Repotnya Menjadi Minoritas
Repotnya Menjadi Minoritas
Judul Buku : The Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities
Penulis : Muhammad Yasin Mazhar Siddiqi
Penerbit : The Islamic Foundation
Tempat Terbit : London
Tahun Terbit : 2006
Jumlah Halaman : 230 hlm + xiii
Menjadi minoritas memang tidak enak. Mereka sering menjadi korban penindasan
mayoritas. Ketika sebuah kebijakan dilahirkan demi kepentingan mayoritas, saat itulah
penindasan menjadi sesuatu yang niscaya bagi mereka yang minoritas.
Berabad-abad lalu, Nabi Muhammad menjadi minoritas Muslim di Mekkah. Para bangsawan
dan agamawan Mekkah merasa tersaingi dengan Islam yang dibawa mereka. Bangsawan-
bangsawan tak mau kehilangan privilege-nya karena Islam mengajarkan persamaan antar
manusia. Bukan melanggengkan kasta seperti tradisi mereka. Di pihak yang lain, kehadiran
Nabi SAW menggusur pengaruh agamawan yang bercokol lama—Yahudi, Kristen, dan
Pagan. Nabi SAW kemudian ditindas dan dipojokkan. Ini berlangsung lama. Di situlah, tirani
mayoritas dan minoritas memperoleh keabsahan.
Nabi SAW memutuskan agar umatnya meminta suaka ke Abbesinia. Mitra dagang Mekkah
ini masyhur akan rajanya yang adil, Negus. Negus menerima Ruqayyah dan Utsman bin
Affan, perwakilan umat Islam dengan tangan terbuka. Ia membiarkan penganut Islam
menjalankan ibadahnya meski ia penganut Kristen yang taat. Cerita kesewenang-wenangan
kelompok mayoritas tidak ada lagi. Di sini dapat disaksikan bahwa hubungan antara
minoritas dan mayoritas tidak selamanya tegang atawa terkungkung dalam kerangka oposisi
binarian; mayoritas mesti menjadi penguasa dan minoritas tak bisa menolak takdirnya
menjadi pihak yang dikuasai.
Pola baru ini terus berlanjut ketika Nabi SAW kemudian pindah (lagi) ke Madinah. Nabi SAW
menjadi mayoritas tapi tak menindas. Umat lain yang minoritas, seperti Yahudi, memperoleh
perlakuan yang setara. Bukti paling nyata adalah lahirnya Piagam Madinah. Semua
kelompok dapat berpartisipasi tanpa pandang posisi.
Dalam posisi ini, Nabi SAW memilih membangun pusat pendidikan dan perekonomian.
Masjid difungsikan dengan baik sebagai pusat pendidikan. Perdagangan dioptimalkan untuk
mengembangkan kualitas umat. Keduanya mutlak. Karena umat yang kuat adalah umat
yang cerdas serta makmur. Cerdas maksudnya berperadaban dan sanggup berinteraksi
dengan segala perubahan zaman. Sementara makmur tak berarti kaya. Yang penting tidak
miskin dan fakir. Aspek ekonomi dan aspek pendidikan tetap menjadi fokus Nabi SAW
ketika diri dan umatnya bahkan ketika menjadi mayoritas. Dengan modal ini, terbukti umat
Islam mampu melawan gempuran dari luar dan goncangan dari dalam untuk kurun waktu
yang tidak pendek.
Di sinilah bisa ditangkap pesan bahwa umat baik minoritas atau mayoritas mestinya
mengabdikan usahanya untuk mengurus hal-hal yang substansial seperti kebutuhan
ekonomi dan pendidikan—hal-hal yang benar-benar dibutuhkan untuk capacity
building umat. Sebab itulah, mengurus formalisasi ajaran dan doktrin agama (baca;
merancang perda agama dan seterusnya) menjadi sesuatu yang layak dinomor-duakan.
Tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas, juga kuantitas, sebuah umat.
Demikian Nabi SAW sudah membuktikan. Begitu umat sejahtera dan cerdas, dengan segera
ia menjadi umat yang beriman seperti dicitakan-citakan oleh perda-perda agama itu. Karena
memang kemakmuran dan kecerdasan itu berbasis nilai-nilai agama.
Kisah panjang Nabi SAW menjadi minoritas Muslim di Makkah dan Abbesenia ini di-
dedahkan dengan baik oleh Yasin Mazhar Siddiq dalam bukunya yang bertajuk “The
Prophet Muhammad SAW; A Role Model for Muslim Minorities”.
Buku karya profesor Islamic Studies di Aligarh Muslim University ini memang buku sejarah.
Tetapi dijamin tak menjemukan. Dalam buku ini, pembaca akan menjumpai detail Nabi SAW
sebagai Muslim minoritas di Makkah dan Abbesinia dengan segala perniknya. Hunafa’,
aliran (agama) penerus tradisi monotheisme Ibrahim, misalnya diceritakan dengan rinci. Lalu
soal suksesi penguasa Ka’bah dari satu bani (suku atau klan, Pen.) ke bani yang lain
dengan kronologis yang panjang. Juga pembeberan bukti persahabatan Muslim Mekkah
dengan rakyat Abbesinia—termasuk syair-syair dari pujangga Arab tentang itu. Kisah Bilal
dan Ummu Ayman dalam kapasitasnya sebagai orang dekat Nabi SAW, yang pribumi
Abbesinia, juga dibeberkan dengan bagus.
Itulah bedanya dengan buku sejarah lainnya—Yasin memang ingin membikin salah satu
periode dakwah Nabi SAW ini dengan sudut pandang baru. Ia dalam hal ini mengeluh soal
pola penulisan sejarah yang tak berkembang sejak dimulai oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam
berabad-abad lalu. Mereka membahas Mekkah hanya pada soal turunnya wahyu untuk kali
pertama, pemeluk Islam pertama, dan hal-hal lain di sekitar itu. Yasin, hemat penulis, sudah
berhasil melakukan tugas ini. Toh begitu Yasin tetap merendah; pekerjaannya diakui bukan
sesuatu yang sempurna atau sebuah error-free work.