Disinilah
dalam tasawuf atau irfan dipercayai adanya nabi, imam-imam, walimursyid, atau pembimbing
ruhani.Namun lagi-lagi, tasawuf ini tidak membawa murid sampai kepada penyaksian atau
merasakan langsung akan keberadaan Allah (musyahadah). Mereka hanya diajari menjadi baik,
merasakan seolah-olah Allah melihat mereka. Namun terbentuknya dasar-dasar akhlak
(hilangnya ego/keakuan) melalui adab dan ‘ubudiyah (penghambaan diri kepada Allah) dalam
kelompok sosial, menjadi prasyarat untuk sampai kepada Wajah Allah yang hakiki.

Ketiga, “Tasawuf Irfani” (Tarekatullah/Makrifatullah)


Inilah puncak atau jenis tasawuf yang dapat mengubah, mengembalikan manusia
kepada jati diri yang fitrah.Antara hamba dengan Allah ada “jarak” yang memisahkan (hijab).
Tasawuf ini merupakan perjalanan manusia untuk kembali kepada Allah, ke asalnya yang suci.
Ini yang disebut “mati sebelum mati” (hadis). Sejak hidup di dunia harus ada usaha untuk
sampai, terhubung dan kembali menyaksikan-Nya. Sebab, jika di dunia kita buta, di akhirat juga
begitu (QS. Al-Isra: 72). Itulah pendakian ruhani atau disebut sayr (perjalanan) wa suluk
(bepergian). Disini ada yang namanya titik keberangkatan, tempat tujuan, stasiun-stasiun
(makam) serta kondisi-kondisi yang akan dialami (fenomena-fenomena spiritual) selama
perjalanan pulang.

Dalam tasawuf, roh manusia dipandang sebagai organisme hidup. Dari tahap lahir
hingga dewasanya, ia harus terus diberi “gizi” agar mengenal Allah. Maka perjalanan ruhani
adalah sebuah proses pendewasaan wadah spiritual, yang dimulai dari ritual taubat sampai
kepada berbagai bentuk dan jenjang meditasi (dzikir). Praktik tasawuf ini terpusat pada aspek
pensucian jiwa sehingga memungkinkan baginya untuk melakukan perjalanan ke “langit
tertinggi”. Pada praktik tasawuf inilah mulut harus terkunci, akal dan logika juga diharuskan
mati. Karena yang dihadapi adalah alam yang sama sekali berbeda.

Dalam Alquran banyak suri tauladan yang sejak di dunia disebut-sebut sudah liqa Allah
(bertemu Allah), memperoleh wahyu atau ilham, dan berbicara dengan malaikat. Termasuk
pengalaman mikraj Muhammad SAW ke makam “Sidratul Muntaha” (makam musyahadah, fana
dan baqa dalam pengetahuan laduni).

Tasawuf ini bersifat amali dan mesti dibimbing oleh seorang “khidir” atau “jibril” yang
sudah bolak balik ke alam ketuhanan. Mursyid harus seorang master yang sempurna, dapat
membaca persoalan, isi hati dan kebutuhan muridnya (kasyaf). Jika tidak, muridnya bisa
tersesat. Kalau tidak dibimbing oleh orang-orang seperti ini, bisa-bisa di alam sana setanlah
yang akan menyambut ruhani kita.

Anda harus berdoa untuk menemukan ‘urafa, guru-guru irfani atau para wali pewaris
nabi. Mereka sangat langka dan cenderung tersembunyi. Biasanya spiritualitas mereka tinggi
sekali, punya qudrah spiritual semacam mukjizat yang disebut “karamah”. Kemampuan aneh
mereka ini berada di luar nalar awam. Dalam kondisi tertentu, mereka tidak terikat dengan
hukum alam. Karena ruh mereka sudah berada di alam ketuhanan, tidak terjebak lagi dengan
materi, ruang dan waktu. Karena itulah jiwa para murid dapat mereka bimbing dari alam
material (jabarut) menuju alam malaikat (malakut), sampai ke alam ketuhanan (rabbani).
Bukan cuma terletak pada guru yang mumpuni. Suksesnya perjalanan ini juga
tergantung pada kesungguhan si murid sendiri dalam melakukan olah ruhani (riyadhah). Yang
malas-malas tidak akan sampai kemana-mana. Akhlaknya juga akan begitu-begitu saja. Sebab,
inti dari tarekatullah adalah sungguh-sungguh (mujahadah). Jika ditekuni, jiwa si murid akan
sampai kepada sang Khalik, sehingga terbentuk akhlak yang paripurna (kamil). Itulah gambaran
kepribadian Muhammad SAW, sosok sempurna, manifestasi (tajalli) dari keagungan Allah.
Rahmatallil’alamin terbentuk pada saat seseorang telah mengalami penyatuan dengan-Nya.
Nabi Muhammad diutus Allah untuk membawa kita kepada tarekat, atau jalan perbaikan akhlak
yang pernah ia tempuh. Beliau sangat menginginkan kita untuk mereproduksi pengalaman
mistisnya.

3.Sumber Tradisi Tasawuf


secara lahir menampakkan praktik asketis. Praktisinya berpenampilan sederhana, jauh
dari gaya hidup kekinian. Mungkin juga seorang sufi berbadan kurus, karena hanya makan
secukupnya. Shalat, puasa, zikir, dan berbagai ritual syariah menjadi kebiasaan yang sulit
ditinggalkan.Mereka memandang dunia bukan sebagai tempat akhir. Setelah mati, masih ada
kehidupan lain, pertanggungjawaban semua amal di dunia di hadapan Allah. Ini yang paling
berat. Pertanggungjawaban di Mahsyar akan dinilai Allah, apakah seseorang akan menjadi ahli
surga atau sebaliknya penghuni neraka.Ada banyak pertanyaan mengenai tradisi ini. Apa inti
tasawuf? Mengapa tradisi ini menjauhi dunia? Apa manfaatnya bagi kehidupan duniawi?
Apakah tasawuf harus selalu menampakkan kesederhanaan? Pertanyaan itu semua dijawab
oleh intelektual Muslim Syed Naquib al-Attas dalam bukunya Some Aspects of Sufism as
Understood and Practised among the Malays.Buku yang terbit pada 1963 menjadi pengantar
yang mudah bagi siapa pun yang mendalami tasawuf. Gagasan di dalamnya merupakan hasil
pengembaraan ke ilmuan al-Attas belajar dari ulama dahulu dan juga orientalis di Barat, seperti
Arthur John Arberry.Kecanggihan al-Attas dalam mengkaji Islam terlihat pada interpretasinya
yang merujuk langsung kepada sumber yang otoritatif. Kemampuannya berbahasa Arab dan
sejumlah bahasa Eropa, memudahkannya untuk membedah kajian- kajian Islam yang bias.
Kemampuan itu sangat terlihat dalam kitab sufisme. Buku yang tipis ini mengantarkan
pembacanya pada kesimpulan, bahwa sufisme ternyata menginspirasi berbagai aspek
kehidupan. Keaslian ajaran ini sudah terbukti yang dipraktikkan masyarakat sejak dulu hingga
saat ini.

4.Tahapan tahapan Tasawuf

1.Syariat

Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar Al-Ma’ruf dengan mengatakan:
“Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang
oleh-Nya.”Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy mengatakan:

“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang telah
ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara)
istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu
Tasawuf.”Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid; meliputi keimanan kepada Allah,
malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk
ketaqwaan dengan dinyatakan dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat
dan mubah; dan meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh. Dan
hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub (ibadah murni
atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesame manusia dan makhluk lainnya, yang
disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah” (ibadah umum). Kemudian hukum-hukum
yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi sikap dan perilaku manusia, yang
berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan najis serta maksiat yang nyata dengan istilah
“At-Takhali”. Lalu berusaha melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya
kebiasaan-kebiasaan terpuji, dengan istilah “At-Thalli”. Bila syari’at diartikan secara sempit,
sebagaimana dimaksudkan dalam pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata,
karena perbuatan yang tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat.
Oleh karena

itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan manusia


yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Penomena
keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.

2. Tarekat

Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat atau dengan kata lain
pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad
Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:

1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan
menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh
dipermudah.

2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan
kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang
sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan,
sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi)
yang mencita-citakan suatu tujuan.

Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di


beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua
macam pengertian.

a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-
orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang
disebut “Al-Maqamaat” dan “Al-Ahwaal”.

b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat
seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah
seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu
diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat
dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan
latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama-
sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang
disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi prbedaannya.
Latihan kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah
sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya
(perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama. Kembali kepada
masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:

a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan
ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia
yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari
Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.

b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan lama, sedangkan
ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada
pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya,
namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr
As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada
sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:

a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);

b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh,

serta yang syubhat (Al-Wara’);

c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).

d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).

e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).

f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).

g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai
berikut;

a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)

b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)

c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)

d). Tingkatan takut (Al-Khauf)

e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)

f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)

g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah

(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)

i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)

j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).

3.Hakikat

Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat,
berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli
merumuskan definisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :

“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai suatu tujuan
sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya”.

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan


(dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya”.Hakikat yang
didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk,
menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering
mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap
alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;

2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika
melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi melalui
ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada
Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh
keputusan akal”.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara
hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan
ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

4.Marifat
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau

mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah
ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian
istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:

“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah)
yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-
Saamiriy yang mengatakan: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad binAbdillah yang
mengatakan:“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya).” Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf
dapat sampai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan
ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu,
sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya
kepada perbuatan yang haram. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-
Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan
batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.Begitu rapatnya posisi
hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang
melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan ia berada
di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan
melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada
lain yang dilihatnya dalam cermin,kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan
sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah
larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila
suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan yang diliputi
rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan
itu membawa kepada kelupaan dirinya.Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika
menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara
terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

5. Kriteria, Adab, Tugas Murid Dan Mursyid Dalam Tasawuf


1. Mursyid
Guru atau mursyid dalam sistem tasawuf adalah asyrafunnasi fi at-tariqoh artinya orang yang
palin tinggi martabatnya dalam suatu tarekat. Mursyid mengajarkan bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah sekaligus memberikan contoh bagaimana ibadah yang benar
secara syari’at dan hakikat. Betapa penting keberadaan guru dalam suatu tarekat, dijelaskan
tidaklah benar seseorang mengamalkan suatu tarekat tanpa guru. Mursyidlah yang mendapat
izin dari Rasulullah untuk melakukan talqin az-Zikir kepada sipa saja ang mau mengamalkan
zikir.

Kriteria Mursyid
a. Seorang mursyid haruslah seorang yang alim.
b. Seorang mursyid haruslah’arif.
c. Seorang mursyid harus sabar dan mempunyai rasa belas kasihan yang tinggi kepada murid-
muridnya.
d. Seorang mursyid harus pandai menyimpan rahasia murid-muridnya.
e. Seorang mursyid tidak boleh menyalahgunakan kedudukan sebagai seorang guru spiritual
atau orang yang paling tinggi martabatnya dalam tarekat.
f. Seorang mursyid haruslah bijaksana.

g. Seorang mursyid harus disiplin.


h. Menjaga lisan dan nafsu keeduniaan.
i. Seorang mursyid harus mempunyai hati yang ikhlas.
j. Selalu menjaga jarak antara dirinya dengan muridnya.
k. Memelihara harga diri, wibawa dan kehormatan.
l. Mursyid harus bisa memberi petunjuk tertentu pada situasi tertentu kepada muridnya.
m. Merahasakan hal-hal istimewa.
n. Mursyid selalu mengawasi muridnya dalam kehidupan sehari-hari.
o. Merahasiakan segala gerak gerik kehidupannya.
p. Seorang mursyid harus mencegah berlebihan dalm makan dan minum.
q. Seorang mursyid harus menyediakan tempat berkhalwat bagi murid-muridnya.
r. Menutup pergaulan murid dengan mursyid lainnya.
B. Murid dan kewajiban terhadap Mursyidnya
Murid secara etimologis artinya orang yang berkehendak, berkemauan dan mempunyai
cita-cita. Murid dalam istilah tarekat adalah orang yang bermaksud menempuh jalan untuk
dapat sampai ke tujuan yakni keridoan Allah.
Kewajiban murid terhadap mursyidnya adalah sebagai berikut :
1. Menyerahkan diri lahir batin.
2. Murid harus menurut dan mematuhi perintah gurunya.
3. Murid tidak boleh menggunjing gurunya.
4. Seorang murid tidak boleh melepaskan ikhtiarnya sendiri.
5. Seorang murid harus selalu ingat kepada gurunya.
6. Seorang murid tidak boleh memiliki keinginan untuk bergaul ;lebih dalam dengan
mursyidnya, baik untuk tujuan dunia maupun akhirat.
7. Seorang murid harus mempunyai keyakinan dalam hati.
8. Seorang murid tidak boleh menyembunyikan rahasia hatinya.
9. Murid harus memelihara keluarga dan kerabat gurunya.
10. Kesenangan murid tidak boleh sama dengan gurunya.
11. Seorang murid tidak memberi saran kepada gurunya.

12. Seorang murid tidak boleh memandang kekurangan gurunya.


13. Seorang murid harus rela memberikan sebagian hartanya.
14. Seorang murid tidak boleh bergaul dengan orang yang dibenci gurunya.
15. Seorang murid tidak boleh melakukan sesuatu yang dibenci gurunya.
16. Seorang murid tidak boleh iri kepada murid lainnya.
17. Segala sesuatu yang menyangkut pribadinya harus mendapat izin dari gurunya.
18. Tidak boleh duduk pada tempat yang biasa dipakai duduk oleh gurunya.

C. Adab Murid terhadap Dirinya Sendiri


1. Meninggalkan pergaulan dengan orang-orang yang jahat, sebaliknya bergaul dengan orang-
orang pilihan.
2. Jika hendak berzikir padahal ia telah memiliki keluarga dan telah beranak maka seyogyanya
menutup pintu yang dapat menghalangi antara dia dengan istri dan anaknya.
3. Meninggalkan sikap berlebihan baik dalam urusan makan, minum, pakaian, hubungan suami
istri.
4. Meninggalkan cinta dunia dan berfikir tentang kehidupan akhirat.
5. Tidak tidur dalam keadaan junub, tetapi sebaliknya selalu dalam keadaan suci punya wudu.
6. Tidak boleh toma (berharap) kepada apa yang ada di tangan manusia lain.
7. Jika rizki sulit didapat, dan hati manusia keras kepadanya, amka bersabarlah, sebab boleh jadi
hara dunia berpaling dari murid ketika ia masuk dalam tarekat.
8. Hendaklah ia melakukan muhasabah (intropeksi) dan mendorong jiwanya untuk
mengamalkan tarekat.
9. Menydikitkan tidur, terutama di waktu sahur sebab ia adalah waktu ijabah.
10. Menjaga diri agar hanya makan yang halal.
Dan lain-lain …
D. Adab Murid terhadap Sesama Ikhwan atau terhadap Muslim yang lain
1. Mencintai ikhwan tarekat seperti ia mencintai dirinya sendiri.
2. Memulai mengucapkan salam, bersalaman dan berbicara dengan bahasa yang
menyenangkan jika bertemu sesama ikhwan.
3. Bergaul sesama ikhwan dengan akhlak yang baik.
4. Bersikap tawadu’ kepada ikhwan.
5. Mencari keridaan mereka dan anda harus memandang mereka lebih baik dari pada anda
sendiri, selanjutnya saling menolong dalam kebaikan dan takwa, mencintai Allah dan
mendorong mereka dalam apa yang diridai Allah dan anda menunjuki mereka ke jalan yang
benar.
6. Menaruh kasih kepada semua ikhwan, hormat kepada yang lebih besar dan sayang kepada
yang lebih muda.
7. Bersikap simpatik dan halus dalam upaya menasihati ikhwan jika meraka melakukan
pelanggaran.
8. Berbaik sangka kepada ikhwan.
9. Hendaklah menerima permintaan maaf ikhwan yang lain apabila ia minta maaf meskipun ia
berdusta, sebab orang yang meminta maaf kepadamu secara terbuka meskipun batinnya marah
maka sesungguhnya orang itu telah taat kepadamu dan telah menghormatimu.
10. Mendamaikan dua ikhwan yang bermusuhan.
11. Bersikap benar kepada sesama ikhwan dalam segala kondisi dan jangan lupa mendo’akan
mereka dengan ampunan meskipu mereka gaib (tidak ada dihadapan kita).
12. Memberi kelapangan mereka dalam majelis.
13. Bertanya tentang nama kawan kita sekaligus nama ayahnya.
14. Mempertahankan harga diri ikhwan dan menolong mereka meskipun sedang tidak
dihadapan kita.
15. Menunaikan janji apabila ia berjanji, sebab sesungguhnya janji termasuk salah satu dari dua
pemberian, menurut Ahlussunnah ia adalah utang.

E. Waliyullah

Waliyullah artinya kekasih Allah, orang-orang yang dicintai Allah. Ia selalu diberi hidayah oleh
Allah untuk beramal salih dan berdakwah, ia adalah orang-orang salih yang beramal dengan
ikhlas.

F. Tanda-tanda Wali Allah


1. Jika kita melihat mereka, mereka mengingatkan kita kepada Allah.

2. Jika mereka tiada, tidak pernah orang-orang mencarinya.

3. Mereka bertaqwa kepada Allah.

4. Mereka saling menyayangi dengan sesamanya.

5. Mereka selalu sabar, wara’ dan berakhlak mulia.

6. Mereka hidup zuhud di dunia.

7. Mereka selalu terhindar ketika ada bencana.

8. Hati mereka selalu terkait kepada Allah.

9. Mereka suka terbiasa bermunajat di akhir malam.

10. Mereka suka menangis dan berzikir mengingat Allah.

11. Jika meraka menghendaki sesuatu, Allah memenuhi keinginannya.


12. Keinginan mereka dapat menggoncangkan gunung.

Karamah

Karamah adalah kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada para wali. Hal itu diberikan
sebagai hiburan atau santunan, atau pembekalan ilmu atau sebagai ujian.

Manfaat Karamah

1) Dapat menambah keyakinan kepada Allah.

2) Mengkokohkan kepercayaan masyarakat kepada seorang wali.

3) Adanya karomah merupakan bukti anugrah atau derajat yang diberikan Allah kepada seorang
wali, agar pengabdiannya tetap istiqamah.
G. Perbedaan antara Kenabian dan Kewalian

Kenabian adalah jabatan spritual yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihan dengan cara
Allah memberikan wahyu kepadanya, sementara kewalian adalah kasih sayang Allah kepada
orang-orang tertentu karena ia berusaha mujahadah taqarub kepada-Nya sehingga
memberikan ilham kepada-Nya.

Kenabian adalah kalam yang datang dari Tuhan sebagai wahyu, bersama-sama ruh dari Tuhan,
sebagai wahyu yang dinyatakan dan diperkuat dengan ruh. Kewalian adalah orang dimana
Tuhan mempercayakan (waliyah) hadis-Nya. Tuhan membawa wali kepada diri-Nya dengan cara
yang berbeda, dan dia mempunyai hadis.

Bukti-bukti Kenabian

Sebagai salah satu indikator pengakuan seseorang sebagai nabi dan rasul adalah adanya
mu’jizat. Mu’jizat adalah kejadaian luar biasa yang diberikan Allah kepada seorang nabi atau
rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulannya.

Syarat-syarat Mu’jizat

1. Mu’jizat, datangnya harus dari Allah sebagai kejadian luar biasa untuk menguatkan kenabia
atau kerasulan seseorang.
2. Mu’jizat harus berupa kejadian luar biasa sehingga tidak ada yang dapat meniru.

3. Mu’jizat harus muncul dari seorang nabi agar dapat dijadikan bukti bagi risalahnya.

4. Mu’jizat harus diiringi dengan pengakuan kenabian, baik secara hakekat atau hukum.
Biasanya didahului dengan kejadiaan luar biasa yang disebut irhash.

5. Mu’jizat harus sesuai dengan situasi dan kondisi di masa timbulnya, kalau tidak, maka
pungsinya berubamenjadi ihanah, seperti yang terjadi pada Musilamah al-Kazzab.

6. Para penentang risalah tidak bisa mendatangkan yang sepertinya, jika bisa, maka mu’jizat itu
palsu.

7. Mu’jizat boleh bertentangan dengan hukum alam.

Ma’unnah, Ihanah, Istidraj, Irkhas, Sihir, Sya’udah dan Garaib al-Mukhtari’ah.

Ma’unah adalah kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada orang awam untuk
melepaskan dirinya dari kesulitan.

Ihanah adalah kejadian luar biasa yang diberikan kepada seorang pembohong yang mengaku
sebagai nabi, seperti yang pernah diberikan kepada Musailamah al-Kazzab.
Sedangkan Istidraj adalah kejadian luar biasa yang diberikan kepada orang fasik yang mengaku
sebagai wakil Tuhan dengan mengemukakan berbagai dalil untuk menguatkan kebohongannya.
Adapaun Irkhas adalah kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada calon nabi.

Sihir adalah suatu cara yang dapat menampilkan berbagai perbuatan yang aneh bagi yang tidak
mengerti seluk beluknya, tetapi sebenarnya seluk beluknya itu dapat dipelajari.

As-Sya’udah adalah kejadiaan ;luar biasa yang biasa timbul di tangan seseorang, sehingga
menampakan pesona dan kekaguman bagi yang melihatnya, meskipun kejadian itu tidak
terjadi.

Garaib al-Mukhtariah adalah karya atau ucapan manusia disebabkan ilmu pengetahuan dan
teknologi tertentu, seperti radio, televisi dan telepon, hp dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai