BAB I
KONSEP KOMUNIKASI PENYULUHAN
1.1. PENDAHULUAN
Komunikasi adalah ilmu, seni dan keterampilan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Semua gerak langkah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
dan dalam berhubungan dengan manusia lain selalu menggunakan komunikasi.
Manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya perlu berinteraksi dengan orang lain.
Interaksi dapat berlangsung apabila dua orang atau lebih melakukan aksi dan reaksi.
Dalam ilmu komunikasi, aksi dan rekasi ini disebut tindakan komunikasi.
Tindakan komunikasi dapat dilakukan secara verbal dan atau secara non verbal.
Juga dapat dilakukan secara langsung dan atau tidak langsung.
Penyuluh yang berperan sebagai sumber komunikasi dalam kegiatan penyuluhan,
harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan komunikasi yang mumpuni agar proses
komunikasi penyuluhan dapat berlangsung secara efektif. Komunikasi hanya akan
efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima
pesan tersebut, yang pada gilirannya menimbulkan perubahan perilaku.
B. Hakekat Komunikasi
B.1. Komunikasi sebagai tindakan satu arah
Suatu pemahaman komunikasi sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang
(atau lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung
(tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah,
radio, atau televisi. Pemahaman komunikasi sebagai proses searah sebenarnya kurang
sesuai bila diterapkan pada komunikasi tatapmuka, namun tidak terlalu keliru bila
diterapkan pada komunikasi publik (pidato) yang tidak melibatkan tanya jawab.
Pemahaman komunikasi dalam konsep ini, sebagai definisi berorientasi-sumber.
Definisi seperti ini mengisyaratkan bahwa komunikasi merupakan semua kegiatan yang
secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk
membangkitkan respon orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap suatu
tindakan yang disengaja untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan
komunikator, seperti menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuk untuk
melakukan sesuatu.
Beberapa definisi komunikasi dalam konseptual tindakan satu arah adalah:
a. Everet M. Rogers: komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari
sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah
tingkah laku.
b. Gerald R. Miller: komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan
suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi
perilaku penerima.
c. Carld R. Miller: komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang
(komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang
verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan).
d. Theodore M. Newcomb: Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai
suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari
sumber kepada penerima.
B.2. Komunikasi sebagai interaksi
Pandangan ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab-akibat atau
aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau
nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau nonverbal,
kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respon atau umpan balik dari
orang kedua, dan begitu seterusnya.
Contoh definisi komunikasi dalam konsep ini, Shanon dan Weaver (dalam
Wiryanto, 2004), komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling
mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk
komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.
Dari ilustrasi diatas dapat kita menyatakan bila unsur-unsur tersebut tersedia dan
telah dilaksanakan maka petani telah menerima suatu penyuluhan. Tetapi harus diingat
konsep proses, sebab dinamika dari pennyuluhan itu adalah proses dimana terjadi
interaksi dari unsur-unsur diatas. Jadi yang harus diingat dalam membicarakan proses
ialah dinamika dari pergerakan yang menghubungkan unsur-unsur dalam sebuah proses.
Berangkat dari paradigma Lasswell, Effendy (1994:11-19) membedakan proses
komunikasi menjadi dua tahap, yaitu proses komunikasi primer dan proses komunikasi
sekunder.
E.1. Proses komunikasi primer
Proses komunikasi primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media.
Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi ini adalah pesan verbal
(bahasa), dan pesan nonverbal (gesture, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya)
yang secara langsung mampu menterjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator
kepada komunikan.
Seperti disinggung di muka, komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan
makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain , komunikasi
adalah proses membuat pesan yang setara bagi komunikator dan komunikan. Prosesnya
sebagai berikut, pertama-tama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan
disampaikan kepada komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran dan
atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh
komunikan. Kemudian giliran komunikan untuk menterjemahkan (decode) pesan dari
komunikator. Ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau
perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertian. Yang penting dalam proses
penyandian (coding) adalah komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat
menerjemahkan sandi tersebut (terdapat kesamaan makna).
Wilbur Schramm (dalam Effendy, 1994) menyatakan bahwa komunikasi akan
berhasil (terdapat kesamaan makna) apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator
cocok dengan kerangka acuan (frame of reference) , yakni paduan pengalaman dan
pengertian (collection of experiences and meanings) yang diperoleh oleh komunikan.
Schramm menambahkan, bahwa bidang (field of experience) merupakan faktor penting
dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang
pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya, bila bidang
pengalaman komunikan tidak sama dengan bidang pengalaman komunikator, akan
timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain. Sebagai contoh seperti yang
diungkapkan oleh Sendjaja (1994:33) yakni : Si A seorang mahasiswa ingin
berbincang-bincang mengenai perkembangan valuta asing dalam kaitannya dengan
pertumbuhan ekonomi. Bagi si A tentunya akan lebih mudah dan lancar apabila
pembicaraan mengenai hal tersebut dilakukan dengan si B yang juga sama-sama
mahasiswa. Seandainya si A tersebut membicarakan hal tersebut dengan si C, seorang
pemuda desa tamatan SD tentunya proses komunikasi tidak akan berjalan sebagaimana
UMPAN BALIK
pemahaman yang benar dan tepat. Balikan dapat disampaikan oleh penerima pesan atau
orang lain yang bukan penerima pesan. Balikan yang disampaikan oleh penerima pesan
pada umumnya merupakan balikan langsung yang mengandung pemahaman atas pesan
tersebut dan sekaligus merupakan apakah pesan itu akan dilaksanakan atau tidak.
Balikan yang diberikan oleh orang lain didapat dari pengamatan pemberi balikan
terhadap perilaku maupun ucapan penerima pesan. Pemberi balikan menggambarkan
perilaku penerima pesan sebagai reaksi dari pesan yang diterimanya. Balikan
bermanfaat untuk memberikan informasi, saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan
dan membantu untuk menumbuhkan kepercayaan serta keterbukaan diantara
komunikan, juga balikan dapat memperjelas persepsi. Umpan balik bisa berupa data,
pendapat, komentar atau saran.
8. Gangguan (noice)
Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan tetapi
mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap situasi hampir
selalu ada hal yang mengganggu kita. Gangguan adalah hal yang merintangi atau
menghambat komunikasi sehingga penerima salah menafsirkan pesan yang
diterimanya.
9. Pengaruh (Effect)
Efek atau pengaruh merupakan perbedaan antara apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.
Pengaruh bisa terjadi dalam bentuk perubahan pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude), maupun perilaku (behavior).
10. Lingkungan (environment)
Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tententu yang dapat memengaruhi
jalannya komunikasi. Lingkungan dapat berupa:
- lingkungan fisik (misalnya letak geogratis dan jarak)
- lingkungan sosial budaya (misalnya bahasa, adat istiadat dan status sosial)
- lingkungan psikologis (pertimbangan kejiwaan)
- dimensi waktu (misalnya musim, pagi/siang/sore)
F. Mitos-Mitos Komunikasi
F.1. Pengertian Mitos
Mitos hampir identik dengan "dongeng" yang bersumber pada sastra klasik,
seperti mitos tentang Sinta yang bersumber pada epos Ramayana. Selain bersumber
pada khazanah sastra klasik, mitos bisa juga bersumber pada kitab suci, misalnya
mitos tentang penciptaan manusia pertama. Dari sumber sastra klasik dan kitab suci
itu, mitos kemudian hadir dalam khazanah sastra modern.
Kehadiran mitos merupakan penghubung dan perekat antara pembaca dan
sastrawan karena mitos jauh lebih dikenal oleh masyarakat umum. Itulah sebabnya
mengapa sastra Barat lebih akrab dengan publik pembacanya karena sastra Barat
beranjak dari mitologi Yunani yang memiliki akar kultural dalam masyarakat Barat.
Mitos pada umumnya terkait dengan pandangan hidup, yakni cara pandang
masyarakat tertentu dalam menyikapi hidup. Dalam mitos biasanya juga terkandung
ajaran dan nilai moral tertentu, sebagaimana mitos Sinta yang meneladankan kesetiaan.
Namun, karena masyarakat bersifat dinamis, ajaran dan nilai moral tertentu mungkin
saja mengalami pergeseran. Oleh karena itu, mitos yang mewadahi ajaran dan nilai
moral tertentu itupun juga mungkin mengalami dekonstruksi ketika hadir dalam
khazanah sastra modern. Itulah sebabnya mengapa dalam salah satu sajaknya Subagio
Sastrowardojo mempertanyakan: apa benar Sinta tidak tergoda oleh kejantanan
Rahwana yang menculiknya?
Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu
kepada sekelompok orang. Jadi, mitos dijadikan sebagai pedoman dan arah bagi
masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari agar berlaku lebih bijaksana.
Mitos menjadikan masyarakat pengikutnya menjadi patuh dan taat terhadap ajaran-
ajaran yang dianutnya, untuk menciptakan suatu kesadaran akan tingkah laku dan
keselarasan dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Harun Hadiwijoyo (dalam Minsarwati, 2002: 22), mitos dikatakan
sebagai suatu kejadian-kejadian pada jaman bahari yang mengungkapkan dan
memberi arti kepada hidup yang menentukan nasib masa depan. Mitos juga dapat
dipahami sebagai realitas kultur yang kompleks dengan kiasan atau cerita sakral
yang berhubungan dengan even pada waktu primodial, yaitu waktu permulaan yang
mengacu pada asal mula segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya, cerita atau
laporan suci tentang kejadian-kejadian yang berpangkal pada asal mula segala
sesuatu dan permulaan terjadinya dunia.
Mitos adalah semacam takhayul sebagai akibat ketidaktahuan manusia, tetapi
bawah sadarnya memberitahukan tentang adanya sesuatu kekuatan yang menguasai
dirinya serta lingkungannya. Dapat dikatakan pula bahwa mitos adalah suatu hal yang
dipercaya ada tanpa dasar-dasar yang jelas dan masuk akal. Sesuatu hal yang dipercaya
tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk, diantaranya berupa cerita, pola tingkah
laku manusia, nasib manusia maupun berupa keyakinan tentang keberadaan tujuan
hidup yang dipercaya bahwa keberadaannya ada hubungannya dengan kehidupan
manusia. Mitos juga dapat berupa uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang
suci, yaitu menyangkut kejadian-kejadian luar biasa yang berada diluar pengalaman
manusia sehari-hari. Berarti mitos dijadikan sebagai pengalaman supranatural ataupun
kejadian-kejadian gaib yang berhubungan dengan alam di bawah sadar manusia.
F.2. Ritual dan Mitos sebagai Tindakan Simbolis
Dalam masyarakat tradisional, praktik-praktik ritual atau kultus dilaksanakan
dengan pemberian persembahan atau sesajian, mulai dari bentuk-bentuk sederhana
seperti persembahan buah-buahan pertama yang diletakkan di hutan atau di ladang,
sampai kepada bentuk persembahan yang lebih kompleks di tempat-tempat suci atau
umum.
Susane K. Langer memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih
bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan
perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya
masing-masing. Pengobjekkan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam
kelompok keagamaan. Hal itulah yang memungkinkan pemujaan yang bersifat kolektif.
Penggunaan simbol-simbol itu secara rutin menghasilkan dampak yang membuat
simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana diharapkan.
Ritus dapat dibedakan atas empat macam: (1) Tindakan magi, yang dikaitkan
dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) Tindakan
religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) Ritual konstitutif yang
mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-
pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4)
Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan
perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu
kelompok. Ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif, karena tujuannya lebih dari
sekadar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial. Dia tidak saja mewujudkan
korban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan
yang diwajibkan oleh anggota kelompok dalam konteks peranan sekular mereka. Chaple
dan Coon mengusulkan perlunya ditambahkan satu jenis ritual lainnya, yakni (5) Ritual
intensifikasi, ritus kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan
kesuburan, ketersediaan buruan dan panenan. Orang yang menginginkan panenan
berhasil akan elaksanakan ritual intensifikasi.
Dalam masyarakat tradisional, perilaku-perilaku ritual umumnya dapat dijelaskan
dengan istilah-istilah mitis. Mitos memberikan pembenaran untuk berbagai upacara.
Sekalipun ada kemungkinan bahwa banyak ritual pada masa silam berlaku tanpa mitos-
mitos, akan tetapi pada tingkat perilaku manusia dapat diamati dua fenomena: ritus dan
mitos, berjalan seiring.
Kloos, Mauss dan Eliade (de Jong, 1980: 126) mencatat bahwa mitos memang
bersifat sakral dan senantiasa memiliki kepentingan yang khusus dalam masyarakat.
Sekalipun samar-samar, mitos memiliki petunjuk-petunjuk yang tinggi dan mengandung
kecocokan emotif dengan adat suku-suku bangsa, dan dengan demikian secara gradual
terumuskan dalam tradisi suku-suku itu. Karakteristik mitos terletak pada kenyataan
bahwa mitos mengacu kepada “kejadian-kejadian di mana manusia menyadari dan
menjelaskan esensi mutlak dari keberadaannya dan sekaligus memberikan kesatuan
makna bagi masa kini, masa lampau, dan masa yang akan datang
Itulah sebabnya mitos dianggap merupakan histoire true (cerita yang diyakini
kebenarannya), sehingga mitos memerlukan ritus. Cambridge School atau Aliran
Cambridge dengan tokoh-tokoh seperti James G. Frazer, Jane Harrison, dan F.M.
Concord. memfokuskan studi mereka pada mitologi Yunani. Pusat perhatian aliran
Cambridge adalah sifat-sifat ritual dari mitos. Menurut mereka, ritus merupakan
pancaran emosi-emosi yang kompleks dari manusia primitif melalui tindakan-tindakan,
gerakan-gerakan, dan tarian-tarian. Mitos hanya merupakan salah satu ekspresi dari
emosi manusia yang demikian kompleks itu, melalui kata-kata atau bahasa. Mitos
muncul pada saat emosi-emosi yang diekspresikan dalam ritus sudah tidak lagi
mencukupi. Pemahaman terhadap aspek ritual itu menjadi penting untuk memahami
mitos, yang menjelaskan asal-usul dan eksistensi ritus.
Oleh J. van Baal (Daeng, 2000: 44), mitos dikatakan sebagai cerita di dalam
kerangka sistem suatu religi yang di masa lalu atau kini telah atau sedang berlaku
sebagai kebenaran keagamaan. Ilmu pengetahuan tentang mitos atau mitologi adalah
suatu cara untuk mengungkapkan, menghadirkan Yang Kudus melalui konsep serta
bahasa simbolik Melalui mitologi diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan
manusia memberi tempat kepada bermacam-macam kesan dan pengalaman yang telah
diperolehnya selama hidup. Berkat kerangka acuan yang disediakan mitos, manusia
memiliki orientasi dalam kehidupan ini. Dengan demikian, mitos adalah sebuah cerita
pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dengan ungkapan
Dhavamony (1995: 147), maka mitos sesungguhnya merupakan pernyataan atas suatu
kebenaran yang lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih
dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif.
F.3. Mitos-Mitos Dalam Komunikasi
Menurut Gonzales (1986) ada 20 mitos yang terkait dengan proses komunikasi.
Yang dimaksud mitos disini adalah nilai-nilai atau kebiasaan umum yang diyakini
sebagai suatu kebenaran sehingga dijadikan sebagai dasar untuk melakukan komunikasi
penyuluhan. Mitos-mitos ini harus mendapat perhatian karena banyak kelemahan yang
bisa menimbulkan kegagalan atau tidak efektifnya komunikasi. Ke dua puluh mitos ini
tersebar pada setiap komponen komunikasi.
F.3.1. Mitos Pada Sumber Komunikasi
perlu diluruskan adalah, bahwa yang dimaksud dengan inovasi itu bukan hanya sesuatu
yang baru, tetapi sesuatu yang dirasakan baru oleh sasaran, cocok dengan kondisi
sasaran dan mempunyai dampak bisa meningkatkan kualitas hidup sasaran. Ini bisa
sesuatu yang betul-betul baru, bisa sesuatu yang sudah ada tetapi belum diterapkan
secara benar atau modifikasi terhadap sesuatu yang sudah ada untuk disesuaikan dengan
perkembangan keadaan.
2. Pendidikan lebih baik dibanding pengalaman
Di kalangan penyuluh atau bahkan masyarakat umum berkembang suatu
keyakinan bahwa pendidikan formal yang diperoleh di bangku sekolah itu lebih baik
dari pengalaman yang diperoleh di lapangan secara tradisional. Akibat mitos ini, petani
sasaran yang umumnya hanya berpendidikan formal rendah, selalu dinilai lebih bodoh,
dan seorang penyuluh yang mempunyai pendidikan formal lebih tinggi merasa lebih
tahu dan lebih pandai, meskipun pada kenyataannya banyak petani lebih tahu tentang
keadaan usahanya, masalah yang dihadapinya, serta alternatif pemecahan masalah yang
paling sesuai dengan kondisi yang dialami sendiri.
Mitos ini mengakibatkan banyak kasus yang memposisikan penyuluh sebagai
seorang guru yang harus selalu mengajari petani yang dianggap berstatus sebagai
murid. Akibat lebih jauh dari mitos ini adalah perencanaan pembangunan yang
dimaksudkan untuk memecahkan masalah masyarakat setempat, seringkali tidak
memperhatikan atau mendengarkan bahan pertimbangan yang disampaikan
masyarakat. Pada akhirnya banyak kegiatan pembangunan yang hanya berlangsung
selama terselenggaranya kegiatan proyek karena tidak mampu menggerakkan atau tidak
mampu memperoleh dukungan partisipasi masyarakat, karena masyarakat tidak merasa
ikut memiliki.
3. Hanya ilmuwan yang melakukan penelitian
Selama ini terdapat anggapan di kalangan sumber bahwa hanya ilmuwan (orang
pandai) yang dapat melakukan penelitian. Akibatnya, setiap upaya pemecahan masalah
atau kegiatan kearah perubahan (pembangunan) selalu menunggu dan mengikuti hasil
penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian atau perguruan tinggi.
Padahal, sebenarnya banyak hal yang dapat dikerjakan sendiri oleh warga masyarakat
setempat. Pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat juga sudah sering melakukan
penelitian melalui kegiatan trial and error dalam kehidupannya sehari-hari yang telah
berlangsung lama dan telah teruji oleh waktu.
Keadaan seperti ini semakin berkembang dengan dilaksanakannya upaya
pemaksaan oleh para penyuluh dalam melaksanakan tugas, karena harus mencapai
target yang ditetapkan oleh penguasa/atasannya (Slamet, 1987; Soewadi, 1987).
Mitos semacam ini, jelas bertentangan dengan filosofi penyuluhan itu sendiri,
yang tidak lain menawarkan alternatif baru dan bukannya memaksakan inovasi. Dan
harus selalu diingat bahwa tidak semua inovasi selalu memiliki kompatabilitas
(kecocokan) yang tinggi dengan kondisi setempat (teknis, ekonomi dan sosial budaya).
Beberapa mitos yang sering melekat pada pesan komunikasi antara lain adalah:
1. Informasi saja cukup untuk merangsang pembangunan
Konsekuensi dari mitos ini muncullah juru penerang yang bertugas
menyampaikan informasi-informasi tentang program pembangunan. Dalam kenyataan,
para administrator pembangunan sering sudah cukup puas dengan hanya menyiapkan
pesan yang dinilainya baik dan lengkap tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
program pembangunan yang diupayakan.
Praktek seperti ini sebenarnya tidak cukup untuk dapat menjamin keberhasilan
pembangunan, sebab sering adanya informasi yang baik belum cukup menjamin bahwa
pembangunan yang direncanakan itu juga dilaksanakan dengan baik, karena petani
belum merasa yakin terhadap keberhasilan sesuatu yang baru sebelum melihat bukti.
2. Isi pesan sama dengan pengaruh yang diharapkan
Mitos ini bertolak dari teori Bullet yang menerangkan bahwa pengaruh pesan
tergantung pada isi pesan yang disampaikan. Artinya, jika ingin mencapai keberhasilan
pembangunan, harus banyak menyampaikan pesan-pesan yang berisi keberhasilan
pembangunan. Sebaliknya jika ingin memerangi keadaan yang tidak diinginkan, harus
pula disampaikan pesan-pesan yang mengemukakan keburukan/bahaya/akibat-akibat
yang tidak diinginkan yang dapat ditimbulkan oleh keadaan-keadaan yang tidak
dikehendaki tersebut.
Akan tetapi, kondisi seperti ini tidak cukup menjamin diperolehnya pengaruh
yang diharapkan jika tidak disertai dengan upaya lain, seperti: jumlah dan frekuensi
penyampaian pesan, tipe dari pesan, serta sasaran yang terpilih.
3. Apa yang ditonjolkan sama dengan pengaruhnya
Mitos yang terkandung dalam unsur pesan adalah upaya untuk menonjolkan
bagian dari tertentu dari isi pesan yang mengharapkan respon (tanggapan) dari
masyarakat sasaran. Sayangnya, mitos ini juga sering tidak benar, karena respon yang
muncul seringkali justru respon terhadap pesan yang tidak ditonjolkan.
F.3.3. Mitos yang terkandung dalam Saluran
Oleh karena itu berkembang mitos lain, yaitu tidak perlu memperhatikan atau
mendengarkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh sasaran, karena dinilai
sebagai pemborosan waktu, tenaga dan pikiran.
Akibat dari pemahaman mitos tersebut, maka banyak penyuluh atau sumber
komunikasi kurang memperhatikan umpan balik yang disampaikan oleh sasarannya, hal
ini mengakibatkan tujuan penyuluhan tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam
banyak kasus yang terjadi selama ini, perlu diperhatikan bahwa dalam melaksanakan
kegiatan penyuluhan, penyuluh seyogyanya mawas diri dan bersedia memperhatikan
respon atau suara-suara yang dikemukakan masyarakat sasaran sebagai umpan balik
demi tercapainya tujuan penyuluhan atau pembangunan yang diinginkan.
2. Faktor perilaku
Bentuk dari perilaku yang dimaksud adalah perilaku komunikan yang bersifat:
pandangan yang bersifat apriori, prasangka yang didasarkan atas emosi, suasana yang
otoriter, ketidakmampuan untuk berubah walaupun salah, sifat yang egosentris.
3. Faktor situasional
Kondisi dan situasi yang menghambat komunikasi misalnya situasi ekonomi,
sosial, politik dan keamanan
4. Keterbatasan waktu
Sering karena keterbatasan waktu orang tidak berkomunikasi, atau berkomunikasi
secara tergesa-gesa, yang tentunya tidak akan bisa memenuhi persyaratan-persyaratan
komunikasi.
5. Jarak Psychologis/status sosial
Jarak psychologis biasanya terjadi akibat adanya perbedaan status, yaitu status
sosial maupun status dalam pekerjaan. Misalnya, seorang pesuruh akan sulit
berkomunikasi dengan seorang menteri karena ada jarak psichologis yaitu pesuruh
merasa statusnya terlalu jauh terhadap menteri. Selanjutnya, ada orang yang hanya
ingin mendengar informasi yang dia senangi saja, sedangkan informasi lainnya tidak.
6. Adanya evaluasi terlalu dini
Seringkali orang sudah mempunyai prasangka, atau sudah menarik suatu
kesimpulan sebelum menerima keseluruhan informasi atau pesan. Hal ini jelas
menghambat komunikasi yang baik.
1.4. RANGKUMAN
• ...............................................................................................................................
...............................................................................................................................
..............................................................................................................................
• ...............................................................................................................................
...............................................................................................................................
..............................................................................................................................
1.5. PENUGASAN
Untuk memperdalam pemahaman materi, dan untuk mengukur tingkat efektifitas
komunikasi serta kreativitas Anda, maka laksanakan tugas sebagai berikut:
1. Buat atau susunlah rangkuman materi yang telah saudara pelajari dengan
menggunakan kalimat saudara sendiri, untuk mengisi pada Subbab 1.4.
Jangan lupa tulis Nama, Nomor Absen dan Kelas, pada bagian paling atas
halaman pertama pada pekerjaan Anda.
1.6. LATIHAN
1. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
2. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
3. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
4. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
5. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
6. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
7. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
8. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
9. Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
10.Soal : ....................................................................................................................
Jawab : ...................................................................................................................
1.7. REFERENSI