Ragam Pandangan Aliran Sempalan
Ragam Pandangan Aliran Sempalan
Judul Buku : Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di
Indonesia
Di sebuah SMU di Banjarmasin, seorang siswi mesti menghadap kepala sekolahnya. Bukan
karena tidak disiplin. Tetapi disebabkan oleh aliran Ahmadiyah yang dianutnya dan orang
tuanya. Sementara siswa lain adalah pengikut aliran yang familiar; NU, Muhammadiyah, al-
Irsyad, dan al-Wathaniyah. Ia disuruh pindah aliran karena dinilai sesat, tapi ia tak mau.
Kasus ini merupakan potret kehidupan keberagamaan di negeri ini. Pemicunya banyak hal.
Antara lain, karena pemahaman atau pengetahuan terhadap aliran Ahmadiyah yang
terdistorsi—entah disengaja atau tidak. Pada tahap akut, distorsi ini dapat menimbulkan
konflik yang berkepanjangan. Agar tidak berulang, perlu kiranya penjelasan soal aliran ini
dan berbagai aliran sempalan lainnya yang berbeda dari main-stream secara komprehensif
dan cover both side (baca: netral).
Di sinilah, signifikansi dari kehadiran buku yang bertajuk "Respon Pemerintah, Ormas, dan
Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Badan Litbang
dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI. Buku ini merupakan
laporan hasil serangkaian penelitian lapangan yang dilakukan sepanjang 2006 yang
ditujukan untuk menelaah respon pemerintah, ormas, dan masyarakat terhadap fenomena
aliran sempalan yang muncul dan merebak di mana-mana yang seringkali memunculkan
persoalan baru dalam masyarakat.
Penelitian dilakukan di enam daerah dengan lima aliran sempalan sebagai sasaran
penelitiannya. Yakni Jamaah Tabligh dan Ahmadiyah di Banjarmasin oleh Zaenal Abidin,
Imam Syaukani, dan Antung Norhasanah. LDII dan Jamaah Tabligh di Samarinda oleh
Abdul Aziz, Ahsanul Khalikin, dan Sri Sulastri. Tiga organisasi ini juga diteliti oleh Ridwan
Lubis, Mursyid Ali, dan Akmal Salim Ruhana di Palembang dan Bashori A. Hakim, Eko
Aliroso & Fakhruddin M. di Tanjung Pinang. LDII dan Saksi-saksi Yehowa di Manado
diteliti oleh Nuhrison M. Nuh, Asmawati, dan Sri Haryati. Muh. Nahar Nahrawi, Wakhid
Sugiyarto, dan Reza Perwira meneliti Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Medan. Daerah ini
dipilih karena tingkat perubahan sosialnya tinggi. Pada kondisi ini, masuknya berbagai
aliran sempalan akan cepat mendapat respon dari berbagai kalangan karena—disadari atau
tidak—mempengaruhi struktur sosial-politis di tempat tersebut.
Lima aliran ini dianggap sempalan karena memiliki karakteristik unik yang
membedakannya dengan (agama) induk yang dipahami oleh main-stream. Perbedaan ini
amat kuat sehingga nampak jauh dari aslinya—disebutlah sebagai cabang atau sempalan.
LDII pernah dicap ingkar sunnah atau mengingkari hadits sebagai landasan keagamannya.
Padahal, NU dan Muhammadiyah memegang teguh al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman
agama. Saksi-saksi Yehowa tidak mengakui Trinitas yang menjadi asas ketuhanan Kristen
pada umumnya. Sementara itu Hindu Tamil tak merayakan Nyepi, Galungan, dan
Kuningan seperti halnya pemeluk Hindu Bali.
****
Tetapi bukan berarti tidak ada kesan positif dari tiga aliran sempalan ini. Jamaah Tabligh,
sebagai contoh, dianggap menyebarkan kebiasaan baik—bahkan dinilai meningkatkan
gairah keagamaan yang cenderung meredup akhir-akhir ini semisal sholat berjamaah.
Karena itu, keberadaan aliran yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi ini
didukung. Bahkan, pengurus Muhammadiyah di Palembang menjadi anggota aliran yang
diimpor dari India ini karena didasari motif tersebut. Hindu Tamil di Medan beradaptasi
dengan baik, meski pernah timbul masalah disebabkan perbedaan hari besar keagamaan,
terhadap saudaranya; pemeluk Hindu Bali. Kondisi ini juga didorong oleh tingkat
perekonomian dan pendidikan yang cukup tinggi di sana.
Di luar itu, beberapa dari warga masyarakat memilih sikap acuh tak acuh karena kehadiran
semua aliran hampir-hampir tidak memiliki pengaruh—jika tidak ingin dikatakan tidak ada
sama sekali—terhadap kehidupan mereka.
Yang menarik adalah respon dari MUI yang posisinya ganda—sebagai ormas dan (kadang-
kadang) sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sikap MUI di daerah penelitian
menunjukkan kecenderungan yang berbeda, meski sandaran hukum mereka menyikapi
aliran-aliran sempalan tetap saja fatwa dari Komisi Fatwa MUI Pusat. Ini terlihat dalam
tindakan atau pendekatan yang diambil terutama menyangkut keberadaan LDII dan
Ahmadiyah yang secara resmi dicap sesat oleh MUI. Citra yang lebih menonjol adalah MUI
daerah justru menjadi penyerap aspirasi masyarakat.
Dalam penelitian di Samarinda, MUI menerima kritik dari masyarakat. Akan tetapi karena
LDII bersedia beradaptasi dengan tradisi setempat, maka MUI hanya memberi teguran saja.
Tidak ada larangan khusus. Sikap yang hampir senada diambil oleh MUI di Banjarmasin.
MUI Palembang mengeluhkan fanatisme LDII yang dapat menimbulkan rasa curiga dan
salah faham antar warga dan antar kelompok sesama Muslim. Tetapi sebatas itu saja. MUI
Manado menekankan bahwa secara kelembagaan, LDII memang ditolak. Tetapi bukan
berarti harus dikebiri perkembangannya. Asalkan, mereka tidak ekspansif. Kalau ini
dijalankan, tidak akan ada masalah.
Di Banjarmasin, MUI mengakui fatwa sesat buat Ahmadiyah. Tetapi, sang ketua,
menenkankan bahwa yang demikian bukan pembenar terjadinya kekerasan. Karena itulah,
ia memilih pendekatan persuasif—bukan represif—terhadap aliran ini. Tidak ada
keterangan tentang respon Ahmadiyah di Medan. Hanya saja, peneliti mengungkapkan
bahwa Medan merupakan daerah multi-etnis dan multi-agama. Kondisi masyarakat dengan
tipikal ini, membuat masyarakatnya telah lama belajar berbeda dalam memeluk agama.
Meskipun, potensi konflik antar kelompok cukup besar, namun sampai penelitian tersebut
selesai ditulis, belum pernah terjadi konflik. Mungkin, dugaan penulis, Ahmadiyah
mengalami perlakuan serupa; tidak ada soal di sana meski sudah dianggap sesat.
****
Buku ini berbeda dengan buku penelitian sejenis. Bila penelitian biasanya cukup diakhiri
kesimpulan, ia menambahkan rekomendasi di penutup laporan penelitiannya. Di sini,
beberapa rekomendasi diajukan khusus kepada para aparat berwenang sehingga terkesan
"struktural". Misalnya saja, adanya rekomendasi berbentuk tuntutan dan ekspektasi yang
besar atas keterlibatan aparat Departemen Agama atau Puslitbang Kehidupan Keagamaan
dalam konflik akibat perbedaan tafsir keagamaan. Ini cukup wajar. Sebab tujuan buku ini
memang untuk dijadikan rujukan dasar atau masukan bagi para pengambil kebijakan dalam
upaya membangun kerukunan kehidupan keagamaan di negeri ini—khususnya ketika
aliran sempalan mulai meruyak di mana-mana. Sebagaimana kita ketahui, kerukunan
menjadi barang mahal ketika aliran sempalan itu hadir karena dipicu berbagai macam
sebab.
Namun, rekomendasi yang diajukan para peneliti ini bukan berarti tak menyimpan
persoalan. Tuntutan inklusivitas LDII di Samarinda misalnya tampak berlebihan. Dalam
segi kemasyarakatan, inklusivitas ini sangat mungkin diwujudkan. Penulis sepakat penuh
atas inklusivitas secara sosial—ia dapat menjadi jurus ampuh mendamaikan berbagai
perbedaan teologis di masyarakat.
Akan tetapi, ini menjadi lain ceritanya jika inklusivitas yang dimaksud dilaksanakan dalam
taraf peribadatan. Mengganti imam masjid dari yang bukan golongan LDII, bagi penulis,
serasa memangkas perbedaan (teologis) yang mestinya kita hormati. Secara real, kita dapat
menyaksikan betapa ormas terbesar di negeri ini (baca: NU dan Muhammadiyah), agak
mengalami kesulitan jika mesti melakukan "inklusivitas masjid" ini. Sebagai organisasi yang
dicap sesat, bila rekomendasi ini benar-benar dilaksanakan, nampaknya para penganut LDII
akan memperoleh kesulitan yang berganda.
Selain itu, jaminan kebebasan keberagamaan di buku ini kurang mendapat penekanan.
Editor sempat menyebut hal itu dalam pengantarnya tetapi detailnya tidak dijabarkan. Pasal
28 E UUD 1945 Amandemen IV, Konvensi Hak Sipil Politik PBB, dan peraturan terkait
lainnya sepertinya perlu ditambahkan. Ini penting. Karena, di sinilah sesungguhnya
perbedaan tafsir keagamaan yang ujungnya adalah berbagai aliran sempalan di atas akan
menemu konteksnya. Mereka, yang berbeda dari main-stream, berhak mengekspresikan
keyakinannya dan masyarakat memiliki sandaran hukum untuk menghormatinya. Ketika
dua sikap telah ada, kerukunan akan muncul dengan sendirinya.
Di atas itu semua, buku ini berguna sekali kehadirannya. Paling tidak, buku ini mampu
merangkum berbagai respon yang ada dalam masyarakat. Melalui buku ini, kita tahu
bahwa perbedaan pandangan keagamaan di daerah penelitian tidak sampai kepada
penganiayaan fisik seperti halnya tragedi penyerbuan kampus Ahmadiyah di Parung
beberapa waktu lalu. Ketidaksetujuan terhadap keberadaan aliran sempalan, sebagian besar,
diekspresikan hanya secara verbal. Namun, bukan berarti bahwa persoalan ini tidak akan
berkembang menjadi lebih besar sehingga harus segera diselesaikan. Tentu saja, dialog dan
keterbukaan dari kedua belak pihak menjadi prasyarat utama. Semua pihak wajib terlibat,
termasuk pemerintah. Wallahu A'lam bish Shawab.