Teladan Dari Kyai Oposan
Teladan Dari Kyai Oposan
Semua santri juga diminta berjaga-jaga jikalau Jepang tiba-tiba datang. Tapi ia tidak
memaksa. “Apabila tidak ikut, sebaiknya kembali saja ke kampung masing-masing,”
ucapnya datar. Ternyata, semua santri manut pada pengasuh pesantren Sukamanah,
Singaparna, Tasikmalaya ini.
Ya, kyai yang disebut-sebut itu adalah KH. Zainal Musthofa. Kyai wakil Rais Am NU
Cabang Tasikmalaya di tahun 1927 itulah yang menjadi motor utama perlawanan
rakyat Singaparna. Jepang kocar-kacir dibuatnya. Kyai Zainal sudah canggih waktu
itu; ia membentuk kompi dari lima asrama pesantrennya. Pasukan intinya—tentu
saja terlatih, teruji, dan terbukti—saja berjumlah 509 orang. Apa lacur, sebagian
pribumi memilih pasang badan membela penjajah. Sehingga, kerabat Ajengan Zainal
Muhsin ini kalah. Merekalah yang mengantar kyai kelahiran1899 ini dihukum
tembak pada 25 Oktober 1944.
Kisah oposan kyai teman seperjuangan Ajengan Ruhiyat itu diungkapkan oleh
Subhan SD dalam bukunya yang bertitel “Ulama-ulama Oposan; Syaikh Haji Rasul,
Ustadz Ahmad Hasan, KH. Zainal Mustofa, KH. Isa Anshary”. Seperti judulnya,
buku ini hendak mengupas kisah para kyai melakukan perlawanan terhadap pihak
yang sewenang-wenang; entah penjajah atau pemerintah yang zalim. Mereka
mengambil peran oposisi (mu’aradhah) atau kerap disebut oposan.
Oposan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sebagai tokoh kunci dalam
perjuangan menentang kolonialisme dan praktik kezaliman. Kyai—dalam memenuhi
panggilan suci jihad Islam—tidak hanya mengaji dan beraktivitas di lingkungan
keagamaan, tetapi menjadi penggerak perubahan sosial dan politik. Oleh karena itu,
inti sikap oposan adalah amar makruf nahi munkar. Caranya, bisa dilakukan
dengan tangan (kekuasaan), dengan lisan (kritik, protes, nasihat, dan sebagainya)
atau hanya dengan menggunakan hati (berdoa).
Dalam hal ini Kyai Zainal memilih tidak berdamai dengan Jepang plus menanggung
resiko-resikonya. Pengaruh dan pengikutnya dipakai untuk melawan penindasan
sewenang-sewenang. Di sini, ia berusaha melakukan penjarakan dengan penguasa
demi memelihara independensinya itu. Kyai Zainal memilih melakukannya dengan
tangan karena dia punya kemampuan untuk itu berkat kedudukannya sebagai
pengasuh pesantren berikut kenalan-kenalannya yang rata-rata ajengan.
Kyai Zainal, dan kyai-kyai lain yang diceritakan dalam buku setebal 198 ini,
tampaknya menginternalisasi betul wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111
M). Hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan
jarak dengan penguasa (umara’). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para
penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya.
Mereka senantiasa memelihara diri dari dari kemungkinan dampak yang muncul
akibat hubungan tersebut.
Inilah sesungguhnya yang dapat diambil dari buku ini; perlunya kemandirian sikap
seorang kyai. Seperti diketahui, belakangan ini peran kyai sebagai penggerak
ataupun makelar budaya (cultural broker) dalam sebuah perubahan sosial seperti
sedang memudar. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang kyai tak mau
beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik kyai tak seperti dulu lagi.
Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan
umat.
Memang, menjadi oposan kini bisa berarti macam-macam. Melawan kapitalis yang
rakus juga sebuah perlawanan. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri
sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini.
Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang kyai menentang cuci tangannya
Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama
menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus
perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di
sana-sini.
Yang ada hanya gemuruh dukungan para kyai untuk dukungan calon gubernur
tertentu. Atau gegap gempita ceramah kyai di acara-acara pejabat yang tak ada
nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah
dicari dan acapkali mementingkan materi.
Dalam konteks yang beginilah, buku keluaran tahun 2000 ini menemukan
relevansinya. Pengamat pesantren, aktivis gerakan sosial, dan terutama, para santri
(calon kyai) mesti membaca buku ini—untuk dijadikan teladan dan bahan pelajaran
di masa depan. (Nurun Nisa’)