Anda di halaman 1dari 6

Tema: Keluarga dan Pencapaian

Manhattan Corner Bar

“Jadi bagaimana? Apa dengan kedatanganmu ini berarti kita sepakat?” tanya Lindsay
Janet sembari mengetuk-ngetukkan pulpen di tangannya ke selembar kertas.

“Kata sepakat lebih pantas digunakan untuk duniamu, orang-orang yang mengaku
paling mengerti aturan dan menganggap keadilan ada di genggaman. Kurang pantas rasanya
menggunakan kata itu untuk membahas hal seperti ini,” jawab Harry Keith dengan tenang
sembari memainkan buah leci di gelas.

“Kau masih seperti dulu, membosankan.”

“Kau juga, masih selalu berkata seperti itu. Kita sama.”

“Sudah kukira.” Janet membuang napas panjang. Ia buka satu kancing kemejanya
yang dibalut setelan jas hitam dengan bros berbentuk timbangan di dada kiri. “Sebenarnya
aku tak mau bertele-tele dan ingin segera mendapat keputusan, tapi ternyata kau masih seperti
kau yang biasanya, selalu berusaha menahanku agar lebih lama saat kita bertemu,” lanjutnya.

“Apa kau tidak sadar, ucapanmu itu sama juga artinya bahwa kau begitu mengenalku.
Jadi untuk apa kita membuat kesepakatan yang bertolak belakang dengan hal itu?”
Pertanyaan Keith tak langsung mendapat jawab. Bunyi lonceng di atas pintu bar meminta
perhatian mereka. Seorang tamu melangkah masuk dengan mantel tebal yang basah
permukaannya.

“Apa pertanyaan itu juga salah satu caramu untuk menahanku lebih lama di sini? Dan
apa aku harus menanggapinya.”

“Bukannya selama ini kau memang selalu begitu, mendebat semua yang keluar dari
mulut lelaki tua ini. Hahaha. Minumlah, kau sudah membuatnya dingin.” Keith mendorong
cangkir macchiato1 mendekat ke Janet. Minuman yang telah ia pesan sebelum mantan
istrinya itu datang.

“Sepertinya kau masih disibukkan dengan obsesimu.” Sembari bibir merahnya


menyecap tepi cangkir, mata Janet melirik buku tebal di meja yang terbuka. Permukaan

1
Jenis kopi yang dibuat dengan cara manual.
kertas di buku itu dipenuhi dengan tulisan latin, pada tepinya terdapat banyak coretan dan
catatan kaki.

“Sayangnya kali ini kau salah.”

“Jadi?”

“Dulu aku mati-matian menggelutinya karena sebuah obsesi, sedangkan sekarang


lebih pada penyesalan.” Senyum kecil mengembang di sudut bibir Keith. Senyum itu disusul
tawa sinis dari Janet. Lesung pipinya menegas.

“Itu kata-kata paling menggelikan yang pernah kudengar darimu. Kupikir selama ini
kau orang yang tak pernah merasa menyesal.”

“Aku belajar darimu. Coba lihat tempat ini, kuyakin kau juga menyesal dulu pernah
datang ke sini, tempat pertemuan pertama kita. Malam Natal yang sakral, kau masuk dari
pintu itu dengan tangisan yang sulit kugambarkan.”

“Cukup. Untuk apa membahas hal yang lalu-lalu, tak penting lagi,” potong Janet.
Meski arah kepalanya seolah acuh, namun mata birunya luruh menatap papan di atas pintu
yang bertulis Manhattan Corner Bar. Kelip lampu di sekeliling papan yang terbuat dari kayu
itu, seakan memberi kabar bahwa bar itu telah lebih dulu berdiri sebelum blok Manhattan
bergeliat 24 jam seperti sekarang ini

“Justru karena aku mengkaji yang telah berlalu, aku mengerti apa itu penyesalan.”

“Siapa yang menjamin bahwa penyesalan dalam pengertianmu dan penyesalan dalam
pengertianku sama? Kau berkata seperti itu seolah aku tak mengenalmu. Sepuluh tahun
bukan waktu yang singkat,” ucap Janet dengan napas hampir habis. Waktu seperti berhenti
sejenak karenanya. Janet melambaikan tangan pada bartender di meja bar, bibirnya menyebut
nama sebuah minuman.

“Sepertinya dunia yang kau geluti tiga tahun ini banyak berpengaruh padamu.” Mata
Keith menatap rambut Janet yang kini semakin pendek, bahkan lebih mirip potongan seorang
lelaki. ”Akhir-akhir ini banyak kasus besar di New York, kudengar kau menangani beberapa
di antaranya,” lanjut Keith.

“Kau mau tahu kasus terbesar apa yang aku tangani?” tanya Janet diikuti datangnya
minuman yang tadi ia pesan.

“Kasus pemilik kantor konsultan tambang dengan seorang bangkir, bukan?”


“Salah, kau salah besar. Yang sedang kutangani adalah kasus seorang ayah yang
hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Setiap hari memilih duduk di kursi bar mengangkangi
laptop, sibuk dengan obsesinya untuk meraih nobel sastra yang selalu berujung nol besar,
sampai-sampai dia tega menelantarkan anak perempuannya di umur yang dulu belum genap
tiga tahun,” ucap Janet dengan intonasi yang meninggi. Hal itu membuat Keith memejamkan
mata. Tangan lelaki itu bergerak perlahan mengambil kotak rokok di saku mantelnya.

“Sebenarnya, itulah alasan kenapa aku mau datang. Untuk memenuhi permintaanmu.”
Embusan asap rokok pertama mengepul, meminta ruang di antara percakapan yang semakin
dalam. Entah apa yang kini berkelindan di kepala kedua orang itu. Suasana hening, jauh lebih
beku dari salju yang semakin menumpuk di luar bar.

“Bagian mana yang kau maksud? Memenuhi permintaanku untuk bertemu di sini,
atau memenuhi hak anak perempuan itu untuk hidup bahagia dan memiliki masa depan lebih
baik dengan kau menandatangani kertas ini?” Jawaban panjang lebar itu membuat Keith
menandaskan rokok ke asbak. Tangan lelaki itu tampak gemetar hingga membuat kaki meja
berdecit, tak kuasa menopangnya.

“Bagaimana kabar Patrice?”

“Dia sedang berlibur di Ohio dengan Andrew,” jawab Janet dengan pasti seolah
memiliki maksud.

“Aku bertanya kabar Patrice, bukan bertanya sedang di mana dia sekarang.”

“Tadi sore dia meneleponku menggunakan telepon Andrew, dia bilang sangat senang
di sana. Dia ingin aku segera menyusul ke sana, dan itu memang rencanaku.”

“Kau benar-benar masih seperti dulu, senang menunjukkan sesuatu dan hal itu selalu
berhasil membuatku merasa bersalah.”

“Dua kali kau mengucapkan penyesalan. Dan sayangnya hal itu tak pernah kudengar
dulu.” Janet teguk dari botol minuman berwarna merah. Ia buka kancing kedua di kemejanya.

“Jadi dia lelaki yang kau ceritakan lewat telepon tempo hari? Keith menyulut rokok
kedua. “Seperti apa dia pada Patrice?” tanya Keith di antara kepulan yang berarak tak
beraturan. Sebuah embusan kacau di bibir mengantar kegetiran yang tak bisa disembunyikan.

“Yang pasti jauh lebih baik darimu.”

“Lalu Patrice?”
“Lucu. Sejak kapan kau peduli dengan Patrice?” tanya Janet ditutup dengan tegukan
kedua.

“Jawab saja, dan akan kuputuskan untuk menandatangani atau tidak kertas itu.”

“Patrice sangat dekat dengannya. Ketika Andrew tak sedang bertugas, mereka sering
menghabiskan waktu bersama di taman kota. Bagaimana menurutmu? Pernah kau mengajak
Patrice ke taman?”

“Baiklah.” Jawaban singkat itu diikuti tangan kanan Keith menarik kertas di depan
Janet, sedangkan tangan kirinya mengambil pulpen di saku mantel. Meski begitu, tak segera
ia tanda tangani kertas bermeterai itu.

“Apa lagi yang kau tunggu?”

“Seperti apa Patrice memanggil lelaki itu?” Keith menatap mata Janet dan membuat
mantan istrinya itu melempar muka.

“Ayah.”

“Kenapa kau begitu tega melakukan itu padaku?”

“Jangan bicara seolah semua tak memiliki alasan,” ucap Janet sembari menggenggam
punggung tangan Keith. “Kumohon,” lanjutnya. Senyum yang sulit digambarkan terbekas di
wajah wanita itu.

Ujung pulpen menggores kertas perlahan, tangan Keith tampak bergetar hebat. Usai
meletakkan pulpen, pelupuk mata Keith terpejam dalam pengembaraan.

“Dulu aku memang ayah yang buruk, mungkin ayah terburuk yang pernah ada. Tapi
kupikir setiap orang memiliki kesalahan, dan banyak dari mereka yang berhasil
memperbaikinya. Perbedaanku dari orang-orang itu adalah mereka memiliki kesempatan,
sedangkan aku tidak.“ Usai mengucapkannya, Keith beranjak, dengan langkah cepat
melenggang keluar pintu bar.

“Keith ...,” rintih Janet di antara isak tangis yang tak ia sadari pecah di pipi. Matanya
tampak memejam begitu dalam. Hening. Yang tersisa hanya ia dan buku catatan Keith yang
tertinggal di atas meja. Sembari mengusap peluh, rasa penasaran Janet mengantarnya untuk
membuka buku catatan itu. Ia dapati sebuah undangan yang terselip di antara lembar
halaman. Undangan itu ditujukan pada Keith untuk menghadiri malam penganugerahan nobel
sastra. Pada undangan itu tertulis bahwa Keith menjadi salah satu nominator, atas novelnya
yang berjudul If The Time Had Repeated, I Would Have Never Been a Writer. Ketika Janet
mengambil buku catatan Keith, mungkin bermaksud untuk membawanya, tak ia duga di
bawah buku catatan itu ada sebuah buku dengan judul sama dengan yang tertera di undangan.
Janet memegang buku itu, dibukanya acak dan berhenti pada halaman persembahan. Janet
menatap lama pada halaman itu. Kupersembahkan tulisan ini untuk Janet dan Patrice.
Tentang Penulis

Panji Sukma saat ini menempuh studi Program Doktoral Kajian Budaya di
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar.
Karya yang telah terbit, novel Sang Keris (Gramedia Pustaka Utama, 2020), novel
Astungkara (Penerbit Nomina, 2018), novel Canai (Penerbit UNSA Press, 2019), dan
kumpulan fiksi mini Iblis dan Pengelana (Penerbit Buku Mojok, 2020). Pemenang kedua
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019, nomine Penghargaan Prasidatama 2019
Balai Bahasa Jawa Tengah, dan nomine Penghargaan Sastra 2020 Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.

Surat-menyurat: bersualahsemesta@gmail.com. Twitter dan Instagram:


@panjisukmabook dan @buruhseni.

Anda mungkin juga menyukai